Rabu, 23 Juni 2010

Editor's Fresh Review




Oblivion (B)
Olympus Has Fallen (C)
The Croods (B)
Oz the Great and Powerful (D)
Jack the Giant Slayer (B)
Zero Dark Thirty (A)
Djanggo Unchained (B-)
Mama (B)
A Good Day to Die Hard (F)

Review Film Indonesia


Kolom ini kami khususkan untuk ulasan film Indonesia yang ditulis baik oleh anggota dan kontributor kami serta penulis luar. Ulasan film-film Indonesia pada edisi terdahulu (kecuali edisi terbaru) baik yang telah dicetak maupun tidak dalam buletin, kami sertakan pula dalam kolom ini. Kami mengajak para pembaca untuk turut berpartisipasi mengisi kolom ini. Semoga ulasan-ulasan di kolom ini mampu memberi masukan yang berarti bagi perkembangan sinema kita. (Kolom Review Film Indonesia)

Sabtu, 01 Mei 2010

Sekilas Sejarah Film Indonesia


Awal Sinema Indonesia (1926-1949)

Pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1900-an masyarakat kita sudah mengenal adanya film atau yang lebih dikenal dengan �Gambar Hidoep�. Hal ini dibuktikan dengan adanya koran Bintang Betawi No.278, 5 Desember 1900 yang memuat iklan bioskop. Seni pertunjukkan film pada masa itu diselenggarakan oleh orang Belanda. Jenis bioskop terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan status penonton, yaitu bioskop untuk orang Eropa, bioskop orang menengah, dan golongan orang pinggiran. Pada tahun 1925 sebuah artikel di koran masa itu, De Locomotif, memberi usulan untuk membuat film. Pada tahun 1926 dua orang Belanda bernama L. Heuveldorp dan G.Kruger mendirikan perusahaan film, Java Film Coy di Bandung dan pada tahun yang sama mereka memproduksi film pertamanya berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang diangkat dari legenda Sunda. Film ini tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan ini dianggap sebagai sejarah awal perfilman Indonesia. Film ini diputar perdana pada 31 Desember 1926. Film berikutnya yang diproduksi adalah Eulis Atjih (1927) berkisah tentang istri yang disia-siakan oleh suaminya yang suka foya-foya.

Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan studio film yang dinominasi oleh orang-orang Cina. Pada tahun 1928 Wong Brothers dari Cina (Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong) mendirikan perusahaan film bernama Halimun Film dan memproduksi film pertamanya Lily Van Java (1928). Film ini berkisah tentang seorang gadis Cina yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, padahal ia telah memiliki kekasih. Film ini sendiri kurang disukai oleh penonton pada masa itu. Wong Brothers akhirnya mendirikan perusahaan film baru bernama Batavia Film. Selain Wong Brothers, ada pula Tan�s Film, Nansing Film dan perusahaan milik Tan Boen Swan. Nansing Film dan perusahaan Tan Boen Swan memproduksi Resia Borobudur (1928) dan Setangan Berloemoer Darah (1928).

Setelah L.Heuveldorp menarik diri, G.Kruger mendirikan perusahaan film sendiri bernama Kruger Filmbedriff, yang memproduksi, Karnadi Anemer Bangkong (1930) dan Atma De Visher (1931). Selain itu orang Belanda lainnya yaitu F.Carli yang mendirikan perusahaan film bernama Cosmos Film Corp atau Kinowerk Carli yang memproduksi De Stem des Bloed (Nyai Siti, 1930) yang berkisah mengenai orang Indo, lalu juga Karina�s Zelfopoffering (1932). Sedangkan Tan�s Film dan Batavia Film pada tahun 1930 memproduksi Nyai Dasima (1930), Si Tjonat (1930), Sedangkan Halimun film memproduksi Lari Ke Arab (1930).

Masuk era film bicara, tercatat dua film tercatat sebagai film bicara Indonesia pertama adalah Nyai Dasima (1931) yang di-remake oleh Tan�s Film serta Zuster Theresia (1931) produksi Halimun Film. Masa ini juga muncul The Teng Chun yang mendirikan perusahaan The Teng Chun �Cino Motion Pict� dan memproduksi Boenga Roos dari Tjikembang(1931) dan Sam Pek Eng Tai (1931). Sasarannya adalah orang-orang Cina dan kisahnya pun masih berbau budaya Cina. Sementara Wong Brothers juga memproduksi Tjo Speelt Voor de Film (1931). Sedangkan Kruger dan Tans�s berkolaborasi memproduksi Terpaksa Menikah (1932). Di penghujung tahun 1932 beredar rumor kuat akan didirikan perusahaan film asal Amerika. Semua produser menjadi takut karena tak akan bisa menyaingi dan akhirnya Carli, Kruger dan Tan�s Film berhenti untuk memproduksi film. Studio yang masih bertahan adalah Cino Motion Picture.

