Senin, 22 Desember 2008

Safe JIFFest

Save JIFFest. Saya kaget membaca topik ini di twitter. Ada apa dengan JIFFest? Mengapa sampai ada gerakan ini? Rasanya perhelatan festival film internasional pertama di Indonesia dan salah satu yang terbesar di Asia Tenggara ini selalu menuai sukses dan mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Cukup miris, ternyata festival film sekaliber JIFFest pun menghadapi masalah klasik krisis pendanaan.

Rencananya JIFFest yang memasuki tahun ke-12 akan diselenggarakan pada tanggal 27 November - 3 Desember 2010, tetapi hingga saat ini panitia masih kekurangan dana. Untuk menggelar sebuah perhelatan film akbar sebenarnya diperlukan dana minimal 5M, tetapi panitia mencoba menekannya hingga ke angka 2M. Angka ini ternyata belum juga dapat dipenuhi karena panitia masih membutuhkan kucuran dana 1.5M dari seluruh total dana yang diperlukan. Jika sampai awal November dana tidak terkumpul, siap-siap mengucapkan selamat tinggal untuk JIFFest tahun ini.

Selama ini sumber pendanaan utama JIFFest berasal dari bantuan donor asing. Bantuan ini harus berhenti di tahun ke-10 sehingga JIFFest harus mengandalkan bantuan pemerintah dan sponsor lokal. Fakta ini cukup menjelaskan mengapa JIFFest tahun kemarin hanya terpusat di satu bioskop dan hanya membuka 4 layar saja. Berbeda jauh dengan tahun awal kemunculan JIFFest yang mampu membuka sampai 11 layar di berbagai titik sentral kota Jakarta.

Sejak awal penyelenggaraannya, JIFFest telah membawa tak kurang dari 1500 judul film berkualitas dari 40 negara dan dihadiri oleh lebih dari 350 ribu orang. JIFFest tak hanya memuaskan penikmat film yang jenuh dengan drama tiga babak khas Hollywood atau penonton yang muak dengan film Indonesia bergenre komedi-horor-seks, JIFFest juga membuka cakrawala akan keragaman budaya, ide, gagasan, dan terobosan baru dari berbagai belahan dunia.
.
Tak hanya mengkhususkan diri memutar film dari penjuru dunia, JIFFest juga menggelar Kompetisi Film Panjang Indonesia sejak tahun 2006 untuk mencari bibit-bibit baru yang kompeten di dunia perfilman Indonesia. Kategori Sutradara Terbaik dan Film Terbaik yang diperebutkan setiap tahunnya ini juga merupakan bentuk apresiasi JIFFest terhadap sineas Indonesia. Kompetisi ini diharapkan dapat memacu sineas lain untuk menciptakan lebih banyak lagi film Indonesia yang berkualitas.

JIFFest pun loyal menggelar diskusi, workshop, dan master class dengan pembicara yang kompeten di bidangnya. Tak tanggung-tanggung, beberapa tamu khusus JIFFest juga didatangkan dari luar negeri untuk turut berpartisipasi dalam diskusi panel maupun master class. Tak heran rasanya jika kemudian JIFFest berhasil mencetak nama-nama seperti Salman Aristo (penulis skenario, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Garuda di Dadaku) dan Lucky Kuswandi (sutradara, Madame X) yang mengawali karya mereka lewat festival film ini.

Biaya terbesar JIFFest dialokasikan untuk meminjam dan mendatangkan film dari luar negeri. Ini tidak diimbangi dengan pemasukan yang diperoleh dari penjualan tiket. Harga tiket JIFFest memang dijual di bawah harga pasaran bioskop umum, beberapa malah digelar secara free screening. Hal ini ditujukan agar publik dapat mengakses berbagai film bermutu dari berbagai negara, publik tidak akan mampu mengaksesnya jika harga tiket dijual sesuai dengan harga film yang diputar. Idealnya pendanaan JIFFest disokong melalui 30% sumbangan pemerintah, 30% dari Pemda, dan sisanya dari swasta. Pendiri JIFFest, Shanty Harmyn menyatakan selama 11 tahun JIFFest berlangsung nyaris tidak ada bantuan dana dari pemerintah. 'Pemerintah melihat JIFFest sebagai beban, bukan sebagai kesempatan', ungkapnya. Lebih lanjut, dalam jumpa pers 'Save Our JIFFest' di Galeri Cipta III TIM, Kamis (14/10) lalu, Shanty mengajak publik untuk berjuang bersama menyelamatkan JIFFest. Menggalang dana dari masyarakat berapa pun nominalnya agar festival ini dapat terselenggara.

Mari kita selamatkan JIFFest. Anda tidak perlu menjadi seorang pecinta film untuk ikut tergerak menyumbang. Anda tidak perlu bersikap acuh karena belum pernah menghadiri event ini. Anda hanya perlu sadar, bahwa JIFFest merupakan sebuah kegiatan budaya yang mendorong pemahaman terhadap keragaman dan perbedaan manusia. Bahwa Indonesia memiliki JIFFest yang dapat disejajarkan dengan berbagai festival film internasional lainnya.

Mari selamatkan JIFFest dan tunjukkan kepada pemerintah pentingnya event ini untuk Indonesia. Sebuah festival film bergengsi yang dijadikan ajang bertemunya filmmaker dari berbagai belahan negara, dimana para sineas Indonesia berbakat dapat menunjukkan denyut nadi perfilman Indonesia yang walau lemah tapi masih dapat bersaing di kancah internasional. Betapa publik selalu mengharapkan kehadiran JIFFest setiap tahunnya dan bagaimana JIFFest telah ikut serta dalam memajukan kualitas perfilman Indonesia.

Sebuah festival bisa bertahan lebih dari satu dekade berkat dukungan para penonton dan pendukung setianya, yaitu Anda semua. Dengan menyelamatkan JIFFest, Anda telah berperan serta dalam menyelamatkan Jakarta sebagai kota tempat kita semua hidup bersama untuk merayakan keragaman budaya dan manusianya. Untuk Anda yang tinggal di luar Jakarta tidak perlu berkecil hati karena ada JIFFest Traveling yang digelar di 6 kota besar di Indonesia.

Informasi lebih lanjut dapat mengirimkan email ke info@jiffest.org atau jiffest@gmail.com. Donasi dapat disumbangkan melalui:Yayasan Masyarakat Mandiri Film Indonesia BCA Percetakan NegaraNo Rekening 7420030091Bukti pembayaran dapat Anda kirimkan melalui alamat email di atas, atau fax ke 021-31925360.Untuk mengikuti perkembangan Save JIFFest dan menunjukkan dukungan, Anda dapat memantaunya lewat twitter dengan hashtag #savejiffest. Perlu diingat, yang dibutuhkan saat ini bukanlah dukungan atau retweet semata, bukan pula cecaran yang menyalahkan pemerintah,? tetapi donasi yang Anda berikan.
JIFFest adalah milik kita bersama

Save Our JIFFest

Rossa K. Matari
Pecinta Film

Selasa, 16 Desember 2008

Dari mOntase


Edisi Montase kali ini sedikit berbeda karena kami menambahkan satu halaman yang berisi komentar-komentar baik dari tim Montase sendiri maupun pihak-pihak luar tentang buletin ini. Seperti sebelumnya edisi ini juga mengakhiri bahasa sejarah sinema Asia yang ditutup dengan Sinema Hong Kong. Pada edisi kali ini juga kami meliput perhelatan akbar Jogjakarta Asian Film Festival (JAFF) yang belum lama ini berlangsung di Kota Jogjakarta serta beberapa ulasan film-film terbaru kita, seperti Merantau dan Merah Putih.

Sekilas Sinema Hong Kong


Era Film Bisu

Sejak awal perkembangan sinema industri film Hong Kong berjalan berdampingan bersama industri film China yang berpusat di Shanghai. Opera Cina yang telah ada sejak ribuan tahun silam menjadi akar bagi medium film. Adapun film yang seringkali dianggap sebagai film Hong Kong pertama adalah dua film komedi pendek berjudul Stealing a Roasted Duck dan Right a Wrong with Earthenware Dish masing-masing pada tahun 1909. Film ini disutradarai Liang Shaobo yang juga seorang aktor dan sutradara Opera. Sementara orang yang berjasa di balik awal perkembangan sinema Hong Kong adalah seorang Amerika, Benjamin Brodsky. Brodsky juga turut andil memproduksi film panjang Hong Kong pertama (berdurasi 2 rol) yakni, Zhuangzi Tests His Wife (1913). Film yang diadaptasi dari pertunjukan opera ini diarahkan oleh Lai Man-wai yang kelak dijuluki sebagai Bapak Sinema Hong Kong.

Perkembangan selanjutnya sulit untuk dilacak karena hanya sedikit saja film yang selamat dari perang dunia pertama. Perang juga menghambat perkembangan film di Hong Kong karena industri film sangat bergantung pada stok (negatif) film dari Jerman. Hingga akhirnya pada tahun 1923, Lai Man-wai bersama dua saudaranya begabung bersama Liang Shaobo untuk mendirikan studio lokal pertama di Hong Kong yakni, Minxin Studio atau juga dikenal China Sun Motion Picture Company. Pada tahun 1925, Lai memproduksi film panjang pertama yakni, Rogue yang juga sukses komersil. Namun demonstrasi buruh yang melanda Hong Kong pada saat itu memaksa Lai memindahkan operasinya ke Shanghai.

Era Film Bicara - Perang Dunia II

Kedatangan teknologi suara serta demonstrasi yang mulai mereda di Hong Kong mengubah industri film sangat drastis. Rakyat Cina mayoritas menggunakan bahasa mandarin namun bahasa kanton lebih lazim digunakan warga Hong Kong. Para produser Cina melihat peluang emas ini dan mulai mendirikan studio di Hong Kong untuk memproduksi film-film berbahasa kanton. Perang antara Cina � Jepang yang pecah di tahun 1937 juga memaksa para pelaku industri film di Shanghai pindah ke Hong Kong. Hong Kong selama beberapa waktu menjadi surga bagi para pelaku industri asal Shanghai. Studio-studio besar seperti, Grandview, Tian Yi, Universal, dan Nanyue didirikan. Film-film bergenre adaptasi opera terbukti adalah yang paling sukses pada dekade ini. Hingga akhirnya pada tahun 1941, Jepang menginvasi Hong Kong dan praktis industri film mati total.

Selama era 30-an ini selain film-film adaptasi opera beberapa genre baru bermunculan yakni, perang (propaganda anti Jepang) serta silat. Ketegangan dengan Jepang membuat film-film perang bertema patriotisme dan nasionalis menjadi tema yang populer sejak pertengahan 30-an, seperti Lifeline (1935), Hand to Hand Combat (1937), dan March of the Partisans (1938). Sementara genre silat (umumnya menggunakan pedang) sebenarnya telah populer sejak akhir dekade lalu terutama di Cina melalui adaptasi novel-novel wuxia yang kala itu sangat populer disajikan berseri di surat kabar. Namun pada awal era 30-an pemerintah Cina melarang produksi film-film silat pedang karena dinilai mengandung unsur kekerasan dan tahyul. Hal ini membuat Hong Kong yang merupakan koloni Inggris menjadi sasaran alternatif. Tercatat film silat berbahasa kanton pertama yang diproduksi di Hong Kong adalah The Adamed Pavilion (1938). Setelah perang berakhir kelak silat (dan kung-fu) adalah salah satu genre paling berpengaruh dalam sejarah industri perfilman Hong-Kong.

Era Pasca Perang Dunia

Sesaat setelah perang dunia selesai, perang sipil yang terjadi di Cina kembali memaksa para pelaku industri film di Shanghai kembali eksodus ke Hong Kong. Hong Kong menjadi pusat industri film terbesar yang memproduksi baik film berbahasa mandarin maupun kanton selama dekade mendatang. Film-film berbahasa mandarin cenderung berbujet besar dengan sasaran penonton yang lebih luas, yakni Cina daratan, Hong Kong, Asia Tenggara, hingga wilayah pecinan di seluruh Eropa dan Amerika. Sementara film-film berbahasa kanton umumnya berbujet rendah dan lebih ditujukan untuk pasar Hong Kong sendiri. Film-film lokal ini banyak didominasi oleh genre adaptasi opera Cina dan kung-fu.

