Senin, 15 Juni 2009

Dari mOntase

.
Pada edisi kali ini, kami masih membahas sineas berpengaruh, yakni sineas eksentrik, Tim Burton. Burton kita kenal melalui film-filmnya yang memiliki sentuhan artistik yang khas. Biografi Burton lengkap dengan ulasan beberapa filmnya kami bahas tuntas, seperti Ed Wood, Sleepy Hollow, dan Alice in Wonderland. Beberapa film lokal yang kita ulas di antaranya adalah Bahwa Cinta itu Ada serta Rumah Dara. Kami juga menyajikan artikel tentang perhelatan Academy Awards yang baru saja berlangsung serta para pemenangnya.

Tim Burton

Biografi dan Film-Filmnya

Timothy William Burton lahir pada tanggal 25 Agustus 1958 di Burbank, California, Amerika Serikat. Burton bukanlah seorang bocah yang pintar. Semasa kecil ia banyak menghabiskan waktunya untuk melukis, menggambar, dan menonton film-film klasik. Film horor adalah favoritnya dan aktor spesialis horor, Vincent Price adalah idola beratnya. Setelah lulus sekolah menengah atas di tahun 1976, Burton masuk ke California Institute of the Arts. Institut itu sendiri dibentuk oleh Studio Walt Disney yang memproduksi animator-animator film. Dalam tahun kedua, Burton telah masuk dalam program animasi Disney. Setelah lulus ia telah masuk dalam jajaran animator Disney.

Tercatat proyek pertamanya adalah film animasi panjang The Fox and the Hound. Burton mendapati dirinya sama sekali tidak menikmati profesinya. Ia sama sekali tidak dapat berkreasi. Disney lalu menempatkannya sebagai artis konseptual dimana ia mampu berkreasi dan menciptakan karakter (tokoh) film. Gaya animasi Burton yang unik mendapat perhatian khusus dari dua petinggi Disney. Kesempatan akhirnya datang, Burton diberi bujet untuk memproduksi film animasi pendek berjudul Vincent (1982). Film animasi stop-motion hitam-putih bergaya ekspresionis[1] ini merupakan penghormatannya terhadap idolanya, Vincent Price. Film ini mendapat pujian dari kritikus dan bahkan mendapat penghargaan festival film animasi di beberapa negara.

Sukses Vincent membawa Disney memberinya kesempatan lagi memproduksi kali ini film non animasi pendek hitam putih berjudul Frankenweenie (1984). Film berbujet $1 juta ini merupakan adaptasi lepas dari film horor klasik, Frankenstein. Filmnya berkisah tentang seorang bocah yang menghidupkan anjing kesayangannya yang mati tertabrak. Burton kali ini mulai menggali tema �after life� serta kembali mengadopsi gaya ekspresionis dalam beberapa adegannya. Diluar dugaan setelah rilis film ini, Burton dipecat studio Disney karena dianggap membuang-buang dana serta alasan lainnya karena film ini tidak pantas ditonton anak-anak.

Nasib buruk Burton rupanya tidak berlangsung lama. Frankenweenie rupanya menarik perhatian salah satu eksekutif Warner Bros. (WB) Film ini kemudian sampai ke tangan Paul Reubens yang sukses dengan acara televisi, The Pee Wee Herman Show. Reubens saat itu berniat membuat film panjang tentang Pee Wee dan merasa Burton adalah orang yang pas untuk menggarapnya. WB akhirnya membiayai seluruh filmnya dan terbukti ternyata mereka tidak salah dan ini merupakan awal kerjasama panjang antara WB dengan Burton.


Pee Wee�s Big Adventure (1985) tercatat merupakan debut film panjang pertama Burton. Filmnya berkisah tentang petualangan seorang pria kekanakan bernama Pee Wee Herman (Paul Reubens) yang mencari sepeda kesayangannya yang hilang. Dengan bujet minim terbukti ia mampu menggarap film ini dengan sentuhan serta imajinasinya yang unik. Untuk pertama kalinya, Burton juga merekrut komposer Danny Elfman yang merupakan awal dari kolaborasi panjang keduanya. Di luar dugaan film ini mendapat pujian dari para kritikus serta sukses besar secara komersil. Sukses ini kelak membawa Burton kembali dipercaya WB untuk menggarap proyek film selanjutnya.

Setelah sukses Pee Wee, Burton mendapat tawaran dari banyak pihak namun ia menolaknya karena naskahnya dianggap tidak sesuai untuk visi uniknya. Selama beberapa tahun ini Burton justru menggarap beberapa episode serial televisi yakni, seri Alfred Hitchcock Presents dan Faerie Tales Theatre. Akhirnya Burton tertarik dengan sebuah naskah unik yang dirasa cocok untuknya yang berjudul Beetlejuice. WB kembali mendukung penuh proyek ini dengan bujet sebesar $13 juta.

Beetlejuice (1988) merupakan film horor komedi fantasi yang unik. Film berkisah tentang suami istri yang tewas dan menjadi hantu di rumah mereka. Ketika penghuni rumah baru datang mereka meminta tolong seorang hantu pengusir manusia bernama Betelgeuse. Sentuhan khas Burton tampak mulai dari tema dan setting yang suram serta kaya efek visual. Kembali dengan bujet relatif kecil Burton mampu menyajikan sebuah tontonan yang segar dan unik secara visual. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Oscar untuk tata rias wajah terbaik. Sukses luar biasa ini membuat WB kembali memberi kepercayaan pada Burton untuk memproduksi adaptasi komik superhero yang telah direncanakan sejak lama.

Burton sebenarnya telah mempersiapkan naskah Batman (1989) sejak sukses Pee Wee namun ia baru mendapat lampu hijau dari WB setelah sukses tak terduga Beetlejuice. Banyak masalah masa pra produksi hingga produksinya, mulai dari kasting pemain, lokasi syuting, perubahan naskah, hingga membengkaknya bujet. Dengan bujet sebesar $48 juta Batman akhirnya rampung juga.

Burton membuat fenomena baru dengan membuat genre superhero menjadi lebih �gelap� baik dari sisi cerita, setting, tokoh dan sebagainya. Setting ekspresionis yang amat fantastik menjadi trademark filmnya dan sukses meraih Oscar untuk rancangan artistik terbaik. Michael Keaton yang semula diragukan bermain sebagai sosok Bruce Wayne justru bermain brilyan dan tentunya Jack Nicholson sebagai Joker. Film ini sukses luar biasa secara komersil dengan meraih lebih dari $400 juta di seluruh dunia. Batman pada masanya juga sukses menjadi fenomena budaya dan barang dagangan Batman laris dimana-mana. Sukses luar biasa Batman menjadikan Burton sebagai salah satu sutradara papan atas Hollywood dengan visinya yang unik.

Sukses komersil Batman tidak serta merta membuat Burton gelap mata. Naskah film Edward Scissorshand (1990) telah disiapkan Burton semasa produksi Beetlejuice. WB menolak naskah tersebut dan menjualnya ke 20th Century Fox. Fox bahkan memberikan kontrol penuh pada Burton menggunakan visi artistik sesuai seleranya. Film ini bisa dibilang adalah film personal Burton yang terinspirasi dari masa kecilnya yang kesepian. Sosok Edward digambarkan tidak bisa menyentuh segala sesuatu yang ia inginkan tanpa merusaknya. Kisah orisinil, sentuhan set ekspresionis, serta ilustrasi musik yang menghanyutkan dari Elman menjadikan film ini karya masterpiece Burton. Selain dipuji banyak pengamat, Edward juga sukses komersil, serta mengangkat pamor Johnny Depp dan Winona Ryder. Film ini merupakan awal kolaborasi panjang antara Depp dengan Burton.

Sekalipun awalnya keberatan, Burton akhirnya menerima tawaran WB untuk membuat sekuel Batman dengan syarat ia mendapat kontrol penuh dalam produksinya. Dalam Batman Returns (1992), Michael Keaton kembali bermain sebagai sang jagoan bersama aktor-aktris senior yakni Michelle Pfeiffer, Danny DeVito, serta Christopher Walken. Sekuelnya kali ini masih menggunakan sentuhan artistik yang sama namun plotnya jauh lebih rumit, gelap, suram, dan sama sekali bukan tontonan untuk anak-anak. Walaupun begitu film ini kembali sukses komersil maupun kritik sekalipun tidak sesukses film pertamanya. Burton sama sekali tidak berminat membuat sekuel ketiganya (Batman Forever) sekalipun ia bertindak sebagai produsernya.