Beberapa tahun setelahnya muncul seorang wartawan Albert Balink yang mendirikan perusahaan Java Pasific Film dan bersama Wong Brothers memproduksi Pareh (1935). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Balink dan Wong akhirnya sama-sama bangkrut. Pada tahun 1937, Balink mendirikan studio film modern di daerah Polonia Batavia yang bernama ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat) dan memproduksi Terang Boelan/Het Eilan der Droomen (1937). Film ini berkisah tentang lika-liku dua orang kekasih di sebuah tempat bernama Sawoba. Sawoba adalah sebuah tempat khayalan yang merupakan singkatan dari SA(eroen), Wo(ng), BA(link) yang tak lain adalah nama-nama penulis naskah, penata kamera, editor, dan sutradaranya sendiri. Walau meniru gaya film Hollywood The Jungle Princess (1936) yang diperankan Dorothy Lamoure namun film ini memasukkan unsur lokal seperti musik keroncong serta lelucon yang diadaptasi dari seni panggung. Film ini sukses secara komersil dan distribusinya bahkan sampai ke Singapura. Pemeran utama wanitanya, Rockiah setelah bermain di film ini menjadi bintang film paling terkenal pada masa itu. Kala ini Terang Boelan (1937) adalah film yang amat populer sehingga banyak perusahaan yang menggunakan resep cerita yang sama.

Pada tahun 1939 banyak bermunculan studio-studio baru seperti, Oriental Film, Mayestic Film, Populer Film, Union Film, dan Standard Film. Film-film populer yang muncul antara lain Alang-alang (1939) dan Rentjong Atjeh (1940). Pada masa ini pula kaum pribumi mulai diberi kesempatan untuk menjadi sutradara yang perannya hanya sebagai pelatih akting dan dialog. Justru yang paling berkuasa pada masa itu adalah penata kamera yang didominasi orang Cina. Pada era ini pula muncul kritik dari kalangan intelek untuk membuat film yang lebih berkualitas yang dijawab melalui film, Djantoeng Hati (1941) dan Asmara Moerni (1941). Para pemain dari kedua film ini didominasi kaum terpelajar namun karena dirasa terlalu berat, para produsen film akhirnya kembali ke tren awal melalui film-film ringan seperti Serigala Item (1941), Tengkorak Hidup (1941).

 Pada akhir tahun 1941, Jepang menguasai Indonesia. Semua studio film ditutup dan dijadikan media propaganda perang oleh Jepang. Jepang mendirikan studio film yang bernama Nippon Eiga Sha. Studio ini banyak memproduksi film dokumenter untuk propaganda perang. Sementara film cerita yang diproduksi antara lain Berdjoang (1943) yang disutradarai oleh seorang pribumi, Rd. Arifin namun didampingi oleh sutradara Jepang, Bunjin Kurata. Pasca kemerdekaan RI pada tahun 1945, studio film milik Jepang yang sudah menjadi kementerian RI direbut oleh Belanda dan berganti nama Multi Film. Film-film yang diproduksi antara lain Djauh Dimata (1948) dan Gadis Desa (1948) yang diarahkan oleh Andjar Asmara. Di era ini pula muncul nama Usmar Ismail yang kelak akan menjadi pelopor gerakan film nasional. Pada tahun ini pula, 1949, para produser Cina lama mulai berani mendirikan studio lagi. The Theng Chun dan Fred Young mendirikan Bintang Surabaja. Tan Koen Youw bersama Wong mendirikan Tan & Wong Bros. Salah satu film produksi Tan & Wong Bros yang populer adalah Air Mata Mengalir Di Tjitarum (1948).

Era 1950-1980an

Pada tahun 1950 dibentuklah Perfini (Perusahaan Film Nasional). Perfini merupakan perusahaan film pertama milik pribumi. Beberapa bulan kemudian dibentuk pula Persani (Perseroan Artis Indonesia).  Film pertama produksi Perfini adalah Long March Of Siliwangi atau Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Syuting pertama film film ini tanggal 30 Maret 1950, kelak ini dijadikan sebagai hari film nasional. Sementara produksi besar lainnya adalah �Dosa Tak Berampun� (1951). Dalam dua tahun saja, Persani telah memiliki studio yang mewah dan megah. Studio ini merupakan studio film terbesar di Indonesia kala itu. Usmar Ismail dan Djamaludin Malik nantinya akan ditetapkan sebagai Bapak Perfilman Nasional (resmi pada tahun 1999).

