Kamis, 21 September 2000

Chronicle

5 Februari 2012

Sutradara: Josh Trank 
Produser: John Davis / Adam Schroeder 
Penulis Naskah: Max Landis 
Pemain: Dane DeHaan / Michael B. Jordan / Alex Russel / Michael Kelly 
Sinematografi : Matthew Jensen 
 Editing: Elliot Greenberg 
 Ilustrasi Musik: - 
 Studio: Davis Entertainment 
 Distributor: 20th Century Fox 
Durasi: 83 menit 
Bujet: $15 juta

Kisah tentang awal muasal sosok superhero bukan hal yang baru lagi. Rata-rata plot film superhero menyajikan latar belakang yang cukup dari bagaimana sang tokoh mendapatkan kekuatan supernya hingga menjadi pembela umat manusia. Batman Begins serta X-Men: First Class mencoba berbeda dengan memperdalam latar belakang tokoh-tokoh utamanya ke level yang belum pernah disentuh sebelumnya. Chronicle walau bisa dibilang idenya tak fresh namun mencoba sesuatu ke wilayah yang baru bagi genre superhero. Chronicle dari beberapa sisi bisa saja belum disebut sebagai genre superhero dan lebih mengacu ke genre fiksi ilmiah, namun kisahnya juga bisa mengindikasikan tentang asal muasal seorang superhero. Sepertinya sub genre superhero lebih tepatnya. Kisah film ini juga menggunakan pendekatan psikologis bagaimana sisi gelap manusia lebih berkuasa ketika emosi tak terkontrol, terlebih jika ia memiliki kekuatan fisik dan mental di atas rata-rata manusia. Great powers comes great responsibilities. Kisah filmnya secara detil dan sabar mampu mendeskripsikan semua aspek ini sejak Andrew, Matt, dan Steve mendapatkan kekuatan super hingga tuntutan bersikap dewasa serta bagaimana mereka mengontrol kekuatan mereka untuk kepentingan orang banyak serta melawan ego dan jiwa muda mereka sendiri.



Dengan menggunakan pendekatan gaya dokumenter ala The Blair Witch Project (editan dari video) film ini cenderung memisahkan jarak antara film dengan penonton. Kita seolah menonton film dokumenter dengan komposisi gambar seadanya dan gerak kamera yang kasar sering membuat mata lelah. Namun kisahnya yang menarik serta efek visual yang meyakinkan membuat kita sebentar saja larut dalam filmnya. Film ini juga konsisten menggunakan Point of view shot melalui sudut pandang kamera. Entah itu kamera milik Andrew, kamera orang lain, handphone, cctv, serta lainnya. Dengan hanya melalui sudut pandang kamera-kamera ini saja mampu dibangun rangkaian cerita yang dramatik serta mampu membangun ketegangan konflik yang semakin tinggi hingga klimaks cerita.

Dengan bujet yang sangat minim tentu film ini tak mampu meyajikan efek visual yang wah seperti layaknya film-film superhero lazimnya. Namun justru dengan pendekatan gaya dokumenter yang digunakan mampu menghasilkan efek visual yang sangat realistik, seperti District 9 berhasil melakukan hal yang sama pula. Efek-efek visual supernatural, seperti menggerakkan benda-benda berukuran kecil hingga mobil benar-benar tampak seperti sungguhan. Satu lagi yang paling mengagumkan adalah ketika para tokohnya terbang di angkasa, kita seperti layaknya terbang sungguh di angkasa. Di klimaks filmnya, aksi sejenis mungkin pernah kita lihat di film-film X-Men, Iron Man,serta Hancock namun nuansa nyata disini benar-benar tak tertandingi.

Satu lagi yang tak bisa diremehkan adalah akting para pemain mudanya. Tiga tokoh utamanya bermain natural khususnya Dane DeHaan bermain ekspresif sebagai Andrew Detmer. DeHaan yang terbiasa bermain di seri televisi ternyata tidak canggung bermain di layar lebar. Andrew yang cenderung pendiam dan emosional menjadi kunci karena konflik filmnya ada di karakter ini. DeHaan mampu bermain sangat baik sebagai karakter Andrew yang �semi psikopat� terhitung sulit diperankan. Sementara Alex Russel dan Michael B. Jordan yang bermain sebagai Matt dan Steve mampu mengimbangi dengan baik.

Chronicle merupakan satu turning point lagi bagi genre superhero, setelah The Dark Knight dan Kick Ass. Pendekatan gaya dokumenter yang dipakai juga tak lazim untuk genre ini namun efek nuansa nyatanya sungguh luar biasa dan mampu menyatu sempurna dengan kisahnya walau tanpa ilustrasi musik. Dari sisi cerita, film ini menawarkan pendekatan psikologis yang lebih dari film-film superhero lainnya. Film ini banyak mengingatkan pada film perang Vietnam, The Deer Hunter, yang menggunakan pendekatan psikologis sejenis. Sejauh apa manusia bisa bertahan dalam tekanan psikologis yang begitu dahsyat. Dalam Chronicle tekanan psikologis adalah lingkungan, kekuatan super, dan ego mereka sendiri. Setelah semua pencapaian luar biasa diatas, muncul satu pertanyaan yang sangat mengganjal saat filmnya berakhir. Siapa orang yang mengedit potongan-potongan film ini? (A)

Underworld: Awakening

8 Februari 2012
Sutradara: M�ns M�rlind / Bj�rn Stein
Produser: Tom Rossenberg / Gary Lucchesi / Len Wiseman / Richard Wright
Penulis Naskah: Len Wiseman / John Hlavin / J. Michael Straczynski / Allison Burnett
Pemain: Kate Beckinsale / Sandrine Holt / Stephen Rea / Theo James / Michael Ealy
Sinematografi : Scott Kevan
Editing: John Hantzmont
Ilustrasi Musik: Paul Haslinger
Studio: Lakeshore Entertainment / Skecth Films
Distributor: Screen Gems
Durasi: 88 menit
Bujet: $70 juta

Sukses seri-seri sebelumnya, Underworld (2003), Underworld: Evolution (2006), Underworld: Rise of the Lycans (2009), rasanya yang memicu produksi seri keempatnya ini walau sebenarnya tak sesukses yang diharapkan. Setelah seri ketiga yang merupakan prekuel dari dua seri sebelumnya, seri keempat kali ini merupakan sekuel dari seri keduanya. Untuk me-refresh kembali penonton lama dan kompromi dengan penonton baru, pada pembuka filmnya ditampilkan kilasan dua seri awalnya. Tampak sekali cerita sekuel kali ini dipaksakan. Selene dan Michael, di akhir seri kedua telah menjadi �dewa dan dewi� bagi kaumnya, Vampire dan Werewolf super. Lantas mau kemana lagi kisahnya?
.
Setelah happy ending bagi Selene dan Michael, dikisahkan manusia memburu dan memusnahkan ras vampir dan lycans yang mengancam mereka. Di awal film, Selene harus bersusah payah untuk menghalau manusia yang menghalangi jalannya. Selene dan Michael yang sudah demikian kuat ternyata masih kalah. Dua belas tahun kemudian, Selene terbangun dan mendapati dirinya di sebuah lab misterius, setelah bentrok para penjaga, ia pun keluar dari lab. Ia kini memiliki kemampuan supernatural untuk melihat apa yang dilihat seseorang yang ia pikir Michael. Setelah beberapa waktu barulah ia mengetahui bahwa visi yang ia lihat ternyata bukanlah dari Michael. Setelahnya, plot berjalan tanpa henti, pengejaran demi pengejaran, dan non stop aksi hingga akhir filmnya. Melelahkan? Tidak juga. Fans Selene pasti menikmati sekali perjalanan ini.
.
Jelas kedalaman cerita bukanlah sebuah tawaran dari kisahnya. Aksi yang stylish serta efek visual seperti seri-seri sebelumnya menjadi menu utama yang dijual ke penonton. Bicara soal aksi, sekuelnya kali ini lebih keras, sadis, dan berdarah dari sebelumnya. Memang tak sesadis yang kita bayangkan hanya tampak gaya aksinya tak konsisten jika dibandingkan seri-seri sebelumnya. Selene yang sudah demikian kuat dan cepat ternyata masih harus bergantung pada senjata api yang nyaris tak pernah lepas dari tangannya. �Buat apa menodongkan pistol, kamu bisa membunuhku kapan saja kamu mau�, ujar Detektif Sebastian pada Selene. Kata-kata yang membuat saya tertawa kecil. Mungkin Selene masih kurang percaya diri dengan kekuatannya sendiri.
.
Kate Beckinsale seperti biasa bermain dingin dan cool sebagai Selene, persis seperti dua seri awalnya. Tak ada akting, hanya berlari dan berlari, berkelahi, dan menembak. Sayang aktor Scott Speedman yang bermain sebagai Michael tak lagi mau bermain di sekuelnya kali ini. Karakter Michael sekalipun sering kali disebut namun nyaris tak pernah tampak. Mungkin naskahnya berjalan berbeda jika karakter Michael tampil dominan seperti dua seri awalnya.
.
Tak banyak yang ditawarkan dari seri Underworld kali ini. Plotnya jelas terlalu dipaksakan dan hingga ending kisahnya pun masih menyisakan pertanyaan yang bisa memicu sekuelnya lagi, jika film ini sukses. Konflik abadi antara ras vampir dan lycans yang menjadi tema utama tiga seri sebelumnya telah luntur di seri kali ini. Para sesepuh vampir dan lycans yang karismatik sudah binasa di masa lalu. Selene dan Michael telah menjadi sosok super tanpa tanding. Lalu mau seperti apa lagi kisahnya? (C)

Real Steele

31 Oktober 2011

Sutradara: Shawn Levy
Produser: Shawn Levy / Susan Montford / Dom Murphy
Penulis Naskah: John Gatins
Pemain: Hugh Jackman / Dakota Agoyo / Evangline Lily
Ilustrasi Musik: Danny Elfman
Penata Kamera: Mauro Fiore
Editing: Dean Zimmerman
Studio: Dreamworks Pictures
Distributor: Touchstone Pictures
Durasi: 127 menit
Bujet: $154 juta

Pada tahun 2020 dikisahkan olahraga tinju digantikan oleh robot. Seorang mantan petinju, Charlie Kenton (Jackman) mencari penghasilan dengan robotnya namun selalu gagal. Ia kini juga harus merawat sementara putranya, Max (Agoyo), anak dari mantan pacarnya yang baru saja meninggal. Secara tak sengaja Max dan Charlie menemukan sebuah robot di tempat rongsokan dan ia membawanya pulang. Robot bernama Atom tersebut ternyata masih berfungsi normal dan dengan sedikit modifikasi oleh Max, robot ini diubah menjadi robot petinju. Setahap demi setahap Atom mampu merubah hidup Charlie dan Max melebihi apa yang mereka impikan.

.
Perpaduan unik antara genre olahraga, drama keluarga, dan fiksi ilmiah. Plotnya banyak mengingatkan pada �Rocky�, yang menjadi standar plot genre olahraga: from hero to zero. Sekalipun plotnya mudah sekali diprediksi namun sisi dramatik kisahnya yang mengharukan sedikit banyak menolong filmnya. Di sisi lain juga ada bagian cerita yang dirasa terlalu cepat, yakni ketika disajikan sepak terjang Atom sejak awal hingga menjadi populer (disajikan menggunakan teknik montage sequence). Dari sisi perjuangan Atom dari nol hingga menjadi dikenal ini memang efektif namun sisi dramatik kedekatan antara ayah dan anak menjadi sedikit lepas disini.
.
Disamping unsur dramatik, nilai lebih film ini jelas pada visualisasi (CGI) robot-robot petarung yang disajikan dengan sangat meyakinkan. Aksi-aksi pertarungan seru di arena disajikan begitu menawan dan tampak sangat nyata, sama seperti halnya film fiksi ilmiah populer, Transformers. Kekuatan lain ada pada penampilan akting Hugh Jackman dan aktor cilik, Dakota Agoyo. Agoyo tampil mencuri perhatian ketimbang Jackman sendiri. Penampilan akting mereka mampu menjaga chemistry diantara keduanya yang terjalin dengan manis sepanjang film. Musik bernuansa rock dan hip hop juga menjadi faktor pendukung yang kuat, sekalipun sentuhan Elfman sendiri sama sekali tidak tampak disini. Settingnya, terutama arena pertarungan, unik dan sangat pas yang menggabungkan aroma western, post modern, bahkan hingga bekas kebun binatang.
.
Real Steel tidak hanya menawarkan aksi-aksi para robot belaka namun juga sisi dramatik yang kuat dan mengharukan. Kehangatan hubungan antara ayah dan anak menjadi sentuhan manusiawi di antara mesin-mesin mekanik yang tengah beraksi. Film ini rasanya adalah film terbaik yang mampu memadukan dengan apik, genre olahraga, drama, serta fiksi ilmiah. Tidak seperti tiga seri Transformers, Real Steel menawarkan lebih dari hanya sekedar hiburan semata. (B+)

The Green Hornet, Komedi Superhero Milik Rogen atau Gondry?

