Sabtu, 01 Januari 2000

The Diving Bell and The Butterfly, Sebuah Karya Unik Buah Kedipan Mata

..
The Diving Bell and The Butterfly (Scaphandre et le papillon, Le, 2007) merupakan film berbahasa Perancis produksi patungan Perancis-Amerika. Film ini diadaptasi dari buku otobiografi berjudul sama karya Jean-Dominic Bauby (Jean-Do) yang diinspirasi dari kisah nyata sang penulis sendiri. Film unik arahan Julian Schnabel ini banyak mendapat pujian pengamat film di mana-mana dan sukses pula meraih puluhan penghargaan di berbagai festival film bergengsi di dunia, seperti Cannes dan Golden Globe. Walau gagal di ajang Academy Awards namun film ini sukses meraih empat nominasi Oscar.

Alkisah Jean-Do (Mathieu Almaric) adalah seorang editor sukses sebuah majalah fashion terkemuka di Paris. Suatu ketika Jean-Do mendadak terserang stroke langka sehingga seluruh tubuhnya lumpuh kecuali mata kirinya, itu pun ia hanya mampu mengedipkan mata. Jean-Do yang amat frustasi lambat laun mulai menerima keadaannya dan mencoba belajar berkomunikasi dengan orang lain menggunakan kedipan matanya. Kondisi yang tak kunjung membaik akhirnya menginspirasinya untuk menulis sebuah buku otobiografi tentang dirinya.

Plot film ini begitu sederhana namun uniknya adalah nyaris seluruhnya dikemas melalui sudut pandang tokoh utama. Ide dasarnya adalah sang sineas ingin penonton benar-benar merasakan bagaimana tersiksa dan frustasinya Jean-Do dalam ketidakberdayaannya. Kita pasti merasa lelah dan frustasi melihat Jean-Do berlatih �berbicara� huruf demi huruf. �E, S, A, R, I, N, T, � dst�. Entah berapa puluh kali sepanjang film kita mendengar alfabet tersebut dilafalkan dengan begitu sabar oleh para perawat, asisten, serta istrinya, menggambarkan betapa sulit Jean-Do berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Tak hanya secara visual dan audio (mata dan telinga) atau fisik semata namun perasaan batin, trauma, memori, rasa bersalah, imajinasi, harapan Jean-Do semuanya membaur saling berganti membuat kita jauh dari perasaan tenang dan nyaman sepanjang filmnya.

Satu hal yang menjadi keunikan film ini dalam pendekatan visualnya adalah penggunaan subyektif kamera (point of view shot) dari sudut padang tokoh utama lebih dari separuh filmnya. Semua ini buah sentuhan jenius dari sinematogafer kawakan, Janusz Kaminski, yang sebelumnya sering berkolaborasi dengan Steven Spielberg. Semua yang kita lihat di layar adalah apa yang juga dilihat (atau dipikirkan) Jean Do. Seperti dalam adegan pembuka ketika pertama kali Jean-Do siuman, layar tampak kabur (out of focus) membuat kita merasa tidak nyaman (pusing) seperti apa yang sang tokoh rasakan. Dalam satu adegan �mengerikan� ketika mata kanan Jean-Do harus dijahit, kita benar-benar melihat jarum dan benang melintas di depan kita seperti seolah mata kita yang tengah dijahit. Tidak hanya menggunakan POV shot namun kita juga mampu melihat memori serta kilasan gambar yang diimajinasikan atau terlintas di pikiran Jean-Do, seperti kupu-kupu yang terbang, bukit yang runtuh, istri dan putra-putrinya, hingga kekasih gelapnya.

Secara audio nyaris sepanjang film kita juga hanya bisa mendengar apa yang didengar Jean-Do serta suara batinnya (voice over). Ketika seseorang berbicara, Jean-Do hanya mampu mendengar dan seringkali ia menjawab dengan suara batinnya. Sekalipun secara fisik ia pasif namun perasaan batinnya masih aktif (normal). Suasana hati Jean-Do banyak terungkap melalui suara batinnya. �This is not gonna work�� keluhnya (batin) frustasi ketika ia mulai belajar menggunakan alfabet. Sineas kadang juga menggunakan elemen suara untuk menggambarkan �intimidasi� atau siksaan batin yang dialami Jean-Do. Dalam satu ilusinya Jean-Do �terperangkap� di bawah laut dengan kostum selamnya; dan di saat bersamaan, suara yang terdengar (oleh penonton) adalah suara dengung berfrekuensi sangat rendah yang membuat tidak nyaman pendengaran kita.