Proyek selanjutnya, Burton menulis dan memproduksi film animasi stop-motion The Nigthmare Before Christmas (1993). Burton sebenarnya direncanakan untuk mengarahkan film ini namun kendala jadwal syuting Batman Return menyebabkan ia menyerahkan kursi sutradara pada Henry Selick. Kembali dengan tema �gelap� serta sentuhan ekpresionistiknya kembali meraih sukses secara kritik dan komersil sekalipun. Danny Elfman kali ini tidak hanya membuat ilustrasi musiknya saja namun juga mengisi suara Jack Skellington. Karakter ini bahkan menjadi ikon Halloween yang sangat populer hingga kini.

Burton kembali berkolaborasi bersama Depp dalam film komedi biografi, Ed Wood (1994). Filmnya berkisah tentang sineas cult era klasik, Edward D. Wood Jr. yang dikenal sebagai �worst director ever� serta relasinya dengan aktor horor, Bela Lugosi. Berbeda dengan film-film sebelumnya, Burton mengemas film ini hitam putih nyaris tanpa sentuhan artistiknya. Sekalipun tidak sukses komersil namun film ini dipuji banyak pengamat. Penampilan Martin Landau sebagai Lugosi yang amat menawan mendapat ganjaran Oscar untuk aktor pembantu terbaik.

Tahun 1996 boleh dibilang adalah tahun apes bagi Burton. Di tahun ini Burton dan Selick kembali berkolaborasi merilis film kombinasi live action dan animasi stop-motion, James and the Giant Peach. Sekalipun film ini dipuji banyak pengamat namun film ini gagal secara komersil. Satu lagi adalah film komedi fiksi ilmiah garapan Burton sendiri, yakni Mars Attack. Sekalipun film ini dipenuhi sederet bintang besar dan bujet yang luar biasa besar ($100 juta) namun film ini gagal di pasaran. Kegagalan film tentang invasi alien ini bisa jadi dipengaruhi pula oleh film fiksi ilmiah laris, Independence Day yang dirilis dalam waktu relatif berdekatan.

Setelah beberapa tahun absen Burton menutup milenium baru lalu dengan merilis film horor, Sleepy Hollow (1999). Film ini merupakan adaptasi lepas dari kisah The Legend of Sleepy Hollow karya Washington Irving. Burton kembali bereuni dengan Johnny Depp yang bermain brilyan sebagai sang penyelidik, Ichabod Crane. Sentuhan set artistik Burton yang khas serta paduan ilustrasi musik Danny Elfman memberikan nuansa horor yang sangat mencekam. Film ini juga sukses secara kritik maupun komersil dengan meraih lebih dari $200 juta pada rilis seluruh dunia. Sleepy Hollow juga sukses meraih Oscar untuk panata artistik terbaik.

Burton memulai milenium baru dengan menggarap remake film fiksi ilmiah klasik, Planet of The Apes (2001) sekalipun sang sineas sendiri beranggapan bahwa ia membuat film baru bukan sebuah remake. Seperti biasa Burton memberikan sentuhan artistik lebih suram pada filmnya ketimbang film orisinilnya serta dipuji karena kostum kera yang sangat meyakinkan. Sekalipun dianggap masih jauh dibawah film aslinya namun film ini sukses komersil dengan meraih lebih dari $350 juta di seluruh dunia. Film ini juga mengawali kolaborasi Burton (on & off set) dengan aktris Helena Bonham Carter.

Burton selanjutnya menggarap drama fantasi, Big Fish (2003) yang diadaptasi lepas dari novel berjudul sama karya Daniel Wallace. Film unik ini bertutur tentang seorang ayah yang berkisah tentang masa lalunya pada anaknya. Sang anak tidak mempercayai kisah ayahnya dan menganggap hanya imajinasi belaka. Sentuhan artistik Burton masih terasa sekalipun tidak menggunakan latar �gelap� seperti film sang sineas lazimnya. Sekalipun tidak sesukses film-film Burton sebelumnya namun secara kritik film ini sukses dengan meraih empat nominasi Golden Globe termasuk film terbaik.

Burton kembali berkolaborasi dengan sohibnya, Johnny Depp dalam film fantasi anak-anak Charlie and the Chocolate Factory (2005). Naskahnya diadaptasi lepas dari buku berjudul sama karya Roald Dahl. Kembali sentuhan set ekspresionistik serta warna-warna cerah sangat kental dalam filmnya tidak suram seperti filmnya kebanyakan. Elfman juga memberikan lagu serta ilustrasi musik �riang� yang pas dengan cerita filmnya. Untuk memproduksi film ini WB berani mengeluarkan bujet sebesar $150 juta dan hasilnya ternyata sangat memuaskan. Film ini meraih kurang lebih $475 juta di seluruh dunia menjadikan film ini adalah garapan Burton yang paling sukses.


Di tahun yang sama Burton juga merilis Corps Bride (2005) yang merupakan film animasi panjang stop motion pertama yang digarapnya. Kembali Burton memakai Depp kali ini untuk mengisi suara tokoh utamanya. Film ini berkisah tentang seorang pemuda yang secara tidak sengaja menikahi wanita yang telah mati. Setelah sekian lama Burton akhirnya kembali ke gaya aslinya yakni menggunakan tema �gelap� dengan sentuhan set ekspresionis yang suram. Film berbujet $40 juta ini mampu menghasilkan $117 juta di seluruh dunia dan sukses mendapatkan nominasi Oscar untuk film animasi terbaik.

Kembali bersama Depp, Burton menggarap thriller-musikal berdarah, Sweeney Todd: The Demon barber of Fleet Street (2007). Film diadaptasi dari pertunjukan musikal berjudul sama karya Stephen Sondheim. Dengan gaya Burton yang khas, set suram berkabut kota London mendominasi filmnya. Penampilan Depp sebagai Benjamim Barker banyak dipuji pengamat termasuk ilustrasi musik dan lagu arahan Sondheim sendiri. Selain sukses komersil film ini juga sukses meraih piala Golden Globe untuk film (musikal/komedi) serta aktor utama (Depp). Film ini juga meraih Oscar untuk penata artistik terbaik serta dua nominasi untuk aktor utama serta kostum terbaik.

Tahun 2009, bersama sineas Rusia, Timur Bekmambetov, Burton memproduseri film animasi non stop-motion pertamanya, 9 (2009) yang filmnya digarap Shane Acker. Filmnya merupakan versi panjang film pendek karya Acker sendiri. Elfman juga terlibat dalam filmnya untuk menggarap musik temanya. Awal tahun ini kembali berkolaborasi bersama Depp dan Elfman, Burton menggarap film fantasi Alice in the Wonderland (2010) yang kisahnya merupakan cerita �lanjutan� dari novel populer berjudul sama. Dalam film berbujet $150 juta ini kembali sentuhan artistik Burton tampak begitu kental. Proyek selanjutnya dijadwalkan Burton akan me-remake kembali film pendeknya Frakenweenie serta bersama Depp menggarap adaptasi serial televisi, Dark Shadows.

Gaya Sinematik Burton
Film-film garapan Burton selalu memiliki tema yang unik. Naskahnya kebanyakan ia adaptasi lepas dari sebuah sumber dan kisahnya ia ubah menjadi versi dan gayanya sendiri. Hal ini sudah tampak dari film di awal karirnya, Frankenweenie yang diadaptasi lepas dari kisah klasik Frankenstein. Hal yang sama tampak dari film-filmnya seperti seri Batman, Ed Wood, Sleepy Hollow, Planet of the Apes, Big Fish, Charlie and the Chocolate Factory, Sweeney Todd, hingga Alice in Wonderland. Burton juga jarang menulis cerita filmnya sendiri, tercatat hanya Edward Scissorshand dan The Nightmare Before Christmas.

Film-film Burton tidak lepas dari genre-genre tertentu yang memungkinkan untuk menggunakan sentuhan estetiknya yang khas bernuansa gelap dan suram. Genre fantasi tercatat adalah yang paling sering ia gunakan, seperti Batman, Batman Returns, Edward Scissorshand, Big Fish, Charlie and the Chocolate Factory, hingga Alice in Wonderland. Genre favorit Burton sejak cilik, yakni horor juga tampak pada Beetlejuice, Sleepy Hollow, dan Corps Bride. Genre fiksi ilmiah terlihat pada Mars Attack dan Planet of the Apes. Genre musikal bernuansa gelap juga muncul melalui The Nightmare Before Christmas dan Sweeney Todd. Burton tercatat satu kali mencoba berbeda melalui film drama biografi, Ed Wood yang memang minim sentuhan uniknya.

