Jumat, 26 Mei 2000

Indiana Jones 4, Sekuel Indy yang Terburuk

26 May 2008 1:49 AM
Siapa pun tahu seri Indiana Jones pertama, Raiders of The lost Ark (1981) adalah film petualangan terbaik sepanjang masa yang sulit dicari tandingannya. Seri kedua, The Temple of Doom (1984) dan ketiga, The Last Crusade (1989) walau tidak sebaik seri pertama namun masih memiliki perpaduan antara elemen aksi, ketegangan, misteri, serta komedi yang sangat prima. Lantas bagaimana seri keempat film petualangan Indy ini? Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull (2008) disutradarai kembali oleh Steven Spielberg dan masih pula dibintangi aktor Horison Ford yang kini telah gaek. Karater Marion Ravenwood yang muncul pada seri pertama kali ini kembali dihadirkan dan masih diperankan oleh Karen Allen. Bintang muda yang tengah naik daun, Shia LeBeouf bermain sebagai putra Marion. Sementara aktris kawakan Cate Blanchett mendapat peran antagonis
.
..

Cerita film kali ini mengambil latar era perang dingin antara Amerika dan Rusia pada era 1950-an. Dikisahkan satu pasukan khusus Rusia yang dipimpin wanita dingin, Irina Spalko, si tangan kanan Stalin, berusaha mencari senjata rahasia untuk bisa menancapkan bendera �ideologi� komunis di Amerika. Indy dengan ditemani si bocah brandal Mutt dan ibunya, Marion, terlibat dalam petualangan seru mencari rahasia dibalik tengkorak kristal yang ditemukan oleh rekannya, Oxley. Indy bersama rekan-rekannya harus segera membongkar rahasia tengkorak kristal tersebut sebelum pihak Rusia lebih dulu mendapatkannya.

Film dibuka begitu manis dengan latar lagu Hound Dog yang dinyanyikan Elvis, mengiringi aksi sekawanan muda-mudi yang tengah memacu mobilnya dan menantang seiringan mobil konvoi militer untuk beradu cepat. Aksi berlanjut di areal gudang militer rahasia dimana Indy yang ternyata disekap oleh pihak Rusia dipaksa untuk mencari sebuah artefak. Aksi seru berikutnya memperlihatkan bagaimana Indy mampu meloloskan diri dari pihak musuh dan bahkan uji coba bom atom. Sekuen pembuka ini ditutup oleh shot yang begitu memesona memperlihatkan sosok Indy yang berdiri tegap dengan latar (cendawan) ledakan bom atom.

Sungguh mengecewakan karena hanya pada sekuen awal inilah satu-satunya nilai lebih film ini. Aksi-aksi Indy sentuhan khas Spielberg seperti aksi kejar-kejaran, tembak-menembak, aksi cemeti, hingga aksi perkelahian ditampilkan begitu mengesankan dalam satu sekuen utuh. Ford yang usianya telah uzur diluar dugaan masih mampu bermain energik sebagai Indy nyaris sama baiknya dengan seri pendahulunya. Bom atom yang meletus di akhir sekuen seolah mengisyaratkan jika plot-nya berhubungan dengan senjata nuklir, namun pada kenyataannya tidak. Dan terus terang hingga akhir cerita pun penulis tidak 100% mengerti, apa sebenarnya yang ingin dicari pihak Rusia. Pihak Rusia malah melewatkan begitu saja artefak Ark of the Covenant (pada satu shot terlihat di balik peti) yang dulu dicari mati-matian oleh pihak Nazi pada seri pertama Indy. Dari penggunaan ilustrasi musik �ark� sewaktu pintu gudang rahasia dibuka, Spielberg juga sempat mengecoh kita seolah yang mereka cari adalah artefak tersebut.