3 Februari 2011
The Green Hornet
Sutradara: Michel Gondry
Produser: Neal H. Moritz
Penulis Naskah: Seth Rogen / Evan Goldberg
Pemain: Seth Rogen / Jay Chou / Cameron Diaz / Cristoph Waltz
Ilustrasi Musik: James Newton Howard
Penata Kamera: John Schwartzman
Editing: Michael Tronick
Studio: Original Film
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 119 menit
Bujet: $120 juta

Britt Reid (Rogen) adalah putra seorang milyuner pemilik surat kabar Sentinel di LA. Tabiat Reid yang selalu menghabiskan waktu sia-sia untuk bersenang-senang membuat kesal sang ayah. Suatu ketika sang ayah dibunuh dan Reid sangat terpukul. Segalanya berubah ketika Reid bertemu Kato (Chou), ahli mekanik dan supir ayahnya, yang ternyata juga ahli senjata serta beladiri. Reid lalu mengajak Kato untuk menjadi �superhero� dengan menjadi kriminal yang ditakuti para kriminal. Reid bahkan memanfaatkan surat kabar ayahnya untuk mem-blow up mereka ini dengan memberi nama sang jagoan �The Green Hornet�. Sepak terjang The Green Hornet ternyata membuat berang sorang mafia Rusia, Benjamin Chadnofsky (Waltz) yang membuat sayembara berhadiah $1 juta untuk menyingkirkan pemain baru ini.


The Green Hornet yang konon kisah aslinya diambil dari program radio telah beberapa kali diadaptasi beberapa media menjadi serial tv serta buku komik, hingga film. Dari sisi sisi cerita The Green Hornet menawarkan kisah superhero unik yakni melawan kriminal dengan �kriminal�. Tokoh utamanya pun bukan sosok jagoan berkekuatan super seperti layaknya superhero lazimnya. Sang jagoan justru lebih banyak berceloteh dan berpolah konyol. Namun dari sisi cerita secara keseluruhan tak banyak yang ditawarkan. Gondry yang sebelumnya membuat film-film bernuansa absurd macam Eternal Sunshine dan Be Kind Rewind kali ini tak tampak sama sekali sentuhannya. Satu sentuhan artistik �absurd� Gondry hanya tampak pada adegan aksi yang menampilkan efek bayangan ketika Kato menghajar para preman.

Aksi komedi serta dialog konyol memang menjadi penekanan filmnya. Rogen yang juga menulis skripnya memang menyukai komedi verbal seperti ini hingga adegan dialog yang tak penting pun bisa diulur-ulur. Duo Rogen dan Chou juga tampil tidak buruk sekalipun karakter Kato lebih banyak pasif. Cameron Diaz yang bermain sebagai Lenore tampak sekali hanya berfungsi sebagai pemanis tanpa banyak peran yang berarti. Sementara Christoph Waltz yang bermain kuat dan percaya diri dalam Inglorious Basterds kali ini mendapat peran konyol yang sama sekali tidak pas dengannya.

The Green Hornet bagi penonton awam adalah film aksi komedi yang menghibur terutama karena komedi verbal serta beberapa adegan aksi konyolnya. Sentuhan Rogen tampak lebih dominan ketimbang sentuhan Gondry. Sekalipun di masa silam Gondry berkolaborasi baik bersama komedian macam Jim Carey dan Jack Black namun Rogen rasanya bukan kolaborator yang pas untuk sang sineas. Bisa jadi karena sang sineas kini tidak menulis naskahnya. Sebagai fans berat film-film bikinan Gondry sebelumnya, saya cuma mau bilang, �What the hell are u doin man (Gondry)?� (C)

Rabu, 20 September 2000

The Mechanic, Film Aksi Kelas B yang Elegan

28 Januari 2011
The Mechanic
Sutradara: Simon West
Produser: Irwin & David Winkler / Robert & William Chartoff
Penulis Naskah: Lewis John Carlino
Pemain: Jason Statham / Ben Foster / Donald Sutherland
Ilustrasi Musik: Mark Isham
Penata Kamera: Eric Schmidt
Editing: T.G Herrington / Todd E. Miller
Studio: Live Planet
Distributor: CBS Films
Durasi: 100 menit
Bujet: $40 juta

Arthur Bishop (Statham) adalah seorang pembunuh bayaran profesional yang biasanya menerima order dari Harry (Sutherland). Harry memiliki seorang putra, Steve (Foster) yang ia harapkan mampu bekerja bersama Arthur kelak. Setelah Harry tewas, Arthur terpaksa melatih Steve untuk menjadi partnernya. Misi demi misi berlalu, belakangan Steve mengetahui jika ternyata Arthur sendiri yang telah membunuh ayahnya.


Film ini merupakan remake film berjudul sama, The Mechanic (1972) yang dibintangi oleh aktor laga, Charles Bronson. Tidak seperti film-film aksi Statham lazimnya, film ini bertutur dengan tempo sedang dan sedikit sabar tidak mengumbar adegan aksi. Tak ada yang istimewa dengan kisahnya, tanpa melihat film aslinya pun, film ini terlalu mudah diantisipasi. Inti konfliknya hanyalah standar plot balas dendam, perseteruan sang guru versus murid.

West yang kita kenal dengan film-film sarat aksi macam Con Air dan The Tomb Rider, dan kali ini ia mencoba tampil beda dengan menggarap film aksi kelas B berbujet kecil. West mengakali secara elegan melalui pencapaian sinematografi yang matang, gambar berefek �grain� dengan dominan shot-shot dekat. Adegan aksinya sendiri juga cenderung brutal dan realistik, nyaris semua adegan aksi menampilkan shot pistol yang ditembakkan ke arah kepala secara langsung dengan darah dimana-mana. Too violent.. dan tidak enak dipandang. Statham adalah sosok yang menjadi kunci film ini. Tidak seperti film-film Statham sebelumnya, West tidak banyak mengeksploitasi kemampuan fisik sang aktor namun lebih menggali sisi emosi dan pesona Statham. Bisa jadi ini adalah film terbaik sang bintang yang pernah ia lakoni.

The Mechanic hanyalah film berbiaya murah yang mencoba menawarkan aksi kekerasan brutal dan pesona Statham yang dikemas secara elegan. Penonton yang terbiasa dengan film-film aksi seru yang dibintangi Statham (Seri Transpoter, Death Race, seri Crank) boleh jadi kecewa karena tak banyak aksi seru yang ditawarkan. Bagi penonton yang ingin melihat penampilan yang berbeda dari Statham tak ada salahnya menonton film ini. Statham sepertinya mencoba beralih dari sosok bintang laga yang mengandalkan kemampuan fisik menjadi sosok yang lebih berkarisma, dan ia memang memiliki potensi untuk itu. (C+)

Selasa, 19 September 2000

Tron: Legacy, Menawarkan Keindahan Tata Artistik dan Efek Visual

25 Desember 2010
Tron: Lecagy (2010)
Sutradara: Joseph Kosinski
Produser: Steven Lisberger / Sean Bailey / Jeffrey Silver
Penulis Naskah: Adam Horowitz / Edward Kitsis
Pemain: Jeff Brigdges / Garrett Hedlund / Olivia Wilde
Ilustrasi Musik: Daft Punk
Penata Kamera: Claudio Miranda
Editing: James Haygood
Studio: Live Planet
Distributor: Walt Disney Pictures
Durasi: 127 menit
Bujet: $170 juta

Kevin Flynn (Bridges) adalah seorang ahli komputer ENCOM yang menemukan sebuah teknologi digital mutakhir yang konon mampu merubah kehidupan manusia. Suatu ketika Kevin menghilang tanpa bekas meninggalkan keluarga dan perusahaannya. Dua puluh tahun kemudian, Sam Flynn (Hedlund), putra dari Kevin mendapat petunjuk tentang ayahnya di sebuah tempat permainan lama milik ayahnya. Kevin lalu menemukan ruang rahasia ayahnya dan secara tak sengaja berpindah ke dunia maya, The Grid, yang diciptakan ayahnya. Belum lepas dari kebingungannya, Kevin terlibat dalam sebuah permainan berbahaya yang mengharuskannya berjuang untuk hidup.

Tron: Legacy merupakan sekuel dari film pertamanya, Tron (1982) dan karakter Kevin Flynn pun masih diperankan sama pula oleh Jeff Bridges. Tidak mengherankan jika penonton yang langsung melihat film ini agak bingung dengan kisahnya. Tampak jelas latar belakang cerita ada pada film pertamanya. Lho Tron-nya mana sih? Ini komentar-komentar yang muncul sewaktu menonton. Karakter Tron yang menjadi judul filmnya, hampir tidak pernah muncul dalam filmnya. Inti kisah filmnya sebenarnya sederhana hanya sepertinya istilah-istilah teknis yang sering digunakan dalam film ini membuat kebanyakan penonton bingung. Mengapa bingung, cerita memang bukan keunggulan filmnya namun adalah pencapaian visualnya.

Pencapaian tata artistik dan efek visual film ini sungguh-sungguh memesona mata penonton. Setting futuristik plus kostum unik yang demikian gemerlap membuat film ini layak meraih nominasi Oscar untuk tata artistik serta kostum terbaik. Pencapaian efek visualnya (CGI) malah jauh lebih baik dan nyaris belum pernah melihat pencapaian sebaik ini. Coba simak, sekuen duel motor yang begitu seru disajikan sangat-sangat mengagumkan dijamin keindahannya bakal mampu menyilaukan mata kita. Wajah Jeff Brigdes muda (CLU) melalui rekayasa digital juga mampu ditampilkan dengan sangat-sangat meyakinkan. Sangat pantas jika film ini meraih Oscar untuk efek visual terbaik.

Tron: Legacy menawarkan keindahan visual luar biasa hingga mampu menenggelamkan kelemahan kisahnya. Bridges termasuk para pemain mudanya seperti Hedlund (Sam) dan Wilde (Quorra) bermain cukup baik. Satu lagi kekuatan filmnya juga ada pada iringan musik �techno� enerjik yang begitu pas dengan mood filmnya yang dibawakan duo Daft Pank. Diluar dugaan film ini banyak memberi kejutan. Nikmati saja keindahan visualnya tanpa perlu banyak berpikir. (B)

The Tourist, Depp and Jolie + Venice? Disaster

30 Desember 2010
The Tourist (2010)
Sutradara: Florian Henckel von Donnersmarck
Produser: Graham King / Tim Headington / Roger Birnbaum
Penulis Naskah: Florian Henckel von Donnersmarck / Christoper Mc Quarrie / Julian Fellowes / Jerome Salle (film asli)
Pemain: Johnny Depp / Angelina Jolie / Paul Bettany / Timothy Dalton
Ilustrasi Musik: James Newton Howard
Penata Kamera: John Seale
Editing: Joe Hutshing / Patricia Rommel
Studio: GK Films / Spyglass Entertainment / Studio Canal / Realtivity Media
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 103 menit
Bujet: $100 juta

Alexander Pearce adalah seorang buron internasional yang telah menggelapkan uang ratusan milyar Poundsterling. Interpol Inggris dibawah pimpinan Inspektur John Acheson (Bettany) mengawasi gerak-gerik wanita bernama Elise (Jolie) yang diduga dekat dengan Pearce. Elise mendapat petunjuk melalui sebuah surat agar ia bisa bertemu dengan Pearce sekaligus mengecoh para polisi yang menguntitnya. Elise mengikuti petunjuk untuk naik kereta ke Kota Venice dan duduk dengan seseorang yang sosoknya mirip dengan Pearce, yakni seorang turis bernama Frank Tupelo (Depp). Elise juga mengajak Frank untuk menginap di sebuah hotel mewah di Venice. Pihak polisi Inggris yang semula ingin menangkap Frank menyadari jika ternyata mereka dikecoh namun satu kelompok gangster yang mendapat info yang salah justru ingin menangkap Frank.