The Diving Bell and The Butterfly sekalipun memiliki materi cerita yang begitu terbatas namun mampu dikemas sangat efektif menggunakan bahasa sinematik (audio & visual) sederhana, dan hasilnya adalah sebuah karya unik, istimewa, serta personal. Mengapa Jean-Do harus menderita? Apakah faktor genetik? Ataukah buah perbuatannya mengkhianati istri dan anak-anaknya? Ataukah mungkin azab Tuhan atau takdir? Tak ada yang tahu kecuali mungkin Jean-Do sendiri. Siapa pun yang bersimpati dengan Antoine dalam 400th Blow pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan hanya bisa melihat gemerlap kota Paris dari balik jeruji mobil tahanan. Dalam momen dan iringan ilustrasi musik yang sama; siapapun yang bersimpati dengan Jean-Do pasti menangis ketika ia dibawa pergi dan melihat kelebat masa lalunya dari balik kaca mobil ambulans. Jean-Do begitu bahagia ketika ia menjajal sedan barunya dan memamerkan ke istri dan anak-anaknya. Namun pada saat bersamaan kebahagiaannya direnggut tanpa ampun hanya dalam satu momen. Sadarkah Anda waktu menonton jika semua pencapaian ini adalah buah dari kedipan mata? (A)

Goldfinger, Best Bond Ever?

..
Goldfinger (1964) merupakan film ketiga petualangan agen rahasia 007 setelah Dr. No (1962) dan From Russia with Love (1963). Seperti sebelumnya, film ini diadaptasi dari novel berjudul sama karya Ian Fleming. Goldfinger merupakan film Bond pertama yang diarahkan oleh Guy Hamilton setelah sineas dua film sebelumnya, Terence Young, terlibat dalam produksi film lain. Untuk ketiga kalinya, aktor legendaris Inggris, Sean Connery kembali bermain sebagai James Bond, dan kali ini didampingi oleh Honor Blackman, Gert Frobe, Shirley Eaton, dan Harold Sakata. Beberapa pemain kunci film Bond sebelumnya juga muncul yakni, Bernard Lee (M), Louis Maxwell (Miss Moneypenny), serta Desmon Llewelyn (Q). Goldfinger dianggap banyak pengamat sebagai film Bond paling berpengaruh yang menjadi titik tolak bagi pengembangan film-film Bond berikutnya.


Bond kali ini mendapat tugas untuk menyelidiki seorang pebisnis bernama Auric Goldfinger (Frobe) yang dicurigai pihak MI6 telah menyelundupkan emas ke luar negeri. Tugas Bond sederhana, yakni mencari tahu bagaimana cara Goldfinger menyelundupkan emasnya ke luar negeri. Penyelidikan membawa Bond ke sebuah areal gudang milik Goldfinger di wilayah perbukitan Swiss. Disana tanpa diduga rencana Bond dirusak oleh seorang penembak gelap yang ternyata seorang wanita muda bernama Tilly Masterson (Eaton), yang ingin membunuh Goldfinger untuk membalas dendam atas kematian adiknya. Dalam pengejaran, Tilly tewas terbunuh dan Bond tertangkap. Selama dalam tawanan, Bond akhirnya mengetahui skema besar Goldfinger. Sang bos bersama asistennya, Pussy Galore (Blackman) ternyata berniat untuk membom atom Fort Knox, tempat cadangan emas AS, dengan tujuan untuk menghancurkan ekonomi dunia sehingga akan menaikkan nilai jual emasnya. Bond dalam kondisi tertawan menggunakan segala kemampuan otak serta pesonanya untuk membalikkan keadaan dan menyelamatkan dunia sebelum semuanya terlambat.