Antara tahun 1954-1955 Perfini mengalami krisis finansial. Film arahan sutradara Usmar Ismail, Krisis (1953) walau sukses komersil namun tetap saja tak mampu menutup hutang bank. Pada masa ini pula muncul kritik terhadap film-film produksi studio milik orang Cina yang memproduksi film bermutu sangat rendah. Salah satunya adalah film Tans & Wong berjudul Topeng Besi (1953) yang diproduksi dengan biaya sangat murah. Namun di sisi lain, film-film dalam negeri juga bisa mulai bersaing dengan film-film impor dari Malaysia, Filipina, dan India.

Pada Tahun 1954, Usmar dan Djamaludin mempelopori berdirinya PPFI (Persatuan Perusahaan Film Nasional), lalu juga menjadi anggota FPA (Federatuion Of Motion Picture Produsers in Asia). Persani dan Perfini bersama-sama memproduksi film Lewat Djam Malam (1954) disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini bercerita tentang mantan pejuang kemerdekaan yang menghadapi kekecewaan terhadap orang-orang seperjuangannya yang berubah menjadi seseorang yang tidak mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. Konon film ini akan dikirim ke Festival Film Asia di Tokyo namun pemerintah Indonesia melarang karena masa itu kita tengah konflik dengan pemerintah Jepang.
 Pada tahun 1955 PPFI untuk pertama kalinya menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) tercatat merupakan festival film pertama yang diselenggarakan di tanah air. Terpilih film terbaik adalah Lewat Djam Malam (1954). Namun sayangnya Usmar Ismail tidak mendapat penghargaan apa pun dalam ajang ini. Film ini rencananya akan diputar di festival film Cannes pada 16-27 Mei 2012 setelah direstorasi penuh. Pada tahun 1955 film produksi Perfini Tamu Agung (1955) mendapat penghargaan  khusus komedi terbaik pada ajang bergengsi Festival Film Asia.

Sejarah juga mencatat awal bulan Maret tahun 1956 para pemain dan pekerja film membentuk PARFI (Persatuan Artis Film Nasional). Pada tahun 1957, PPFI memutuskan untuk menutup studio film mereka karena tak ada dukungan dari pemerintah kala itu. Djamaludin Malik ditangkap tanpa alasan yang jelas. Studio Perfini disita bank karena tidak mampu membayar hutang. Setelah diadakan perundingan dengan pemerintah pada tanggal 26 April 1957 akhirnya studio dibuka kembali. Namun kondisinya tidak seperti dulu dan kondisi perfilman nasional menjadi lumpuh. Hasil negoisasi dengan pemerintah berupa janji pemerintah akan adanya kementerian khusus untuk membina para insan film baru dipenuhi pemerintah 7 tahun setelahnya.

 Pada masa bersamaan sekitar tahun 1957 kondisi politik di Indonesia didominasi golongan komunis PKI atau sering disebut golongan kiri. Golongan kiri juga ingin menguasai dunia perfilman kala itu. Mereka mendirikan Sarfubis (Sarikat Buruh Film dan Sandiwara) namun kelompok ini tidak efektif di pasaran. Kala itu juga terjadi pertikaian antara PARFI dan golongan kiri. Usmar Ismail  dan Djamaludin Malik sangat antipati dengan komunis. Sementara golongan kiri mengganggap kematian film nasional disebabkan impor film Amerika ke Indonesia. Golongan kiri juga menuduh Usmar Ismail sebagai agen Amerika. Walaupun kondisi perfilman Nasional semakin krisis, beberapa film masih diproduksi. Usmar Ismail pada tahun 1956 mengarahkan Tiga Dara(1957) yang dirilis setahun setelahnya.

Pada tahun 1960-an dunia perfilman di Indonesia pecah menjadi dua blok, yakni golongan Usmar dan rekan-rekannya dengan golongan kiri. Pada tahun 1962, Djamaludin Malik yang telah bebas dari penjara, menyelenggarakan FFI yang kedua serta mendirikan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) dengan Ketua Umum Usmar Ismail. Film-film populer yang muncul di masa pelik ini antara lain Pedjoang (1960) dan Anak-anak Revolusi (1964) karya Usmar Ismail. Pada tahun 1961, Pedjoang mendapat penghargaan pemeran pria terbaik (Bambang Hermantpo) di ajang Festival Film International di Moskow. Film fenomenal lainnya adalah Pagar Kawat Berduri (1961) dan Tauhid (1964) karya Asrul Sani. Golongan kiri menuntut agar film Pagar Kawat Berduri (1961) ditarik dari peredaran, karena dianggap dapat membuat orang bersimpati pada Belanda. Lalu juga ada Piso Surit (1960) dan Violtta (1962) karya Bahctiar Siagian, serta Matjan Kemayoran (1965) karya Wim Umboh.