Film-film Burton juga identik dengan tema-tema �gelap� yang sesuai dengan gaya artistiknya. Tema �kematian� atau after life seringkali muncul dalam kisah film-film Burton seperti Frankenweenie, Beetlejuice, The Nightmare before Christmas, Sleepy Hollow, Corps Bride, hingga Sweeney Todd. Burton juga dikenal lihai membuat film-film bertema ringan menjadi lebih gelap dan suram, contoh yang paling nyata adalah Batman Returns, Planet of the Apes, Charlie and the Chocolate Factory, dan yang terakhir Alice in Wonderland.

Dalam kisah film-film Burton seringkali tokoh utama terasing atau menjauhkan diri dari lingkungannya seperti terlihat dalam Vincent, Pee Wee Big Adventure, Batman, Charlie and The Chocolate Factory, serta Sweeney Todd. Seringkali pula tokoh utama adalah pendatang atau orang asing yang masuk dalam sebuah lingkungan baru yang sama sekali asing baginya seperti tampak dalam The Nigth Before Christmas, Sleepy Hollow, Planets of the Apes, Big Fish, hingga Alice in Wonderland. Atau terkadang pula kombinasi keduanya seperti tampak dalam Edward Scissorshand. Dalam perjalanan kisahnya tokoh utama seringkali pula dimusuhi atau salah faham dengan orang-orang lingkungannya.

Tokoh-tokoh utamanya juga seringkali memiliki trauma masa silam yang seringkali disajikan melalui teknik kilas-balik atau mimpi buruk. Hal ini tampak dalam film-film seperti Batman, Sleepy Hollow, Charlie and the Chocolate Factory, Sweeney Todd, hingga Alice in Wonderland. Trauma masa lalu seringkali juga menyangkut hubungan sang tokoh dengan orangtuanya (seringkali ayah). Dalam Sleepy Hollow, setiap kali tokoh utama pingsan ia selalu bermimpi buruk tentang ibunya yang ternyata adalah trauma masa lalunya.

Tim Burton adalah dikenal sebagai salah satu sineas yang memiliki gaya estetik unik diantara sineas-sineas papan atas Hollywood lainnya. Pengaruh gaya ekspresionis Jerman serta film-film horor klasik terasa sangat kental dalam film-filmnya. Pencahayaan cenderung suram dan gelap, serta kontras antara gelap-terang (bayangan). Setting film-film Burton seringkali berwujud tidak lazim, seperti contohnya bangunan dan pepohonan. Nuansa ekspresionis tampak sangat kental dalam film-filmnya seperti Vincent, Batman, Edward Scissorshand, The Nigthmare Before Christmas, Charlie and the Chocolate Factory, hingga Alice in Wonderland.

Pengaruh ekspresionis juga tampak pada tokoh utama atau antagonisnya yang berwujud unik. Mereka seringkali berwajah pucat (putih), berpakaian aneh, dan lazimnya menggunakan warna hitam. Karakter Edward dalam Edward Scissorshand jelas-jelas terpengaruh dari sosok monster dalam film ekspresionis, The Cabinet of Dr Caligari (1919). Satu penghuni kota Halloween dalam The Nightmare Before Christmas adalah sosok-sosok �hantu� yang wujudnya aneh-aneh. Dalam Sleepy Hollow, tokoh antagonis adalah seorang penunggang kuda tanpa kepala. Dalam Charlie and the Chocolate Factory, tokoh utama Willy Wonka yang eksentrik selalu berpakaian aneh, berwajah pucat ditemani para pekerja cebolnya, Oompa-Loompas.

Oleh karena film-film Burton memiliki nilai lebih dalam unsur setting, hal ini amat berpengaruh pada unsur sinematik lainnya terutama editing dan sinematografi. Aspek editing dalam film-film Burton cenderung lambat dan ia seringkali menahan shot-nya agak lama untuk membiarkan penonton menikmati setting-nya yang unik. Dari sisi sinematografi Burton juga seringkali menggunakan long-shot yang memperlihatkan keseluruhan setting baik sebuah kota, desa, atau sebuah ruangan. Hal unik tampak dalam nyaris semua pembuka film-film Burton (opening credit) yang biasanya kamera bergerak melintasi sesuatu atau mengikuti sesuatu, seperti dalam Edwood, Batman, Batman Returns, Sleepy Hollow, dan Charlie and the Chocolate Factory. Dalam Batman, kamera bergerak melintasi sebuah lorong gelap yang ternyata adalah simbol (logo) Batman.

Burton juga kerap bekerjasama dengan produser, pemain, serta kru yang sama dalam produksi film-filmnya. Produser Denise Di Novi tercatat memproduseri enam film Burton pada dekade 90-an. Richard D. Zanuck tercatat memproduseri lima film Burton termasuk filmnya yang terakhir, Alice in Wonderland. Dari sisi pemain Jonnhy Depp tercatat tujuh kali bermain dalam film-film Burton diikuti oleh Helena Bonham Carter sebanyak enam kali. Adapun kolaborasi yang paling kuat adalah antara Burton dengan komposer Danny Elfman. Elfman menggarap ilustrasi musik nyaris semua film panjang Burton, kecuali Ed Wood dan Sweeney Todd. Gaya musik Elfman yang khas entah mengapa amat pas dengan cerita dan gaya estetik Burton yang suram.

Burton boleh dibilang adalah sineas yang karirnya penuh dengan keberuntungan. Karirnya berjalan dengan mulus hanya selang beberapa tahun setelah film pertamanya ia telah menjadi anak emas Warner Bros. yang mampu memproduksi film-film unik yang sukses komersil sekaligus kritik. Burton sendiri adalah seorang seniman yang eksentrik. �I've always been misrepresented. You know, I could dress in a clown costume and laugh with the happy people but they'd still say I'm a dark personality�. Sekalipun begitu kini ia dikenal sebagai seorang sineas papan atas yang konsisten dengan visi artistiknya yang unik. Sampai kapan pun sepertinya Burton akan terus memproduksi film-film bernuansa �gelap�. Kita tunggu saja film-filmnya.

Himawan Pratista

Ed Wood

Komedi Biografi Minim Sentuhan Burton


Ed Wood (1994) merupakan drama komedi biografi garapan Tim Burton. Film ini merupakan adaptasi lepas dari buku Nightmare of Ecstasy karangan Rudolph Grey. Film ini dibintangi para kolaborator tetapnya, Johnny Depp bersama beberapa aktor dan aktris ternama seperti Martin Landau, Sarah Jessica Parker, Patricia Arquette, Jeffrey Jones, dan Bill Murray. Sekalipun banyak dipuji kritikus namun film ini gagal secara komersil. Film ini juga meraih dua Oscar untuk aktor pembantu dan penata make-up terbaik.

Alkisah Edward D. Wood Jr. (Depp) adalah seorang sineas amatir yang terobsesi untuk masuk industri film Hollywood. Ambisi besarnya memang tidak sepadan dengan bakatnya yang secuil namun itu tidak melunturkan niat Eddie. Eddie sendiri juga ternyata adalah seorang tranvestite, yaitu suka memakai pakaian atau gaun wanita. Secara kebetulan Eddie bertemu dengan idola beratnya, Bela Lugosi (Landau), aktor spesialis vampir yang dulu pernah berjaya di era silam. Berawal dari pertemuan tersebut hubungan Eddie dan Lugosi semakin dekat hingga ia berencana mengkasting sahabatnya dalam film garapannya berikutnya.

Dibandingkan dengan film-film Burton yang lain, Ed Wood boleh dibilang adalah yang paling unik. Kisah filmnya murni adalah biografi (sekalipun tidak akurat) tanpa ada unsur fantasi maupun horor. Burton sendiri merupakan fans dari Edward dan hubungan Eddie dengan Lugosi merefleksikan hubungan personalnya antara ia dengan idolanya, Vincent Price. Kisah filmnya memang lebih dominan pada hubungan Eddie dan Lugosi ketimbang para kekasihnya. Hubungan emosional antara Eddie dengan Lugosi tersaji apik secara gradual. Eddie begitu memuja Lugosi dan sepertinya hanya ia sendiri yang mampu menghargai talenta sang mantan bintang. Satu kelemahan filmnya jelas ada pada keakuratan cerita dan tampak sekali jika Burton mendramatisir banyak adegan untuk menambah bumbu komedi.