Seperti umumnya film-film Bond, Goldfinger menggunakan alur plot linier sederhana dengan durasi waktu cerita yang pendek. Namun uniknya nyaris seluruh plot (95%) sejak awal hingga akhir, mata kamera selalu mengikuti karakter Bond. Informasi cerita penting seluruhnya didapat melalui Bond, seperti bagaimana rencana Goldfinger menerobos Fort Knox, yang ia curi dengar dari ruang basement dibawah maket (model). Lazimnya film-film Bond, garis besar rencana jahat sang bos telah kita ketahui sejak awal. Hal ini memungkinkan banyak kejutan cerita dalam filmnya. Melalui penuturan seperti ini sosok Goldfinger yang semula kita remehkan, sedikit demi sedikit mulai tampak karismanya sebagai sosok bos jahat yang cerdas dan berpengaruh. Keunikan plot juga terlihat melalui karakter Tilly Masterson. Kemunculan karakter Tilly yang demikian kuat seolah memberi kesan pada kita bahwa sang gadis akan menjadi pendamping tetap Bond hingga akhir filmnya. Namun tak diduga hanya berselang beberapa waktu, sang gadis tewas tragis oleh bawahan Goldfinger. Karakter bond girl lainnya, Pussy Galore baru muncul setelah separuh filmnya, itu pun tidak hingga akhir film kita (termasuk Bond sendiri) baru mengetahui jika sang gadis berpihak pada Bond.

Jika dibandingkan dengan film-film Bond lainnya, Goldfinger terhitung minim adegan aksi. Adegan aksi seru tercatat hanya dua sekuen saja, yakni ketika Bond dengan menggunakan mobil canggihnya menghindari kejaran para musuh di Swiss, serta sekuen klimaks di Fort Knox. Film Bond sejatinya bukanlah merupakan film aksi semata. Bond menggunakan aksi kekerasan jika ia terpaksa atau terdesak, dan dalam Goldfinger inilah hal ini tampak. Bond juga tidak digambarkan sebagai sosok jagoan yang tak bisa kalah. Nyaris sepanjang film ia selalu dalam posisi lemah dan sama sekali tak mendapat bantuan pihak luar. Bond mengandalkan keberuntungan semata dan pada akhirnya pesonanyalah (charm) yang menolongnya. Menjelang akhir film barulah Bond mengetahui jika Pussy yang ternyata merusak semua rencana Goldfinger. �I must have appeal to her maternal instict� ujarnya. Padahal ketika pertama kali bertemu Bond, Pussy sempat berujar, �You can turn off the charm.. I�m immune�. Ini baru James Bond!

Seperti Film-film Bond lazimnya, Goldfinger menampilkan peralatan serta perlengkapan spionase buatan Q yang jauh melewati jamannya. Sebenarnya sejak From Russia with Love peralatan spionase sejenis telah digunakan namun masih minim, hanya berupa koper multi-fungsi. Satu alat yang paling menonjol dalam Goldfinger adalah penggunaan sedan Aston Martin DB-5, yang dilengkapi peralatan canggih seperti, alat pelacak, senapan mesin, kursi pelontar, plat nomor yang bisa berganti, asap dan oli, besi anti peluru, dan banyak lainnya. Melalui kendaraan inilah Goldfinger menetapkan standar bagi peralatan (gadget) spionase di film-film Bond berikutnya. Namun satu hal yang unik, dalam film-film Bond lazimnya, peralatan tersebut seringkali mampu mengubah situasi di saat posisi Bond terjepit, namun dalam kasus Goldfinger tidak. Hal ini yang menjadikan Goldfinger terasa lebih �manusiawi� ketimbang film-film Bond lainnya.