Pada tahun 1964 untuk pertama kalinya diadakan Festival Film Asia Afrika (FFAA) di Jakarta. Golongan kiri yang menguasai seluruh kepanitiaan FFAA mencetuskan berdirinya PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika). Tujuan PARFIAS adalah melarang beredarnya film-film produksi Amerika dan sekutunya di bioskop-bioskop Indonesia. Kondisi ini membuat bioskop-bioskop lokal dipenuhi film-film asing dari Rusia, Eropa Timur, dan RRC. PARFIAS sendiri juga tak mampu menggangkat perfilman Indonesia, sehingga kondisi bioskop kala itu sepi pengunjung.

Setelah PKI ditumpas,kondisi industry film kita sedang mati suri maka untuk mengangkat perfilman nasional, sejak tahun 1967, kementerian penerangan mulai bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya. Hasilnya, film-film lokal bergairah kembali. Tahun 1967, Wim Umboh memproduksi film berwarna Indonesia pertama yang berjudul Sembilan (1967) yang diproduksi dengan biaya sangat tinggi. Tahun 1969 pemerintah juga memproduksi film-film percontohan yang diharapkan dapat mengangkat perfilman nasional, seperti Apa Jang kau Tjari Palupi?(1969) karya Asrul Sani, Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) karya Lilik Sudjio, Mat Dower (1969) karya Nya Abbas Acup, Nyi Ronggeng (1969) dan Kutukan Dewata (1969) karya Alam Surawidjaya. Hasilnya ternyata cukup positif, pada tahun 1969 produksi film hanya 9 judul, tahun 1970 meningkat menjadi 20 judul, dan tahun 1971 meningkat menjadi 52 judul. Awal tahun 70-an, tokoh-tokoh film nasional seperti Usmar Ismail dan Djamaludin Malik telah tiada. Djamaludin Malik meninggal pada Juni 1970 dan tak lama kemudian Usmar Ismail juga berpulang.

Tahun 1970 muncul desakan kepada pemerintah dari industri perfilman agar sensor terhadap film Indonesia dilonggarkan seperti perlakuan pada film-film impor. Maka muncul film-film yang memasukkan unsur erotisme seperti Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) dan Bernafas Dalam Lumpur (1970). Kedua film yang juga telah diproduksi berwarna ini ini merupakan pelopor dari film-film yang mengutamakan adegan berbau seksual dan penuh dengan adegan aksi yang kejam. Namun pada akhir tahun 1972, Badan Sensor Film kembali bersikap tegas terhadap film-film yang berbau seksual.

Sutradara Teguh karya memulai debutnya melalui Wadjah Seorang Lelaki (1971). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Teguh adalah seorang sutradara teater yang kelak menjadi sutradara berpengaruh di era 1980-an. Sementara sineas kawakan lainnya, Wim Umboh memproduksi film Pengantin Remadja (1971) yang sukses secara komersil. Pada Tahun 1973 dipelopori oleh Sumardjono diselenggarakan kembali FFI yang sempat vakum beberapa tahun. Hingga tahun 1980-an pemenang FFI masih didominasi oleh sineas-sineas seperti Wim Umboh, SyumanDjaya, Teguh Karya, serta Asrul Sani. Namun pada era ini juga sudah muncul sutradara-sutradara muda seperti, Ismail Subardjo, Slamet Raharjo, dan Franky Rorempandey. Film-film yang populer tahun 70-an diantaranya Ratapan Anak Tiri (1973), Bing Slamet  Koboi Cengeng (1974), Karmila (1976) serta, Inem Pelayan Sexy (1977).

Era 1980-1999

Pada era 1980-an hingga awal 1990-an film-film yang paling populer masa ini adalah film-film komedi slapstick yang dibintangi oleh grup lawak legendaris, Warkop DKI, yakni Dono, Kasino, Indro seperti Mana Tahaaan.. (1979), Setan Kredit (1981), Tahu diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu dong (1989). Dengan gaya banyolan yang unik dan konyol, Warkop telah memproduksi lebih dari 30 film dan hampir seluruhnya sukses komersil. Pada masa ini juga populer genre horor yang dipelopori sang ratu horor, Suzanna, seperti, Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Film aksi fantasi sejarah, Saur Sepuh: Satria Madangkara (1987), yang diadaptasi dari sandiwara radio populer juga sukses besar dengan empat sekuelnya. Aktor laga, Barry Prima juga sukses dengan film aksi sejenis melalui Jaka Sembung (1981) dengan tiga sekuelnya. Sementara film remaja Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexanderd dan Meriam Bellina, juga sukses besar dengan empat sekuelnya.