Kelemahan utama film ini jika dibandingkan dengan seri sebelumnya adalah tidak adanya sesuatu yang baru dalam plotnya (sekilas mirip plot National Treasure 2). Dalam beberapa kasus bahkan plot dipaksakan tanpa ada alasan yang jelas. Pada sekuen pembuka digambarkan pihak Rusia telah mendapatkan tengkorak kristal namun pada sekuen di Peru (di makam tua), tidak jelas mengapa tengkorak tersebut bisa ada di sana? Padahal dikisahkan tengkorak kristal tersebut hanya terdapat sebuah saja� dan mengapa pula pihak Rusia meletakkannya di sana?... Lantas apa sebenarnya inti tujuan film ini? Tak jelas, apa yang sebenarnya mereka cari dan apa tujuannya? Apakah kota Eldorado yang hilang? Harta karun? Emas? Senjata �pengubah mental� masal? Atau apa? Di akhir kisahnya, Indy mengatakan bahwa harta karun sejatinya adalah bukan emas melainkan pengetahuan. Lho� pengetahuan tentang apa? Abstrak sekali.. ahh sudahlah� sungguh melelahkan. Entahlah, bisa jadi hanya penulis kurang mencermati cerita namun pastinya kelemahan seperti ini tidak terdapat dalam seri sebelumnya. Pada seri-seri sebelumnya, artefak yang dicari sangat jelas dan sungguh-sungguh meyakinkan kita jika artefak tersebut seolah nyata.

Sama seperti plot-nya beberapa aksi pun kadang tampak dipaksakan namun tetap saja amat sangat menghibur. Ketrampilan Spielberg untuk mengolah adegan aksi seru menegangkan dengan bumbu komedi tidak perlu kita ragukan. Seperti aksi seru kejar-kejaran motor-mobil di areal kampus mampu ditampilkan begitu mengasyikkan untuk ditonton. Aksi seru kejar-kejaran truk di hutan sekalipun tampak berlebihan juga disajikan begitu menawan dan sangat menghibur. Spielberg bernostalgia dengan memadukan elemen-elemen sekuen aksi di Raiders of Lost Ark (aksi kejar-kejaran truk di Mesir) dan juga di Temple of Doom (aksi kejar-kejaran kereta di dalam tambang). Beberapa adegan aksi juga tampak begitu memaksa, seperti ketika Indy dan Marion yang jatuh ke dalam pasir hisap. Semua aksi itu dilakukan hanya berujung untuk memberikan informasi pada kita jika Mutt adalah putra dari Indy dan Marion.


Sosok Indiana Jones masih menjadi kunci kekuatan utama film ini. Horison Ford pada usia senja kembali bermain gemilang sebagai sosok Indy yang heroik dan pantang menyerah. Chemistry antara Indy dan Marion pun nyaris sama baiknya seperti pada seri pertama. LeBeouf yang berperan sebagai Indy Junior juga mampu mengimbangi akting Ford dengan baik. Sementara Blanchet mampu menarik perhatian melalui karakter Irina Spalko yang dingin dengan aksen Rusia yang khas. Sayang karakter antagonis pendamping (bawahan Spalko) bersama para tentaranya berkesan hanya tempelan (sekedar memeriahkan suasana) dan tidak sekuat seri sebelumnya. Karakter Prof. Oxley (John Hurt) serta Mac (Ray Winstone) sebagai karakter si �perusak pesta� juga tampil tanpa fungsi yang signifikan. Terakhir dukungan musik tema Indiana Jones yang �abadi� dari John Williams jelas juga menjadi kekuatan filmnya. Penonton bisa jadi masih tergiang-ngiang dengan musik tersebut berjam-jam lamanya setelah menonton filmnya. Namun sayang musik tema selain musik tema Indy (tengkorak kristal, pihak Rusia, dan lainnya) tidak sekuat seperti seri sebelumnya.