Film ini konon adalah remake film Perancis berjudul Anthony Zimmer (2005). Entah seperti apa film aslinya, satu kelemahan menyolok film ini adalah plotnya yang buruk. Ide cerita sebenarnya cukup menarik sekalipun tak orisinil namun naskahnya tidak mampu memberikan cukup unsur misteri serta ketegangan yang diharapkan. Semuanya serba datar dan membosankan. Bahkan penonton yang cerdas sudah bisa menebak ending filmnya sejak awal. Amat terlalu mudah. Siapa menduga plotnya bakal seburuk ini? Naskah yang buruk juga diperparah dengan dialog-dialog yang sangat konyol dan tak perlu. Tempo film yang lambat dan membosankan, kisahnya yang cenderung serius, minim adegan aksi, ending yang sangat mudah ditebak, serta dialog yang buruk, Anda mau komentar apa lagi?

Kombinasi bintang sekelas Depp dan Jolie sepertinya menjanjikan sebuah film yang istimewa namun terlepas dari naskahnya yang buruk, penampilan mereka juga sama sekali tidak menggigit. Tak ada sedikipun chemistry di antara mereka berdua. Sungguh konyol, akting Depp dan Jolie jelas terlalu lemah untuk karakter yang mereka perankan. Lokasi setting di kota air Venice juga menjanjikan sebuah panorama yang indah dan eksotis namun nyatanya juga tidak. Sudut-sudut kota Venice yang dipilih sama sekali tak menarik dan terlihat sepi. Kota Venice tak pernah terlihat membosankan seperti ini dalam sebuah film.

Sungguh mengherankan mengapa �tone� filmnya cenderung serius dan tidak mengarah ke komedi. Akting dan dialog konyol serta plot yang mudah diantisipasi rasanya lebih cocok untuk film full komedi. Sungguh mengherankan pula bintang sekelas Depp dan Jolie mau terlibat dalam film ini. Dengan segala kelemahan naskah dan dialognya, kasting dua bintang besar era ini, serta bujet sebesar $100 juta tak salah jika film ini layak disebut sebagai salah satu film terburuk yang diproduksi tahun ini. �$20 juta (operasi wajah) kamu memilih wajah seperti ini?�. �Memang bagaimana penampilanku?�. �Hmm.. not bad�. Sayangnya tidak untuk film ini. (F)

Narnia, Voyage of the Dawn Trader, Berakhir Sesaat Bermula

20 Desember 2010
Narnia: Voyage of the Dawn Trader (2010)
Sutradara: Michael Apted
Produser: Mark Johnson / Andrew Adamson
Penulis Naskah: Christopher Marcus / C.S. Lewis (novel)
Pemain: Georgie Henley / Skandar Keyness / Liam Nesson (voice) / Simon Pegg (voice)
Ilustrasi Musik: David Arnold
Penata Kamera: Dante Spinotti
Editing: Rick Shaine
Studio: Fox 200 Pictures / Walden Media
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 115 menit
Bujet: $ 140 juta

Beberapa tahun setelah kejadian di seri kedua, Lucy (Henley) dan Edmund (Keyness) yang kini bertambah dewasa kini bersekolah di London. Sementara kedua kakak mereka, Harry dan Susan bersekolah di Amerika. Lucy dan Edmund mengeluhkan kehidupan keseharian mereka yang membosankan jauh dari masa-masa indah petualangan mereka di Narnia. Sampai suatu ketika mereka berkesempatan kembali masuk ke Narnia, kali bersama sepupu mereka Eustace (Will Poulter).

Seperti sebelumnya konon seri film Narnia hingga yang ketiga ini loyal dengan novelnya. Terlepas seperti apapun novelnya, hingga seri yang ketiga ini tidak menawarkan sesuatu yang istimewa. Baik novel maupun filmnya memang lebih ditujukan untuk anak-anak. Mereka yang bisa menikmati film ini lebih baik. Bagi penonton dewasa, bisa diibaratkan film ini berakhir sesaat film ini bermula, sama seperti dua seri sebelumnya. Kisah filmnya hanya mengusik kita di awal filmnya namun setelah tokoh-tokohnya melompat ke negeri Narnia, konflik yang ada setelahnya hanyalah menjemukan belaka. Membosankan. Boleh dibilang film ini sebenarnya tidak memiliki konflik selain konflik dalam diri karakternya masing-masing tanpa substansi cerita yang mendalam.

Berbeda dengan seri sebelumnya kali ini yang mencuri perhatian adalah karakter Eustace yang diperankan menawan oleh Will Poulter. Akting sang aktor cilik yang sinis dan menyebalkan justu mendapat tempat tersendiri ketimbang karakter Lucy, Edmund, hingga Kaspian. Boleh dibilang jika tak ada karakter ini film ini sama sekali tidak menghibur dari segi cerita.

Seri ketiga ini yang menggunakan format 3D jelas menawarkan pencapaian visual yang mengagumkan ketimbang dua seri sebelumnya. Separuh setting cerita yang berada di kapal dan lautan semakin mendukung efek 3D-nya. Pencapaian efek visual sangat menawan misalnya tampak pada lautan yang terbelah di pantai batas negeri Aslan. Efek visualnya sungguh-sungguh tampak nyata dan mengagumkan.

Narnia seri ketiga ini secara umum tidak menawarkan sesuatu yang baru selain efek 3D-nya. Sayang sekali, sebenarnya kisah filmnya memiliki potensi lebih untuk digali lebih dalam. Sosok singa bijak, Aslan sebenarnya bisa disandingkan dengan sosok Gandalf atau Yoda jika kisahnya digarap lebih dalam. Seri Narnia memang berbeda dengan seri Harry Potter atau Lord of the Ring, film ini semata-mata hanyalah film anak-anak. Go on enjoy the movie kids! (C)

Rapunzel, Not That Magical�

18 Desember 2010
Tangled aka Rapunzel (2010)
Sutradara: Nathan Greno / Byron Howard
Produser: Roy Conli
Penulis Naskah: Dan Fogelman / Brothers Grimm (novel)
Pemain: Mandy Moore / Zachary Levy
Ilustrasi Musik dan Lagu: Alan Menken
Editing: Tim Mertens
Studio: Walt Disney Animation Studios
Distributor: Walt Disney Pictures
Durasi: 100 menit
Bujet: $ 260 juta

Alkisah dalam sebuah kastil terpencil hidup seorang gadis bernama Rapunzel (Moore) yang memiliki rambut sangat panjang berwarna emas yang memiliki kekuatan magis bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Rapunzel sebenarnya adalah putri seorang raja yang sejak bayi diculik oleh seorang wanita tua licik, bernama Gothel yang memanfaatkan rambutnya untuk hidup awet muda. Suatu hari seorang lelaki muda, Flynn Rider (Levy), yang juga buron karena mencuri mahkota kerajaan secara tak sengaja masuk ke kastil Rapunzel. Rapunzel menyembunyikan mahkota tersebut dan memaksa Flynn untuk mengantarnya untuk melihat lentera terbang yang muncul setiap kali ia berulang tahun.


Rapunzel kali ini dengan format tiga dimensi ingin mengulangi sukses animasi tradisionalnya, seperti The Little Mermaid, The Beauty and the Beast, Aladdin dan lainnya. Film-film ini memadukan kisah roman dan fantasi, musikal, aksi hingga komedi dengan sangat sempurna. Sekalipun Rapunzel memang memiliki kualitas gambar yang sangat memesona (standar film 3D masa kini) namun dari sisi cerita kurang bisa menampilkan �magis� yang biasanya muncul dalam film-film animasi tradisional Disney. Sekalipun biasanya mudah ditebak kisahnya namun kisah-kisah Disney mampu menyihir kita dan membuat kita larut masuk dalam kisah dan tokoh-tokohnya. Entah mengapa Rapunzel tidak memiliki ini semua. Karakter Flynn dan Maximus, sang kuda, yang berperan penting dalam kisahnya tidak memiliki ikatan batin dengan penonton. Satu-satunya karakter yang memiliki ikatan batin dengan kita hanyalah tokoh Rapunzel. Chemistry roman antara Rapunzel dan Flynn pun tampak kurang kuat.

Ruh animasi tradisional Disney yang terletak pada sekuen musikalnya kali ini coba dimunculkan kembali melalui komposer Alan Menken yang sukses dengan The Little Mermaid, The Beauty and the Beast, serta Alladin. Nomor-nomor manis yang melegenda di film-film tersebut kini tak tampak lagi, dalam Rapunzel terlepas dari koreografinya yang menarik, nyaris tak ada satupun yang berkesan sekalipun dilantunkan dengan manis oleh Mandy Moore.

Dari sisi cerita dan sekuen musikalnya, Rapunzel jelas sangat jauh jika dibandingkan dengan film-film tradisional Disney lainnya. Rapunzel semata-mata hanya menawarkan pencapaian visual yang sangat indah yang sudah sepantasnya untuk film berbujet termahal kedua yang pernah diproduksi sepanjang sejarah sejauh ini. Bagi penonton �anal-anak dan remaja� masa kini rasanya film ini bakal menghibur mereka karena pencapaian grafisnya namun bagi penonton masa silam yang ingin melihat �magis� Disney seperti era jayanya dulu rasanya film ini tidak akan berkesan. (B-).

Buried, Eksplorasi Mengesankan dari dalam Peti Mati

25 Desember 2010
Buried (2010)
Sutradara: Rodrigo Cortez
Produser: Adrian Guerra / Peter Safran / Samuel Hadida
Penulis Naskah: Chris Sparling
Pemain: Ryan Reynolds
Ilustrasi Musik: Victor Reyes
Penata Kamera: Eduard Grau
Editing: Rodrigo Cortez
Studio: The Safran Company / Versus Entertainment / Dark Trick Films
Distributor: Lionsgate
Durasi: 94 menit
Bujet: kurang dari $2 juta

Paul Conroy (Reynolds) mendapati dirinya terikat dan dikubur hidup-hidup dalam sebuah peti mati. Ia panik menjerit minta tolong dan berusaha sekuatnya untuk keluar dari peti namun usahanya sia-sia. Tak lama ia menyadari sebuah handphone berada di dekatnya. Dengan hanya bermodal sebuah handphone isi baterai bersisa separuh, Paul berusaha menghubungi orang-orang yang ia yakini bisa menolongnya keluar dari mimpi buruk ini.

Film dengan setting minim memang bukan hal baru. Tercatat sineas thriller kawakan Alfred Hitcock gemar menggunakan setting dalam ruang yang terbatas, seperti Rear Window, The Rope, Dial M for Murder, hingga Lifeboat. Lifeboat tercatat merupakan setting yang paling minim yakni hanya dalam satu sekoci penyelamat. Belum lama lalu film produksi Jerman, Lebanon (2009) mengambil setting interior sebuah tank. Namun Buried sejauh ini tercatat adalah film yang menggunakan setting paling sempit (minim), yakni dalam sebuah peti mati. Mata kamera sama sekali tak pernah beranjak menyorot ruang dalam peti mati.