Sementara itu muncul pula film-film drama berkualitas dari sutradara-sutradara berpengaruh pada masa ini seperti, Doea Tanda Mata (1984) karya Teguh Karya, Matahari-Matahari (1985) karya Arifin C Noer, Tjoet Nyak Dien (1986) karya Eros Djarot, Kodrat (1986), karya Slamet Rahardjo Djarot, Kejarlah daku Kau Kutangkap (1985) karya Chaerul Umam, serta Nagabonar (????) karya Deddy Mizwar. Sementara Pengkhianatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer yang merupakan film propaganda fenomenal, menjadi film terlaris era 80-an dan kelak selalu diputar di televisi nasional tiap tahunnya selama era Orde baru.

Dimulai awal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an kondisi perfilman Indonesia mati suri dengan menurunnya jumlah produksi film nasional terutama sekali karena munculnya TV swasta di akhir era 80-an. Sejak Tahun 1993, FFI tidak lagi diselenggarakan karena minimnya produksi. Di tengah kondisi serba sulit ini sejak awal 90-an hingga tahun 1997, muncul film-film erotis berkualitas rendah yang mengeksploitasi seks semata dengan judul-judul yang bombastis, sebut saja macam Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993), Gairah Malam (1993), Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995), Akibat Bebas Sex (1996), Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).  

Namun film-film drama berkualitas masih muncul seperti seperti Taksi (1990) Arifin C Noer, Sri (1997)sutradara MarselliSumarno, Telegram (1997) karya SlametRaharjo Djarot, serta Badut-Badut Kota (1993) karya Ucik Supra. Garin Nugroho juga memulai debutnya dengan film-filmnya seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1990), Daun di Atas Bantal (1997), dan Puisi Tak Terkuburkan (1999). Dewan Film Nasional juga membiayai Bulan Tertusuk Ilalang (1994) karya Garin Nugroho dan Cemeng 2005 (1995) karya sutradara N. Riantiarno untuk menggairahkan kembali perfilman nasional seperti yang telah dilakukan pada era 60-an silam. Sementara dari kalangan sineas independen, muncul sineas-sineas intelek muda yang kelak berpengaruh pada dekade mendatang seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Acnas dengan memproduksi Kuldesak (1997).

Era 2000 - Sekarang

Pasca reformasi dianggap sebagai momentum awal kebangkitan perfilman nasional. Momen ini ditandai melalui film musikal anak-anak Petualangan Serina (1999) karya Riri Reza serta diproduseri Mira Lesmana yang sukses besar di pasaran. Selang beberapa tahun diproduksi dua film fenomenal yang sukses luar biasa yang selanjutnya memicu produksi film-film lokal. Pertama adalah film horor Jelangkung (2001) karya sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani dan kedua Ada Apa Dengan Cinta? (2001) karya Sutradara Rudi Soedjarwo yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan Riri Reza. AADC sukses fenomenal hanya dalam tiga hari diputar di Jakarta film ini telah meraih 62.217 penonton. Dua film ini dianggap sebagai film pelopor yang nantinya banyak bermunculan puluhan film-film dengan tema dan genre yang sama. Film bertema remaja dan film horor bahkan hingga kini masih membanjir dan laris di pasaran.

Mengikuti sukses AADC film-film roman dan melodrama remaja bermunculan dan tak jarang menggunakan bintang muda, penyanyi atau grup musik yang tengah naik daun. Film-film roman remaja yang populer antara lain Eiffel I�m in Love (2003) karya Nasri Ceppy, Heart (2005), Inikah Rasanya Cinta? (2005), Love in Perth (2010), Purple Love (2011), Love is U (2012). Sineas Nayato Fio Fuala dikenal juga memproduksi film-film melodrama yang menyayat hati antara lain Cinta Pertama (2006), The Butterfly (2007), serta My Last Love (2012). Melalui Virgin (2004) film remaja mulai berani mengambil tema-tema yang dianggap tabu sebelumnya.

Genre horor mendominasi pasar melalui film-film horor remaja yang umumnya mengambil cerita mitos atau legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker yang menampilkan makhluk-makhluk gaib khas lokal, seperti kuntilanak, pocong, genderuwo, suster ngesot, tuyul, dan sebagainya. Pengaruh horor Jepang juga seringkali tampak dan tak jarang pula memasukkan unsur erotisme sebagai bumbu. Beberapa film horor populer diantaranya, Tusuk Jelangkung (2002), Kuntilanak (2006), Terowongan Casabanca (2007), Tali Pocong Perawan (2008), serta Suster Keramas (2009). Bahkan Suzanna, sang ratu horor pun masih sempat bermain dalam Hantu Ambulance (2008). Selain film-film horor bermunculan film-film slasher ala barat seperti Rumah Dara (2010), Air Terjun Pengantin (2009), Pintu Terlarang (2009), hingga yang terbaru Modus Anomali (2012). Genre horor juga sering dipadukan dengan genre komedi, seperti Setan Budeg (2009), Poconggg Juga Pocong (2011), dan Nenek Gayung (2012).