Secara estetik film ini berbeda jauh dengan film-film Burton sebelumnya yang bernuansa suram. Sentuhan setting ekspresionis hanya tampak pada pembuka film (opening credit), dan hanya itu saja. Film ini sendiri juga disajikan hitam-putih jelas sesuai dengan spirit �bujet minim� film-film Ed Wood. Kekuatan utama film ini terletak pada para kastingnya. Depp dengan gaya komikal bermain brilyan sebagai Ed Wood, sosok eksentrik yang begitu percaya diri sekalipun bakatnya minim dengan perilaku menyimpang. Adalah Martin Landau yang bermain penuh pesona sebagai Bela Lugosi, sosok seorang mantan bintang yang kesepian dan kini hidup melarat karena ia mengkonsumsi obat-obatan. �I don�t drink wine� ucapnya suatu ketika persis seperti yang Bela Lugosi ucapkan di film horor klasik, Dracula. Tak heran jika Landau meraih Oscar untuk perannya ini.

Ed Wood jelas bukan sebuah film biografi yang akurat namun sebagai sebuah sajian drama komedi, film ini adalah sebuah karya istimewa yang orisinil. Akting Depp dan Landau yang begitu brilyan adalah separuh kekuatan dari film ini. Ilustrasi musik dari Howard Shore mampu berintegrasi dengan sempurna sekalipun ia �banyak� meminjam gaya musik Danny Elfman. Ed Wood adalah film Tim Burton yang paling lepas dari gaya artistiknya namun harus diakui jika film ini adalah salah satu karya terbaiknya.

M. Pradipta

Sleepy Hollow

Kisah Horor Klasik Versi Burton


Sleepy Hollow (1999) tercatat merupakan film horor murni pertama garapan Tim Burton. Film ini merupakan adaptasi lepas dari kisah The Legend of Sleepy Hollow (1820) karangan Washington Irving. Film berbujet $80 juta ini dibintangi oleh Johnny Depp, Christina Ricci, serta beberapa aktor-aktris kawakan seperti Michael Gambon, Christopher Walken, Miranda Richardson, Ian McDiarmid, Jeffrey Jones, serta Michael Gough. Film ini meraih Oscar untuk penata artistik terbaik.



Alkisah pada tahun 1799, Ichabod Crane (Depp) adalah seorang polisi asal London yang ditugaskan untuk mengusut kasus pembunuhan misterius di sebuah desa terpencil bernama Sleepy Hollow. Di dusun ini beberapa warga ditemukan tewas dibunuh dengan sadis menyisakan jasad tanpa kepala. Rumor yang beredar mengatakan bahwa mereka tewas karena dibunuh oleh pengendara kuda tanpa kepala. Awalnya Crane tidak mempercayai ini sampai akhirnya ia bertemu langsung dengan sang pengendara kuda tanpa kepala. Selidik punya selidik ternyata kasus tersebut berkembang menjadi kasus pembunuhan dengan motif warisan. Si otak pembunuhan rupanya mampu mengendalikan sang monster yang dijadikan alat untuk menjalankan niat jahatnya.

Plot filmnya berbeda jauh dengan cerita aslinya namun masih menggunakan tokoh utama yang sama. Secara brilyan, penulis naskah mengubah ceritanya menjadi kisah detektif yang rumit, bernuansa supernatural, penuh intrik, dan kejutan. Sleepy Hollow adalah salah satu film terbaik yang mampu mengkombinasikan dengan sempurna unsur horor dengan detektif. Sungguh mengejutkan bagaimana alur plot berubah-ubah dan mampu berpadu sempurna antara unsur mistik dan non-mistik hingga akhirnya ketamakan manusia adalah jawabnya.

Kisah dan temanya yang bernuansa mistik sangat cocok berkombinasi dengan sentuhan artistik Burton. Sejak awal filmnya (opening credit) kita telah disuguhi panorama hutan yang kelam dan berkabut. Sentuhan ekspresionis tampak sekali pada pepohonan dengan bentuk yang khas, seperti �the tree of the dead� yang menjadi kuburan sang pengendara kuda. Suasana mistik juga menyelimuti pusat desa dengan rumah-rumah bergaya kolonial dengan bangunan gereja di tengah kota. Dengan pencapaian semua diatas tak heran jika film ini meraih Oscar untuk artistik terbaik.

Dalam beberapa adegan juga memperlihatkan kepiawaian Burton dalam mengolah adegan aksi yang begitu seru dan menegangkan. Sang pengendara berkuda disajikan begitu meyakinkan dan menakutkan sekalipun wujudnya tidak menyeramkan. Satu adegan aksi berkesan tampak ketika sang pengendara kuda mencari mangsanya ketika semua orang lari dan masuk ke dalam gereja. Siapa menduga sang pembunuh berhasil mendapatkan mangsanya tanpa ia harus masuk ke dalam bangunan gereja. Satu lagi adegan aksi berkesan tampak pada sekuen klimaks di kincir angin serta kejar-mengejar seru di tengah hutan yang kelam.

Satu lagi yang menjadi kekuatan filmnya adalah ilustrasi musik yang mencekam dari Danny Elfman. Dari sisi pemain, Depp bermain menawan sebagai Ichabod Crane, sosok polisi kurang percaya diri yang memiliki trauma masa cilik yang kelam. Penampilan kuat para pemain senior seperti Gambon, Richardson, McDiarmid, Jones, serta lainnya juga amat mendukung filmnya. Sleepy Hollow adalah film horor murni yang pernah digarap Burton dan rasanya juga salah satu film horor terbaik yang pernah ada.

M. Pradipta

Alice in Wonderland,

Kali Ini Bukan Film Anak-Anak


Alice in Wonderland adalah film fantasi petualangan garapan teranyar Tim Burton. Film ini merupakan lanjutan dari kisah novel klasik anak-anak, Alice�s Adventure in Wonderland karya Lewiss Caroll. Film ini dirilis dalam format 3D dan 2D yang merupakan pertama kali bagi Burton. Film berbujet $150 juta ini dibintangi kolaborator tetap Burton yakni Johnny Depp serta Helena Bonham Carter, Anne Hathaway, serta aktris muda pendatang baru, Mia Wasikowska sebagai Alice.

Alice Kingsley (Wasikowska) adalah seorang gadis remaja 19 tahun yang masih ragu dalam mengambil sikap. Suatu ketika di sebuah pesta, Alice melihat seekor kelinci yang menggunakan baju dan membawa jam saku. Saat tunangan Alice akan meminangnya, di luar dugaan Alice malah mengikuti kemana sang kelinci pergi. Alice lalu jatuh ke dalam lubang kelinci dan masuk ke sebuah dunia bernama Wonderland. Alice bertemu beberapa karakter aneh seperti Mad Hatter (Depp), Chesire Cat, Caterpillar, serta lainya. Misi Alice adalah membantu White Queen (Hathaway) dari teror Jabberwocky milik Red Queen (Carter) untuk membawa kedamaian di Wonderland.

Kembali Burton mengubah cerita aslinya menjadi versinya sendiri. Versi Burton ini bisa dibilang lanjutan dari kisah aslinya yang merupakan cerita anak-anak. Cerita filmnya jauh dari cerita anak-anak yang ringan dan sederhana, namun cenderung suram dan membingungkan. Satu adegan dengan adegan lain terkesan terpisah dan dipaksakan, tidak menyatu satu sama lain. Alur plotnya pun cenderung mengulur waktu dengan penyelesaian masalah yang terlalu mudah. Kunci cerita sebenarnya adalah tokoh Alice namun beberapa karakter �tak penting�, Mad Hatter misalnya, malah ditonjolkan (kita sudah tahu mengapa). Hal ini mengakibatkan hubungan batin antara Alice dengan Wonderland menjadi lemah. Tak ada motif yang kuat mengapa Alice harus mempertaruhkan nyawanya untuk sebuah dunia yang sudah ia lupakan.

Alur plotnya yang selalu berpindah-pindah di alam fantasi Wonderland memungkinkan Burton bermain-main dengan sentuhan artistiknya terutama unsur setting. Seperti lazimnya film-film Burton, unsur setting, kostum, dan make-up, semua pencapaiannya luar biasa. Setting-nya memang istimewa namun entah mengapa tampak terlalu artifisial untuk ukuran film-film Burton sebelumnya. Boleh jadi ini karena tuntutan format 3D. Seperti ketika Alice jatuh ke dalam lubang kelinci tampak sekali Burton berlama-lama dengan adegan ini, satu hal yang rasanya tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Setidaknya Burton masih tetap konsisten menjaga sentuhan ekspresionis pada filmnya kali ini.