Terlepas dari plot yang lemah, film ini bisa dipastikan akan meraih sukses karena sekuen-sekuen aksinya yang sangat menghibur penontonnya. Penonton remaja yang belum sekalipun menonton seri sebelumnya dijamin akan sangat terpuaskan. Namun jika kita bandingkan dengan dua sekuel sebelumnya, Indiana Jones and the Kingdom of the Crystal Skull merupakan sekuel yang terburuk. Cukup nikmati saja filmnya tanpa perlu banyak dipikir! Just have some fun! (C+)

Sisi Humanis dalam Iron Man

26 May 2008 12:23 AM
Menyusul Spiderman, X-Men, Hulk, Daredevil, Electra, serta lainnya, akhirnya Iron Man, tokoh superhero tangguh Marvel yang ditunggu penggemarnya akhirnya dirilis juga. Seperti film superhero umumnya, Iron Man juga meraih sukses komersil luar biasa dengan meraih pendapatan kotor $300 juta pada peredaran seluruh dunia hanya dalam tiga minggu rilisnya saja. Film disutradarai oleh Jon Favreau serta dibintangi aktor-aktris kawakan seperti Robert Downey Jr., Gwyneth Paltrow, Terrence Howard, serta Jeff Bridges.


Seperti film superhero lazimnya, cerita film dibuka dengan menjelaskan latar-belakang kemunculan sang tokoh super. Dikisahkan Tony Stark (Downey) adalah seorang pengusaha multi bilyuner jenius yang bergerak di bidang produksi senjata militer. Digambarkan Stark adalah sosok yang begitu percaya diri, sombong, glamor, serta suka bersenang-senang dengan kaum hawa. Suatu ketika Stark pergi ke Timur Tengah untuk melakukan uji coba senjata misil ampuh ciptaannya. Dalam perjalanan pulang Stark tertangkap dan dibawa oleh pasukan tentara lokal untuk dipaksa merancang-ulang misil ciptaannya. Dengan bantuan rekan tahanannya, Yinsen, Stark justru membuat senjata rahasia berupa kostum besi untuk bisa keluar dari sana. Rencananya sukses namun dibayar mahal dengan kematian Yinsen. Sepulangnya dari Timur Tengah, Stark berubah menjadi seseorang yang sama sekali berbeda. Mendapati informasi jika senjata miliknya ternyata masih dijual ke Timur Tengah, Stark akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan sendiri melalui rancangan kostum besinya yang kini telah ia sempurnakan.

Seperti plot film superhero lazimnya nyaris tidak ada yang baru dalam Iron Man. Elemen cerita yang menarik justru pada sosok Tony Stark itu sendiri. Mungkin baru kali ini tokoh karakter superhero sebelum berubah adalah sosok yang tidak ideal perangainya, seperti halnya Peter Parker, Bruce Wayne, atau Bruce Banner yang cenderung kalem. Setelah mengalami pencerahan batin sikap Stark pun berubah drastis menjadi sosok yang lebih �manusiawi�. Hal ini juga tidak lepas dari pilihan kasting yang sempurna pada aktor Robert Downey Jr. yang begitu pas memerankan sosok Tony Stark. Karakter Stark yang memiliki pribadi keras, empati pada sesama, cerdas, sekaligus �nekat� tercermin sempurna dalam sosok sang aktor. Tidak berlebihan rasanya jika persona Robert Downey Jr. sebagai Tony Stark berhasil mendekati persona Christopher Reeves yang berperan sempurna sebagai Clark Kent.

Plot filmnya sendiri hanya menarik pada separuh durasi film dan selanjutnya cerita begitu mudah untuk ditebak. Nyaris sejak awal cerita pun karakter antagonis sudah bisa diduga. Agak aneh malah tokoh antagonis (Raza) di Timur Tengah yang awalnya menjadi sorotan utama demikian mudahnya bergeser ke sosok Obadiah. Agak disayangkan karakter tersebut disingkirkan demikian mudah dan cepatnya. Sekuen pertempuran klimaks rasanya sudah sulit untuk dinikmati karena jelas bagaimana mungkin sang pencipta bisa dikalahkan oleh ciptaannya sendiri. That�s just the way it should be

Sekuen aksi dengan dukungan penuh efek visual (CGI) kembali menjadi nilai hiburan utama film ini. Kostum unik Iron Man yang tidak seperti kostum superhero lazimnya mampu ditampilkan begitu nyata dan meyakinkan. Sementara sekuen aksi seru ketika Iron Man diburu dua pesawat jet yang disajikan begitu realistik rasanya sulit dicari tandingannya. Demikian pula aksi Iron Man di wilayah Timur Tengah ketika melawan para tentara dan sebuah tank. Sementara sekuen aksi klimaks yang seharusnya menjadi andalan justru tampak tidak istimewa dan tak ubahnya seperti pertarungan para robot dalam Transformers.