Selain film roman dan horor, film bergenre komedi juga juga sukses besar di pasaran. Film ini rata-rata juga ditujukan untuk penonton remaja dan beberapa diantaranya berkualitas baik. Dalam perkembangan film komedi yang berbumbu seks juga semakin banyak diproduksi. Film-film komedi yang populer dan sukses diantaranya Arisan! (2003) serta sekuelnya yang rilis tahun lalu, Get Married (2007) dengan dua sekuelnya, Get Married 2(2009), dan Get Married 3 (2011), Sekuel Nagabonar, yaitu Naga Bonar jadi 2 (2007), Quickie Express (2007), XL :Extra Large(2008) serta Otomatis Romantis(2008).  

Film anak-anak diproduksi tidak sebanyak film roman dan horor namun film bertema ini seringkali sukses besar di pasaran. Film umumnya berkisah tentang perjuangan seorang anak atau sekelompok anak-anak untuk menggapai impian dan cita-citanya. Film-film anak-anak yang populer antara lain Denias, Senandung di Atas Awan (????) karya John De Rantau. Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) karya Riri Reza diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi (2008) menjadi film terlaris di Indonesia dengan penonton mencapai 4.606.785. Film anak-anak tidak jarang pula dipadukan dengan genre olah raga, seperti Garuda di Dadaku (2009), King (2009), dan Tendangan Dari Langit (2011). Industri perfilman kita melakukan terobosan dengan memproduksi film animasi musikal melalui Meraih Mimpi (2009).

Film-film bergenre drama juga banyak muncul yang biasanya berkisah tentang perjuangan hidup, perncarian eksistensi diri, nilai-nilai moral, dan dan masalah sosial. Beberapa diantaranya berkualitas sangat baik dan sukses di beberapa ajang festival film intersnasional. Film-filmnya drama populer diantaranya Cau Bau Kan (2001) dan Berbagi Suami (2006) yang keduanya karya sutradara Nia Dinata, lalu Pasir Berbisik (2000) dan The Photograph (2007) karya Nan Achnas, Eliana, Eliana (2002), 3 hari untuk Selamanya (????), dan Gie (2004) karya Riri Reza, Mengejar Matahari(2004) karya Rudi Soedjarwo, Surat Kecil Untuk Tuhan (2011), dan pemenang Citra tahun lalu Sang Penari (2011) karya Ifa Irfansyah.

Film bertema religi Kiamat Sudah Dekat (2003) karya Deddy Mizwar memang sukses komersil namun adalah Ayat-ayat Cinta (2008) karya Hanung Bramantyo yang mengangkat genre religi menjadi populer hingga sekarang. Film religi kental sekali dengan nuansa agama (muslim) dan kisahnya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang pula dibumbui unsur roman. Film-film religi populer seperti Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Dalam Mihrab Cinta(2010), Tanda Tanya (2011), hingga film religi anak-anak, Negeri 5 Menara(2012). Film religi juga mengangkat kisah tokoh agama seperti Sang Pencerah (2010) dan yang baru dirilis Soegija (2012). Sementara Cin(T)a (2009) serta 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)  mengangkat tema masalah beda agama.

Genre aksi baru mulai populer akhir dekade 90-an dan seringkali berpadu dengan tema kriminal dan perang, seperti Serigala Terakhir (2009), Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), Merantau (2009), serta yang baru saja rilis The Raid (2012). The Raid bahkan sukses dirilis luas di Amerika dan sempat masuk 11 besar box office mingguan disana. Selain sukses secara komersil film ini juga sukses secara kritik karena adegan aksinya yang dikoreografi secara menawan. Film ini merupakan sejarah bagi kita karena sukses komersil di mancanegara hingga menjadi perbincangan banyak media dan pengamat film di dunia.

Sedangkan dari para pembuat film non mainstream (non komersil) muncul pula film-film alternatif. Beberapa diantaranya abstrak, kompleks, dan ceritanya sulit dipahami orang awam. Tema film yang diangkat biasanya merupakan kritik dan respon terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik di negara ini. Garin Nugroho adalah satu diantara sineas yang memilih di jalur ini, dan seringkali justru film-filmnya mendapat apresiasi di festival-festival luar negeri. Film-filmnya seperti Opera Jawa (2006), Under the Tree(2008), Generasi Biru (2008), serta Mata Tertutup (2012). Juga film-film semi abstrak seperti Novel Tanpa Huruf R(2003) dan Identitas (2009) karya Aria Kusumadewa.