Dari sisi pemain, selain Wasikowska, Depp dan Carter adalah yang paling menonjol. Sementara Depp bermain layaknya �Willy Wonka�, Carter bermain lugas sebagai Red Queen yang nyaris berteriak setiap saat. Ilustrasi musik Danny Elfman kali ini juga kurang memiliki �jiwa� seperti film-film Burton sebelumnya. Klimaks filmnya yang penuh sajian visual menawan tampak hambar karena ending-nya sangat mudah kita duga. Versi adaptasi Burton kali ini bukan terbilang gagal, tetapi memang gaya sang sineas seperti ini. Burton bisa dibilang kali ini kebablasan. Setidaknya seperti halnya Chocolate Factory yang masih bisa dinikmati penonton anak-anak, Alice in Wonderland mestinya juga sama karena spirit filmnya adalah untuk penonton anak-anak. Ibaratnya, Burton mencoba untuk membuat makanan orang dewasa dari bahan makanan bayi. It just won�t works!

Himawan Pratista

Bahwa Cinta Itu Ada

Bahwa Cinta itu Ada yang rilis 4 maret 2010 lalu disutradarai oleh seorang seniman yang lebih kita kenal sebagai penyanyi dan dalang, yaitu Sujiwo Tejo. Ini kali pertamanya ia menyutradarai sebuah film layar lebar yang berdurasi 90 menit. Film ini dibintang oleh aktor aktris pendatang baru seperti Ario Wahab, Risky Hanggono, Eva Asmarani, Alex Abbad, dan Denis Adishwara. Selain itu juga dibintangi aktor aktris senior seperti Slamet Raharjo dan Ninik L.Karim yang juga ikut meramaikan film ini.

Alkisah lima orang pemuda bernama Fuad (Alex Abbad), Slamet (Ario Wahab), Gugun (Dennis Adishwara), Poltak (Restu Sinaga), Benny (Risky Hanggono), dan seorang pemudi, Ria (Eva Asmarani), mereka datang dari berbagai daerah untuk menuntut ilmu di ITB Bandung. Secara kebetulan mereka mulai bertemu sejak pendaftaran mahasiswa baru kemudian saling mengenal dan membentuk sebuah geng. Hubungan mereka berlima sangat akrab, setiap kegiatan dan tugas kampus mereka selalu mengerjakan bersama-sama. Kedekatan di antara mereka memicu cinta segitiga antara Benny, Ria, dan Slamet. Benny selalu merayu Ria namun selalu gagal. Sementara Slamet cenderung memendam perasaannya terhadap Ria.
Cerita bertutur secara kilas balik pada awal dan akhir cerita saja. Cerita juga dibagi dalam dua periode waktu yaitu, tahun 1980-an dan tahun 2009. Tahun 1980-an mengisahkan ketika mereka masih menjadi mahasiswa dan tahun 2009 mengisahkan semasa mereka sudah bekerja. Yang menjadi masalah utama dalam film ini adalah alur cerita yang tidak fokus dan kurang nyaman untuk diikuti. Sepanjang filmya kita disuguhi alur cerita yang terpotong-potong. Penekanan cerita pada enam tokoh utama nampaknya masih jauh jika dikatakan menggunakan alur cerita multi plot.

Film ini mencoba mengangkat konflik tiap tokohnya namun sayangnya konflik tersebut masih kurang tergali dan terlalu dangkal. Dari keenam tokoh yang ada, Slamet, Ria, dan Benny cenderung dominan ketimbang yang lain. Cerita yang disampaikan secara sepotong-potong membuat penonton sulit untuk bersimpati pada tiap tokohnya karena sifatnya hanya informatif belaka. Seperti cerita keluarga Fuad di kampung yang rumahnya kebakaran, lalu kisah ayah Benny yang sakit, dan kisah perselingkuhan Gugun dengan wanita Australia. Ada pula cerita yang tidak masuk akal dan cenderung dipaksakan. Seperti contohnya Slamet yang tiba-tiba meninggalkan pacarnya di kota demi menikahi gadis pilihan ibunya. Juga Ria yang tiba-tiba menaruh harapan pada seorang laki-laki yang baru ia temui di kantornya. Tak ada motif yang jelas dan kuat untuk memperjelas ceritanya.

Masalah setting dan kostum juga agak janggal. Tidak ada perbedaan yang berarti antara setting dan kostum tahun 1980-an dan tahun 2009, gaya rambut maupun gaya berpakaian pada kedua zaman tersebut tidak ada bedanya. Satu hal yang tergolong orisinil dalam film ini adalah penggunaan narasi yang menggunakan alunan tembang jawa layaknya seorang dalang. Dalam konteks cerita filmnya tampaknya sulit pula dijelaskan (seperti judulnya) bahwa cinta benar-benar ada. Sang sutradara yang baru pertama kali membuat film, harus belajar banyak dulu bagaimana mengemas realita-realita kehidupan yang dekat dengan kita untuk bisa dikemas melalui medium film dengan baik.

Agustinus Dwi Nugroho

Rumah Dara,

Film Horor-Thriller Indonesia Terbaik


Rumah Dara, Film horor-thriller yang berjudul alias Macabre ini disutradarai oleh Timo Tjahjanto dan Kimo Stamboel (Mo Brothers). Ini adalah debut film panjang mereka setelah memproduksi film-film pendek seperti Sendiri (2003) dan film slasher Dara (2007). Selama 95 menit penonton dibawa dalam suasana mencekam berlumuran darah. Film slasher ini konon menghabiskan 11 galon darah hewan dan darah sintetis.

Suatu malam satu rombongan muda-mudi bertolak dari sebuah bar di Bandung menuju ke Jakarta, yakni Adjie (Ario Bayu), istrinya Astrid (Sigi Wimala), adiknya Ladya (Julia Estelle), serta tiga sahabatnya, Jimi, Eko, dan Adam. Sesaat setelah meninggalkan bar tersebut, mobil mereka nyaris menabrak seorang gadis muda. Gadis tersebut bernama Maya, ia tampak shock dan mengaku telah dirampok. Karena kasihan, Maya akhirnya diantar pulang oleh mereka menuju sebuah daerah terpencil di tengah hutan. Sampailah mereka di sebuah sebuah rumah tua milik sosok wanita misterius bernama Dara (Shareefa Danish). Sebagai rasa terima kasih Dara menawarkan mereka untuk menginap di rumah tersebut. Mereka sama sekali tidak menyadari bahaya besar yang akan menimpa mereka malam itu.

Sebenarnya tidak ada yang spesial dari plot Rumah Dara. Good versus evil. Tipikal slasher. Tidak ada pola baru yang dihadirkan. Plotnya pun biasa saja seperti film-film slasher lazimnya namun Mo Brothers mampu menyajikannya dengan apik. Adegan demi adegan disuguhkan sangat menegangkan, aksi-aksi sadis dan keji yang mencekam membuat penonton akan sering menutup mata. Jalan cerita tidak membosankan sekalipun hanya mengambil tempat 90 persen di sekitar rumah tua tersebut. Seperti biasa, logika cerita banyak menjadi masalah. Begitu banyak pintu di rumah tua ini. Pintu utama pada awal cerita sudah jelas-jelas digembok agar Ladya dan kawan-kawannya tidak bisa keluar, namun para polisi dan Aming bisa masuk dari depan dengan mudahnya. Karakter Aming mampu memberikan sensasi yang berbeda ketika suasana mencekam dialihkan menjadi komedi.

Namanya juga film slasher. Aksi sadis dan keji penuh darah menjadi nilai lebih filmnya meskipun kadang terlihat berlebihan. Beberapa adegan bahkan kelihatan sekali di-cut karena mungkin kelewat brutal. Adegan-adegan aksi berdarahnya terasa sangat nyata. Make-up tampak meyakinkan dan para pemain tidak selalu tampak cantik seperti kebanyakan film kita. Adegan Dara beraksi ketika ia menggunakan gergaji mesin untuk membunuh korban merupakan satu adegan yang paling seru dan menarik. Begitu juga saat pisau yang dibawa Adam menusuk tangan Astrid dari balik pintu. Rumah dan propertinya cukup layak untuk setting film ini, mengingat Dara dan keluarga adalah produk tahun 1800-an. Sayang ilustrasi musiknya tergolong biasa saja.

Bicara akting pemain, akting Shareefa Danish yang misterius dengan suara tegas memperkuat karakternya dan menambah serius suasana filmnya. Dialog juga disajikan secukupnya, tidak mengobral omongan dan basa basi. Para pemain juga bermain natural dan tampak sudah cukup matang mendalaminya. Film ini juga tidak mengumbar adegan-adegan mesum seperti film kita kebanyakan. Rumah Dara bisa saja menjadi sebuah pelopor dalam dunia perfilman Indonesia. Film ini mampu menyajikan sebuah aksi berdarah yang nyata, make-up meyakinkan, set dan properti yang mendukung, akting yang baik, serta cerita yang tidak berlebihan. Meskipun film ini tidak bisa ditonton oleh semua usia tapi menonton film lokal yang bermutu memang enak.