Selain penampilan memukau Downey Jr., akting para pemain lainnya terbilang dibawah rata-rata. Paltrow tidak membutuhkan energi banyak untuk memerankan karakter Pepper Potts dan lebih sebagai pemanis belaka. Demikian pula Bridges sebagai si jahat Obadiah, tata rias wajah (jenggot) dan kepalanya yang plontos jauh lebih membangun image �jahat�nya ketimbang aktingnya sendiri. Karakter Kolonel Rhodes yang diperankan Terrence Howard adalah sungguh yang paling mengecewakan. Agak mengherankan kenapa mesti mengkasting aktor sekelas Howard untuk sekedar memainkan karakter ringan dan lemah seperti ini. Justru Shoun Toub yang bermain sebagai Yinsen mampu bermain kuat dan berkesan ketimbang para pemain pendukung lainnya.

Sisi lain yang menjadi perhatian penulis adalah keberpihakan �politik� Hollywood terhadap sikap anti-perang serta menanggapi isu sentimen negatif terhadap warga Timur Tengah (khususnya kaum Arab) setelah tragedi 11/9. Film-film produksi Hollywood sebelumnya seperti Crash, The Kite Runner, Rendition, Babel, dan banyak lainnya telah menunjukkan tendensi tersebut. Namun film-film tersebut adalah film-film drama berkualitas tinggi yang notabene bukan film komersil (baca: film unggulan musim panas). Penulis untuk sesaat merasa trenyuh (baca: terharu) ketika sosok �sebesar� Iron Man turun langsung ke bumi Timur Tengah untuk menolong penduduk yang teraniaya. Sang jagoan di saat-saat genting mampu menyelamatkan ayah si bocah. Sang bocah pun menatap sang manusia besi dengan sorot mata yang penuh rasa kagum (dan harapan)�. ahh� sebuah pemandangan indah yang amat jarang tampak sepanjang sejarah medium film. That�s just the way a movie it should be� (B+)

Rabu, 24 Mei 2000

Kemenangan Lewis dan Elswit dalam There Will Be Blood

08 June 2008 1:49 AM

There Will Be Blood merupakan film drama western arahan Paul Thomas Anderson, sineas yang sebelumnya sukses dengan film-film berkualitas seperti Boogie Nigths, Magnolia, serta Punch Punch Drunk Love. Film ini sukses dalam ajang Academy Awards dengan raihan dua Oscar untuk aktor pria utama terbaik (Daniel Day-Lewis), sinematografi terbaik (Robert Elswit), serta enam nominasi lainnya. Naskah filmnya diadaptasi lepas dari novel berjudul Oil! (1927) karya Upton Sinclair. Filmnya berkisah tentang perjalanan hidup seorang pengusaha minyak, yakni Daniel Plainview (Lewis) yang membangun �kerajaan minyaknya� dengan segala cara.

Tidaklah sulit untuk menilai kekuatan utama film ini disamping naskahnya yang sempurna yakni, performa prima dari Daniel Day-Lewis serta pencapaian sinematografi yang begitu memukau. Plot film hanya berpusat pada aktifitas pengeboran minyak di satu lokasi saja, yakni Little Boston, namun begitu efektif menggambarkan secara utuh bagaimana Daniel dengan tangan besi mengelola bisnisnya. Plotnya dengan rinci menjelaskan bagaimana Plainview menguasai kota kecil tersebut tahap demi tahap hingga ia akhirnya mampu menguras seluruh cadangan minyak di sana untuk masuk ke kantong pribadinya. Namun kesuksesan tersebut harus dibayar mahal dengan �darah� (pengorbanan) para pekerja, pemilik lahan, serta putra angkatnya yang semuanya sama sekali tidak ia pedulikan.