Film-film adaptasi opera Cina dimotori oleh dua aktris top, yakni Yam Kim Fai dan Pak Suet Yin. Film mereka yang paling populer adalah The Purple Hairpin (1959) dan mereka telah bermain dalam lima puluh judul film lebih. Sementara pekembangan mendasar terjadi pada genre silat pedang, yakni munculnya genre kung-fu. Berbeda dengan adaptasi novel wuxia yang berisikan silat menggunakan pedang serta unsur fantasi dan mistik, film-film kung-fu lebih membumi dengan aksi-aksi perkelahian tangan kosong yang realistik. Satu contohnya, pahlawan lokal legendaris, Wong Fei Hung mulai difilmkan dengan seri lebih dari seratus judul film sejak akhir 40-an hingga 70-an. Aktor Kwan Tak Hing berperan sebagai sang master kung-fu dimulai dari The True Story of Wong Fei Hung (1949) hingga Wong Fei Hung Bravely Crushing the Fire Formation (1970). Perubahan juga terjadi pada genre silat pedang yang mulai menggunakan efek visual dan animasi untuk mendukung adegan aksi, seperti tampak pada Buddha�s Palm (1964) dan The Six-Fingered Lord of the Lute (1965).

Pada tahun 1963, pemerintah kolonial (Inggris) mengeluarkan kebijakan mengharuskan setiap film yang diproduksi di Hong Kong disertai teks terjemahan bahasa Inggris. Beberapa pihak menduga hal ini dimaksudkan untuk menghindari tema serta isi film yang berbau propaganda terhadap Inggris. Para produser juga memasukkan teks terjemahan bahasa Cina sehingga baik penonton berbahasa mandarin maupun kanton dapat sama-sama pula menikmati filmnya. Kebijakan ini tidak disadari kelak akan mempopulerkan film-film Hong Kong pada penonton barat. Hingga akhir dekade 60-an, film berbahasa mandarin semakin mendominasi pasar dan pada awal 70-an, film berbahasa kanton hampir sama sekali tidak diproduksi karena kalah bersaing.

Dominasi Shaw Brothers

Pada era 60-an ada dua studio raksasa yang bersaing menguasai pasar, yakni Shaw Brothers (SB) dan Motion Pictures and General Invesment Limited (MP&GI). SB semakin memperkuat dominasinya di tahun 1964, setelah kepala studio MP&GI tewas dalam kecelakaan pesawat terbang. MP&GI lalu berganti nama menjadi Cathay namun tetap saja kalah bersaing dan akhirnya mereka menutup perusahaannya di tahun 1970. Studio SB sendiri berdiri tahun 1957 namun Shaw Bersaudara, Run Run dan Runme Shaw sebelumnya telah berpengalaman di industri film sejak tiga dekade silam. SB semakin memperlihatkan dominasinya setelah mendirikan studio di Central Bay, Hong Kong pada tahun 1961, dengan luas areal 850.000 hektar dan ribuan karyawan. Dengan segala fasilitas, sineas serta para bintangnya, SB mendominasi industri film selama dua dekade ke depan. Hingga pertengahan 70-an, SB tercatat memiliki 230 teater, satu stasiun televisi, dan sekitar 1,7 juta orang per minggunya melihat film-film produksi SB.

Sukses besar pertama SB adalah melalui The Kingdom and the Beauty (1958) karya Li Han Hsiang yang sukses komersil baik domestik maupun internasional. Sukses berlanjut melalui Magnificent Concubine (1962) yang meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Bersama SB, Li Han Hsiang kembali sukses besar melalui film musikal Love Eterne (1963) yang hingga kini masih dianggap karya klasik. SB juga mengubah tradisi genre silat pedang yang semula didominasi bintang wanita menjadi film laga murni melalui film-film sukses macam Come Drink with Me (1966) karya King Hu serta The One Armed Swordsman (1967) karya Chang Cheh.

Era Transisi

Sejak akhir dekade lalu film berbahasa kanton mulai menyusut bahkan hingga tahun 1972 jumlahnya sama sekali nol. SB hingga pertengahan dekade ini masih mendominasi melalui film-film kung-fu yang kini mulai digemari penonton barat. Bersama Chang Ceh, SB memproduksi film-film kung-fu sukses seperti Vengeance (1970), The Boxer from Shantung (1972), Five Deadly Venoms (1978) and Crippled Avengers (1979). Sejak awal dekade ini SB mulai mendapat rival yang serius ketika mantan eksekutifnya yakni, Raymond Chow mendirikan studio, Golden Harvest (GH). Dengan kejeliannya, Chow mengontrak beberapa bintang muda yakni Bruce Lee dan Hui Bersaudara yang kelak membawa perubahan besar bagi industri film Hong Kong.

Bruce Lee bisa dibilang adalah satu-satunya aktor superstar legendaris yang menjadi ikon beladiri di muka bumi ini. Sepanjang karirnya Lee hanya memproduksi lima judul film sebelum ia tewas di tahun 1973, yakni The Big Boss (1971), Fist of Fury (1972), The Way of the Dragon (1972), Enter of the Dragon (1973), dan The Game of Death (1979). (The Game of Death adalah film yang belum ia selesaikan produksi tahun 1972). Lee melalui film-filmnya memperkenalkan aksi perkelahian gaya baru yang cepat dengan kharismanya yang khas. Tercatat tiga film pertamanya memecahkan rekor box office domestik. Sementara sukses besar diraih Enter of the Dragon merupakan film produksi patungan Amerika � Hong Kong yang tercatat meraih $90 juta di seluruh dunia.

Pada pertengahan 70-an, memperlihatkan beberapa usaha para pembuat film lokal untuk memproduksi film berbahasa kanton. Satu pemicunya adalah film komedi sukses The House of 72 Tenants (1973) produksi SB yang merupakan satu-satunya film berbahasa kanton yang diproduksi tahun ini. Produksi film berbahasa kanton kembali bergairah terutama setelah film komedi kontemporer Games Gambler�s Play (1974) produksi GH yang dibintangi Hui Bersaudara memecahkan rekor box office domestik. Sukses film ini mengubah arah industri film Hong Kong ke depan. Pada tahun 1974 tercatat hanya 21% film berbahasa kanton diproduksi dan tren ini terus berkembang hingga kelak film berbahasa mandarin sama sekali tidak diproduksi di awal 80-an.

Pada akhir dekade 70-an, GH mengambil-alih kendali pasar menjadi studio nomor satu di Hong Kong. GH kembali melakukan terobosan besar dengan mengontrak aktor muda berbakat sebagai pengganti mendiang Lee, yakni Jacky Chan. Chan melalui Snake in the Eagle Shadow (1978) yang mengkombinasikan aksi kung-fu dengan komedi (kelak menjadi cirinya) terbukti menjadi formula yang sangat diminati penonton. Film-film selanjutnya seperti Drunken Master (1978) serta debut sutradaranya, Fearless Hyena (1979) yang sukses di pasaran semakin meroketkan namanya. Sukses GH serta melemahnya dominasi SB juga membuat para produser dan studio independen semakin menggeliat. SB sendiri masih berproduksi hingga tahun 1987 sebelum akhirnya beralih penuh ke televisi.

Era Emas

Sejak era 80-an, industri film Hong Kong boleh dibilang berubah secara radikal. Para produser dan sineas independen semakin bebas berkreasi dengan ide yang lebih segar. Industri film pada dekade ini mengalami tahap kematangan serta kreatifitas yang belum pernah dicapai era-era sebelumnya. Era gemilang ini berlanjut hingga awal dekade depan ditandai dengan rekor produksi sebanyak 178 judul film pada tahun 1992. Langkah besar dipicu oleh studio baru, Cinema City yang didirikan tahun 1980. Studio ini mengkhususkan diri pada produksi film aksi komedi ber-setting urban dengan film-film sukses macam Chasing Girls (1981) dan Aces Go Places (1982). Parodi ala James Bond, Aces Go Places bersama empat sekuelnya tercatat merupakan seri komedi paling sukses pada dekade ini.

Era ini juga ditandai dengan kemunculan sineas-sineas berbakat yang karirnya dimulai dari televisi, seperti Tsui Hark, Ann Hui, John Woo, Ringo Lam serta lainnya. Tidak seperti Hark dan Woo, sineas wanita Ann Hui memproduksi film-film dengan beragam variasi genre, yakni drama, aksi, horor, fantasi, dan lainnya. Film drama The Boat People (1982) dianggap merupakan salah satu karya terbaiknya. Tsui Hark sukses dengan film-film aksi kung-fu cepat dan energik macam Zu: Warriors from the Magic Mountain (1983), Peking Opera Blues (1986) hingga karya fenomenalnya Once upon a Time in China (1991) yang membesarkan nama Jet Li. Sementara Woo dikenal dengan film-film gangster full action seperti A Better Tomorrow (1986) dan The Killer (1989) yang mengangkat nama aktor karismatik Chow Yun-fat. Tsui Hark dan John Woo pada pertengahan dekade mendatang melanjutkan karirnya di Hollywood.

Sang superstar, Jacky Chan setelah sukses dengan film-film kung-fu pada dekade lalu melanjutkan suksesnya dengan film-film aksi berlatar kontemporer, seperti Project A (1983), Police Story (1985) dan Armour of God (1986). Dalam semua filmnya, Chan tidak pernah menggunakan pemain pengganti untuk melakukan adegan berbahaya. Di masa mendatang Chan semakin menanjak popularitasnya bahkan kini menjadi bintang top Hollywood. Kolega Chan, Sammo Hung pada dekade ini sukses dengan film-film aksi-komedi horor, Encounter of the Spooky Kind dan The Dead and the Deadly (1982) yang mempelopori sukses genre �hantu" pada dekade ini. Beberapa bintang lain yang menonjol antara lain aktris Brigitte Lin yang sukses dengan film-film roman silat serta aktor spesialis komedi, Stephen Chow yang meraih sukses awalnya melalui film komedi �judi�, All for the Winner (1990).

Sukses sinema mainstream ternyata juga diikuti film-film nonmainstream (art film) di kancah film internasional. Para sineas seperti Wong Kar-wai, Stanley Kwan, Clara Law, Mabel Cheung menekankan pada tema serta gaya yang tidak lazim dalam film-film Hong Kong kebanyakan. Satu nama yang paling mencuat hanyalah Wong Kar-wai. Wong memulai debutnya melalui As Tears Go By (1988) adalah film garapannya yang paling sukses komersil. Karya-karya terbaiknya berlanjut melalui Days of Being Wild (1991) dan Chungking Express (1994) namun adalah Happy Togethers (1997) yang membuat namanya meroket setelah meraih penghargaan sineas terbaik dalam Cannes Film Festival. Film-film Wong sendiri dikenal memiliki gaya visual yang unik serta kolaborasinya dengan aktor-aktris, Tony Leung dan Maggie Cheung. Dua bintang ini juga terlibat dalam In the Mood for Love (2000) yang kini dianggap merupakan salah satu karya masterpiece Wong.

Era Kejatuhan hingga Kini

Sekitar pertengahan era 90-an merupakan era paling gelap dalam sejarah industri film Hong Kong. Produksi film lokal dari tahun ke tahun terus merosot tajam. Pada tahun 1997 tercatat jumlah produksi film dibawah seratus judul film, terburuk sejak dua dekade silam. Banyak faktor yang melatarbelakangi kejatuhan perfilman Hong Kong, antara lain krisis keuangan yang melanda Asia, banyak sineas serta aktor besar yang hijrah ke Hollywood, kualitas film yang semakin menurun, pembajakan film yang makin marak, dominasi film-film Hollywood, serta paling berpengaruh adalah pemindahtanganan Hong Kong ke Cina dari tangan pemerintah Inggris pada tahun 1997. Janji pemerintah Cina untuk mendukung industri film belum menunjukkan hasil, justru industri malah ditekan melalui sensor film yang ketat. Tahun 2003, Pemerintah lokal mengeluarkan kebijakan yang mengajak bank lokal untuk mendukung industri film namun hasilnya juga masih belum maksimal.

Pada era kelam ini para pelaku industri mencoba menggunakan beberapa formula baru untuk memikat penonton muda datang ke bioskop diantaranya mengkasting bintang-bintang (juga penyayi pop) muda seperti Ekin Cheng dan Nicholas Tse, serta membuat film-film aksi kaya efek visual ala Hollwood. Tren ini tampak dalam film-film seperti Downtown Torpedoes (1997), The Storm Riders (1998), Gen X-Cop (1999), Time and Tide (2000), dan Legend of Zu (2001). Sang superstar, Stephen Chow sukses fenomenal dengan dua film komedi uniknya, Shaolin Soccer (2001) dan Kung Fu Hustle (2004). Kung Fu Hustle bahkan sukses meraih nominasi Oscar untuk film berbahasa asing terbaik. Film-film gangster dan kriminal juga cukup sukses, seperti Young and Dangerous (1996) dan Infernal Affairs (2002) bersama sekuel-sekuelnya. Infernal Affairs bahkan di-remake Hollywood melalui The Departed (2006) yang meraih Oscar untuk Film Terbaik.