Debby Dwi Elsha

My Name is Khan,

Film Romantis Bernuansa Politis


My Name is Khan adalah film drama arahan Karan Johar yang kita kenal pernah meraih sukses dengan Kuch Kuch Hota Hay (1998) dan Kabbi Khushi Khabir Gham (2001). Untuk kesekian kalinya Karan bereuni kembali dengan Shah Rukh Khan dan Kajol. Film produksi patungan AS dan India ini telah memecahkan rekor sebagai film India dengan pendapatan terbanyak di Amerika Utara. My Name is Khan juga menjadi perbincangan para pengamat dan sempat diprediksi bakal masuk nominasi Oscar.

Seorang anak Muslim yang mengidap sindrom Asperger, Rizwan Khan (Tanay Chheda), hidup bersama ibunya (Zarina Wahab) di wilayah Borivali di Mumbai. Saat dewasa (Shahrukh Khan), Rizwan pindah ke San Fransisko dan hidup bersama adik dan iparnya. Selama disana, ia jatuh cinta kepada seorang penata rambut kelahiran India, Mandira (Kajol Devgan). Mereka kemudian menikah dan memulai usaha disana. Peristiwa 9/11 adalah kejadian penuh arti dan berimbas pada kehidupan Muslim di Amerika khususnya. Rizvan dan Mandira mulai menghadapi beberapa kesulitan. Dimulai dari sebuah tragedi, mereka berpisah. Karena ingin kembali memenangkan hati istrinya, Rizvan melewati sejumlah petualangan di berbagai negara bagian di Amerika untuk bisa bertemu dengan Presiden Amerika. hanya untuk mengatakan �My name is Khan and i am not a terrorist�.

Plot filmnya secara umum dibagi menjadi dua bagian. Separuh awal film menceritakan kisah romantis antara Rizvan dan Mandira. Adegan-adegannya sangat menyentuh dan dibumbui kelucuan khas film-film India. Paruh kedua film adalah pasca 9/11 yang menunjukkan realita bagaimana kaum Muslim diperlakukan tidak adil oleh masyarakat Amerika yang berimbas pada kehidupan Rizvan dan Mandira. Karan Johar rupanya tidak hanya mampu membuat film romantis semata namun juga drama roman bernuansa politik yang memiliki sisi humanis tinggi. Separuh awal kisah yang disajikan begitu manis menjadi latar belakang mengapa Rizvan melakukan ini semua. Akhirnya kisahnya tidak sulit diduga, namun seperti film-film India kebanyakan tetap saja mampu menguras emosi penonton.

Uniknya, tontonan yang dikemas dalam durasi 162 menit disajikan tanpa tarian ala film India pada lazimnya. Lagu dan musiknya tersaji namun para pemain tidak ikut berdendang atau ikut menari. Lagu dan musiknya begitu enak dinikmati sehingga menambah emosi yang keluar dalam tiap adegannya. Sentuhan barat dan timur juga begitu kental tampak dalam lagu We Shall Overcome yang dialihbahasakan ke bahasa India. Pencapaian sinematografi dan editing nyaris tidak ada bedanya dengan film-film mapan produksi Hollywood. Aspek sinematografi khususnya tampak melalui komposisi serta sudut-sudut kamera yang tertata sangat rapi. Aspek editing terutama tampak melalui beberapa sekuen lagunya yang menggambarkan serangkaian peristiwa dari waktu ke waktu. Dari sisi pemain Shah Rukh Khan mampu menampilkan sosok Rizvan dengan amat baik, mulai dari tatapan mata hingga gerakan-gerakan abnormal hingga emosi yang ditampakkan. Jelas tidak mudah memerankan seorang penderita autis.

Tema yang diangkat cukup serius, yakni sentimen anti-Islam pasca tragedi 9/11 di Amerika Serikat, mengingat semakin terpuruknya kaum Muslim atas serangan-serangan dan tuduhan Amerika dan seluruh dunia. Pesan moral yang ingin disampaikan film ini sangat sederhana, seperti yang dikatakan ibunda Rizvan pada sang anak bahwa di dunia hanya ada dua jenis manusia, yakni manusia baik dan manusia buruk. Hanya itu yang membedakan manusia, tidak dilihat dari status, agama, ideologi, atau materi melainkan pada kebaikan dan keburukan sikapnya.

Debby Dwi Elsha

Catatan 82nd Academy Awards 2010


Tidak seperti biasanya, acara tahunan 82nd Academy Awards yang berlangsung tanggal 7 Maret lalu di Kodak Theatre, Hollywood, Los Angeles, California, menggunakan dua pembawa acara sekaligus, yakni Steve Martin dan Alec Baldwin. Acara yang disiarkan langsung oleh stasiun ABC ini berdurasi sekitar setengah jam dan ditonton lebih dari 40 juta orang di seluruh dunia.

Beberapa hal baru juga mewarnai perhelatan Academy Awards kali ini. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1943, nominasi untuk kategori Best Picture yang sebelumnya hanya terdiri dari lima nominasi, kali ini bertambah menjadi sepuluh nominasi. Avatar dan Up adalah film berformat tiga dimensi pertama yang dinominasikan sebagai film terbaik. Untuk pertama kalinya pula dua film fiksi ilmiah, Avatar dan District 9 mampu masuk nominasi sebagai film terbaik. Up adalah film animasi CGI pertama yang meraih dua nominasi, yakni untuk film animasi terbaik dan film terbaik. Film drama Precious: Based on the Novel �Push� by Sapphire merupakan film yang diarahkan oleh sineas kulit hitam pertama yang mampu meraih nominasi film terbaik. Untuk pertama kalinya pula, pada saat diumumkan lima nominasi film terbaik di antara sepuluh nominasi, adalah film-film yang sukses komersil meraih penghasilan kotor di atas $100 juta.

Persaingan Academy Awards kali ini dimotori oleh dua film, yakni Avatar dan The Hurt Locker. Dua film ini yang bersaing keras dalam tiap ajang bergengsi tahun ini, masing-masing meraih sembilan nominasi Oscar. Film perang unik arahan Quentin Tarantino, Inglourious Basterds meraih delapan nominasi. Dua film drama, Precious: Based on the Novel �Push� by Sapphire dan Up in the Air masing-masing meraih enam nominasi. Film animasi produksi Pixar, Up meraih nominasi lima Oscar. Sementara dua film fiksi ilmiah, District 9 dan Star Trek, serta film musikal, Nine masing-masing meraih empat nominasi.

Hasilnya setelah pengumuman, film perang garapan Kathryn Bigelow, The Hurt Locker merajai Academy Awards kali ini. The Hurt Locker total meraih enam nominasi Oscar, yakni untuk film terbaik, sutradara terbaik, skenario asli terbaik, editing suara terbaik, dan sound mixing suara terbaik. Bigelow tercatat sebagai sineas wanita pertama yang mampu meraih Oscar untuk sutradara terbaik. Avatar hanya meraih tiga Oscar untuk sinematografi, tata artistik, dan efek visual terbaik. Sementara Up, Crazy Heart, dan Precious: Based on the Novel �Push� by Sapphire masing-masing meraih dua Oscar.

Selain penghargaan utama, beberapa penghargaan khusus juga diberikan dalam acara ini. Honorary Academy Awards diberikan untuk aktris Lauren Bacall, lalu sineas Roger Corman, dan Gordon Willis. Penghargaan Irving G. Thalberg Memorial diberikan untuk John Calley. Selain itu Academy Awards kali ini juga memberikan tribute khusus kepada mendiang sineas John Hughes serta beberapa insan perfilman telah meninggalkan kita tahun lalu. Secara keseluruhan acara perhelatan tahun ini terbilang sukses dan kita menunggu acara yang sama tahun depan dengan film-film yang lebih berkualitas tentunya.