Apa yang bisa ditawarkan dari setting begitu sempit dan terbatas ternyata melebihi yang kita bayangkan. Setting cerita pasca invasi Irak serta motif tebusan teroris membuat segalanya menjadi memungkinkan. Handphone menjadi satu-satunya alat yang ampuh untuk mengembangkan cerita. Dari awal hingga akhir unsur ketegangan cerita berjalan semakin meningkat tanpa memaksa sedikit pun. Hanya solusi cerita dirasa terlalu mudah, kurang setimpal dengan semua usaha yang telah dilakukan oleh Paul. Apa mau dikata, apa lagi yang bisa kita lakukan jika kita dikubur hidup-hidup? Sungguh-sungguh sebuah mimpi buruk.

Apa yang diinginkan sineas adalah penonton benar-benar merasakan seperti apa rasanya jika kita dikubur hidup-hidup. Rasa frustasi dan takut tak hanya dialami oleh Paul namun juga oleh kita. Unsur realistik juga dibangun melalui tata cahaya natural yang �hanya� menggunakan alat penerangan yang dimiliki Paul yakni, pemantik api, lampu handphone, serta lampu senter (sepertiga akhir cerita). Terakhir, separuh kekuatan filmnya jelas adalah akting menawan Ryan Reynolds yang memberikan segalanya untuk perannya ini. Rasa frustasi, takut, gelisah, optimis, serta penuh harap membaur seluruhnya dalam wajah Paul yang nyaris di-close up sepanjang film. Permainan sudut kamera adalah satu hal yang mampu membuat penonton tidak bosan sekalipun setting-nya hanya itu-itu saja.

Buried dari satu sisi tidaklah menuturkan cerita namun adalah sebuah perjalanan sinematik yang meruntuhkan kelaziman film-film masa kini. Boleh jadi idenya bukanlah hal yang baru namun keberanian untuk mengangkat kisah film ini mampu mengingatkan jika medium film masih bisa dieksplorasi lebih jauh tanpa teknologi canggih masa kini. Hitchcock bisa jadi iri dengan pencapaian film ini namun jika ia masih hidup rasanya ia bisa berbuat lebih baik. Seperti halnya film-film Hitchcock, Buried dengan berjalannya waktu akan semakin banyak dikenang para pecinta film. Buried memang bukanlah film istimewa namun kelak merupakan salah satu film penting bagi sejarah perkembangan sinema modern. Coba setting apa lagi yang lebih sempit dari peti mati? (B)

Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1, Lambat, Emosional, dan Sedikit Aksi

19 November 2010
Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1 (2010)
Sutradara: David Yates
Produser: David Haymen / David Barron / J.K. Rowling
Penulis Naskah: Steve Kloves / J.K. Rowling (novel)
Pemain: Daniel Rattclife / Emma Watson / Rupert Grinth / Ralph Fienes
Ilustrasi Musik: Alexandre Desplat
Sinematografi: Eduardo Serra
Editing: Mark Day
Studio: Heydey Pictures
Distributor: Warner Bros.
Durasi: 146
Bujet: $ 70 juta

Dalam seri akhir bagian pertama ini dikisahkan Harry Potter terus diburu oleh Voldermort dan pengikutnya. Harry mendapat perlindungan dari rekan-rekannya namun tetap saja mereka pontang-panting untuk bisa lepas dari kejaran death eaters. Dalam sebuah momen, Harry bersama Ron dan Hermione terpisah dari rekan-rekan mereka. Mereka bertiga tidak hanya harus lari dan bersembunyi namun juga mencari Hocrux tersisa yang telah dikisahkan pada seri sebelumnya.

Tidak seperti seri sebelumnya, kisah filmnya kali ini dipecah menjadi dua volume bersumber dari novel seri terakhirnya. Bisa jadi ini yang menyebabkan kisah filmnya kali ini lebih rinci serta lambat temponya. Seperempat awal filmnya seolah menjanjikan sebuah kisah yang sangat seru dan menegangkan namun nyatanya tigaperempat sisanya hanya menyajikan cerita yang cenderung membosankan dengan sedikit aksi. Untuk pertama kalinya pula Harry, Ron, dan Harmione tampil begitu dominan dengan wajah yang selalu murung, gelisah, dan sedih sepanjang filmnya. Sisi emosional tiga tokoh ini lebih banyak ditampilkan yang menunjukkan kematangan akting tiga bintang remaja ini. Fokus cerita memang ada pada tiga karakter ini sementara perkembangan peristiwa, aksi, serta kejadian penting (baca:seru) di tempat lain termasuk Hogwarts sama sekali tidak diperlihatkan. Apa mau dikata jika cerita aslinya memang seperti ini tapi apa memang separuh awal novelnya juga �membosankan� seperti filmnya ini? Entahlah.

Tidak seperti seri sebelumnya untuk pertama kalinya Hogwarts tidak ditampilkan dalam filmnya. Memang ganjil rasanya. Keindahan setting studio seperti seri-seri sebelumnya yang menjadi kekuatan seri Harry Potter nyaris tidak tampak sama sekali. Film ini sepertinya justru lebih banyak menggunakan shot on location, di kota London, pantai, hutan, bukit, dan lainnya. Namun begitu David Yates seperti dua seri sebelumnya patut diacungi jempol karena mampu mempertahankan pencapaian estetiknya dari sisi manapun (kecuali plotnya tentu). Yates juga mulai bereksperimen dengan teknik baru seperti �handheld camera� dalam beberapa shot. (�hei kameranya goyang!�, saya sempat berteriak kecil karena kaget). Agak ganjil memang karena sebelumnya kita tidak pernah melihat satu shot pun �goyang� namun rasanya teknik ini cocok dengan perkembangan cerita yang suram serta semakin tak menentu.

Harry Potter and The Deathly Hallows Part 1 memang bukan seri yang terbaik dari seri Potter yang pernah dibuat namun film ini memang harus ada sebagai �pembuka�. Tidak seperti seri-seri sebelumnya, film ini menampilkan sedikit aksi dan banyak menampilkan sisi emosional, dominan pada tiga tokoh utama, tanpa Hogwarts, lalu banyak hal yang masih tak jelas, serta tanpa resolusi. Hal kebalikannya pasti terdapat pada film finalnya kelak. Para penonton harus bersabar beberapa bulan lagi untuk menikmati akhir dari saga panjang ini. (B)

Red, Melihat Aksi Para Aktor Gaek

Oktober 2010
Red (2010)
Sutradara: Robert Schwentke
Produser: Lorenzo di Bonaventura / Mark Vahradian
Penulis Naskah: Jon Hoeber / Erich Hoeber
Pemain: Bruce Willis / Mary-Louise Parker / Morgan Freeman / John Malkovich / Helen Mirren / Karl Urban
Ilustrasi Musik: Christophe Beck
Sinematografi: Florian Ballhaus
Editing: Thom Noble
Studio: di Bonaventura Pictures / DC Entertainment
Distributor: Summit Entertainment
Durasi: 111 menit
Bujet: $ 58 juta

Frank Moses (Moses) adalah seorang pensiunan CIA yang kini hidup nyaman. Frank yang hidup sendirian mencoba mendekati Sarah (Parker) seorang customer service yang tinggal di kota lain. Suatu ketika tanpa alasan yang jelas, Frank menjadi target para pembunuh profesional. Frank lalu menyatroni Sarah dan memaksanya pergi bersamanya karena ia anggap nyawanya juga terancam. Sarah dengan terpaksa mengikuti Frank menyambangi para agen lainnya yang ternyata juga menjadi target, yakni Joe (Freeman), Marvin (Malkovich), serta Victoria (Mirren), bersama-sama mereka mencoba menguak misteri ini. Di lain pihak seorang agen muda, Cooper (Urban) ditugaskan untuk memburu dan membunuh mereka.


Entah mengapa tahun ini banyak sekali film aksi yang menggunakan plot nyaris mirip, yakni mantan militer atau mantan agen yang beraksi kembali. Sebut saja The Looser (sama-sama adaptasi komik DC), The A-Team, hingga The Expendable. Alur plot Red juga banyak kemiripan dengan Knight and Day yang dibintangi Tom Cruise. Dari sisi plot jelas tak ada sesuatu yang baru ditawarkan selain sisi humornya. Dari awal pun seberapa misterius kisahnya, ending-nya sangat mudah kita duga. Nilai lebih film ini jelas ada pada para kastingnya yang merupakan aktor-aktris gaek kelas satu.

Bedanya dengan film-film pesaingnya, Red tidak mengumbar adegan-adegan aksi begitu saja. Seperti layaknya film detektif, alur plotnya mengalun sedang mengikuti Frank dan rekan-rekannya yang mencari info demi info dengan skema yang mereka rencanakan. Adegan-adegan aksinya pun tersaji rapi dan realistik tidak seperti film-film aksi kini.Willis seperti biasa dengan gaya khasnya bermain tipikal dengan peran yang sering dimainkannya, tampak jauh lebih muda dan enerjik. Ia bermain baik dengan siapa saja, tidak jelek namun juga tidak spesial. John Malkovich sedikit mencuri perhatian sebagai mantan agen yang paranoid. Yang menarik adalah Helen Mirren, tak disangka ia bisa bermain lembut dan anggun sekaligus dingin serta begitu garang ketika membrondong senjata.

Red secara keseluruhan merupakan film aksi yang menghibur terutama bagi para fans Bruce Willis. Nilai lebih film ini ada pada permainan para aktornya serta unsur komedinya. Sayang sekali, dengan para kasting berkelas seperti ini mestinya mampu dihasilkan cerita yang lebih baik dari ini. Setidaknya film ini sedikit lebih baik dari para film-film aksi pesaingnya tahun ini. (B-)

Wall Street: Money Never Sleep, Greed is Good or Family is Good?

6 Oktober 2010
Wall Street: Money Never Sleep (2010)
Sutradara: Oliver Stone
Produser: Edward R. Pressman / Eric Kopeloff
Penulis Naskah: Allan Loeb / Stephen Schiff
Pemain: Michael Douglas / Shia Labeouf / Josh Brolin / Susan Sarandon
Ilustrasi Musik: Craig Amstrong
Sinematografi: Rodrigo Prieto
Editing: David Brenner / Julie Monroe
Studio: Edward R. Pressman Film
Distributor: 20th Century Fox
Durasi: 127 menit
Bujet: $ 70 juta

Film ini merupakan sekuel dari Wall Street (1987), film drama thriller berkualitas tentang seorang milyuner, Gordon Gekko (Douglas) yang melakukan perdagangan saham secara ilegal. Dikisahkan beberapa tahun setelahnya, Gekko mengalami banyak masalah baik bisnis serta keluarga, hingga ia dijebloskan ke dalam penjara. Seperti film aslinya, sekuel filmnya kali ini mengambil cerita pada sosok pialang muda, Jacob Moore (Labeouf) serta kekasihnya, Winnie yang merupakan putri dari Gekko yang sangat membenci ayahnya. Gekko sendiri setelah keluar dari penjara, kini harus menghidupi dirinya melalui buku yang ditulisnya, serta menjadi pembicara seminar. Sementara di lain pihak Jacob, menghadapi masalah besar sepeninggal mentornya, Keller Zabel yang bunuh diri akibat perusahaannya yang hancur. Jacob berniat membalas dendam pada Bretton (Brolin), seorang pengusaha licik yang menjadi pesaing mentornya. Jacob juga mendekati Gekko serta meminta nasihat darinya sekalipun kekasihnya telah memperingatkan untuk jangan mempercayai ayahnya.

Tidak seperti film aslinya, sekuelnya kali ini memiliki tempo alur cerita yang lebih lambat. Porsi Gekko dalam filmnya kali ini juga lebih sedikit. Tidak seperti film aslinya, cerita filmnya kini lebih bergeser ke masalah keluarga ketimbang konflik bisnis. Entahlah apa karena �tamak� sudah menjadi jamak kini, namun yang jelas intrik politik bisnis yang disajikan kali ini tampak kurang menggigit. Sekalipun Stone menggunakan kejatuhan harga saham serta terpuruknya bisnis properti di Amerika beberapa tahun lalu sebagai latar kisah film ini namun ketegangan di bursa saham tampak sekali kurang greget. Sangat jauh jika kita bandingkan dengan unsur ketegangan di film pertamanya. Cerita, sosok Gekko, serta sisi dramatik antara Jacob dan Winnie, semuanya serba kurang menggigit. Greed is Good or Family is Good? Seperti di film pertamanya, bukankah film ini mestinya tentang �ketamakan�?