Hingga saat ini pun kondisi perfilman Hong Kong masih jauh jika dibandingkan era emas 80-an. Industri film kini hanya memproduksi sekitar 50-an judul film saja per tahunnya. Sayangnya, di saat industri film semakin merosot justru popularitas film-film Hong Kong di negara barat semakin meningkat. Sineas dan bintang-bintang Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Jet Li, serta Chow Yun-fat sudah menjadi bagian dari Hollywood. John Woo bahkan dipercaya memproduksi film-film berbujet besar macam Broken Arrow (1996), Face/Off (1998), Mission Impossible 2 (2000), dan Windtalkers (2002) bersama bintang-bintang top macam Tom Cruise, Nicholas Cage, dan John Travolta. Jacky Chan meraih sukses melebihi karirnya di Hong Kong melalui tiga seri aksi-komedi, Rush Hour. Sementara penata laga kawakan, Yuen Woo-ping hingga kini masih menjadi langganan dalam banyak film aksi laga Hollywood. Pengaruh sinema Hong Kong pun juga tampak dalam karya-karya sineas besar seperti Quentin Tarantino, Robert Rodriguez, Wachowsky Bersaudara, hingga Martin Scorcese. Sebagai penutup, perkembangan industri perfilman dunia boleh jadi tidak memiliki warna seperti saat ini jika sinema Hong Kong tidak pernah eksis.

Himawan Pratista

The Way of The Dragon

Kombinasi Aksi, Komedi, dan Western

The Way of The Dragon (1972) merupakan film ketiga Bruce Lee sekaligus menjadi debut sutradaranya. Kontrol penuh didapat Lee termasuk menulis naskahnya sendiri hingga penata laga. Film yang diproduseri Raymond Chow (Golden Harvest) ini dibintangi aktris cantik Nora Miao, Wang Chung-Hsin serta bintang tamu, juara karate asal Amerika, Chuck Norris yang juga adalah murid Lee.

Alkisah pemuda desa jago kung-fu, Tang Lung (Lee) mendapat amanah dari pamannya untuk membantu usaha restoran Cina rekannya yang kini dikelola keponakannya, Chen Ching Hua (Miao) di Roma, Italia. Restoran tersebut diteror para preman karena Chen menolak tawaran Robert, seorang bos mafia setempat yang ingin membeli restoran tersebut. Tang Lung suatu kali berhasil mengusir para preman keluar namun bos mafia belum mau menyerah. Ketika usaha untuk menyingkirkan Tang Lung berulang-kali gagal, sang bos akhirnya menyewa Colt (Norris), seorang juara Karate Amerika untuk menghabisi Tang Lung.

Entah bisa jadi karena film ini diproduksi di Italia namun nyatanya nuansa western (spaghetty western) terasa begitu kental baik dari sisi cerita maupun pencapaian teknis. Plotnya murni diambil dari plot konvensional western lengkap dengan duel klimaks sang jagoan dengan musuhnya di akhir cerita. Uniknya, sekalipun film aksi laga namun tidak serta merta semua adegan berujung (memaksa) pada aksi perkelahian. Tercatat adegan laga baru muncul setelah durasi sekitar setengah jam. Pada satu adegan awal, Lee (sineas) berusaha memancing reaksi penonton ketika Tang Lung didaulat anak buah Chen untuk mendemonstrasikan kung-funya namun nyatanya tidak ia lakukan. Efeknya sungguh luar biasa bagi penonton ketika Tang Lung benar-benar menunjukkan kehebatannya. Satu lagi keunikan film ini adalah selera humornya yang tinggi. Dalam sekuen pembuka, Lee berlama-lama dengan karakter Tang Lung ketika perutnya lapar saat ia menanti jemputan. Tang Lung yang hanya bisa bahasa mandarin sama sekali tidak mengetahui apa yang ia pesan di restoran. Sentuhan humor disisipi hampir dalam semua adegannya termasuk aksi laga sehingga film ini tidak pernah terasa membosankan.

Satu hal yang menjadi andalan dan kekuatan film ini jelas adalah aksi laganya. Lee memperlihatkan kemampuannya berolah kung-fu, baik tangan kosong, menggunakan tongkat, dan double stick melalui pesona dan karismanya yang khas. Unsur komedi menjadi bumbu yang pas menyelingi adegan aksi laganya. Dalam aksi pertarungan Lee kadang juga menambahkan efek suara tak lazim layaknya arena sirkus seperti �boing� atau �dung� tatkala musuh-musuhnya terkena pukulan atau tendangan Tang Lung. Adegan laga paling berkesan tentunya adalah laga klimaks antara Tang Lung dengan Colt. Pertarungan guru dan murid ini konon banyak dianggap pengamat sebagai adegan pertarungan tangan kosong terbaik yang pernah ada. Aksi membalik jempol juga merupakan satu aksi yang paling banyak ditiru dalam banyak film setelah ini. Satu hal yang tak lazim adalah Lee menyisipkan beberapa kali shot kucing yang tengah menonton keduanya berduel. Pada duel klimaks ini nuansa western juga tampak kental terutama pada aspek sinematografi dan editing. Pada shot penutup tampak sang jagoan berjalan menjauh seorang diri menyongsong petualangan selanjutnya. The Way of the Dragon merupakan karya terbaik Lee yang tidak hanya menampilkan karismanya sebagai seorang ahli beladiri namun juga aktor serta sineas yang handal.

Himawan Pratista

The Killer

Aksi Brutal ala John Woo

The Killer (Di�xu� shuangxi�ng, 1989) merupakan film aksi-gangster garapan sineas kawakan John Woo. Kisah filmnya sendiri banyak diinspirasi dari film kriminal Perancis, Le Samourai (1967) karya Jean Pierre Melville. Film ini dibintangi oleh aktor kawakan, Chow Yun-fat bersama Danny Lee, Sally Yeh, dan Kenneth Tsang. Sekalipun film ini gagal di pasar domestik namun di luar dugaan sukses di pasar internasional dan mendapat banyak pujian dari kritikus asing. Film ini juga menandai akhir kolaborasi antara John Woo dengan produsernya Tsui Hark.

Seorang pembunuh bayaran kelas atas, Ah-jong (Yun-fat) memutuskan untuk pensiun dari pekerjaannya setelah menyelesaikan misi terakhirnya. Sewaktu melaksanakan aksinya di sebuah pub, secara tak sengaja Ah-jong melukai mata Jennie (Yeh), seorang penyanyi pub hingga hampir buta. Ah-jong yang merasa bersalah memutuskan untuk membiayai operasi mata Jennie dengan melakukan satu misi lagi. Sementara Li Ying (Lee) adalah seorang inspektur polisi gigih yang kecewa dengan cara kerja kepolisian menangani kasus kriminal. Li suatu ketika mendapat tugas melindungi seorang taipan korup yang menjadi target Ah-jong. Li serta merta memburu Ah-jong ketika sang target tewas. Di saat bersamaan, Ah-jong ternyata juga menjadi buruan atasannya untuk melenyapkan saksi.

Plot filmnya sederhana, berjalan dengan tempo sangat cepat yang tujuannya cuma satu, yakni memaksa aksi muncul sepanjang filmnya. Mata kamera jarang sekali berlama-lama dengan adegan dialog sedramatik apapun adegannya. Adegan demi adegan berpindah dengan sangat cepat namun hebatnya kita masih mampu bersimpati penuh dengan tokoh-tokohnya. Ini jelas karena pengaruh akting yang kuat dari para pemainnya khususnya Chow Yun-fat dan Danny Lee. Adegan aksi jelas-jelas adalah tujuan utama filmnya. Aksi brutal gila-gilaan bisa muncul begitu saja dengan mengabaikan logika dan akal sehat. Musuh dapat muncul begitu saja, dimana pun dan kapan saja seolah tak ada habis-habisnya. Adegan aksi juga tidak pernah berdurasi singkat tapi sengaja diulur selama mungkin hanya untuk menghibur penonton. Memaksa? Jelas ya. Namun satu hal yang terasa sangat manusiawi dalam film ini adalah hubungan persahabatan yang terjalin antara Ah-jong dan Li Ying.

Apa yang membuat John Woo begitu hebat adalah cara ia mengemas adegan aksi. Adegan aksi dalam film ini pada masanya dianggap terlalu keras namun anehnya menjadi tren dalam film-film aksi setelahnya. Tidak ada kata lain selain brutal untuk mengomentari semua adegan aksi dalam film ini. Peluru dan darah berhamburan dimana-mana bagai ladang pembantaian manusia! Tembak-menembak tidak hanya terjadi pada jarak jauh namun juga sangat dekat hingga 1-2 meter saja! Sepanjang film kita melihat bagaimana aksi Ah-jong dan Li Ying berakrobatik, �meluncur�, dan �terbang� sembari menghabisi musuh-musuh mereka. Woo mengemas aksi gila-gilaan ini menggunakan gaya khasnya, yakni kombinasi teknik editing cepat, pergerakan kamera dinamis, serta slow-motion. Satu contoh aksi tembak-menembak paling brutal dapat dilihat pada sekuen klimaks di gereja yang menampilkan pula �trademark� Woo, burung dara putih. Gaya khas John Woo ini kelak masih dapat kita lihat dalam film-film produksi Hollywood garapannya seperti Hard Target, Face/Off, dan MI:2 walau sedikit lebih halus ketimbang The Killer.

M. Pradipta

Chungking Express

Sebuah Visualisasi tentang Kesunyian

Apa yang saya maknai ketika menonton film Wong Kar Wai yang ketiga ini adalah suatu kesunyian. Kesunyian yang berlangsung terlampau pelan, tapi terkadang kesunyian itu berjalan begitu cepat dan dibalut dalam sebuah keceriaan. Begitu mudahnya saya masuk kedalam cerita, serasa ikut menikmati kesunyian kedua protagonis.

Film ini terdiri dari dua bagian yang diceritakan secara berurutan. Di masing-masing cerita para pemeran utama memiliki profesi yang serupa, opsir polisi. Dan keduanya berusaha mengatasi kesunyian mereka dengan caranya masing-masing. Ada yang dengan memakan nanas kalengan yang bertanggal kadaluarsa 31 Mei 1994. Lainnya berbicara dengan boneka yang diibaratkan kekasih lalunya. Uniknya, kedua bagian adalah sesuatu yang sama sekali berbeda dan tidak berhubungan. Dan yang mengaitkan cerita satu dan cerita kedua adalah sebuah kedai (semacam kedai kebab).

Cerita pertama bertutur mengenai opsir polisi nomer 223 a.k.a Qi Wu (Takeshi Kaneshiro) dan seorang bandar narkoba, si perempuan tak bernama berambut emas (Brigitte Lin). Opsir 223 baru saja diputus pacarnya, sedang si perempuan berambut emas dikhianati oleh anak buahnya. Keduanya bertemu secara tak sengaja di awal film ketika opsir 223 mengejar penjahat dan bertubrukan dengan perempuan berambut emas. Lalu bertemu kembali di sebuah pub usai berlari dari masalahnya masing-masing. Cerita kedua mengenai opsir polisi 663 (Tony Leung) yang baru saja ditinggal kekasihnya, si pramugari (Valerie Chow). Lalu si opsir berjumpa dengan seorang perempuan pegawai kedai kebab yang kebetulan diam-diam menaruh hati padanya, Faye (Faye Wong).

Seperti yang saya utarakan diatas, kesunyian adalah sesuatu yang ingin ditonjolkan disini. Di cerita bagian pertama kesunyian itu digambarkan begitu pelan dan temaram. Wong Kar Wai memakai pencahayaan yang begitu suram hampir disemua adegan. Terutama saat adegan itu difokuskan ke tokoh utama, opsir 223. Sementara bagian kedua membawa saya menuju sebuah wujud lain dari sepi. Rasa-rasanya hampir semua tertutup oleh keceriaan, terutama keceriaan yang dibawa oleh Faye. Juga setting waktu yang lebih dominan di siang hari membuat saya lupa, bahwa kita masih berbicara tentang kesunyian disini.