Pesona serta kekuatan akting Sean Connery menjadi separuh kekuatan filmnya. Setelah dua film Bond sebelumnya, Connery rupanya semakin bertambah matang dan nyaman dengan karakter James Bond. Sean Connery adalah James Bond. James Bond adalah Sean Connery. Connery memang merupakan sosok yang sempurna untuk memerankan karakter Bond yang cerdas, loyal, humoris, keras, dingin, bercita rasa tinggi, serta digilai banyak wanita. Goldfinger plus lima film Bond lain yang dibintanginya telah cukup menjadikan Connery sebagai pemeran Bond terbaik sepanjang masa. Sementara Gert Frobe bermain cukup baik sebagai Goldfinger sekalipun ia bukan musuh Bond yang terbaik. Justru penampilan Harold Sakata sebagai si bodyguard, Oddjob, sekalipun tidak berkata sepatah kata pun mampu mencuri perhatian kita. Poin plus ditujukan untuk Honor Blackman yang bermain sebagai Pussy Galore. Blackman mampu bermain sangat baik sebagai sosok pilot wanita yang keras, independen, serta maskulin namun pada akhirnya takluk oleh pesona Bond. Tidak berlebihan jika Blackman dianggap sebagai salah satu pemeran bond girl terbaik.

Satu hal lagi menjadi ciri khas film-film Bond adalah musik tema Bond yang abadi kreasi John Barry. Namun kali ini musik tema Bond semakin dipertajam oleh lagu tema Goldfinger yang dilantunkan oleh penyanyi pop ternama kala itu, Shirley Bassey. Lirik dan lagunya yang dilantunkan pada opening credit begitu pas memadu dengan tema filmnya sehingga bisa dikatakan sebagai lagu tema film Bond yang terbaik. Penggunaan musik tema Goldfinger dalam adegannya pun tak pernah meleset.

Jika kita bandingkan dengan film-film Bond lainnya, Goldfinger memiliki keunikan dari sisi plot melalui kejutan cerita yang sulit kita prediksi. Kombinasi antara akting Connery, mobil Aston Martin DB5, hingga lagu tema Goldfinger semakin menambah poin filmnya. Film-film Bond secara umum tak ada yang buruk namun juga tak ada yang istimewa namun Goldfinger merupakan pengecualian. Goldfinger best Bond ever? I think so� what do you think?