FILM TERBAIK
The Hurt Locker

SUTRADARA TERBAIK
Kathryn Bigelow (The Hurt Locker)

AKTOR TERBAIK
Jeff Bridges (Crazy Heart)

AKTRIS TERBAIK
Sandra Bullock (The Blind Side)

AKTOR PENDUKUNG TERBAIK
Christoph Waltz (Inglourious Basterds)

AKTOR PENDUKUNG TERBAIK
Mo'Nique (Precious: Based on the Novel Push by Sapphire)

NASKAH ASLI TERBAIK
The Hurt Locker: Mark Boal

NASKAH ADAPTASI TERBAIK
Precious: Based on the Novel Push by Sapphire": Geoffrey Fletcher

ANIMASI TERBAIK
Up: Pete Docter

FILM BERBAHASA ASING TERBAIK
El secreto de sus ojos (Argentina)

SINEMATOGRAFI TERBAIK
Avatar: Mauro Fiore

PENYUNTING TERBAIK
The Hurt Locker: Bob Murawski, Chris Innis

PENATA ARTISTIK TERBAIK
Avatar: Rick Carter, Robert Stromberg, Kim Sinclair

PENATA KOSTUM TERBAIK
The Young Victoria: Sandy Powell

PENATA RIAS TERBAIK
Star Trek: Barney Burman, Mindy Hall, Joel Harlow

ARANSEMEN MUSIK TERBAIK
Up: Michael Giacchino

LAGU TERBAIK
The Weary Kind (Crazy Heart, T-Bone Burnett, Ryan Bingham)

PENATA SUARA TERBAIK
The Hurt Locker: Paul N.J. Ottosson, Ray Beckett

PENYUNTING SUARA TERBAIK
The Hurt Locker: Paul N.J. Ottosson

EFEK VISUAL TERBAIK
Avatar: Joe Letteri, Stephen Rosenbaum, Richard Baneham, Andy Jones

FILM DOKUMENTER TERBAIK
The Cove: Louie Psihoyos and Fisher Stevens

FILM DOKUMENTER PENDEK TERBAIK
Music by Prudence: Roger Ross Williams, Elinor Burkett

FILM PENDEK TERBAIK
The New Tenants: Joachim Back, Tivi Magnusson

FILM ANIMASI PENDEK TERBAIK
Logorama: Nicolas Schmerkin


Debby Dwi Elsha

The Hurt Locker, Antara Fiktif dan Realistik

The Hurt Locker merupakan film perang garapan sineas wanita, Kathryn Bigelow. Film ini ditasbihkan sebagai film terbaik dalam ajang Academy Awards baru lalu serta puluhan penghargaan lainnya di berbagai ajang festival film di dunia. Film independen berbujet $15 juta ini dibintangi oleh aktor-aktor belum ternama, yakni Jeremy Renner, Anthony Mackie, dan Brian Geraghty. Beberapa nama besar mendapat peran kecil dalam film ini yakni, Guy Pearce, David Morse, dan Ralph Fiennes.

Cerita filmnya berlatar pasca Amerika menginvasi Irak di tahun 2004. Alkisah Sersan William James (Renner) mendapat perintah menjadi kepala tim gegana (EOD: Explosive Ordnance Disposal) menggantikan Sersan Thompson (Pearce) yang tewas dalam sebuah insiden. James mendapat dua asisten lapangan mantan bawahan Thompson yakni, Sersan J.T. Sanborn (Mackie) serta seorang specialis Owen Eldridge (Geraghty). Selang beberapa waktu beberapa kasus mereka tangani, Sanborn dan Eldridge merasa terganggu dengan cara kerja James yang mereka nilai terlalu sembrono. Keberanian James memang bisa diacungi jempol namun ia tidak pernah mengindahkan prosedur standar operasional yang ada.

Salah satu nilai lebih film ini adalah naskah yang orisinil tentang aksi para penjinak bom di Perang Irak. Naskahnya sendiri ditulis oleh Mark Boal, seorang jurnalis yang pernah terjun langsung bersama tim gegana di Irak. Plotnya berubah arah setiap waktu tanpa tujuan yang jelas seperti dinamika perang yang selalu berubah-ubah. Keseharian para penjinak bom juga mampu disajikan begitu nyata dan natural. Namun film fiksi hanyalah film fiksi belaka. Seperti film Amerika lazimnya, jagoan tetap saja jagoan. Sifat James yang tak takut mati dan tidak mengindahkan prosedur jelas tak masuk akal dari sisi realistik. Unsur realistiknya memang masih bisa kita perdebatkan namun sebagai tontonan, film ini sangat menghibur utamanya karena sajian aksi dengan ketegangan yang tinggi.

Unsur realisme pun juga didukung aspek teknisnya. Penggunaan teknik handheld camera serta editing yang kasar menjadikan film ini layaknya sebuah tayangan langsung di televisi. Dua teknik ini juga semakin menambah unsur ketegangan dalam setiap sekuen aksinya. Satu yang menjadi kekuatan film ini adalah permainan menawan dari Jeremy Renner. Renner yang awalnya seolah kita pandang sebelah mata lambat laun mampu menarik simpati penonton. Renner bermain brilyan di satu sisi sebagai sosok prajurit tak takut mati di sisi lain ia ternyata hanyalah manusia biasa yang masih memiliki nurani. Beberapa aktor ternama yang muncul sekilas dan tak terduga juga mampu memberi kejutan, terutama Ralph Fiennes yang tampil apik sebagai pimpinan serdadu swasta.

The Hurt Locker semata-mata hanyalah film perang dengan kemasan ala dokumenter seperti banyak film-film perang buatan Hollywood lainnya. Keunggulan film ini jelas ada pada kekuatan naskahnya yang belum pernah tergali sebelumnya. Film perang lazimnya juga memiliki pesan anti perang serta memiliki agenda politik yang kuat namun film ini rasanya tidak mengarah kesana. �War is Drug�. James adalah sosok manusia yang lebih mencintai menjadi penjinak bom melebihi apapun di muka bumi. Tidak salah jika ada seorang pengamat yang mengatakan jika film ini merupakan kendaraan yang sangat efektif untuk mengajak warga Amerika bergabung masuk militer.

Himawan Pratista

Sekilas tentang Eagle Awards

Setiap satu tahun sekali, pastinya kita pernah mendengar tentang salah satu kompetisi film dokumenter yang sudah cukup dikenal bagi masyarakat Indonesia. Ajang yang satu ini dapat dikatakan cukup menarik perhatian, karena dari kompetisi ini sering melahirkan documentary film maker yang berkualitas. Kompetisi ini dikenal dengan Eagle Awards Documentary Competition.

Eagle Awards Documentary Competition ini tertuju pada program pelatihan, produksi dan kompetisi dokumenter yang ditujukan bagi pemula pada khususnya. Salah satu tujuan diadakannya kompetisi ini adalah untuk mendorong kemajuan industri film dokumenter Indonesia dengan menghasilkan sineas muda dokumenter.

Yang dibutuhkan untuk kompetisi ini adalah kreatifitas dalam mengkolaborasi sebuah tema menjadi sebuah ide cerita yang fokus, mempunyai sudut pandang yang unik dan tegas, serta mampu memberikan isnpirasi yang konstrukstif kepada masyarakat luas. Untuk itu, sebelum mengelaborasi tema ini menjadi sebuah ide cerita yang fokus maka dilakukanlah riset yang menghasilkan sebuah data dan fakta yang valid. Data dan fakta yang mendukung kebutuhan ide cerita. Harus diingat pula, bahwa "nyawa" dalam pembuatan film dokumenter adalah data dan fakta bukan asumsi.

Setelah film Eagle Awards selesai diproduksi dan diperlombakan maka bukan berarti Eagle Awards selesai. MetroTV sebagai pihak penyelenggara mempunyai komitmen dalam mendistribusikan film yang telah selesai ini keberbagai festival nasional dan internasional. Untuk nasional, salah satu film dari Eagle Awards yang sudah dikenal yaitu �Gorila dari Gang Buntu� mendapat kategori Film Dokumenter Pendek terbaik di Festival Film Dokumenter 2009.
Dan salah satu festival internasional yang diikuti oleh Eagle Awards adalah Balinale Internasional Film Festival 2008. Dalam festival ini diputar 5 film Eagle Awards produksi tahun 2007 dan 2008 yaitu Kepala Sekolahku Pemulung, Buah Yang Menunggu Mati, Helper Hongkong Ngampus, Pulau Bangka Menangis dan Prahara Tsunami Bertabur Bakau.

Setelah film Eagle Awards diputar maka diadakan diskusi yang menghadiri pembuat film internasional diantaranya adalah Claude theretz (Perancis), Richard Todd (Australia), Dean Allan Thothurst (Australia) dan Tino Saroengallo (Indonesia).Dalam diskusi ini terungkap apresiasi yang cukup baik dari pembuat film dokumenter ini. Bahkan Calude Theretz berencana untuk mempreview film ini di negaranya agar film ini dapat diputar secara nasional di salah satu televisi Perancis.

Mereka sangat tersentuh dengan tema-tema yang diangkat oleh setiap film. walaupun harus diakui secara teknis internasional masih banyak kekurangan. Namun pemilihan tema dalam film Eagle Awards sangat unik dan mempunyai sudut pandang yang tegas. Dan ini bukanlah hal yang mudah dalam dokumenter.