Jika berbicara tentang film, maka tidak bisa kita lupakan juga soundtrack yang mengisinya. Si sutradara begitu cerdasnya memasukkan lagu-lagu yang pas sehingga mampu membuat saya menyadari bahwa film ini terdiri dari dua bagian. Di bagian pertama lagu reggeae dari Dennis Brown yang berjudul Things In Life, iramanya seakan berima dengan suasana hati si tokoh utama, opsir 223. Sedangkan nada-nada ceria dan menghentak dari The Cranberries �Dreams� (dalam film ini, lagunya diubah menjadi versi Hongkong dan dinyanyikan dengan bahasa lokal pula). Juga �California Dreamins� milik The Mama`s & The Papa`s, begitu sinkron dengan keceriaan Faye.Bagian pemungkas cerita yang dibuat menggantung saya rasa ini cukup menarik, karena akan membebaskan penonton untuk bermain dengan imajinasi mereka seliar-liarnya. Secara keseluruhan, Wong Kar Wai menata adegan demi adegan di film ini secara indah. Dia dengan sukses melebur dua kisah yang berbeda menjadi satu bagian yang utuh. Juga tentang kesunyian yang ternyata mampu bervisualisasi dalam bentuk apapun. Baik itu pelan ataupun cepat, riuh ataupun rendah, terang ataupun gelap. Semua memiliki perannya masing-masing.

Ridhani Agustama

Merantau

Hanya Film Laga Semata

Yuda mengejutkan saya dalam dua hal. Pertama, dia bersikeras untuk merantau ke Jakarta dengan hanya bermodalkan ilmu silat. Yuda berencana untuk menjadi guru silat di sana. Ini bikin saya bergumam kecil �oh C�mon man�. Saya tidak tahu apakah Yuda sering membaca, mendengar atau melihat berita tentang Jakarta. Hari-harinya tampaknya hanya diisi dengan berkebun dan berlatih silat. Kalaupun dia bersikeras merantau itu semata karena kebiasaan dalam lingkungan budaya minang. Merantau mungkin dapat dimaknai sebagai perjalanan suci. Kedua, ilmu silat Yuda ternyata mengagumkan. Dia mampu melawan belasan orang di sebuah klub dengan gerakan tangan dan kakinya yang lincah. Saya hampir tidak percaya apa yang saya lihat adalah sebuah gerakan ciri khas dari ilmu bela diri silat. Tapi ini sudah dikonfirmasi oleh orang yang belajar silat, yap itu silat. Saya jadi yakin aksi laga Yuda adalah jawaban bahwa masa depan film laga Indonesia tampaknya akan sangat cerah. Genre yang telah lama tenggelam ini lagak-lagaknya akan semarak lagi dengan kualitas koreografi laga yang lebih baik dan masuk akal.

Film ini dbuka dengan suara berat dan serak Wulan, ibunda Yuda yang diperankan oleh Christine Hakim. Entah kenapa suara ini berasa sinematik, membuat gambar makin puitik dengan pengambilan extreme long shot. Yuda sedang berlatih silat di tanah lapang di bawah bukit yang melangit. Narasi Wulan mengantar penonton untuk memaknai tradisi merantau dan ini adalah hari-hari menjelang keberangkatan Yuda Ke Jakarta. Opening yang cantik dan puitik ini sayangnya diikuti oleh sekuens yang benar-benar membosankan dengan dialog-dialog panjangnya, membuat jatuh seketika kekuatan narasi dan gambar pada pembuka tadi.

Jakarta tidak semudah yang Yuda bayangkan. Yuda memang tidak terasing. Tidak ada suara pikuk kendaaran, tidak ada gedung sombong yang menjulang, kecuali di malam saat Yuda harus tidur di sebuah lokasi proyek konstruksi berlatar belakang sebuah gedung bertingkat yang gelap. Guna menggerakan cerita Evans memanfaatkan kebetulan-kebetulan kejadian yang akhirnya membawa Yuda dalam konflik dengan komplotan perdagangan perempuan. Di mulai dengan dompet Yuda yang dicopet oleh seorang anak kecil yang kemudian membawanya pada sebuah kejadian seorang perempuan yang sedang adu mulut dengan seorang lelaki. Coba tebak? Yap. Perempuan yang sedang adu mulut itu adalah kakak dari anak kecil pencopet tadi. Kebetulan itu bergerak sepanjang cerita sampai-sampai Astri, perempuan yang ditolongnya itu berujar � loe lagi..loe lagi�.

G.E Evans benar-benar jatuh cinta pada film laga. Dia mempelakukan adegan-adegan laga dalam merantau dengan apik. Beberapa shot yang sulit untuk dilakukan, dikerjakan dengan cakap. Adegan laga dalam lift adalah salah satu adegan favorit saya. Sayang durasi laga pada sekuens ini tidak panjang. Padahal pada sekuens inilah dua jago silat bertemu. Satu lagi adegan laga yang menarik adalah saat di pelabuhan. Semua kontainer yang menjadi latar berwarna merah. Terkonsep sekali dan ciamik. Menjadikan gerakan kaki dan tangan dalam laga menjadi sebuah gambar hidup yang enak dilihat.

Saya harus mengacungi dua jempol untuk usaha G.E Evans dalam penyutradaraan adegan-adegan laga dalam film ini. Saya menjadi tidak heran kalau penonton Jogja di opening JAFF malam itu bertepuk tangan sepanjang aksi laga. Sayangnya kecintaan G.E Evans dalam laga tidak terjadi pada cerita dan plot film ini. Hampir-hampir dibuat hanya sebagai alat saja. Film aksi yang bagus bisa tambah bagus dengan back up cerita dan plot yang menarik. Tampaknya G. E Evans hanya ingin mengajak penonton untuk melihat film ini sebagai laga semata. Padahal pendorong ceritanya berawal dari sebuah kultur yaitu merantau.

Homer Harianja

Merah Putih

Sebuah Perjuangan yang Sia-Sia

Merah Putih adalah film aksi perang garahan Yadi Sugandi yang merupakan film pembuka dari trilogi kemerdekaan. Satu hal yang digembar-gemborkan adalah bujet produksi film ini yang mencapai 60 milyar serta para krunya yang pernah terlibat dalam produksi film-film besar, seperti Saving Private Ryan, Black Hawk Down, The Matrix, dan lainnya. Bermain dalam film ini adalah bintang-bintang muda seperti, Lukman Sardi, Donny Alamsyah, Teuku Rifnu, Zumi Zola, dan Darius Sinathrya.

Film berlatar pada perang pasca kemerdekaan ketika tentara Belanda berusaha menyisir tanah Jawa hingga wilayah pedalaman. Alkisah Amir (Lukman), Tomas (Donny), Dayan (Rifnu), Marius (Darius), dan Soerono (Zumi) adalah para pemuda berkemauan kuat yang ingin menjadi tentara. Setelah proses pelatihan di kamp yang melelahkan akhirnya mereka lulus menjadi kadet. Di saat pesta kelulusan kadet berlangsung, desa dan kamp mereka diserang pasukan Belanda. Diceritakankan seluruh kadet di kamp tewas hanya tinggal menyisakan empat orang saja. Cerita bergulir bagaimana keempat pemuda tersebut bertahan hidup, dan masalah ternyata tidak hanya datang dari pasukan musuh namun juga diantara mereka sendiri.

Harapan Merah Putih berbeda dari film-film kita kebanyakan ternyata salah besar. Seperti film kita lazimnya, logika dan akal sehat seringkali dikesampingkan dari naskahnya. Sejak awal kisah berjalan, konflik yang terjalin (masalah perbedaan suku dan agama) tampak sekali dibuat-buat tanpa substansi cerita yang mendalam. Bicara logika, nyaris sepanjang kisahnya sudah tak masuk akal. Coba bayangkan jika memang kamp mereka telah dikuasai Belanda, apakah masuk akal jika gudang persenjataan cuma dijaga satu orang? Menjelang akhir kisah, para pejuang berniat menyergap tentara Belanda yang lewat dengan membuat perangkap dengan rencana dan strategi matang. Hebatnya, sesaat setelah mereka selesai membuat perangkap, sesaat itu pula iring-iringan konvoi Belanda datang. Pertanyaannya, dari mana mereka tahu pasti jika konvoi tersebut akan lewat? Begitu bodohkah tentara Belanda melewati jalan yang belum seratus persen aman dilewati dengan begitu santainya? Tampak sekali keterbatasan setting dan pemain (asing) membuat banyak unsur cerita tidak masuk dalam plotnya sehingga membuat banyak hal masih belum jelas.

Naskah yang buruk juga jelas berimbas pada akting pemainnya. Dialognya begitu kaku dan kadang tanpa malu-malu memasukkan kalimat ngepop yang sering kita dengar di film-film barat. �Kamu merindukan saya (do you miss me)?� ujar Dayan sesaat setelah menyelamatkan Amir dan istrinya. Satu hal yang sangat menggelikan adalah aksen Bali Dayan yang jelas-jelas lepas pada sebuah adegan. Aneh, apakah para kru dan pemain saat produksi sama sekali tidak menyadari hal ini? Bicara visual effect, ledakan besar sewaktu kampung dibom memang lumayan namun setelahnya tidak ada sesuatu yang istimewa. Efek suara pun juga sama. Seperti adegan perang di hutan, penonton layaknya menonton diorama, suara desingan peluru dan ledakan yang kita dengar tidak mampu menyatu dengan apa yang kita lihat di gambar. Satu-satunya pencapaian lebih film ini adalah gambar (warna) yang disajikan sangat natural. Melihat film ini pada mulanya, salut rasanya para pembuat film kita setelah sekian lama akhirnya mampu dan berani membuat film berlatar perjuangan seperti ini. Namun berjalannya cerita, rasa salut berganti menjadi rasa lelah dan bosan. Film berbujet sebesar ini mestinya bisa berbuat lebih dari ini setidaknya menawarkan cerita yang lebih baik. Merah Putih bagi saya, penikmat film, adalah sebuah perjuangan yang sia-sia.

Himawan Pratista

Laporan 4Th Jogja NETPAC Asian Film Festival


Jogja - NETPAC Asian Festival (JAFF) merupakan ajang festival film Asia yang telah berlangsung rutin sejak empat tahun terakhir. Perhelatan besar ini berlangsung pada tanggal 4-8 Agustus 2009 baru lalu. Seperti yang telah lalu, JAFF 2009 kembali bertempat di Kompleks Taman Budaya Yogyakarta (TBY) dan Lembaga Indonesia Perancis (LIP) dan kali ini mengambil tema homeland. Film-film kita yang diputar di ajang ini antara lain, Merantau, Generasi Biru, Blind Pig Who Wants to Fly, Cin(T)a, serta beberapa film lain. Sementara film-film asing, antara lain The Goat ( Filipina), Agrarian Utopia (Thailand), Ponmani (Sri Lanka), Good Cat (Malaysia), Invisible Children (Singapura), serta Route 181 (Palestina). Selain di dua tempat tersebut juga diadakan open air cinema di beberapa lokasi seperti Kampung Badran, Kampung Gendingan, dan Omah Opak.

Acara pembukaan dibuka pukul 19.00 wib di gedung TBY dengan suasana cukup meriah. Sekitar 300-an orang memadati acara pembukaan festival tersebut. Film silat Merantau menjadi film pembuka JAFF. Acara dihadiri oleh Garin Nugroho, (Presiden JAFF), Ifa Isfansyah (Sutradara Garuda Di Dadaku), Gareth Huw Evans (Sutradara Merantau), dan Iko Uwais (Aktor utama Merantau). Kami sendiri tidak menonton filmnya karena tidak mendapatkan tiket. Menurut informasi panitia tiket telah habis sejak pukul 10.00 pagi.

Hari kedua di kompleks TBY pada pukul 09.00 WIB diadakan seminar International JAFF 2009 dengan tema �Dream of A Nation: Cinema, Identity, and Nationalism� dengan para pembicara Dharmasena Phatiraja (sutradara kawakan Srinlanka), Anies Baswedan (Rektor Universitas Paramadina), serta Paolo Bertolin (Anggota Komite Pemilihan Venice Film Festival) dan Garin Nugroho. Pada pukul 13.00 di tempat yang sama diputar film drama yang mengangkat isu kasta, Ponmani (1978) karya Dharmasena Phatiraja. Sungguh tidak diduga pemutaran film ini hanya disaksikan oleh puluhan penonton saja padahal sang sineas sendiri hadir disana. Berbanding terbalik dengan pemutaran selanjutnya pada pukul 15.00 WIB yakni Cin(T)a, satu isi gedung full house.

Hari ketiga bertempat di TBY, kami mengikuti workshop dengan topik Global Fund : Rise, Deal, Shine! dimulai pada pukul 15.00 WIB. Peserta yang hadir cukup banyak, diikuti para pembuat film independen dari berbagai daerah. Acara dibuka oleh presiden JAFF Garin Nugroho dengan narasumber Meiske Taurisia ( produser Blind Pig Who Wants to Fly), Tumpal Tampubolon (produser dan sutradara Last Believer) dan Ifa Isfansyah. Mereka menceritakan pengalaman, suka duka, serta kitat-kiat dalam mencari dana dari luar untuk produksi film mereka. Setelah acara tersebut kami menyempatkan berbincang dengan presiden JAFF, Garin Nugroho disela kesibukannya. Garin merasa gembira karena JAFF kali ini sukses diramaikan pengunjung dari berbagai daerah dan juga mancanegara. Ia juga mengatakan bahwa JAFF tahun depan berniat mengadakan workshop tentang bagaimana media jurnalistik film mencari sponsor dan dana untuk pembiayaan operasionalnya.