Setelah vakum selama duabelas tahun, Festival Film Indonesia akhirnya mulai diselenggarakan kembali pada tahun 2004. Peraih Citra tahun 2006, Ekskul (2006) membuat kontroversi dengan menggunakan ilustrasi musik film-film populer barat seperti Gladiator,Bourne Supremacy,Taegukgi, dan Munich. Sebagai bentuk protes, para peraih Piala Citra tahun tersebut seperti Riri Reza, Mira Lesmana, dan lainnya melakukan aksi pengembalian Piala Citra. Mereka pulalah yang membentuk festival film tandingan, yakni IMA (Indonesian Movie Award) yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2007.

Dari sedikit penjelasan diatas terlihat perkembangan perfilman Indonesia dari masa ke masa yang dinamis. Hingga saat ini sinema kita masih berjuang mencari bentuknya menuju industri film yang lebih mapan. Secara rata-rata, kualitas kita masih dibawah industri film negara Asia lainnya seperti Jepang, Hong Kong, Korea, bahkan Thailand. Secara teknis kita tidak kalah namun dari aspek cerita kita masih sangat lemah. Para sineas kita masih harus lebih banyak belajar dan jeli mencari celah untuk bisa bersaing dengan film-film dari negara lain. Sukses The Raid bisa menjadi secercah harapan, bukan hal yang mustahil film kita bisa menembus pasar internasional.

Agustinus Dwi Nugroho


         

Darah dan Doa


Perpaduan Teknik Sinematografi dengan Kekuatan Tema 

Tahun:  1950
Sutradara : Usmar Ismail
Produser : Perfini (Usmar Ismail) / Spectra Film Exchange
Penulis Naskah : Usmar Ismail  / Sitor Situmorang (Cerita)
Pemain : Del Juzar / Farida (Lily Handuran) / Aedy Moward / Sutjipto
Ilustrasi Musik : GRW Sinsu (Tjok Sinsu)
Sinematografi : Max Tera
Editing : Max Tera
Penata Artistik: Basuki Resobowo
Penata Suara: Sjawaludin
Durasi : 128 min

Darah dan Doa (The Long March) adalah sejarah bagi perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama yang diproduksi studio film lokal setelah Indonesia merdeka, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting film ini, yakni 30 Maret, ditetapkan pemerintah sebagai Hari Film Nasional.  Film ini sendiri adalah film drama perang yang berlatar era aksi polisionil Belanda di akhir dekade 40-an lebih khususnya aksi long march pasukan divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Perang yang mereka hadapi tidak hanya dengan Belanda namun juga para pemberontak. Kisah berpusat pada karakter Kapten Sudarto (Del Juzar) yang memimpin divisi bersama sohibnya, Adam.

                Sisi manusiawi kisahnya terfokus pada karakter Sudarto ketika dalam situasi dan kondisi serba genting, ia justru disibukkan dengan urusan pribadinya. Sepanjang perjalanan ia berhubungan asmara dengan dua orang gadis, pertama adalah gadis asing keturunan Jerman, dan satu lagi adalah Widya, seorang perawat, padahal ia sudah beristri. Polah Sudarto selalu membuat geram Adam yang membuat suasana tidak kondusif karena selalu menjadi gunjingan anak buahnya. Dalam sebuah aksi pertempuran Sudarto kehilangan orang-orang yang terdekatnya. Sudarto pun sadar bahwa ia melakukan kesalahan.

Separuh awal kisahnya boleh jadi memang sedikit membosankan karena kaburnya fokus cerita. Posisi geografis lokasi cerita hampir tak pernah jelas karena tidak pernah dipaparkan secara gamblang. Namun arah cerita mulai jelas setelah separuh cerita dengan akhir yang amat mengejutkan. Film ini intinya menyinggung keras perpecahan antar satu bangsa yang kala itu menjadi isu besar. Sesama anak bangsa membunuh satu sama lain atas nama kelompok dan dendam.

                Dari sisi teknis memiliki kekuatan terutama dari aspek sinematografi. Teknik-tekniknya banyak mengingatkan pada gaya sineas Jepang kawakan, Kenji Mizoguchi yang kaya pergerakan kamera, komposisi yang kuat, penggunaan long take, serta jarang sekali menggunakan close up. Satu shot di adegan akhir adalah satu contoh sempurna dengan motif yang kuat. Penggunaan setting studio terlalu artifisial berbalik dengan penggunaan shot on location-nya yang menampilkan panorama alam perbukitan yang indah. Sementara dari sisi akting bagi penonton masa kini bisa jadi dialog dan akting para pemainnya terlihat sangat kaku. Para pemain layaknya menghafal dialog tanpa ekspresi yang sepatutnya. Mungkin jika menggunakan bahasa daerah setempat (Sunda dan Jawa) seperti dalam beberapa adegan, film ini bisa lebih baik. 