Untuk itu, khususnya yang mempunyai minat terhadap film dokumenter dapat segera mencoba mengikuti kompetisi ini. Dengan adanya ajang ini maka makin terbuka lebar kesempatan bagi semua individu untuk belajar film dokumenter dan menjadi pembuat film dokumenter melalui Eagle Awards Documentary Competition.

Anton Sugito

Film Hollywood Klasik, Hitam Putih tetapi Menarik dan Hangat

Perkembangan film Hollywood yang begitu bombastis saat ini tak lepas dari kesuksesan film-film klasik pada masanya yang telah ada sejak awal 1900-an. Film-film berkualitas era Hollywood klasik sebagian besar masih dibuat hitam putih alias tidak berwarna. Siapa bilang menonton film hitam-putih membuat mata jenuh?

Awalnya sempat terbesit, apa enaknya menonton film yang variasi warnanya tak ada sama sekali, hanya ada hitam dan putih, terkesan datar dan tidak dinamis. Setelah mencoba menonton, semua paradigma tadi terpatahkan. Film klasik hitam-putih mampu memberikan kesan lain, sangat berbeda dengan film era modern saat ini. Ceritanya orisinil dan membangun moral. Hampir semua film klasik tidak ada adegan vulgar menantang, semua sopan, rapi dan apa adanya baik dari sisi tingkah laku maupun bahasa.

Walaupun tekniknya masih sederhana, para pembuat film masa itu mampu mengemas film garapan mereka dengan baik menjadi film yang berkualitas dan menarik untuk ditonton. Seperti misalnya film drama berlatar perang, Casablanca (1942) arahan Michael Curtis. Film ini mengingatkan kita pada arti pengorbanan sesungguhnya dalam situasi yang rumit. Michael Curtis mampu membangun suasana cemas, haru, syahdu, dan bahagia melalui editing gambar, pemilihan musik, dan rangkaian adegan yang dikemas secara apik.

Tidak adanya adegan vulgar dalam film juga sama sekali tidak mengurangi kemenarikan dari kisah cinta yang terjalin di dalamnya. Justru ini mengisyaratkan bahwa cinta adalah bersih. Seperti misalnya, The Best Years of Our Lives (1946) karya William Wyler yang memenangkan piala Oscar untuk film terbaik pada masanya. Film ini juga berlatar perang dengan tiga kisah roman yang sangat menguras air mata. Tak ada adegan vulgar di film ini, semua adegan dirancang dengan sopan dan apa adanya, sekalipun begitu film ini mampu memberikan kesan yang mendalam bagi penontonnya.

Ada lagi karya hebat lainnya seperti It Happened One Night (1934) karya Frank Capra. Film komedi roman yang berisi kisah cinta antara pria dan wanita yang berbeda status ini mampu membawa kita ke dalam perasaan emosional yang kuat. Tak jauh berbeda dengan It Happened One Night adalah Roman Holiday (1950) besutan William Wyler, juga merupakan kisah roman berbeda status yang disajikan dengan manis hingga mampu membuat kita menitikkan air mata. Kedua film ini sama-sama menampilkan adegan dimana tokoh utama lelaki dan wanita tidur dalam satu kamar. Adegan seperti ini di film-film sekarang berpotensi menimbulkan adegan percumbuan hingga adegan ranjang namun nyatanya di kedua film ini tak ada sama sekali aksi vulgar yang muncul.

Semua adegan dalam film-film klasik dibuat sopan sehingga aman untuk ditonton para remaja sekalipun. Saat menonton film-film klasik kita serasa kembali ke masa lalu, nyaman dan hangat. Warna hitam putih tak lantas membuat film-film klasik tidak menarik, justru sebaliknya. Sayang sekali, karya-karya masterpiece seperti ini justru dipandang sebelah mata oleh penonton masa kini. Kebanyakan penonton kini hanya peduli pada film-film baru yang ceritanya heboh dan kaya efek visual, padahal semua ini berangkat dari sukses film-film pada era klasik. Apa salahnya kembali menilik sejarah, yang jelas menonton film klasik akan memberikan Anda sensasi berbeda.

Luluk Nihayati
Mahasiswi Fakultas Budaya UGM

On The Third Cinema

Sudah tidak dipungkiri lagi, masyarakat saat ini memandang sinema bukan lagi sebagai hiburan dan komoditas ekonomi semata, melainkan juga sebagai refleksi sosial dari sebuah fenomena yang terjadi. Dari konteks ini, banyak pakar yang membagi sinema menjadi tiga bagian berdasarkan pada kategori reflektifitas disamping juga ciri khas estetisnya. Sinema yang muncul di Amerika Serikat misalnya, biasanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi yang besar, sehingga muncul istilah yang kita kenal sebagai industri film, dikenal dengan istilah Sinema Pertama. Sinema yang muncul di Eropa, dengan pendekatan estetik yang lebih bebas dan baru (avant-garde), seringkali disebut sebagai sinema kedua. Kedua bentuk sinema inilah yang selama ini mendominasi konsumsi sinema secara global. Tentu saja kita lebih akrab dengan film-film Amerika Serikat dibanding dengan film-film, sebut saja, Afrika Selatan. Kita tentu saja lebih akrab dengan gaya sinema Anthony Minghella dari Inggris dibanding dengan gaya sinema Yasmin Ahmad dari Malaysia. Dengan mekanisme konsumsi semacam ini, otomatis refleksi sosial yang sering ditampilkan di depan mata kita adalah refleksi sosial masyarakat barat, dan itu tidak sama dengan kondisi sosial di wilayah lain, khususnya dunia ketiga.

Kondisi ini memompa munculnya sebuah komitmen politis via sinema untuk menyerap kondisi sosial wilayah tertentu, untuk disesuaikan dengan selera penonton di wilayah yang bersangkutan, kemudian disajikan dengan kebiasaan estetis masyarakat setempat. Oleh banyak pakar sinema, komitmen ini disebut dengan Third Cinema (Sinema Ketiga). Banyak yang mengartikan Sinema Ketiga sebagai sinema yang muncul di dunia ketiga, selain karena latar belakang teoritisnya yang banyak terbantu oleh paradigma Poskolonialisme, sebagian besar gerakan sinema ketiga memang muncul di dunia ketiga.

Pandangan semacam ini tentu saja bermasalah. Apakah film-film (contoh) Nayato Fio Nuala dan Hanung Bramantyo sudah memenuhi kriteria Third Cinema?, apakah film-film mereka yang bersetting lokal itu sudah mumpuni dalam merefleksikan kondisi sosial dan menyampaikannya dalam gaya berbasis konvensi estetika lokal?. Tentu bermasalah. Itulah kenapa, hanya sedikit saja sineas dan karya-karya yang dinilai memiliki komitmen politik sebagai bagian dari counter-domination gaya sinema yang dituturkan dalam Sinema Pertama dan Kedua. Sebagai pemahaman mendasar, Ousmane Sembene dari Senegal, Glauber Rocha dari Brazil, dan Francesco Solanas dari Argentina banyak dinilai sebagai authors yang memang berkomitmen penuh terhadap Sinema Ketiga. Terdapat juga beberapa karya yang banyak dinilai sebagai representasi sinema ketiga meskipun sutradaranya bukan sutradara Third Cinema, seperti The Travelling Players (Theo Angelopoulos, 1975) dan Yellow Earth (Chen Kaige, 1983).

Secara visual, sinema ketiga memiliki metodologi tersendiri untuk membentuk sinema yang memang benar-benar reflektif. Ousmane Sembene misalnya, menempatkan credit title ditengah-tengah film dikarenakan kebiasaan penonton di Senegal yang sangat suka mengobrol saat film sedang diputar sehingga mereka punya cukup waktu untuk itu. Karakteristik sinema Glauber Rocha, meskipun diderivasikan dari Neorealisme, ia kolaborasikan dengan kondisi kepenontonan orang-orang Brazil dengan cara mengangkat kebiasaan sehari-hari mereka, alih-alih mencari situasi diluar kebiasaan seperti yang biasa dilakukan oleh Sinema Pertama dan Kedua. Dengan demikian, independensi Sinema Ketiga bisa semakin didekati atau dalam istilah Teshome Gabriel , berhasil memasuki Combative Phase sebagai fase final dimana sinema ketiga bisa bersaing dengan sinema lainnya. Dan untuk mencapai fase itu, setiap gerakan politis via Sinema haruslah melewati dua fase terdahulu: The unqualified assimilation (seperti apa yang terjadi di Indonesia) dan The Remembrance Phase (Fase transisional menuju Fase kombatif), author Sinema Ketiga tulen seperti Ousmane Sembene pun pernah melalu fase ini, seperti bisa kita lihat dalam film awalnya: Mandabi.

Makbul Mubarak
Mahasiswa Fisipol UMY