Pukul 17.00 WIB kami telah berada di LIP untuk menonton film kedua garapan Dharmasena Pathiraja, yakni On the Run. Namun anehnya pemutaran film sebelumnya, yakni Route 181 belum selesai ditayangkan. Amat disayangkan, pihak panitia kurang mengantisipasi durasi waktu film tersebut sehingga jadwal pemutaran film menjadi molor. Hingga pukul 17.30 WIB, film tersebut belum selesai diputar padahal kami merencanakan menonton film Blind Pig Who Wants Fly yang berlokasi di TBY pada pukul 19.00 WIB. Akhirnya kami memutuskan melewatkan film On the Run dan pergi ke TBY. Penantian panjang kami rupanya tidak percuma. Film semi-abstrak Blind Pig Who Wants Fly arahan Edwin ternyata adalah sebuah film yang istimewa. Garin sendiri sebelumnya sempat berujar pada kami jika film ini adalah salah satu film terbaik Indonesia. Selesai pemutaran juga ada sesi diskusi dengan produser filmnya, Meiske Taurisia namun sayang sutradaranya tidak hadir. Meiske memaparkan suka-duka sewaktu memproduksi film ini bersama sang sutradara.

Hari keempat sekitar pukul 10.00 WIB kami berada di TBY untuk melihat suasana pemutaran di sana. Kami sengaja mengincar film ketiga Dharmasena Pathiraja, The Wasp are Here (1978) karena kami melewatkan film kedua yang diputar kemarin. Pukul 13.00 WIB kami berada di LIP melihat pemutaran film tersebut dan sayangnya film ini kembali hanya ditonton segelintir orang saja. Sungguh berbeda dengan malam harinya ketika pemutaran film Cin(T)a pada pukul 19.00 WIB satu isi gedung auditorium LIP full house.

Hari kelima bertempat di kaf� Indraloka, Sagan, pada pukul 10.00 WIB kami diundang dalam acara bincang dan konfrensi pers resmi tentang pemenang JAFF. Acara dihadiri Garin Nugroho ( Presiden JAFF), Budi Irwanto (Direktur JAFF ), bersama juri-juri lainnya, serta Christine Hakim. Aktris kawakan ini dianugerahkan penghargaan khusus JAFF Indonesian Culture Heritage atas jasa-jasanya mengembangkan warisan budaya Indonesia melalui film. Penghargaan khusus juga diberikan kepada mendiang Yasmin Ahmad untuk pengabdiannya terhadap perfilman Asia dan Malaysia khususnya. Acara kemudian diteruskan dengan pengumuman pemenang JAFF oleh perwakilan juri, yakni Eric Sasono, Paolo Bertolin, Idha Saraswati, dan Ridla An Nuur, Hasilnya adalah sebagai berikut: Penghargaan Silver Hanoman untuk Slingshot Hip Hop (Palestina), Golden Hanoman untuk Agrarian Utopia (Thailand), Geber Award untuk The Goat (Filipina), Blencong Award untuk A La Folie ( Singapura) serta penghargaan NETPAC Award kembali untuk film Agrarian Utopia. Pukul 17.30 wib kami sudah berada di TBY untuk meliput acara penutupan JAFF namun acara baru dimulai pukul 19.30 WIB. Acara dimulai dengan pengumuman pemenang serta pembagian piala JAFF dan penghargaan khusus untuk Cristine Hakim dan Paolo Bertolin. Acara ditutup manis dengan pemutaran film dokumenter Palestina, Slingshot Hip Hop. Sebagai penutup diadakan pula acara musikal di area TBY yang tampak cukup meriah.

Kami melihat penyelenggaran JAFF 2009 kali ini lumayan sukses dimana animo rekan pecinta dan pemerhati film di Jogjakarta cukup besar dan rekan-rekan dari luar jogja juga antusias hadir, seperti komunitas film dari Jakarta, Bali, Bandung, Riau dan lainnya. Sudah sepatutnya rekan-rekan khususnya peminat film, apalagi mereka yang menempuh studi di bidang film atau komunikasi, tidak melewatkan momen besar seperti ini.

Panitia sendiri cukup kooperatif dan ramah dalam memberikan informasi dan sebagian besar adalah mahasiswa (sukarelawan) dari berbagai disiplin ilmu. Agak aneh juga sewaktu kami menanyakan kepada panitia siapa sutradara dari film Cin(T)a mereka tampak kebingungan? Seyogyanya panitia menonton dulu film-film yang akan diputar di acara ini, semacam screening khusus panitia sekaligus untuk mencek filmnya sehingga kasus seperti film Route 181 pada hari ketiga tidak perlu terjadi.

Kami merasa heran animo pengunjung JAFF selalu full house pada pemutaran film-film Indonesia sedangkan untuk film-film asing biasanya hanya disaksikan puluhan orang saja. Padahal menonton film apapun di ajang ini gratis. Lain halnya dengan acara penutupan yang memutar film dokumenter Slingshot Hip Hop, satu gedung terisi penuh. Akhir kata selamat tinggal JAFF 2009 dan kita tunggu JAFF 2010. Sukses pada seluruh panitia untuk kerja kerasnya. Kita majukan perfilman Indonesia untuk menjadi lebih baik.

Bagus Pramutya

Wawancara Khusus Garin Nugroho


Di sela-sela kesibukannya setelah acara JAFF 2009, tim reportase montase berhasil mewawancarai salah satu sineas besar kita, yakni Garin Nugroho. Dalam wawancara ini kami meminta tanggapan beliau mengenai industri film kita saat ini, haparan, sikap, serta visi dari karya-karyanya.

Bagaimana tanggapan Mas Garin mengenai industri film kita saat ini?
Industri film kita saat ini naik turun. Naiknya cepat, turunnya juga cepat. Seperti halnya kondisi politik di negara kita, politikusnya banyak namun negarawannya sedikit. Di dunia film juga sama, sineas kita jumlahnya banyak namun sineas yang berkualitas, yang memiliki sikap dan visi ke depan sangat sedikit.

Industri film kita yang ideal menurut Mas Garin seperti apa?

Seharusnya produksi film kita seimbang. Misalnya saja, dua puluh persen untuk film-film seni, empat puluh persen untuk film kualitas menengah yang bagus dan bersahaja, lalu empat puluh persen sisanya adalah film-film kualitas rendah seperti film-film horor kita kebanyakan. Kondisi perfilman kita saat ini justru terbalik, sebagian besar film-film kita berkualitas rendah sementara film-film seni kurang dari lima persen. Akhirnya pertumbuhan dan kualitasnya tidak baik (tidak seimbang).

Komentar tentang film-film Mas Garin sendiri?

Coba Anda lihat film-film saya, semakin tahun Anda akan semakin mengerti manfaatnya. Coba Anda lihat film-film saya sepuluh tahun lagi, Anda akan menemukan warisan yang luar biasa terhadap sinema Indonesia. Coba Anda tonton Opera Jawa. Di film ini terdapat karya-karya seniman-seniman besar, serta para penari sukses kita yanga telah melanglang buana sejak lama. Coba Anda lihat Surat untuk Bidadari, semakin ditonton semakin bagus dan semakin aktual. Ini menunjukkan bahwa film saya memiliki peran-peran tersendiri. Mungkin ini (kesimpulan) terlalu cepat tetapi saya pikir tidak. Dulu saya pernah mengatakan film dokumenter akan menjadi bisnis bagi industri televisi. Sewaktu saya membuat Anak Seribu Pulau, siapa percaya waktu itu jika dokumenter bisa menjadi bisnis? Waktu saya membuat Puisi Tak Terkuburkan, saya mengatakan blow-up (format video ke film) akan menjadi ciri film Indonesia dengan biaya 1,5 milyar (minim). Saya adalah orang pertama yang membuat film dengan format ini dan sekarang semua menggunakan format video. Film-film saya, pertama, adalah penemuannya (pelopor), kedua mengambil sesuatu yang secara umum tidak diambil orang, baik tema, tempat, kisah, konflik dan sebagainya, karena menurut saya, diperlukan tontonan alternatif bagi masyarakat (penonton film).

Pesan-pesan Mas Garin untuk generasi muda kita?

Belajar yang banyak dari film dan banyak membaca buku. Seperti di JAFF ada film tentang (budaya) hip hop di Paslestina, ada film tentang kambing yang hilang dari sebuah keluarga yang sangat mencintai kambing tersebut, karena kambing dianggap sebagai sesuatu yang berharga, ada kisah tentang seseorang yang kembali ke tanah (air) yang bukan tanahnya lagi. Banyak sekali kisah-kisah di sekitar kita yang bisa dijadikan sumber cerita. Bagaimana mengolah sumber-sumber (cerita) tersebut dengan ketrampilan dan pengetahuan (yang kita miliki) menjadi sebuah karya yang bagus. Ada banyak begitu kesempatan. Semuanya tergantung dari pengetahuan, ketrampilan, dan etos kerja.

Febrian Andhika
Agustinis Dwi Nugroho

Babi Buta yang Ingin Terbang


Dalam sejarah perfilman Indonesia, saya belum pernah melihat film yang dibuat dengan begitu personal. Bisa jadi Babi Buta adalah satu-satunya film yang dibuat dengan pendekatan itu. Edwin yang beretnis cina berbicara soal cina sebagai identitas di negeri yang punya semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Edwin yang memiliki bapak seorang dokter gigi, dalam film ini juga menceritakan tentang seorang dokter gigi yang "berlagak" buta dan keranjingan lagu Stevie Wonder, I Just Called to Say I Love You. Edwin sesungguhnya sedang menatap ke depan, tidak menunduk atau mendongak bak idiot, mengajak penonton untuk memasuki pikirannya tentang apa dan bagaimana rasanya menjadi cina di negeri ini.

Ada kisah Verawati, seorang pemain bulu tangkis nasional yang sedang berhadapan dengan pemain dari cina. Bagi seorang anak yang mungkin belum bisa membaca dan baru mengenal angka, Verawati tidak ada bedanya dengan pemain cina tersebut karena Indonesia di sini hanyalah sebuah tulisan besar yang terpampang di punggung dan papar skor. Tanpa itu Verawati adalah perempuan berkulit putih dan bermata sipit. Ada juga kisah Linda yang gemar memakan petasan. Linda berteman dengan Cahyono, anak Manado yang sering diejek dan dianiaya karena tidak ada bedanya dengan cina. Cahyono terobsesi menjadi orang Jepang, mungkin dengan begitu hidupnya akan baik-baik saja. Halim si dokter gigi, suami dari Verawati dan bapak dari Linda , ingin sekali jadi �Indonesia�. Halim perlu merobek matanya agar tidak sipit, berganti agama, dan kawin lagi agar memiliki anak bermata belo. Satu-satunya tokoh dalam film ini yang tampaknya berdamai dengan dirinya adalah sang Opa, yang hari-harinya diisi dengan bermain bilyar dan menemani Linda, sang cucu.

Kisah-kisah di atas bergerak bak mozaik. Banyaknya tokoh dengan isu yang sama hanya memungkinkan penceritaan dituturkan dengan model paralel yang non linear. Pilihan penceritaan ini membuat film menjadi tidak repetitif dan menantang penonton untuk mencari dialektika pada setiap shotnya. Edwin jelas tahu benar bagaimana membuat film yang baik. Edwin bagi saya adalah sutradara terbaik Indonesia saat ini. Dia sangat efektif ketika mengambil shot. Terkadang Edwin hanya melakukan framing dengan shot long take, tidak ada dialog tapi gambarnya menghasilkan kisah getir yang mendalam. Dengan tehnik long take ini, gambar lebih banyak bercerita ketimbang dialog. Hampir setiap shot diperlakukan dengan istimewa. Sekuen babi yang terikat di sebuah padang ilalang sepertinya berpretensi sureal atau absurd, tapi bagi saya tidak. Ini bukan metafor. Sebutan itu terlalu lunak, subtil dan eufisme. Babi adalah personifikasi yang diciptakan oleh anak-anak kampung untuk orang seperti Halim. Yang terjadi kemudian juxtapose shot babi dan Halim. Ketika Halim threesome dengan Helmi dan Yahya, dan Halim di tembus dari depan belakang, pada shot berikutnya terlihat keluaran cairan dari pantat babi. Menjijikan? Ini adalah adegan paling jenius sekaligus merangkum seluruh bentuk represif yang telah dilakukan penguasa terhadap etnis cina. Tidak melulu dalam bentuk yang paling nista, Edwin masih bisa menertawakan dirinya. Sebuah humor yang gelap. Lewat lagu Stevie Wonder, shot close up pada layar karaoke mengajak penonton berdendang bersama lagu I Just Called to Say I Love You sebuah anthem sinis untuk mengenang kerusuhan Mei.