Darah dan Doaadalah contoh sebuah film kita yang kuat secara tema dan masih relevan hingga kini. Pada penutup filmnya sang kapten berpesan dengan terbata-bata, �Jangan diulangi lagi, biar aku saja� seolah ia berbicara pada kita (penonton) sebelum ia jatuh mencium tanah. Pertumpahan sesama anak bangsa cukup disudahi momen ini saja dan tak perlu ada lagi. Namun sejarah membuktikan pesan ini ternyata hanya angan-angan dan mimpi belaka.

Himawan Pratista

Malam Satu Suro

Suzanna dan Tradisi Horor Lokal

Tahun : 1988   
Studio : Inter Pratama Studio
Sutradara : Sisworo Gautama Putra
Produser : Ram Soraya
Penulis Naskah : Naryono
Pemain : Suzzanna / Fendy Pradhana
Penata Suara  : Endang Dharsono
Sinematografi  : Subakti LS
Editing  : Muryadi
Durasi  : 86 mnt

Film ini berkisah tentang sundel bolong yang dirubah wujudnya menjadi manusia oleh dukun bernama Ki Renggo. Manusia jadi-jadian itu adalah wanita bernama Suketi (Suzzanna). Suketi diangkat  anak oleh Ki Renggo dan tinggal di tengah-tengah Hutan Alas Roban. Nuansa mistik yang menggabungkan unsur tradisi dan kepercayaan Jawa sudah mulai tampak sejak pembuka filmnya. Suatu hari dua pemuda yang berburu di tengah hutan secara tak sengaja bertemu dengan Suketi. Salah satu pemuda bernama Bardo (Fendy Pradhana) tertarik dengan kecantikan Suketi dan ia pun meminangnya. Mereka akhirnya menikah tepat pada malam satu Suro. Suketi dibawa Bardo ke kota dan mereka hidup bahagia degan memiliki dua orang anak. Cerita mulai berubah ketika ada seorang rival bisnis Bardo yang ingin menjatuhkan karirnya. Mereka datang ke seorang dukun dan akhirnya mengetahui bahwa Suketi ternyata adalah sundel bolong.

Sekalipun bergenre horor namun unsur drama filmnya sangatlah kuat. Cerita film bergerak dengan cepat, walau banyak informasi yang tak jelas namun logika cerita masih bisa terjaga. Sejak awal hingga pertengahan, cerita filmnya enak dinikmati, namun beberapa adegan yang sama sekali tak perlu merusak mood filmnya. Sejak Suketi berubah kembali menjadi arwah gentayangan cerita film menjadi kehilangan fokus dan terkesan kehabisan akal untuk mengembangkan cerita. Suketi gentayangan kesana-kemari dan menakut-nakuti penjual bak pao serta lainnya. Memang ini dimaksudkan menjadi bumbu komedi namun bukankah Suketi mestinya balas dendam pada orang-orang yang telah menganiaya keluarganya. Adegan pembalasan Suketi yang ditunggu-tunggu penonton tak mampu digali lebih dalam dan sama sekali tidak ada gregetnya. Potensi horor yang diharapkan sama sekali tak muncul. Namun tercatat adegan akhir yang menyentuh ketika arwah Suketi mengunjungi keluarganya, bermain piano sambil menyenandungkan sebuah lagu seperti kebiasaannya dulu sebagai salam perpisahan  pada suami dan anaknya.

Beberapa pencapaian teknis juga cukup istimewa. Melalui montage sequence yang menyentuh mampu menampilkan kebahagiaan keluarga Bardo dengan iringan lagu Selamat Malam yang bawakan sendiri oleh Suketi. Lagu Selamat Malam ciptaan Vina panduwinata yang menyentuh ini mampu memperkuat unsur dramatik cerita filmnya. Satu lagi teknik editing adalah superimpose yang digunakan ketika Suketi berubah menjadi manusia maupun sebaliknya, mampu memberikan efek yang sangat menakutkan. Kostum dan rias wajah karakter sundel bolong sangatlah meyakinkan. Suzanna memang seperti terlahir untuk memerankan karakter ini.  Sayang sekali, setting suasana mistis hanya terbagun pada awal film, pada adegan-adegan yang seharusnya membutuhkan suasana horor dan nuansa mistik justru malah tak tampak.

Kita patut mengapresiasi bahwa kita pernah memiliki film horor seperti ini. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan, kita menerimanya sebagai bagian sejarah perfilman kita. Horor tidak melulu harus aksi menakutkan namun bisa menampilkan aspek drama yang kuat. Harus kita akui pula, Suzzanna adalah aktris tipikal film horor yang sangat berkarakter dan fenomenal dalam sepanjang sejarah sinema kita. Sejauh ini belum ada aktris kita yang mampu menggantikannya.

Agustinus Dwi Nugroho