Battle in Heaven, Sebuah Visualisasi Pergolakan Batin yang Unik

29 Oktober 2008,
Battle in Heaven (Battala en el cielo/2005) merupakan film produksi Mexico arahan Carlos Reygadas. Bermain di dalamnya adalah Marcos Hernandez, Anapola Mushkadiz, serta Berta Ruiz. Film ini banyak mendapat pujian pengamat asing dan sukses meraih nominasi Golden Palm di Cannes Film Festival. Tidak seperti film fiksi umumnya sineas mencoba menggunakan pendekatan yang unik dalam film ini.
..
..
Kisah filmnya sangat sederhana. Seorang sopir bernama Marcos (Hernandez) bersama istrinya menculik seorang bayi untuk kelak dimintai tebusan. Namun dalam perkembangan sang bayi mendadak tewas akibat sesuatu yang tidak dijelaskan. Cerita filmnya berlangsung sekitar dua hari dan terfokus pada kondisi mental Marcos yang mengalami shock berat akibat peristiwa tersebut. Dunia disekeliling Marcos mendadak berubah menjadi hampa dan senyap. Hubungan gelapnya dengan Ana (Mushkadiz), putri majikannya yang cantik juga tidak banyak membantunya. Marcos pun akhirnya memutuskan untuk mengakhiri hidupnya.
..
Secara keseluruhan Battle in Heaven lebih bisa kita katakan sebagai film eksprerimental ketimbang film fiksi. Sejak awal pun, film dibuka dengan satu adegan yang dijamin mampu membuat shock para penontonnya. Sineas tampak jelas lebih menekankan pada visualisasi status mental Marcos ketimbang alur ceritanya sendiri. Hal-hal penting seperti motif penculikan, latar-belakang hubungan Marcos dengan Ana, serta banyak fakta lainnya sama sekali tidak disinggung. Nyaris sepanjang film kamera hanya mengikuti satu karakter dan seringkali mengambil gambar-gambar sepele yang �tidak perlu�.
..
Lingkungan seputar Marcos yang hampa, asing, serta sunyi mampu divisualisasikan begitu efektif sebagai simbol kondisi mental sang sopir yang tengah blank. Sineas menggunakan beberapa pendekatan teknis sederhana seperti gambar yang kontras, dialog yang minim, dominasi kamera statis, out-focus (gambar kabur), long take, pengaturan setting dan pergerakan pemain, akting, hingga efek suara dan ilustrasi musik. Tonalitas gambar yang kontras di semua adegan secara keseluruhan mampu memberi kesan serasa kita berada di alam mimpi (sureal). Dialog juga sangat minim dalam semua adegannya dan jika ada pun sangat pendek. Kita lebih sering melihat para pemain dalam kondisi termenung (diam) tanpa ekspresi. Sepanjang filmnya sudah tak terhitung lagi shot close-up wajah para karakternya dalam kondisi diam tanpa ekspresi.
..
Sineas lebih sering menggunakan kamera statis dalam banyak adegannya, jika ada pergerakan kamera itu pun sangat lambat sebelum kamera berhenti kembali. Sineas juga beberapa kali menahan shot-nya agak lama (long take). Satu contoh menarik perpaduan teknik long take dan pergerakan kamera tampak pada adegan ketika Marcos bercinta dengan Ana di sebuah flat. Kamera bergerak dengan perlahan-lahan menjauh dari kedua pasangan tersebut, lalu memutar hingga 360� (panning) untuk kembali memperlihatkan Marcos dan Ana. Satu shot sederhana ini mampu dengan efektif menggambarkan suasana batin Marcos yang berada jauh di tempat lain di saat ia merengkuh puncak kenikmatan duniawi. Well� he used to be.
..
Satu hal yang cukup menarik adalah penggunaan efek suara serta ilustrasi musik untuk tujuan yang sama. Sineas beberapa kali mengaburkan antara diegetic sound dan nondiegetic sound. Dalam adegan awal di terowongan, perhatikan bagaimana suara alarm jam mengintimidasi Marcos dan istrinya (sepertinya penonton juga). Dalam adegan lainnya, musik, detak jam, hingga suara-suara lainnya juga ikut mengintimidasi karakternya. Dalam adegan ketika Marcos mengisi bahan bakar mobil di sebuah pom, suara ilustrasi musik klasik (Bach) menggema dengan sangat keras. Semula kita pasti mengira musik tersebut adalah nondiegetic sound hingga beberapa saat kemudian seorang karakter (pengunjung pom) menyuruh petugas pom untuk mengganti musiknya.
..
Semua pendekatan estetik diatas tidak akan efektif tanpa dukungan dari akting para pemainnya. Hernandez yang konon pemain amatir mampu bermain sangat baik sebagai Marcos dan rasanya tidak mudah mempertahankan sikap ekspresi kosong (�blank mode�) hampir sepanjang filmnya. Mushkadiz juga bermain sangat baik sebagai Ana yang tercatat sebagai karakter paling netral dalam filmnya. Akting sang aktris yang kuat dan natural mampu memberikan gambaran yang cukup jika ia dan Marcos sebelumnya pernah menikmati masa-masa indah. Pencapaian ini cukup krusial mengingat plotnya tidak memberikan gambaran latar-belakang yang cukup tentang hubungan mereka.
..
Bahasa gambar jelas menjadi senjata utama film Battle in Heaven. Sineas lebih menitikberatkan kemasan ketimbang isi, dan usahanya boleh dibilang berhasil. Dengan menggunakan teknik-teknik yang sederhana sineas mampu menghasilkan sesuatu yang maksimal. Akting pemain, setting, teknik kamera, hingga suara, seluruhnya mampu bersinergi dengan sempurna untuk mencapai mood yang dituju dan yang terpenting mampu dirasakan efeknya oleh penonton. Simbol-simbol yang tersaji juga relatif mudah untuk kita interpretasi. Namun dari tempo filmmya yang sangat lambat, plot yang tak lazim, hingga adegan-adegan vulgarnya, Battle in Heaven jelas sekali bukanlah film yang ditujukan untuk penonton awam. It will bore (to death..) for most audience. This film is only meant for very small segmented audience. (B)

The Counterfeiters, Tema Kamp Konsentrasi yang Tak Pernah Usang

...
The Counterfeiters (Die F�lscher) merupakan film produksi patungan Jerman-Austria yang baru lalu sukses meraih Oscar untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik (Austria). The Counterfeiters diarahkan oleh sineas Stefan Ruzowitzky yang juga sekaligus menulis naskahnya. Cerita filmnya sendiri diadaptasi dari novel berdasarkan kisah nyata seorang typographer selama ia di kamp konsentrasi pada masa Perang Dunia Kedua.