Pertanyaannya kenapa sekarang? ketika situasi relatif aman dan tampaknya etnis cina akan baik-baik saja di negeri ini setelah selama 4 abad harus beradaptasi, berganti nama untuk bisa membaur dengan pribumi. Bukankah film seperti ini hanya akan memprovokasi, apalagi simbol-simbol agama banyak muncul di film ini. Saya kira film ini adalah jawaban dari pertanyaan Edwin sendiri selama ini tentang dirinya. Sebabnya ini menjadi sangat personal. Seperti kebanyakan karya yang personal, penonton akan belajar dari kehidupan yang berjarak dari dirinya. Dan Edwin telah berhasil bercerita bagaimana rasanya menjadi cina.

Homer Harianja

Esai dalam �Cin(T)a�


Jatuh cinta sejuta rasanya. Saat jatuh cinta, dunia serasa milik berdua. Yang lain? Mengungsi saja. Hal ini yang rasanya diyakini betul sineas film ini, Cin(T)a (2009). Maka, yang kemudian kita saksikan adalah melulu dua tokohnya saling mengobrol. Kamera juga melulu menyorot mereka. Pemeran lain nyaris tak pernah disorot mukanya--paling-paling suara mereka saat bertelepon. Dua sejoli yang sedang jatuh cinta itu, Cina (tanpa �Rakyat�, tanpa �Republik�) [�Aneh banget ya bokap lo. Udah tahu muka lo Cina. Masih dikasih nama �Cina��] dan Annisa [�Tega kali bapak kau. Udah tau muka kau perempuan, masih dikasih nama perempuan�]. Cinta mereka terhalang tembok besar: perbedaan agama. Cina seorang Katolik taat. Annisa muslim tulen. Yang menarik di sini bukanlah apa cinta mereka akan bersatu, atau halangan apa yang akan mereka temukan bila mereka meneruskan berkasih-kasihan. Bukan. Bukan itu. Film ini tak menceritakan kalau mereka ketahuan pacaran meski berlainan agama, atau setelah ketahuan lantas dilarang orang tua masing-masing. Film ini tak menceritakan itu semua. Film ini malah tak punya cerita. Film ini, buat saya, bukanlah film cerita.

Memang sih ada cerita si A ketemu si B, lalu A dan B pacaran meski berbeda keyakinan. Tapi cerita filmnya jadi tak penting. Yang kemudian jadi maha penting di film ini adalah apa yang diucapkan tokoh-tokohnya. Dari sini, filmnya tak lagi bertumpu pada jalinan cerita, tapi pada gagasan yang diusungnya. Film ini menjelma jadi sebuah esai. Sebuah film esai utamanya berisi gagasan pembuatnya. Dan sejatinya film tak melulu berisi cerita soal tokoh utama menghadapi pelbagai rintangan berat untuk menggapai cita-cita yang ingin diraih. Film yang baik punya pesan yang ingin disampaikan. Film yang baik punya gagasan. Film yang baik adalah esai yang baik pula.

Menurut Ignas Kleden (�Antara Obyektivitas dan Orisinalitas�, Prisma 8, 1988) kekuatan esai bukan terletak pada argumen yang dikandungnya, melainkan pada lukisan pikiran-pikiran dan gagasan. �Esai tidak berpretensi mengajukan satu pemikiran yang kokoh dan keras, melainkan suatu obrolan yang cerdas dan memikat.� Dalam esainya yang lain tentang esai, Ignas Kleden (�Esai: Godaan Subyektivitas�, Horison, XXXVIII/Januari 2004) menulis, sebuah esai menjadi prosa yang dibaca karena memikat dan mencekam perhatian, daya-tariknya muncul karena ada bayangan pribadi penulis berkelebat atau mengendap di sana. Gagasan di film ini tidak disusun dalam jalinan cerita, melainkan lewat lontaran kalimat-kalimat para tokohnya. Tokohnya seperti dipinjam sineas untuk mengutarakan gagasan-gagasannya. Dalam hal ini, pandangan sineasnya tentang cinta, Tuhan, dan agama. �Kenapa Allah nyiaptain kita beda-beda. Kalau Allah ingin disembah dengan satu cara?� �Makanya Allah ciptain cinta. Biar yang beda-beda bisa nyatu.� Juga sebuah kesimpulan: �Tuhan yang kami sebut dengan berbagai nama. Yang kami sembah dengan berbagai cara. Terima kasih atas berkat yang Kau berikan. Jauhkanlah kami dari percobaan. Amin.�

Sebagai esai, film ini jadi teramat penting. Ia lebih efektif daripada seratus buku atau seribu artikel yang menganjurkan perdamaian dalam perbedaan menyembah Tuhan. Kepada pembuat film ini, saya hanya ingin berucap mabruk wa baraka Allahu alaikum atau, seperti sering ditulis kawan Kristiani saya di ujung SMS mereka, GBU (God Bless You).

Ade Irwansyah

Islam Mainstream Kini?


Jika tak ada aral melintang, Lebaran tahun ini akan diramaikan dengan lanjutan film Ketika Cinta Bertasbih (KCB, sutradara Chaerul Umam) alias KCB 2. Saat tulisan ini dibuat belum ketahuan bagaimana publik akan meresponnya. Yang sudah pasti, posternya tak lagi diembel-embeli tulisan �Asli Mesir�. Sebab sesuai pakem kisahnya, cerita lanjutannya ini akan berfokus pada kehidupan Jawa pedesaan tempat tokoh utamanya tinggal. Akan konyol jika sineasnya tetap nekad membuat cap �Asli Jawa� di posternya. �Asli Mesir� atau �Asli Jawa� yang jelas KCB adalah suatu fenomena sendiri. Ia adalah kelanjutan dari tradisi panjang film religi di negeri ini. Di penghujung tahun �50-an, Asrul Sani sudah membuat Titian Serambut Dibelah Tujuh (1959). Selain itu, film-film Usmar Ismail juga kental dengan nuansa pesan-pesan dakwah meski tak diniatkan jadi film religi.

Genre film religi berkembang di dekade berikut. Puncaknya di tahun �70-an dan �80-an. Pada dekade tersebut kita disuguhi film-film cerita keteladanan para wali (Wali Songo, Sunan Kali Jaga, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kali Jaga dan Syeh Siti Jenar) maupun yang bertema drama (Al Kautsar, remake Titian Serambut�) plus semua film Rhoma Irama yang menggabungkan dakwah dan musik (dangdut). Era keemasan itu ditutup dengan kolaborasi da�i tulen (KH Zainuddn MZ) dengan bintang film-pemusik-pendakwah (Rhoma Irama) dalam Nada & Dakwah (1990). Kemudian kita memasuki era film esek-esek-nya Sally Marcelina dkk. Perfilman kita mandeg. Orang menyebutnya mati suri�istilah salah kaprah karena film kita tak pernah berhenti dibuat saban tahun.

Syahdan, datanglah era reformasi. Film nasional bangkit lagi, hingga kini bisa lebih dari 40-an film dirilis dalam setahun. Meski begitu genre film religi baru muncul tahun 2008 lewat Ayat-ayat Cinta (sutradara Hanung Bramantyo). Pertanyaannya, bagaimana film seperti AAC dan KCB bisa lahir di Indonesia kontemperer sekaligus jadi tontonan orang banyak? Kita tahu AAC ditonton tak kurang dari 3,8 juta orang. Tiket bioskop KCB hari pertama tayang ludes dibeli lebih dari 115 ribu orang (Republika, 14 Juni 2009). Konon, dalam sepekan jumlah penonton KCB sudah melampaui 2 juta orang�meski disaingi ketat film Garuda di Dadaku dan King.

Film Islam(i) menemukan momentumnya lewat AAC. Seperti Ada Apa dengan Cinta? yang memicu lahirnya tren film dan sinetron remaja atau Jelangkung yang mempolulerkan tren film horor, AAC pun�meminjam istilah kritikus film Eric Sasono�melahirkan �Pak Turut� alias epigon. Sejak AAC, kita disuguhi Mengaku Rasul, Syahadat Cinta, Perempuan Berkalung Sorban, dan 3 Doa 3 Cinta. Masing-masing punya tema kisah yang berlainan dan kualitas yang berbeda, tapi jenisnya sama: film Islam atau setidaknya, bernuansa islami. AAC dan KCB patut disebut secara khusus karena ia lahir dari tradisi keberislaman yang berbeda dengan era film-film religi terdahulu alias eranya bang haji Rhoma dan Asrul Sani. AAC dan KCB merupakan puncak pencapaian nilai-nilai keberislaman ke dalam wilayah masyarakat banyak alias mainstream (arus-utama) dari apa yang sudah dirintis nyaris selama 30 tahun.

Tiga puluh tahun? Ya, semuanya berawal dari Revolusi Islam di Iran pada 1979 yang memotivasi mahasiswa untuk menggalakkan dakwah di kampus. Aktivis dakwah kampus ini, yang sering disebut kelompok Tarbiyah atau Usroh, mengembangkan konsep dakwah yang tidak hanya menjadikan seorang saleh secara individual, tapi juga menjadikan Islam sebagai tatanan dalam kehidupan ekonomi maupun sosial. Kelompok ini mengembangkan jaringannya dengan mengambil insprirasi dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Mereka mudah dibedakan dari mahasiswa lain: sopan, rendah hati, rajin beribadah, dan menegakkan sunnah�termasuk memelihara jenggot, mengenakan celana panjang di atas mata kaki, dan tidak merokok.

Ekspresi berkesenian mereka juga sebisa mungkin yang islami. Mereka tak mendengar musik pop dan rock, melainkan jenis musik yang dinamakan nasyid. Bacaan pun begitu. Mereka mencipta majalah untuk dibaca kalangan sendiri. Kemudian Orde Baru runtuh di tahun 1998. Kelompok yang semula menjauhi politik praktis ini memilih terjun dengan mendirikan Partai Keadilan (PK). Gagal di pemilu 1999 membuat mereka berganti nama jadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini jadi kekuatan politik penting saat ini. Posisi tawar mereka tak kecil. Artinya, wilayah politik arus-utama sedikit banyak sudah ditaklukkan. Sementara itu, di ranah seni, nasyid kini bukanlah alunan musik untuk kalangan sendiri. Hayo, siapa kini yang tak kenal Raihan, Snada, atau Opick? Generasi sekarang lebih kenal nasyid ketimbang lagu-lagu qasidah.

Selanjutnya merambah pada ranah sastra. Sastra Islam juga bukan hal baru. Hamka, ulama besar itu, sudah membuat novel islami berpuluh tahun lalu. Tapi baru di tahun 2000-an ini mencapai puncaknya. Toko buku dipenuhi novel-novel bersampul cewek remaja berjilbab. Lalu novel islami laris dicetak sampai 500 ribu eksemplar. Novel yang laris itu kebetulan berjudul AAC dan KCB yang keduanya ditulis Habiburrahman El-Shirazy. Sukses dua novel itu lantas dilirik produser film. Menarik disimak bahwa yang mengangkatnya jadi film layar lebar bukanlah produser dari kalangan muslim, melainkan keturunan India (pada AAC) dan Tionghoa (pada KCB). Apakah hal ini didasari idealisme atau hitungan-hitungan ekonomi semata perlu kajian lain lagi.

Yang pasti, teks yang tadinya tertulis kini melebar jadi bahasa visual. Film�dalam tradisi lisan kita yang lebih kuat dari budaya baca-tulis�lebih memberi efek masif ketimbang buku. Islam model AAC dan KCB serta merta mendapatkan tempatnya dalam arus utama budaya populer. Wacana soal taaruf, poligami dan semacamnya mendadak muncul dalam keremangan bioskop. Lantas, apa dua film itu merepresentasikan Islam arus-utama saat ini? Saya tak ingin tergesa menyimpulkannya demikian. Namun, pada hakikatnya, kepopuleran nasyid dan sastra islami pasca reformasi merupakan bentuk counter culture atas budaya arus-utama saat itu. Film islami model AAC dan KCB juga counter culture atas menjamurnya film-film horor dan remaja.