Douglas yang meraih Oscar dalam Wall Street karena bermain luar biasa sebagai Gordon Gekko, kini sebenarnya masih tampil karismatik. Kehadirannya selalu ditunggu ketika ia tidak muncul dalam layar. Labeouf dan Brolin sendiri juga bermain biasa saja. Lebouf bermain disini sepertinya hanya untuk menarik penonton remaja saja. Namun satu pencapaian yang sangat menonjol adalah aspek sinematografinya. Seperti film ini lebih berbicara melalui bahasa visual (terutama kamera) ketimbang penekanan ceritanya. Sineas terkesan lebih menyukai menyajikan panorama kota New York yang memang disajikan sangat menawan. Baik komposisi, gerak serta sudut kamera, kecepatan gambar, hampir dalam semua adegan disajikan begitu mengesankan. Entahlah, yang jelas gambar-gambar yang disajikan dalam film ini jauh lebih enak dinikmati ketimbang cerita filmnya. Dalam satu adegan aksi balap motor, entah sudah berapa lama kita tidak menikmati sajian indah seperti ini, dimana lebih menggunakan aspek sinematografis ketimbang teknik editing cepat seperti film masa kini kebanyakan.

Wall Street: Money Never Sleep secara umum disajikan kurang menggigit. Sekalipun Douglas masih tampil menawan namun ini masih tidak mampu mengangkat filmnya. Amat disayangkan, kombinasi sentuhan Stone serta Douglas mestinya memiliki potensi untuk membuat sekuel yang lebih baik dari ini. Uang memang bukan segalanya, kita semua sudah tahu itu. Keluarga adalah hal yang paling utama, kita semua juga sudah tahu itu. Hei, but they said, Greed is Good. Mana Stone? (C)

Senin, 18 September 2000

Salt, Spionase Non Stop Aksi

29 Juli 2010

Salt (2010)
Sutradara: Philip Noyce
Produser: Lorenzo di Bonaventura / Sunil Perkash
Penulis Naskah: Kurt Wimmer / Brian Helgeland
Pemain: Angelina Jolie / Liv Schreiber / Chiwetel Ejiofor
Ilustrasi Musik: James Newton Howard
Sinematografi: Robert ElswitEditing: Stuart Baird / John Gilroy
Studio: Relativity Media
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 100 menit
Bujet: $110 juta

Evelyn Salt (Jolie) adalah seorang agen CIA yang hidup tenang dan damai bersama Mike, suaminya. Suatu ketika Salt menginterogasi Orlov, seorang mata-mata Rusia yang membelot. Orlov menginformasikan bahwa ada sebuah operasi khusus jangka panjang di negaranya yang suatu hari diyakini bakal menghancurkan Amerika yang diistilahkannya �Day X�. Awal mulainya operasi ini kata Orlov dimulai dalam waktu dekat ketika acara pemakaman mantan wakil presiden Amerika yang dihadiri oleh Presiden Rusia. Orlov mengatakan Presiden Rusia akan dibunuh seorang mata-mata Rusia bernama Evelyn Salt. Salt yang dalam perkembangan selanjutnya merasa dipojokkan terpaksa melarikan diri untuk mengetahui misteri di balik ini semua.
..
Plot filmnya boleh jadi sudah tak orisinil dan memiliki banyak kemiripan dengan seri Bourne hanya saja tokoh utamanya kali ini agen wanita. Latar kisahnya yang mengangkat tema �perang dingin� antara AS � Rusia yang berakhir beberapa dekade silam menjadi unsur yang menarik karena hampir dua dekade film bertema ini sangat jarang diproduksi. Terakhir kita bisa melihat tema-tema ini seperti dalam film-film aksi era 80-an yang banyak dibintangi oleh Arnold atau Stallone. Seperti halnya Bourne, Salt memiliki tempo alur yang cepat, tidak banyak dialog, dan lebih menonjolkan sisi aksi. Plotnya sedikit menyimpan misteri namun bagi para pecandu film serius, alur serta ending kisahnya jelas tidak sulit diduga.

Full Action, adalah komentar langsung tentang film ini. Nyaris sepanjang film, penonton tidak diberi kesempatan bernafas karena selalu disuguhi adegan aksi demi aksi, nonstop. Tidak seperti seri Bourne yang menampilkan adegan aksi yang sifatnya realistik (relatif), Salt sedikit agak berlebihan. Contohnya seperti adegan aksi di awal yang memperlihatkan saat Salt berloncatan dari satu kendaraan ke kendaraan lain yang tengah berjalan. Tak masuk akal tapi memang atraktif, seru, dan menghibur. Semua adegan aksinya sendiri juga didukung kuat oleh unsur sinematografi yang menawan oleh penata kamera peraih Oscar, Robert Elswit, yang membuat sentuhannya filmnya berbeda dengan Bourne.

Satu hal pula yang menjadi nilai lebih film ini adalah Angelina Jolie yang berperan sebagai sang agen. Boleh jadi Salt adalah peran terbaik yang pernah dimainkan Jolie. Sang bintang yang sebelumnya selalu bermain sebagai tokoh yang memiliki rasa percaya diri tinggi kali ini bermain sedikit berbeda. Jolie bermain sebagai karakter yang mendapat tekanan sangat berat baik fisik maupun mental sepanjang filmnya. Jolie bermain sangat mengesankan sebagai agen ganda wanita yang mampu menarik simpati sekaligus membuat ragu kita di saat bersamaan. Seperti halnya Matt Damon yang mampu bermain sempurna sebagai Jason Bourne, Jolie juga sama seolah terlahir untuk peran ini.

Secara umum Salt tidak menawarkan sesuatu yang baru selain sentuhan karakter serta tema yang sedikit berbeda. Film ini memang tidak menawarkan sesuatu yang istimewa namun prospek cerita untuk sekuelnya kelak bakal menawarkan sesuatu yang sangat menarik setidaknya dari sisi aksi. Bisa bersaing dengan kesuksesan seri Bourne? Rasanya Salt masih belum mampu. (B-)

The Last Air Bender, Say Goodbye to Shyamalan

4 Agustus 2010

The Last Air Bender (2010)
Sutradara: M. Night Shyamalan
Produser: M. Night Shyamalan
Penulis Naskah: M. Night Shyamalan
Pemain: Noah Ringer / Nicola Peltz / Jason Rathbone / Dev Patel
Ilustrasi Musik: James Newton Howard
Sinematografi: Andrew Lesney
Editing: Conrad Buff
Studio: Nickelodeon Movies
Distributor: Paramount Pictures
Durasi: 103 menit
Bujet: $150 juta

Aang (Ringer) adalah seorang Avatar dari suku udara berusia 12 tahun namun memiliki takdir untuk menyelamatkan dunia dari kekejaman suku api dengan menguasai empat elemen yakni, udara, air, tanah, dan api. Bersama dua kakak beradik, Katara (Peltz) dan Sokka (Rathbone), Aang mengembara mencari seorang guru yang bisa mengajarinya menguasai tiap elemen. Tujuan pertama mereka adalah istana suku air di kutub utara. Sepanjang perjalanan mereka dikuntit oleh Zuko (Patel) yang bersumpah pada ayahnya untuk membawa sang Avatar ke suku api.

Tak ada kata lain untuk memberi komentar film ini selain kegagalan total. Sebuah pencapaian yang sangat sangat menyedihkan untuk sineas sekelas Shyamalan yang pernah memproduksi film-film berkualitas macam, The Sixth Sense dan Signs. Semua aspek dalam film ini sangatlah menyedihkan. Shyamalan yang juga menulis naskahnya tidak mampu mentranformasikan seri animasinya ke layar lebar. Seri animasinya yang memiliki kisah sederhana dan jelas justru dibuat membingungkan dan serba tergesa-gesa. Alur plotnya yang sangat lemah disempurnakan oleh dialog-dialog buruk, seperti laiknya ditulis penulis naskah amatir. Melihat akting para pemain yang menyedihkan plus dialog-dialog buruk membuat seringkali penulis tertawa kecil seperti menonton suguhan teater yang dilakonkan anak-anak SD.

Kegagalan The Last Air Bender membuktikan memang tidak mudah mentranformasi film animasi ke film live action. Dragon Evolution tahun lalu juga bernasib sama. Apa artinya setting yang megah serta efek visual yang mahal jika tidak didukung cerita yang layak, semuanya jadi tampak serba artifisial. Seri animasi The Last Air Bender sebenarnya memiliki kisah yang sarat dengan pesan-pesan universal yang relevan dengan masalah umat manusia masa kini yang makin luntur nuraninya. Sayang versi filmnya tak mampu memperlihatkan ini semua dengan semestinya. Dalam konteks pencapaian bahasa film untuk sineas sekelas Shyamalan serta bujet produksi sebesar ini, film ini bisa dibilang adalah film terburuk yang pernah diproduksi Hollywood sejauh ini. We can say goodbye to Mr. Shyamalan� (F)

Inception, Memaknai Mimpi dan Realita

16 Juli 2010

Inception (2010)
Sutradara: Christopher NolanProduser: Christopher Nolan / Emma Thomas
Penulis Naskah: Christopher Nolan
Pemain: Leonardo DiCaprio / Ken Watanabe / Ellen Page / Joseph Gordon-Levitt / Marion Cotillard / Michael Caine
Ilustrasi Musik: Hans Zimmer
Sinematografi: Wally Pfister
Editing: Lee Smith
Studio: Legendary Pictures / Syncopy Films
Distributor: Warner Bros.
Durasi: 148 MenitBujet: $160 juta

Cobbs (DiCaprio) bersama timnya memiliki keahlian khusus mampu masuk ke dalam mimpi seseorang bahkan mampu merekayasa mimpi melalui mimpi. Tujuan lazimnya adalah untuk mencari informasi rahasia yang hanya diketahui orang targetnya tersebut. Sebuah perusahaan pimpinan Saito (Watanabe) menyewa jasa mereka setelah melewati sebuah tes kelayakan yang menyebabkan mereka kehilangan satu rekan mereka. Tugas mereka sederhana, yakni memasuki alam bawah sadar Richard Fiscer Jr. putra dari pemilik perusahaan pesaing Saito lalu menanamkan �gagasan� baru di alam bawah sadarnya sehingga diharapkan kelak ia mengabaikan perusahaan warisan ayahnya. Cobbs menghimpun timnya, Arthur (Levitt), Eames, Yusuf, seorang arsitek muda Ariadne (Page), serta Saito sendiri. Cobbs sendiri ternyata memiliki trauma bersama mantan istrinya, Mal (Cottilard) yang selalu muncul dalam alam bawah sadarnya.
..
Bermain-main dengan alam bawah sadar manusia memang bukanlah sesuatu yang baru. Beberapa film sebut saja macam Brazil, trilogi The Matrix, The Minority Reports, Shutter Island, serta baru lalu The Imaginarium of Dr. Parnassus semuanya bermain dengan alam bawah sadar. Tercatat paling istimewa The Matrix mencoba mencari makna kebenaran sejati yang dikemas modern melalui kaum robot yang mampu memanipulasi alam bawah sadar manusia. The Matrix lebih berbicara tentang level kesadaran manusia terhadap sang pencipta sementara Inception berbicara dalam level yang lebih praktis dan personal, yakni mimpi dan realita.

Sang sineas melalui naskahnya yang brilyan mampu mengeksplorasi alam bawah sadar manusia ke tingkatan yang belum pernah dijangkau sebelumnya. Singkatnya, merekayasa satu tingkatan mimpi melalui tingkatan mimpi yang lain. Tidak hanya satu atau dua namun hingga empat tingkatan mimpi!! Sineas juga dengan rinci memaparkan aturan main dengan jelas yang rasanya tak etis (spoiler) jika dijelaskan disini. Nolan sebelumnya kita kenal dengan film-filmnya yang mengangkat sisi psikologis kuat. Seorang manusia yang dihadapkan pada tekanan psikologis yang maha hebat. Apakah ia mampu bertahan atau tidak? Sisi psikologis film ini jelas tampak pada trauma batin yang dihadapi Cobbs. Trauma (mimpi) Cobbs menjadi kunci plotnya. Plotnya jelas rumit dan kompleks bagi penonton awam namun ini memang keahlian sang sineas membuat kompleks sebuah masalah dari suatu hal yang sebenarnya sederhana.