Alkisah seorang Yahudi bernama Solomon �Solly� Sorowitsch (Karl Markovics) hidup nyaman sebagai kriminal kelas kakap spesialis pembuat dokumen serta uang palsu di Berlin. Peruntungannya berakhir ketika ia akhirnya tertangkap oleh Friedrich Herzog (Devid Striesow), seorang komandan polisi Jerman yang mengincarnya sejak lama. Oleh karena bakat uniknya, Solly dimasukkan ke kamp konsentrasi khusus di Sachsenhausen untuk membantu sebuah operasi rahasia bernama Operation Bernhard yang dipimpin Herzog. Tujuan operasi ini adalah membuat uang palsu sebanyak-banyaknya untuk merusak perekonomian Eropa dan Amerika. Solly menghadapi dilema berat. Di satu sisi ia tidak ingin membantu pihak Jerman namun di sisi lain ia juga memikirkan keselamatan rekan-rekannya. Apapun keputusan Solly kelak dapat mempengaruhi hasil akhir perang dunia antara pihak Jerman dengan pihak sekutu.

Film-film berlatar kamp konsentrasi Yahudi pada masa Perang Dunia Kedua telah berulang-kali diproduksi oleh para sineas di dunia. Tema seputar kezaliman rezim Nazi sepertinya tidak pernah habis untuk dieksplorasi. Adapun film-film bertema ini yang sangat populer, antara lain seperti The Schindler�s List, The Pianist, dan It�s a Beautiful Life. The Counterfeiters menawarkan sebuah kisah yang berbeda dari film-film sebelumnya. Film ini tidak menggambarkan para tahanan yang diperlakukan tidak manusiawi seperti lazimnya tema jenis ini namun justru sebaliknya. Para tahanan khusus ini mendapatkan fasilitas yang memadai, seperti ranjang empuk, kamar mandi, makanan dan minuman yang cukup, bahkan tempat bermain untuk melepas lelah. Konflik cerita juga lebih menitikberatkan pada konflik kepentingan antar sesama tahanan ketimbang dengan pihak Nazi. Solly berdiri di tengah rekan-rekannya yang memiliki sikap berbeda, antara membantu pihak Nazi dan tidak, sekalipun ia sendiri selalu mendapat tekanan dari sang komandan (Herzog).

Selain tema yang menjadi kekuatan utama film ini, nilai lebih juga diberikan untuk para pemainnya, yakni Karl Markovics serta Devid Striesow. Markovics dengan brilyan bermain begitu dingin sebagai seorang kriminal jenius namun memiliki loyalitas tinggi pada rekan-rekannya. Striesow bermain tidak kalah menawannya sebagai Herzog, sebagai perwira Nazi yang terus menerus menekan Solly untuk kepentingan negara dan juga dirinya sendiri. Sebuah adegan �humanis� tampak ketika Herzog menggunakan keluarganya untuk menekan Solly. Herzog mengajak Solly mengunjungi rumahnya untuk bertemu istri dan anak-anaknya untuk menunjukkan bahwa sang perwira juga hanyalah keluarga biasa namun di satu sisi ia harus loyal pada negaranya. Satu momen lagi yang paling berkesan terdapat pada adegan akhir (selepas perang dunia) ketika Solly berdansa di pinggir pantai bersama seorang wanita muda setelah beberapa saat sebelumnya ia kalah besar di meja judi. �So much money..� ujar sang wanita gemas sambil memikirkan betapa banyak uang Solly yang hilang. Kata-kata tersebut diulangi sang wanita hingga dua kali dan Solly pun menjawabnya dengan ringan, �I can make more.. �. (A-)