AAC dan KCB pun menemukan �lawan�-nya. Ketika dua film itu dinilai jadi arus-utama Islam kontemporer, counter culture-nya datang lewat Laskar Pelangi (2008) dan Bukan Cinta Biasa (2009) yang menawarkan nilai-nilai keislaman tanpa ditempeli atribut fisik macam jilbab. Atau pula oleh 3 Doa 3 Cinta (2008) yang menghadirkan beragamnya keberislaman orang Indonesia dengan pesantren sebagai latarnya. Pendek kata, itu sudah hukum alam. Hukum alam lainnya, saat muncul sebagai wacana arus-utama ada nilai-nilai awal yang tergerus. Agar bisa diterima masyarakat luas sedikit banyak produk yang dihasilkannya akan mencair. Itu terjadi pada nasyid. Dulu nasyid menghindari betul penggunaan alat musik. Kini segala macam alat musik bisa dipakai mengiringi lagu-lagu nasyid.

Film model AAC dan KCB tak bisa menghindari itu. Di luar urusan dakwah yang diusung dua film itu, penampilan pemerannya yang ganteng dan cantik jadi tontonan yang tak terhindarkan. Mereka pun jadi selebritas, muncul di infotainment dan tabloid, dikulik kehidupan pribadinya. Sekali lagi, itu sudah hukum alam budaya pop.

Ade Irwansyah

Noir dan Neo-Noir: Apa Bedanya?


Kegamangan dalam Sin City serta Sadomasokisme dalam Blue Velvet sering dipandang sebagai elemen fundamental penyusun film Noir, namun diklasifikasikan kedalam sebuah genre Post-Noir derivatif bernama Neo-Noir, apa arti semua itu sebenarnya?. Mungkin tak akan berguna jikalau kita membicarakan Neo-Noir tanpa merujuk pada Film Noir. Baiklah, Film Noir adalah sebuah gaya sinema yang membumi di Amerika Serikat sejak tahun 1941, dimulainya era Film Noir �diresmikan� lewat rilisnya The Maltese Falcon hingga berakhir ditahun 1958, ditandai oleh film Touch of Evil arahan Orson Welles. Film Noir biasanya selalu berisi kriminalitas dan unsur kekerasan, ambivalensi moral, dan pembalikan nilai-nilai tradisional (Begundal adalah Pahlawan dan kerap sebaliknya). (Baca Montase edisi 4 untuk mengetahui lebih jauh tentang Film Noir)

Setelah Era Noir berakhir, muncul sebuah gerakan sinema baru yang disebut Neo-Noir. Secara gamblang, kita bisa langsung melihat bahwa Neo-Noir adalah film Noir yang dibuat tidak dalam format hitam-putih melainkan format berwarna dengan bantuan teknologi yang semakin maju, sebagian filmmaker berusaha mempertahankan elemen dasar film-Noir dalam bentuk yang baru. Tidak puas sampai disitu, beberapa teoritisi Filmpun berusaha memetakan pergeseran apa yang sebenarnya terjadi dari Film Noir ke Neo-Noir. Foster Hirsch dalam bukunya Detours and Lost Highways menilai bahwa yang berubah sebenarnya adalah Lokasi dan penempatannya. Film Noir selalu ber-setting didaerah padat, Los Angeles misalnya, sebab waktu itu kondisi masyarakat lebih bercorak sentripetal dimana semua isu sosial berpusat didaerah padat penduduk, lihat saja setting film-film Noir signifikan macam The Big Sleep atau Double Indemnity. Berbeda dengan Neo-Noir yang muncul setelah era Perang dimana penempatan isu sosial menjadi lebih divergen dan sentrifugal: isu ras, gender, dan kelas terefleksi dalam Film-film Neo-Noir berupa pergeseran setting yang menjauh dari kota yang padat. Ini sudah tercium dalam Touch of Evil, dimana film mengambil setting di Perbatasan Amerika Serikat dan Meksiko.

Selanjutnya, menurut Hirsch, Neo-Noir juga menggiring Noir memasuki semacam fase eksistensialis protagonisnya. Dalam Film Noir, karakter utama diungkapkan selalu bergulat dalam kebobrokan sosial sekitarnya. Namun dalam Neo-Noir, karakter lebih banyak beradu dengan pikirannya sendiri, dan setelah melalu banyak scene, si karakter kemudian berhasil mereproduksi identitas dirinya. Jerold J. Abrams menulis bahwa dalam Noir Klasik, Sang protagonis selalu terjebak masalah tanpa sepengetahuannya, seakan alienasi dan pesimisme adalah bagian tak terhindarkan. Namun dalam Neo-Noir, sang protagonis sebenarnya bisa menghindari segala macam masalah, tapi yang sulit adalah dia tak bisa kabur dari ilusinya sendiri yang kemudian menggiringnya kedalam konflik.

Terlepas dari semua itu, sebenarnya Neo-Noir tetaplah berpijak pada visi utama sinema yakni berupaya merefleksikan apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Dan lihatlah bagaimana Blade Runner diasosiasikan dengan Sartre, Chinatown dengan Kapitalisme, serta film-film Coen Brothers yang senantiasa digelayutkan di antara komedi dan nihilisme. Selanjutnya, J.J. Abrams Membagi Neo-Noir kedalam tiga kelompok formalisme spesifik:

1. Past-Neo Noir: Teologikal dan berorientasi masa lalu. Contoh: The Ninth Gates, Angel Heart, Raider of the Lost Ark (Yang terakhir tidak banyak dianggap orang sebagai film Neo-Noir)
2. Future Neo-Noir: Unsur teologis dipudarkan oleh Sains dan Teknologi. Contoh: Blade Runner, Minority Report, The X-Files, Dark City.
3. Present Neo-Noir: Berusaha membuang signifikansi waktu dalam tuturannya, Contoh: Memento, The Bourne Identity, Fight Club, p: Faith in Chaos.


Makbul Mubarak

Penikmat Film

Senin, 15 Desember 2008

Batman Movies





Siapa yang tak kenal ksatria malam bersimbol kelelawar ini? Batman bisa jadi adalah salah satu ikon pop culture paling populer dalam sejarah manusia, dari komik, radio, televisi, merchandise, mainan, video game, hingga film.  Everybody needs a hero. Mungkin ini adalah alasan mengapa superhero, termasuk diantaranya Batman, bisa diterima secara universal oleh beragam budaya di bumi ini. Dalam dunia film, Batman adalah sosok superhero paling populer, paling laris, dan paling banyak diproduksi dari masa ke masa. Satu hal yang menarik adalah interpretasi medium film terhadap ksatria malam ini muncul dalam berbagai bentuk dan gaya melalui imajinasi para pembuat filmnya. 


Batman


    
       Bagi penonton masa kini Batman jelas sudah terlalu kuno. Secara setting dan kostum jelas jauh berbeda pendekatan dengan Batman versi Burton atau Nolan. Gaya televisi jelas masih dominan dengan pencahayaan yang terang benderang, setting interior di studio layaknya opera sabun, kostum layaknya badut, lalu akting dan dialog yang dilebih-lebihkan. Batcave layaknya sebuah laboratorium dengan segala peralatannya yang artifisial. Namun kendaraan Batman seperti Batmobile dan Batboat tidak begitu buruk rancangannya.

Batman Returns





Walaupun film ini adalah sekuel dari Batman (1989) namun kisahnya sama sekali terpisah. Tidak seperti sebelumnya kisah film kali ini cukup rumit dan penuh intrik untuk penonton dewasa sekali pun. Adegan dialog banyak mendominasi dan minim sekuen aksi. Tokoh-tokohnya yang �absurd� (tidak nalar) berbuntut pula pada jalan kisahnya yang �absurd�, tidak fokus, dan sulit ditebak. Karakter Penguin tak jelas sikapnya, dalam satu sisi ia sangat cerdas namun anehnya emosinya mudah terpancing hingga melakukan hal-hal diluar dugaan yang konyol. Cat Woman yang sebenarnya hanya dendam dengan Shreck juga mencampuri urusan Batman dan Penguin, juga kisah asmara antara Selina dengan Bruce Wayne semakin menambah rumit suasana.  


Trilogi The Dark Knigth




Belum pernah ada trilogi film yang memiliki pencapaian serupa. Sebenarnya apa yang menjadi kekuatan tiga film ini sehingga sering disebut terobosan baru bagi genre superhero? Apakah karena semata sosok Batman yang memang sudah menjadi ikon universal; apakah pendekatan realistik yang digunakan pencapaian estetiknya; atau pendekatan psikis tema dan kisahnya; atau karena sentuhan ajaib Nolan; atau lainnya? Bisa jadi semua benar. Artikel ini mencoba mengungkap dari sisi tema dan kisahnya, bukan tentang Bruce Wayne, Batman, Joker, atau Bane namun tentang perjalanan seorang manusia menghadapi trauma, rasa takut, serta ujian fisik dan mental maha hebat yang harus dilampauinya untuk bisa menjadi seorang �Superhero�. 

Dari mOntase


Montase kali ini masih melanjutkan seri sinema Asia dan kali ini kami membahas tentang Perfilman India. Perfilman India memiliki sejarah yang panjang karena keunikan dan keragamannya yang akan dibahas secara umum. Mewakili film masala (mainstream) kami mengulas film peraih nominasi Oscar, Lagaan dan mewakili art cinema kami membahas Pather Panchali dan Salaam Bombay!. Kami juga mengulas film-film lokal terbaru yang kini tengah sukses di bioskop-bioskop kita yakni, Ketika Cinta Bertasbih, Garuda di Dadaku, dan King.

Sekilas Sinema India

Negara India kita kenal dengan keragaman budayanya. Tercatat belasan bahasa lokal yang diakui disana, seperti Hindi, Tamil, Bengali, dan sebagainya, itu pun belum termasuk sub-bahasa mereka. Di India juga terdapat beragam agama dan aliran kepercayaan lainnya, yakni Hindu, Budha, Islam, Kristen, Yahudi, Zen, Sikh, dan lainnya. Perfilman India sendiri merupakan salah satu yang tertua di Asia yang dibagi atas beberapa wilayah industri sesuai dengan bahasa lokal yang mereka gunakan, yakni Hindi, Bengali, Tamil, Marathi, Telugu, dan belasan lainnya. Industri film Hindi adalah yang terbesar di India yang berpusat di kota Mumbai (dulu Bombay), atau lebih sering kita kenal dengan Bollywood. Tampak dari sejarah sinema India dari masa ke masa kita dapat melihat bagaimana kultur lokal mempengaruhi pencapaian naratif dan estetik film serta industri film mereka secara keseluruhan.

Awal Perkembangan Sinema India

Film pertama kali diperkenalkan di India pada tanggal 7 Juli 1986 melalui film-film pendek garapan Lumiere Bersaudara. Setelahnya film berkembang subur dengan dibangunnya tempat eksibisi film di kota-kota besar di India, seperti Madras (Chennai), Mumbai, dan Calcutta. Setelah beberapa tahun para pembuat film memproduksi film pendek dan dokumenter pendek, akhirnya pada tahun 1913 diproduksi film panjang pertama mereka, berjudul Raja Harishchandra. Sang sineas, Dadasaheb Phalke, konon terinspirasi dari film biblikal barat, Life of Christ, dan mencoba mengadopsinya ke budaya India. ��kita bisa membuat film tentang Rama dan Khrisna� ujar Phalke yang juga penganut Hindu. Raja Harishchandra berkisah tentang Raja Khrisna yang mengorbankan kekuasaan dan keluarganya untuk membaktikan dirinya sepenuhnya pada Sang Pencipta. Film ini sukses komersil dan unsur mitologis kelak menjadi dasar bagi perfilman India hingga kini. Atas jasanya bagi dunia perfilman, Phalke kini dianggap sebagai Bapak Sinema India.

Pada dekade 20-an, industri film secara bertahap mulai berkembang di hampir semua kota-kota besar di India, seperti Mumbai, Calcutta, dan Madras. Mumbai, sejak tahun 1925 telah berkembang menjadi pusat industri film terbesar di India. Pada dekade berikutnya studio-studio film baru mulai bermunculan dan lambat laun mereka mulai mengadopsi sistem studio Hollywood. Sukses komersil film-film mereka membuat para pemilik studio mampu memperbarui teknologi, infrastruktur, serta membangun teater-teater baru. Ketika teknologi suara datang, film bicara dengan cepat menggantikan film bisu. Tercatat Alam Ara (1931) garapan Ardeshir Irani sebagai film bicara pertama India. Film bicara berdurasi lebih dari dua jam ini penuh dengan lagu dan tari yang kelak merubah industri sinema India secara menyeluruh. Mengapa musikal? Karena hampir di seluruh aspek kehidupan (ritual) masyarakat India tidak pernah lepas dari unsur musik, lagu, dan tari.