Naskahnya yang superior didukung kuat oleh pencapaian teknisnya yang istimewa pula. Dalam beberapa adegan, film ini sangat bergantung pada pencapaian rekayasa digital yang disajikan sangat natural, seperti yang paling mengesankan adalah sebuah kota yang terbalik. Lalu juga visualisasi aksi di dunia non gravitasi yang disajikan sangat meyakinkan. Para pemainnya bermain sangat baik namun tercatat DiCaprio bermain mengesankan sebagai Cobb yang traumatik namun memang banyak mengingatkan pada perannya dalam film thriller baru lalu, Shutter Island. Teknik crosscutting sangat mengesankan juga ditampilkan pada sekuen klimaks yang memaparkan empat peristiwa dalam empat tingkat mimpi yang berbeda.

Inception dengan naskahnya yang brilyan serta inovatif menjadikan film ini adalah salah satu film fiksi ilmiah terbaik yang pernah ada dan salah satu naskah terbaik yang pernah ada. Temanya sendiri sebenarnya sederhana. Jika kita anggap level mimpi adalah level kesadaran maka Cobbs adalah karakter yang memiliki kesadaran tertinggi karena ia telah memasuki tingkatan mimpi terdalam. Semakin dalam kita bermimpi maka semakin buruk pula �realita� mimpi. Cobb telah lama hidup dalam mimpi. Baginya seindah-indahnya mimpi tak ada yang lebih indah dari kenyataan. Sineas masih menggoda kita pada shot akhir filmnya. Semua bisa tergantung Anda. Apakah Anda ingin hidup dalam mimpi atau menghadapi kenyataan? (A)

Despicable Me, Dibawah Bayang-Bayang Dreamworks & Pixar

10 Juli 2010

Studio: Illumination Entertainment
Distributor: Universal Pictures
Sutradara: Piere Coffin / Chris Renaud
Produser: John Cohen / Janet Healy / Chris Meledandri
Penulis Naskah: Ken Daurio / Cinco Paul
Pemain: Steve Carell / Jason Segel / Russell Brand / Miranda Cosgrove / Julie Andrews.
Ilustrasi Musik: Heitor Pereira / Pharrell Williams
Durasi: 95 menit
Bujet: $110 juta

Gru (Carrel) adalah sosok penjahat paruh baya yang amat berambisius menjadi penjahat nomor satu di muka bumi. Ketika seorang rivalnya berhasil mencuri Piramid Giza di Mesir, Gru gusar dan berniat untuk melakukan aksi kejahatan tanpa banding, yakni mencuri bulan. Untuk bisa melaksanakan niat jahatnya ini Gru harus mencuri senjata pengecil materi dari pesaing mudanya, Vector (Segel). Segala usaha ia upayakan namun Gru selalu gagal. Suatu ketika Gru melihat tiga perempuan cilik penjual kue kering dengan mudahnya masuk ke rumah Vector. Gru lalu mengadopsi tiga bocah cilik tersebut, yakni Margo, Edith, dan Agnes dari panti asuhan dan memanfaatkan mereka untuk melancarkan niat jahatnya.
..
Apa yang mampu ditawarkan studio debutan macam IE dimasa Pixar dan Dreamworks Animation mendominasi wilayah film animasi 3D selama satu dekade belakangan ini. Studio Pixar sejak Toy Story (1996) hingga kini memproduksi film-film animasi yang sangat menghibur serta memiliki kelebihan pada sisi dramatik plus kedalaman tema yang kuat. Dreamworks Animation yang awalnya memproduksi film-film animasi hiburan murni kini cenderung mulai menekankan pada sisi dramatik yang kuat, seperti How to Train a Dragon baru lalu. Despicable Me boleh jadi meminjam formula tersebut, yakni mencoba menghibur dan kuat sisi dramatiknya namun beberapa aspek masih tanggung terutama sisi dramatiknya. Karakter Gru terbilang sangat unik dan rasanya baru kali ini film animasi anak-anak memiliki karakter protagonis seorang penjahat kelas kakap. Plotnya sendiri sejak awal seolah menjanjikan sebuah kisah dramatik yang kuat. Endingnya siapa pun pasti bisa mudah menebaknya namun proses cerita sebenarnya merupakan kunci dan film ini menyajikannya terlalu �tergesa-gesa�. Hati Gru luluh dengan cepat tanpa sebuah proses yang memiliki arti.

Sisi komedi (hiburan) serta teknis (3D) adalah keunggulan film ini. Selain Gru, tokoh yang menjadi �man of the macth� dalam film ini adalah karakter-karakter mini berjumlah ratusan tak jelas entah robot atau apa yang menjadi para pesuruh dan pekerja Gru. (Sempat terpikir, aneh juga Gru yang seorang penjahat besar memiliki para pekerja berwujud lucu seperti ini) Karakter mini ini sedikit mengingatkan pada karakter tiga alien pada seri Toy Story namun rasanya tak masalah. Setiap kali karakter-karakter mini ini muncul selalu mengundang tawa dengan polah mereka yang konyol dan lucu. Bicara efek 3D-nya film ini jelas jauh lebih baik dari Toy Story 3 baru lalu. Nyaris tiap adegan memiliki efek 3D yang amat kuat dan menakjubkan. Patut dicatat adalah adegan roller coaster� uhh kita serasa benar-benar ikut naik didalamnya dan terbawa ikut menjerit-jerit bersama.

Despicable Me secara kualitas jelas masih dibawah film-film produksi Pixar dan Dreamworks Animation kecuali tentu untuk pencapaian teknisnya. Sebagai film animasi anak-anak, Despicable Me terbilang sangat berhasil melalui unsur komedi dan aksi yang sangat menghibur serta pesan moral yang sederhana. What are bigger than the moon? Jawabnya mudah bukan. Rasanya kedepan IE bakal mampu memproduksi film-film animasi yang lebih baik lagi. Pixar dan Dreamworks bakal memiliki pesaing baru yang tangguh. (B)

The Sorcerer�s Apprentice, Film Hiburan Serba Tanggung

21 Juli 2010

The Sorcerer�s Apprentice (2010)
Sutradara: John Turteltaub
Produser: Jerry Bruckheimer
Penulis Naskah: Doug Miro / Mike Lopez
Pemain: Nicholas Cage / Jay Baruchel / Alfred Molina / Monica Belucci
Ilustrasi Musik: Trevor Rabin
Sinematografi: Bojan Bazelli
Editing: William Goldenberg
Studio: Jerry Bruckheimer Films
Distributor: Walt Disney Pictures
Durasi: 110 menit
Bujet: $150 juta

Alkisah ribuan tahun silam di Britania sang penyihir besar Merlin membagi ilmu sihirnya untuk ketiga muridnya, yakni Balthazar Blake (Cage), Maxim Hogvarts (Molina), serta Veronica (Belucci). Hogvarts mengkhianati mereka bersekutu dengan penyihir jahat Morgana yang berakhir dengan kematian Merlin. Veronica mengorbankan dirinya untuk Balthazar dan memasukkan roh Morgana dalam tubuhnya dan menyekap dirinya pada sebuah �guci� khusus. Sebelum ajalnya, Merlin menyuruh Balthazar untuk mencari penerus sejatinya yang kelak dapat menghancurkan seluruh kekuatan Morgana. Ribuan tahun lamanya Baltazhar mencari penerus Merlin di seluruh penjuru dunia hingga akhirnya ia bertemu dengan Dave Stutler (Baruchel) di Manhattan.

Sungguh diluar dugaan kisah film ini tidak seserius yang kita bayangkan. Semuanya serba tanggung dari sisi mana pun. Ide cerita yang membawa mitos masa silam ke masa kini juga tak lagi baru karena sudah banyak film yang memiliki plot sejenis, seperti seri National Treasures (juga kolaborasi Turteltaub�Brucheimer), seri The Mummy, hingga Percy Jackson baru lalu. Plot filmnya sendiri juga terlalu sederhana dan mudah sekali diantisipasi tanpa kejutan berarti. Skala cerita tidak sebesar yang kita bayangkan. Plot filmnya terlalu kecil untuk cerita filmnya yang luas. Cerita hanya berpindah dari karakter satu ke lainnya tanpa substansi masalah yang serius. Para penyihir yang demikian hebat mau menguasai dunia dan satunya lagi mau menyelamatkan dunia tapi hanya melibatkan beberapa gelintir orang saja? Bisa saja namun rasanya terlalu naif. Kalau dipikir-pikir, Horvats plus pengikutnya dengan kekuatan yang dimiliki mereka sudah mampu mengusasai dunia tanpa harus membangkitkan Morgana.

Bicara masalah pencapaian teknis terutama efek visual jika kita mundur sepuluh tahun kebelakang rasanya bisa diacungi jempol namun kini jelas sudah tidak ada apa-apanya. Coba bandingkan dengan The Mummy yang diproduksi satu dekade lalu, pencapaian rekayasa digitalnya masih jauh lebih baik dari film ini. Sangat menyedihkan memang. Bujet produksinya yang sangat besar sungguh tidak sepadan dengan hasilnya. Satu lagi yang menyedihkan adalah masalah kasting. Memang Cage dan Molina bermain pantas untuk perannya namun sosok karakter Dave yang diperankan Baruchel apa tidak salah kasting? Apakah Dave merupakan sosok yang pantas menjadi penerus penyihir besar Merlin yang berwibawa, bijak, cerdas, dan karismatik? I don�t think so. Sementara Teresa Palmer yang bermain sebagai Becky mampu tampil sebagai pemanis filmnya.

The Sorcerer�s Apprentice tidak menawarkan sesuatu yang baru. Plot good vs evil-nya terlalu klise dan tak menarik. Beberapa hal yang patut dicatat hanyalah satu sekuen aksi kejar-mengejar seru serta sisipan unsur komedinya. Kolaborasi kembali Turteltaub � Bruckheimer � Cage jelas ingin mencoba mengulang sukses seri National Treasures dan kali ini sepertinya mereka bakal gagal. The Sorcerer�s Apprentice tak ubahnya film anak-anak dan rasanya hanya bisa dinikmati betul oleh anak-anak berusia dibawah 12 tahun. (C)

Predators, Dibawah Bayang-Bayang Predator

7 Juli 2010,
Predators merupakan film aksi fiksi ilmiah yang merupakan lanjutan dari rangkaian seri panjang sang pemangsa sejak Predator (1987), Predator 2 (1990), Alien vs Predator (AVP/2004), serta Alien vs Predator: Requiem (2007). Filmnya kali ini digarap oleh sineas asal Hongaria, Nimrod Antal yang pernah menggarap film-film aksi serta thriller seperti Kontroll (2003), Vacancy (2007), Armored (2009) serta diproduseri sineas top, Robert Rodriguez. Film ini dibintangi oleh Adrien Brody, Alicia Braga, Laurence Fishburne, serta Daniel Trejo.