There Will Be Blood bisa dibilang adalah one man show, yaitu Daniel Day-Lewis seorang, yang bermain begitu kuat sebagai sosok Daniel Plainview. Lewis, sepertinya lebih pantas bermain sebagai karakter jahat ketimbang karakter baik-baik, seperti akting primanya dalam The Gangs of New York. Kali ini dalam Blood, Lewis juga tampil begitu ekspresif memerankan sosok pengusaha minyak yang ambisius. Sorot mata yang tajam, aksen serta gaya bicara yang lugas dan tegas dengan suara serak yang khas, begitu sempurna menggambarkan sosok Daniel Plainview yang keras. Nyaris sepanjang filmnya penampilan Lewis yang begitu ekspresif selalu membuat kita gemas dan kesal pada karakter Daniel yang berkepala batu. Namun pula pada momen tertentu, Lewis juga mampu membuat kita turut bersimpati dengan karakter ini, seperti ketika sang putra mengalami kecelakaan yang berakibat fatal pada indera pendengarannya, kehampaan jiwanya ketika ia mengingat impian masa mudanya bersama saudara palsunya, lalu saat Eli �membersihkan dosa� Daniel di gereja, lalu juga pada sekuen akhir saat ia mengingat kenangan indah bersama putranya di masa silam.

Sementara pencapaian sinematografi oleh sang sinematografer, Robert Elswit, tidak kalah mengesankan pula. Dalam beberapa tahun terakhir, tercatat amat jarang film yang memiliki pencapaian sinematografi sebaik ini. Film ini sedikit banyak mengingatkan pada film western The Unforgiven (1992, Clint Easwood) yang sama-sama memiliki kualitas sinematografi prima. Gelagat mulai tampak pada sekuen pembuka film yang berdurasi sekitar 15 menit tanpa satu dialog pun. Komposisi gambar tersaji begitu kuat dan indah, dan Elswit tampak menyukai berlama-lama dengan shot-nya (long take). Bahkan hingga panorama padang rumput yang tandus pun bisa tampak begitu indah. Tata sinematografi Elswit secara menyeluruh mampu bersinergi sempurna dengan tempo plotnya yang lambat.

Satu perpaduan teknik long take + tracking shot + panning yang sangat menawan tampak pada adegan ketika Daniel bertemu putranya kembali setelah belum lama berselang sang putra ia kirim paksa ke sekolah tuna rungu. Shot dibuka dengan satu tracking shot manis memperlihatkan para pekerja yang tengah memasang pipa, kamera lalu berhenti ketika Daniel memeluk putranya dalam jarak cukup jauh (extreme long shot). Kamera lalu panning ke arah kanan mengikuti Daniel dan putranya, dan ketika sang putra memukuli sang ayah, jarak kamera pun relatif masih jauh (long shot). Dalam satu shot yang begitu dramatik seperti ini kamera tidak sekalipun memperlihatkan ekspresi wajah (close up) baik Daniel maupun putranya. Satu shot yang bermakna dalam karena seperti kita ketahui hingga akhir kisahnya hubungan antara Daniel dan putranya tidak pernah dekat.

Beberapa keistimewaan lain film ini adalah permainan akting yang kuat dari aktor muda berbakat Paul Dano yang bermain begitu �menyebalkan� sebagai sang Nabi palsu. Demikian pula ilustrasi musik aneh yang �mencekam� dari Jonny Greenwood yang mampu dengan jitu mendukung nuansa �gelap� filmnya. Film juga ditutup dengan indah sesaat ketika Daniel selesai menghabisi nyawa Eli di ruang boling, �I�m Finished� ucap Daniel ketika ia menjawab sahutan pelayannya. Bagi Anda penikmat film sejati tentunya tidak mungkin melewatkan film drama berkualitas tinggi ini. (A-)