Era Emas Sinema India

Dekade 30-an dan 40-an merupakan era yang penuh kekacauan di India, terutama akibat perang dunia kedua, era depresi, serta gerakan India merdeka (dari Inggris). Namun anehnya faktor-faktor ini tidak banyak berpengaruh pada industri film secara menyeluruh. Mumbai semakin memperkokoh dirinya menjadi pusat industri melalui film-film populer mereka seperti, Madhuri (1932), Anarkali (1935), dan Devdas (1935). Teknologi baru juga masuk dengan cepat, tercatat setelah sukses Alam Ara, Ardeshir Irani memproduksi film berwarna India pertama, Kisan Kanya (1937). Sementara sineas V. Shantaram adalah sineas berpengaruh pada era ini melalui film-film seperti, Ayodhya Ka Raja (1932), Amirt Manthan (1934), dan Admi (1939).

Pada era 30-an hingga 40-an, industri film India secara umum dan Mumbai khususnya (populer dengan Bollywood), mengadopsi penuh sistem studio Hollywood. Para pembuat film tidak bisa leluasa dalam memproduksi film karena visi mereka dibatasi oleh para pemilik studio. Ketika sistem studio mulai mengendur di akhir 40-an para produser semakin sulit memproduksi film, dan para sineas harus menanggung biaya produksi film secara independen. Film menjadi semakin sedikit diproduksi namun justru pada era inilah muncul talenta-talenta baru yang menjadi motor penggerak era emas sinema India, seperti Raj Kapoor, Guru Dutt, Bimal Roy, dan Mehboob Khan.

Raj Kapoor pada era emas ini memproduksi film-film �musikal� Hindi terbaik sepanjang masa, seperti Awara (1951), Shri 420 (1955), and Jagte Raho (1957) yang sukses baik kritik maupun komersil. Awara bahkan sukses meraih nominasi Grand Prize dalam Festival Film Cannes. Film-film karya Kapoor seringkali mengangkat tema sosial, perpecahan kelas pada masyarakat India. Sineas jenius, Guru Dutt memproduksi film-film terbaiknya di era ini, yakni Pyaasa (1955) dan Kaagaz ke Phool (1957), dimana ia sendiri bermain pula sebagai aktor utama di kedua filmnya. Bimal Roy memproduksi Do Bigha Zamin (1954), Devdas (1955), serta Sujata (1959). Mehbob Khan menggarap film epik, Mother India (1957) yang sukses untuk pertama kali film India meraih nominasi Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.

Film-film masterpiece era emas ini merupakan contoh terbaik dari film-film yang mungusung sinema populer yang kelak diistilahkan film masala. Masala diambil dari bahasa Hindi yang bermakna campuran beragam bumbu. Melodrama yang menyentuh, unsur roman, aksi, komedi, lagu dan tarian yang digarap dengan apik, serta aktor-aktris yang penuh pesona, seluruhnya berpadu menjadi sebuah tontonan yang amat menghibur.

Munculnya Paralel Sinema

Ketika sinema Bollywood tengah dalam masa-masa jayanya di era 50-an, pada saat hampir bersamaan muncul pula sebuah gerakan sinema yang diistilahkan paralel sinema atau �New Indian Cinema�. Sinema populer India yang didominasi oleh film-film berformula lagu dan tarian rupanya memberikan ruang bagi para pembuat film alternatif. Paralel sinema merupakan suatu bentuk penolakan terhadap sinema populer dengan lebih menekankan pada kesadaran atas realitas sosial dan politik di negara mereka. Paralel sinema berkembang di seluruh wilayah industri film di India namun yang terdepan adalah industri film Bengali. Pemerintah India sendiri pada masa ini mendukung dan mensubsidi produksi art cinema dengan membentuk lembaga-lembaga formal seperti Film Finance Coorperation dan Film Institute of India.

Satu tokoh yang menjadi ujung tombak gerakan paralel sinema adalah Satyajit Ray melalui debutnya, Pather Panchali (1955). Film ini berkisah tentang kehidupan keluarga miskin di sebuah dusun terpencil di wilayah Bengali. Pather Panchali adalah sebuah kisah tragis tentang kehidupan. Sebuah film yang teramat sederhana namun mampu membawa sinema India kelak sejajar dengan industri sinema besar lainnya di dunia. Ray memproduksi dua sekuel dari Pather Panchali, yakni Aparajito (1956) dan Apu Sansar (1959), yang ketiganya kelak lebih dikenal Apu Trilogi. Ketiga film tersebut dianggap banyak pengamat film serta sineas dunia sebagai film-film terbaik yang pernah diproduksi.

Tema sosial sejenis sebenarnya telah pula digunakan oleh Raj Kapoor dan Bimal Roy dalam film-film mereka yang juga terinsipirasi dari film-film gerakan neorealis. Namun Ray serta sineas paralel sinema lainnya memilih pendekatan lebih radikal dengan menggunakan pemain non bintang (amatir), bujet produksi minim, shot on location, serta sama sekali tanpa unsur tarian dan lagu. Berbeda pula dengan sinema populer, film-film paralel sinema selalu mengangkat kisah orang-orang biasa dibawah tekanan kehidupan sehari-hari. Tidak ada jagoan dalam filmnya. Tidak ada tokoh protagonis yang melawan tokoh antagonis jahat. Seperti pada kehidupan nyata, batasan baik dan buruk sangatlah tipis.

Sementara kolega Ray di perfilman Bengali juga membuat karya-karya fenomenal yang juga diakui banyak pengamat internasional. Mrinal Sen memproduksi Bhuvan Shome (1969) yang tidak hanya sukses kritik namun juga komersil. Sementara Ritwik Ghatak memproduksi Nagarik (1952), Ajantrix (1957) dan Bari Theke Paliye (1958). Di wilayah lain, selama beberapa dekade ke depan muncul pula sineas-sineas yang identik dengan paralel sinema, seperti Adoor Gopalakrishnan dari Kerala Selatan, lalu Shyam Benegal, Mani Kaul, Kumar Shahani dari industri film Hindi, Mani Ratnam dari indusri film Tamil, dan banyak lainnya.

Wajah Baru Sinema Masala

Di era 60-an hingga awal 70-an sisa-sisa tradisi film masala klasik masih tampak melalui film-film roman dan aksi. Satu contoh terbaik adalah Pakeezah (1972) arahan Kamal Amrohi. Film yang konon memakan waktu produksi sekitar 14 tahun ini sejajar dengan film-film sinema populer klasik melalui gambar, aktor-aktris, lagu, dan tarian yang sangat memukau. Film-film masala bernuansa thriller juga mulai mendapat tempat, seperti Kala Bazar (1960) dan Guide (1965), keduanya arahan Vijay Anand, kemudian Gumnaam (1965) arahan Raja Nawathe.

Pada dekade 70-an, Pemerintah India dipimpin oleh rezim penguasa yang dianggap diktator dan korup. Di tengah kondisi kelam dan pesimistik ini muncul seorang sosok superstar yang mampu mewakili era ini, yakni Amitabh Bachchan. Dalam film-filmnya seperti Zanjeer (1973), Sholay (1975), dan Deewar (1975). Bachchan merubah genre konvensional dengan penekanan lebih pada adegan aksi dan kekerasaan dengan sedikit unsur lagu dan tarian. Sosok Bachchan yang karismatik, tinggi, dingin, dan keras, sangat pas dengan plot film-film aksi kriminal bertema balas dendam. Bachchan menjadi salah satu legenda Bollywood yang masih aktif hingga kini.

Perkembangan berarti bagi sinema populer semakin tampak sejak era 90-an dimana unsur-unsur budaya barat mulai menbanjir masuk. MTV yang mulai populer di India sedikit banyak mempengaruhi gaya musik, lagu, hingga teknik editing. Bintang-bintang muda berpenampilan menarik mulai bermunculan dan mengambil-alih kendali pasar, sebut saja Aamir Khan, Shah Rukh Khan, Salman Khan, Karisma Kapoor, Sridevi, Kajol, Madhuri Dixit, Juhi Chawla, hingga Aishwarya Rai. Satu film yang menjadi landmark generasi baru ini adalah Dilwale Dulhania Le Jayange (1995) yang dibintangi Shah Rukh Khan dan Kajol. Film yang sukses luar biasa ini konon diputar di bioskop-bioskop India hingga sepuluh tahun lebih sejak rilisnya. Film ini untuk pertama kalinya menggunakan shot on location di Swiss, Belanda, hingga New Zealand. Dilwale seolah membangkitkan era emas sinema masala beberapa dekade silam melalui plot roman menyentuh, gambar-gambar memukau, serta sekuen lagu dan tari yang menawan. Setelah sukses film ini duo Shah Rukh Khan dan Kajol bermain dalam belasan film lainnya.

Beberapa sineas muda berbakat juga bermunculan dengan karya-karya mereka yang fenomenal. Karan Johar sukses besar melalui film-film remaja dan keluarga seperti Kuch Kuch Hota Hai (1998) serta Kabbi Khushi Khabie Gham (2001) bersama duo Shah Rukh Khan dan Kajol. Shanjay Leela Bhansali sukses me-remake Devdas (2002) yang pada masanya memecahkan rekor produksi film termahal di Bollywood. Sineas Farhan Aktar dan Aditya Chopra masing-masing sukses melalui Dil Chahta Hai (2001) dan Mohabbatein (2000). Film-film masala juga mulai sukses di luar India, salah satunya adalah Lagaan (2001) arahan Ashutosh Gowariker yang sukses meraih nominasi Oscar untuk Film Berbahasa Asing Terbaik.

New Paralel Cinema�

Tradisi paralel sinema juga ternyata masih cukup dominan di era 90-an bahkan mampu bersaing dengan film-film mainstream. Ram Gopal Varma membuat sensasi melalui Satya (1998) yang mengisahkan tentang sisi gelap Kota Mumbai. Kelak film ini menginspirasi belasan sineas lokal lainnya yang merefleksikan masalah sosial di Kota Mumbai, termasuk pula Slumdog Millionare, yang baru lalu meraih Oscar. Beberapa film yang identik dengan paralel sinema diantaranya, Dil Se (1998) dan Yuva (2004) karya Mani Ratnam, Mr. and Mrs Iyer (2002) dan 15 Parks Avenue (2006) karya Aparna Sen, Maine Ghandi Ko Nahin Mara (2005) karya Jahnu Barua, serta masih banyak puluhan film lainnya.

Selain itu juga bermunculan sineas-sineas muda yang bekerja di luar India dan mereka kebanyakan tidak ingin kompromi dengan sensor ketat di negaranya, diantaranya Mira Nair, Deepa Mehta, dan Gurinder Chadha. Semakin populernya sinema India di barat membuat para produser luar tidak segan-segan mendukung mereka untuk memproduksi film-film yang mampu menterjemahkan kultur India ke penonton barat. Mira Nair adalah salah satu yang tersukses dan film-filmnya selalu menjadi favorit dalam berbagai ajang festival film bergengsi di dunia. Nair mengawali sensasinya melalui Salam Bombay! (1988) yang memotret kehidupan anak jalanan di kota Mumbai. Pada dekade mendatang ia memproduksi dua karya terbaiknya, yakni Missisipi Masala (1991) dan Moonsoon Wedding (2001). Deepa Mehta menarik perhatian internasional melalui trilogi, Fire (1996), Earth (1998) dan Water (2005) yang mengangkat tema feminisme. Sementara Gurinder Chadha memilih jalur konvensional dengan memproduksi film-film �western� masala, seperti Bhaji on the Beach (1993), Bend It Like Bekham (2002), serta Bride and Perjudice (2004).

Sinema India memiliki tradisi dan sejarah yang sangat panjang tidak cukup hanya dibahas dalam beberapa halaman saja. Industri film Hindi, Bengali, Tamil, Marathi, dan lainnya memiliki sejarahnya masing-masing. Salah satu faktor keberhasilan sinema India adalah keterlibatan pemerintah dalam mengontrol industri film mereka. Film-film asing dibatasi untuk masuk ke India sehingga film-film lokal mampu berjaya di negaranya. Industri film India kini termasuk salah satu industri film terbesar dan tersubur di dunia. Sinema India juga dikenal dengan sensor yang sangat ketat bahkan untuk adegan ciuman sekalipun masih dianggap tabu. Terlepas dari prestasinya, Industri film India juga dikecam seperti adanya indikasi pencucian uang serta masalah plagiarisme. Namun demikian tetap saja ini tidak mengurangi daya tarik penonton asing untuk menonton film-film Bollywood. 

Himawan Pratista