Alkisah delapan orang manusia yang memiliki keahlian khusus dalam hal membunuh dipilih dan dikumpulkan dalam sebuah hutan misterius tanpa alasan yang jelas. Diantara mereka adalah Royce (Brody) seorang tentara bayaran, Isabelle (Braga) seorang wanita penembak jitu, Edwin seorang dokter, serta beberapa anggota militer elit, gerilyawan, hingga seorang yakuza. Dalam perkembangan diketahui ternyata mereka diambil secara paksa dari planet bumi untuk dijadikan target permainan bagi para pemangsa di sebuah planet asing. Cerita selanjutnya berjalan bagaimana mereka bisa bertahan hidup dari kejaran para pemangsa.
..
Konon sang produser dan sineas menginginkan filmnya ini adalah sekuel dari dua seri Predator orisinal serta mengesampingkan dua seri AVP. Dari sisi cerita film ini jelas tampak ingin mengembalikan nuansa seperti film pertamanya bahkan setting cerita pun kembali sama di hutan belantara. Predator (1987) boleh dibilang adalah salah satu film kombinasi aksi - perang - fiksi ilmiah terbaik sepanjang masa yang sulit dicari tandingan. Plotnya yang orisinil, brilyan, dan penuh kejutan mampu memberikan ritme ketegangan yang dibangun apik dari awal hingga klimaks tanpa cela sedikit pun. Dengan plot yang mirip film orisinilnya, Predators samasekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Alur ceritanya mudah sekali diduga, tak ada kejutan yang berarti, dan ide cerita pun boleh dibilang konyol. Coba pikir, apa maksudnya para pemangsa menculik manusia-manusia bumi terpilih jika mereka jelas-jelas terlalu superior baik fisik maupun teknologi? Bukankah buang-buang waktu apalagi para pemangsa berjumlah banyak? Jika ingin menguji kemampuan mereka bukankah lebih baik bertarung dengan makhluk alien seperti di seri AVP. Hal lain yang aneh juga para manusia yang diculik tampak tidak terlalu panik dengan situasi yang mereka hadapi dan seperti telah tahu apa yang tengah terjadi dengan mereka.

Predators mencoba untuk mengambil jiwa dan semangat film pertamanya namun hasilnya adalah gagal. Dari sisi aksi jika dibandingkan dengan seri predator sebelumnya, film ini terburuk. Sama seperti plotnya, aksinya tidak menawarkan sesuatu yang baru, tanpa kejutan sedikitpun, cenderung membosankan, dan sama sekali tidak menghibur. Satu-satunya hal yang membangkitkan nostalgia film pertamanya hanyalah ilustrasi musik mencekam dan dinamis yang diambil sama dari film aslinya (Predator). Rasanya memang sulit mencari ide cerita yang mendekati film pertamanya. Lalu apalagi yang bisa ditawarkan sekuelnya? Sepertinya hanyalah para pemangsa yang lebih banyak, mencari buruan yang lebih kuat, setting yang semakin terbatas, serta mungkin aksi-aksi yang lebih sadis. Mungkin bisa jadi sekuel-sekuel berikutnya akan terpikir judul seperti ini, Spiderman vs Predators. Sepertinya menarik...ha ha ha (D)

Eclipse, Tenggelam Seperti Judulnya

30 Juni 2010,
Eclipse merupakan film roman fantasi yang merupakan seri ketiga dari novel laris karya Stephenie Meyers lanjutan dari Twilight (2008) serta New Moon (2009). Film ini kini digarap oleh David Slade yang pernah menggarap film horor vampire unik 30 Days of Night (2007). Seperti dua film sebelumnya, Eclipse masih pula dibintangi aktor-aktris yang tengah naik daun yakni Kristin Stewart, Robert Pattinson, serta Taylor Lautner.

Setelah peristiwa sebelumnya hubungan Bella (Stewart) dan Edward (Pattinson) kini semakin dekat. Di tempat lain, vampir musuh lama keluarga Cullen, yakni Victoria secara diam-diam membentuk sepasukan vampir untuk menuntaskan dendam lamanya. Victoria yang mengincar Bella serta pasukannya yang menganggu kedamaian kota membuat dua klan yang lama berseteru, yakni vampir dan werewolf harus saling bekerja sama. Edward dan Jacob (Lautner) yang sama-sama menginginkan dan mencintai Bella selalu terlibat dalam perselisihan kecil yang tidak pernah berakhir hingga sang gadis memilih satu diantara mereka.

Eclipse boleh dibilang adalah seri terburuk dibanding dua film sebelumnya. New Moon sendiri diluar sukses filmnya adalah film yang sangat buruk secara kualitas dan Eclipse semakin menyempurnakannya. Dua film ini adalah contoh bagaimana film bisa begitu buruk dari banyak sisi terutama cerita dan dialog. Seperti halnya New Moon, Eclipse sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Seperti laiknya sinetron, konflik tampak sekali terlalu dibuat-buat dan dilebih-lebihkan seperti konflik kekanakan antara Edward dan Jacob. Salahkan saja Bella mengapa ia memilih mencintai vampir dan werewolf. Konflik selamanya akan terus ada selama Bella masih menjadi manusia. Sungguh konyol! Film ini semata-mata hanya menjual pesona serta �fisik� Pattinson dan Lautner lalu beberapa kali adegan mesra amatiran. Satu hal lagi yang membuat film ini begitu memuakkan adalah dialog. Sepanjang film dipenuhi dialog-dialog bodoh tak bermutu yang sama sekali tak berguna dan mudah sekali diantisipasi penonton.

Eclipse adalah satu contoh sempurna film bakal sukses komersil yang sangat sangat buruk secara kualitas. Pesan moral yang tersembunyi secara cerdas dan simbolik di film pertamanya kini sudah memudar. Film ini justru menyisipkan pesan-pesan moral yang disajikan secara vulgar, gamblang, dan konyol seperti jangan melakukan seks sebelum menikah, menghargai keperawanan, penggunaan kondom, dan lain sebagainya. Entahlah mungkin cara ini manjur untuk remaja masa kini. Pesan saya untuk Anda: lebih baik tunggu versi dvdnya cuma buang-buang waktu saja. Maybe i�m just too old for this! (F)

Knight & Day, Menjual Aksi dan Pesona Cruise

28 Juni 2010,
Knight & Day adalah film komedi spionase yang diarahkan oleh James Mangold. Sang sineas sebelumnya sukses dengan film-film berkualitas tinggi seperti drama biografi, Walk the Line (2006) serta remake western, 3:10 to Yuma (2008). Knight & Day yang memiliki bujet sebesar $125 juta ini dibintangi aktor-aktris papan atas, yakni Tom Cruise dan Cameron Diaz.

June (Diaz) adalah seorang wanita karir seperti wanita muda Amerika lazimnya. Di bandara June secara tak sengaja bertemu dengan seorang laki-laki menarik bernama Roy Miller (Cruise). Miller sekilas tampak sebagai seorang lelaki biasa namun di luar dugaan ia adalah seorang agen rahasia. June baru menyadari hal tersebut setelah penumpang lain pesawat yang ia tumpangi seluruhnya tewas kecuali mereka berdua. Belum lepas dari kagetnya, pesawat yang mereka tumpangi harus mendarat darurat. Keesokan harinya, June diinterogasi pihak agen pemerintah yang mengatakan jika Miller adalah seseorang yang sangat berbahaya.
Knight & Day seperti halnya film spionase kebanyakan memiliki plot yang lazim, yakni saling berebut sebuah temuan maha penting yang dapat merubah dunia. Uniknya, film ini dikemas ringan dengan porsi komedi yang besar baik adegan aksi maupun dialog. Satu hal yang menarik adalah sebagian besar cerita dituturkan dari sudut pandang June. Hal ini tentu mampu memberi rasa penasaran penonton dari menit ke menit. Seperti halnya June, penonton tidak mengetahui apa yang akan terjadi dan dihadapi kemudian. Hubungan mutual antara June dan Miller juga menjadi daya tarik tersendiri karena akting memikat Cruise dan Diaz. Satu hal yang menganggu adalah tempo plotnya yang berubah-ubah kadang begitu lambat sehingga terasa sangat membosankan. Cerita film seolah baru mulai berjalan ketika adegan aksi muncul.

Kekuatan film ini jelas sekali ada pada pesona Tom Cruise. Cruise di film ini tampak jauh lebih muda dari umurnya. Tampak berulang-kali secara sengaja mata kamera memperlihatkan pesona fisik sang bintang dengan gayanya yang khas. Di usia yang mulai senja tanpa diduga Cruise secara fisik masih mampu bermain agresif dan lincah sebagai agen yang diburu. Sementara Diaz sekalipun kadang tampil berlebihan namun ia mampu bermain baik mengimbangi Cruise. Pasangan Cruise dan Diaz memiliki chemistry cukup kuat yang memang menjadi daya tarik cerita filmnya terutama tampak dalam sekuen-sekuen aksinya.

Adegan aksi yang dibumbui komedi juga menjadi nilai jual film ini. Adegan aksinya boleh dibilang berlebihan penuh dengan aksi ledak-ledakan serta mobil atau motor yang berjumpalitan tidak karuan. Tak masalah, unsur hiburan memang yang sepertinya ingin ditonjolkan. Seperti halnya film aksi masa kini kebanyakan adegan aksinya dikemas sangat baik melalui kombinasi sinematografi serta editing yang menawan plus sedikit sentuhan efek visual (CGI) seperti terlihat dalam sekuen aksi penutup di Spanyol.

Knight & Day semata-mata merupakan sebuah tontonan ringan dan menghibur yang mengandalkan pesona sang bintang plus adegan aksi serta dialog yang dibumbui komedi. Dari sisi sang sineas (James Mangold) film ini adalah sebuah kemunduran jauh setelah ia sebelumnya memproduksi film-film berkualitas dengan unsur dramatik yang sangat kuat macam Walk The Line dan 3:10 to Yuma. Sementara dari sisi Cruise, kita lihat apakah ia masih memiliki daya tarik (penonton) seperti di masa lalu? Rasanya tidak. (C+)

Toy Story 3, Completing Saga

18 Juni 2010,
Toy Story 3 merupakan sekuel dari dua film animasi 3D yang diproduksi jauh pada dekade lalu yakni, Toy Story (1995) dan Toy Story 2 (1999). Sekuel keduanya kali ini masih melibatkan beberapa bintang besar yang bermain sebelumnya yakni Tom Hanks, Tim Allen, Joan Cussack, serta nama-nama baru seperti Michael Keaton dan Ned Beatty. Mengikuti tren kini, seri ketiganya ini diproduksi untuk format bioskop 3D.

Belasan tahun berlalu setelah peristiwa Toy Story 2, Andy semakin tumbuh dewasa dan kini ia akan masuk perguruan tinggi. Sudah sejak entah kapan Andy terakhir bermain-main dengan boneka-boneka kesayangannya, Woody (Hanks), Buzz, Jessie (Cussack), serta lainnya. Walau berat hati, Woody dan rekan-rekannya mampu menerima kenyataan bahwa hal ini akan terjadi. Andy harus memilih apakah mainan miliknya akan disumbangkan ke tempat penitipan anak atau ia simpan di loteng? Tanpa sengaja Woody dan rekan-rekannya terbawa ke tempat penitipan anak dan diluar dugaan mereka disambut dengan ramah oleh para boneka dan mainan disana. Woody memilih untuk kembali ke rumah Andy sementara rekan-rekannya memilih untuk tinggal. Sepeninggal Woody, Buzz dan lainnya baru menyadari jika mereka ternyata dipermainkan oleh Lotso, boneka beruang jahat yang mengatur seluruh mainan disana. Woody yang mengetahui rekan-rekannya dalam bahaya berniat mengeluarkan mereka dari sana.
..
Setelah dua film yang sangat istimewa sebelumnya (Toy Story 1 & 2) kini apa lagi yang bisa ditawarkan seri ketiganya. Apakah melibatkan boneka atau karakter lebih banyak? Atau unsur komedi serta aksi yang lebih banyak? Ataukah kisah yang lebih dramatik? Jawabnya untuk semua adalah ya. Film ketiganya kali ini jauh lebih bervariasi dengan karakter-karakter baru yang unik, lokasi yang lebih banyak, dan tentu kombinasi ini memungkinkan lebih banyak aksi serta komedi yang lebih gila dari sebelumnya. Plot �great escape� kali ini memang bukan hal yang baru tapi bukan masalah. Tema cerita pun kurang lebih masih sama, tentang persahabatan namun yang membedakan dari dua film sebelumnya adalah cerita kali ini cenderung lebih �gelap�. Unsur cerita inilah yang membuat film ini begitu istimewa. Setelah begitu banyak pengalaman baik suka dan duka bersama, apalagi yang tidak bisa mereka hadapi? Hanya satu hal yang belum pernah mereka hadapi bersama... The greatest fear of all�kematian.

Berbeda dengan dua film sebelumnya, beberapa karakter lama kini sedikit lebih dominan, seperti Mrs. Potato Head, Barbie, dan tiga alien kecil dari Pizza Planet. Woody dan Buzz masih menjadi bintang utama sementara karakter lainnya relatif berimbang. Sementara tokoh-tokoh eksentrik baru seperti Lotzo dan Ken semakin menambah semarak filmnya. Karakter manusia seperti Andy, ibunya, dan Bonnie juga lebih ditonjolkan dari dua film sebelumnya. Bukan hal mudah bisa mengkombinasikan semua karakter ini dengan begitu pas tanpa ada satu pun karakter yang tenggelam. Kelemahannya, mungkin agak sulit bagi penonton yang belum pernah menonton dua film sebelumnya untuk bisa memahami karakter tiap tokohnya secara mendalam.

Bicara tentang format 3D efeknya hanya lebih terasa pada sekuen aksinya terutama pada sekuen pembuka dan klimaks. Sejak awal pembuka film, sekuen aksinya tercatat jauh lebih seru, heboh, dan bervariasi dari dua film sebelumnya terutama karena lebih banyak tokoh cerita yang terlibat. Tercatat sekuen aksi klimaksnya yang menjadi pamungkas jauh lebih mencekam dan �gelap� dari dua film sebelumnya. Bit scary for a kid, I guess� Namun sehebat-hebatnya semua sekuen aksinya tidak ada yang mampu melawan sekuen penutup filmnya yang begitu manis. Fans sejati dua film sebelumnya pasti akan trenyuh dan menitikkan air mata melihat adegan ini. So so sweet

Toy Story 3 bisa jadi merupakan sekuel kedua (seri ketiga) terbaik yang pernah ada. Seri ketiga ini menutup dengan sangat manis seri petualangan panjang Woody dan kawan-kawannya. Mereka bukanlah sekedar boneka atau mainan namun mereka juga adalah refleksi kehidupan kita. Ketiga film ini telah memberi kita sebuah pelajaran panjang tentang persahabatan, setia kawan, loyalitas, toleran, saling membantu dan mengasihi, serta tentu cinta. Masalah apapun pasti bisa kita atasi bersama jika kita memiliki teman-teman sejati. Pada penutup filmnya, setelah menghadapi �kematian�, Woody, Buzz, dan lainnya seolah terlahir kembali menyongsong hidup baru serta petualangan tiada akhir di depan mereka.(A)

The A-Team, Versi Modern Serial Aslinya

2 Juni 2010,
The A � Team merupakan film aksi yang diadaptasi dari film serial televisi berjudul sama yang populer pada dekade 80-an. Versi layar lebarnya kali ini digarap oleh Joe Carnahan dan diproduseri oleh duo sineas top, Tony dan Ridley Scott. Empat anggota The A-Team dibintangi oleh Liam Neeson, Bradley Cooper, Quinton Jackson, dan Sharlto Copley. Beberapa nama top juga ikut terlibat seperti, Jessica Biel dan Patrick Wilson.

Cerita film dibuka dengan latar belakang bagaimana keempat anggota The A-Team yakni, Hannibal (Neeson), Face (Cooper), B.A. (Jackson), dan Murdock (Copley) bisa bertemu secara tak sengaja dengan cara yang unik dan gila. Beberapa tahun setelahnya mereka berempat mendapat tugas di Timur Tengah. Hannibal mendapat tugas tak resmi dari atasannya untuk merebut plat cetak uang yang konon dimiliki pihak musuh. Di luar dugaan Hannibal ternyata dijebak dan seluruh anggota The A-Team ditangkap. Beberapa waktu kemudian pihak pemerintah diwakili agen Lynch (Wilson) memberi tawaran pada Hannibal dan anak buahnya untuk bisa mengembalikan status serta pangkat mereka dengan catatan mereka bisa merebut plat yang dulu mereka buru.


Seri televisi The A-Team yang populer di tanah air tahun 80-an, kita kenal melalui plot sederhana (good vs bad) dengan skema brilyannya, karakter-karakternya yang unik, aksi-aksi komikal (kekerasan tanpa darah) dengan bermodal peralatan apa adanya. Film layar lebarnya kali ini sepertinya mencoba untuk menangkap spirit film serial aslinya dengan sasaran penonton modern. Hasilnya jika kita bandingkan dengan aslinya jelas jauh berbeda terutama tokoh-tokohnya. George Peppard (Hannibal) yang karismatik serta Mr. T (B.A) yang selalu tampil eksplosif jelas tidak tergantikan. Neeson seringkali tidak mampu melepas aksen Inggrisnya plus sosoknya terlalu serius jika dibandingkan dengan George Peppard yang selalu tersenyum dan santai menutupi kecerdasan otaknya. Jackson dibandingkan dengan Mr. T jelas tampil kurang garang. Copley sebagai Murdoch tampil lumayan namun masih kurang gila jika dibandingkan Dwigth Schultz. Sementara Cooper sebagai Face tergolong yang paling berhasil menggantikan sosok Dirk Benedict, hanya ia sedikit kurang genit. Apakah perubahan karakter ini menjadi masalah? Jelas tidak bagi penonton yang belum pernah menonton film serinya.

Plot film serinya yang sederhana kini berubah menjadi rumit dan kompleks. Skema yang gila, tidak masuk akal, dan brilyan dengan mengandalkan team-work adalah nilai lebih plot serial The A-Team dan untuk film masa kini perubahan ini sepertinya bukan menjadi masalah. Cerita film serinya yang hanya berlokasi di seputar wilayah Amerika kini juga meluas ke beberapa kota dan wilayah di dunia. Tidak ada yang istimewa dengan plotnya dan plot sejenis sudah sering kita jumpai di banyak film. Jika Anda sudah menonton The Looser (2010), plotnya nyaris mirip, hanya The Looser sedikit lebih baik.

Tokoh-tokohnya yang unik dan gila plus skema brilyan yang gila tidak lengkap dengan aksi gila-gilaan pula. Film ini bisa dibilang menyajikan sekuen-sekuen aksi paling gila yang pernah ada. Seperti adegan aksi dalam �tank�, dijamin Anda belum pernah melihat adegan aksi demikian gila seperti ini. Tokoh-tokohnya yang cenderung �gila� dan nekat memang sangat mendukung adegan aksi seperti ini bisa muncul. Hanya adegan aksi komikal seperti film serialnya sudah tidak lagi tampak dan sepertinya memang sudah tidak cocok lagi untuk penonton modern.

The A-Team adalah sebuah tontonan aksi komedi yang sangat menghibur terutama untuk penonton yang sama sekali belum pernah melihat film serialnya. Sekalipun banyak perbedaan namun setidaknya film ini mampu menangkap spirit �madness� dan hingar bingar serial televisinya. Hanya itu saja tidak lebih. Akhir cerita filmnya jelas sekali membuka kemungkinan muncul sekuelnya jika ternyata film ini sukses komersil. (C-)

The Karate Kid, Simple & Warm But No Surprises

10 Juni 2010,
The Karate Kid merupakan remake film drama aksi berjudul sama tahun 1984. Filmnya kali ini digarap oleh Harals Zwart. Uniknya film ini diproduseri oleh aktor Will Smith yang dibintangi putranya sendiri, Jaden Smith. Selain bintang cilik ini juga bermain superstar Asia, Jackie Chan, serta aktris kulit hitam Taraji P. Henson. Film remakenya yang kali ini mengambil setting cerita di negeri Cina ini hanya memakan bea produksi sebesar $35juta.

Si cilik, Dre Parker (Smith) bersama ibunya (Henson) harus pindah ke China karena alasan karir sang ibu. Di tempat barunya ini yang sangat asing bagi anak berkulit hitam seperti Dre, ia mencoba bergaul dengan anak-anak sebayanya. Dre bahkan juga telah tertarik dengan gadis cantik sebayanya, Mei Ying. Tanpa diduga sekelompok anak-anak menggangu Dre hingga terjadi perkelahian dan ia terluka. Di sekolah pun Dre masih diganggu oleh anak-anak yang sama. Suatu hari ketika Dre kembali diganggu ia ditolong oleh Mr. Han (Chan) yang juga bekerja sebagai maintenance di apartemennya. Dre yang terkesan dengan kung fu Mr. Han memintanya untuk menjadi murid namun ditolaknya halus. Dre lalu meminta tolong Mr. Han untuk berbicara pada guru kung fu dari anak-anak yang menganggunya agar mereka tidak menggangunya lagi. Di luar dugaan sang guru malah mengajak bertarung namun Mr. Han memilih mereka untuk bertarung secara fair di sebuah turnamen kung fu. Mr. Han pun akhirnya melatih Dre untuk belajar kung fu untuk mempersiapkan even tersebut.

Dari sisi cerita, film remakenya ini bisa dianggap loyal dengan film aslinya. Tak ada kejutan cerita memang namun film ini mampu memberi sentuhan yang berbeda dari film aslinya. Sisi dramatik jelas lebih kuat dari sisi aksinya dan penonton akan mudah untuk larut mengikuti cerita filmnya. Cerita film dituturkan dengan sabar dan wajar sejalan dengan pendewasaan diri tokoh-tokoh utamanya. Sederhana dan hangat� mungkin ini kata-kata yang pas memberi komentar untuk cerita filmnya. Kehangatan hubungan sang bocah dengan ibunya, Mr, Han, lalu juga Mei Ying mampu memberikan sentuhan manusiawi yang jarang kita temui pada film-film keluarga sejenis bahkan film aslinya sekalipun.

Boleh jadi memang film ini terlalu panjang namun sineas tidak sia-sia memperpanjang durasinya. Setting cerita di Cina mampu dimanfaatkan maksimal dengan menggunakan potensi keindahan alam serta budaya negeri tersebut, seperti jalanan dan gang-gang kota Shanghay, wisata kota terlarang, festival hari �Valentine Cina�, tembok benteng Cina, hingga wisata nan indah di puncak bukit. Eksotisme lokal memberikan sentuhan serta warna yang unik yang tidak terdapat pada film aslinya.

Namun antiklimaks cerita justru terjadi pada sekuen klimaksnya. Tahap demi tahap detil cerita nyaris mirip dengan film aslinya sehingga tak ada kejutan yang berarti. Semua orang sudah tahu akhir cerita film ini namun sungguh tidak bisa dimengerti mengapa harus sama seperti film aslinya. Juga pertarungan-pertarungan dalam turnamen ini sendiri sungguh sangat sangat menganggu. Bocah-bocah usia pra remaja harus saling bertarung keras sedemikian rupa dengan teknik-teknik beladiri yang kadang sangat berbahaya dan cenderung brutal. Satu contoh saja seorang bocah dengan �sadis� menendang dengan demikian kuat lawannya hingga terpental jauh (terbang) keluar arena. Pada pertarungan akhir, masak iya sih seorang bocah yang sudah demikian kesakitan masih diperbolehkan bertarung? What the h***?? Apakah memang aksi yang seperti ini bisa ditolerir dalam sebuah pertarungan tingkatan umur ini? Orang tua macam apa yang memperbolehkan anaknya menonton atau bahkan mengikuti pertandingan brutal macam ini? I don�t know but this is too much! Jelas sangat berbeda jika pertandingan ini diikuti oleh orang dewasa.

The Karate Kid versi baru memang memakai formula cerita yang sama namun kali ini sentuhannya sangat berbeda. Kehangatan cerita serta eksotisme lokal sungguh memberi nilai plus filmnya. Para kastingnya sendiri juga tidak mengecewakan, Jaden, Chan, hingga Henson bermain sangat menawan. Filmnya sendiri juga sarat dengan wejangan serta falsafah timur sederhana dan dalam yang mudah dipahami anak-anak sekalipun. Kungfu sejatinya bukanlah untuk bertarung melainkan adalah bagaimana kita bersikap (baik) pada orang lain. Kata-kata manis juga terlontar dari Dre untuk ayah Mei Ying, �teman sejati adalah orang yang mampu membuat kita menjadi orang yang lebih baik...�. Hanya sayang seribu sayang sekuen klimaks filmnya sungguh-sungguh merusak segalanya. It�s just too brutal for kids� (C+)