Kamis, 01 April 2010

Sekilas Sinema Thailand



Awal Perkembangan Sinema  dan Kendali Monarki

Awal perkembangan sinema di Thailand sama seperti kebanyakan di Asia diawali dengan screening film-film karya Lumiere Bersaudara, yakni bulan Juni tahun 1897. Era Raja Chulalongkorn pada masa ini adalah mengusung modernisasi Thailand yang terbuka dengan inovasi dari barat, salah satunya adalah sinema.  Kunjungan raja ke ke Eropa membawa pulang seperangkat peralatan kamera yang dibeli oleh adik termuda sang raja. Tahun 1900, sang pangeran mulai mendokumentasikan serangkaian aktifitas publik raja dan upacara ritual kerajaan. Film-film ini lalu diputar untuk publik dan masyarakat biasa harus membeli tiket. Film tak hanya menjadi hobi para bangsawan namun sekaligus menjadi alat propaganda monarki.

Film menjadi bisnis yang semakin berkembang setelah ketika perusahaan film dari Jepang membangun bioskop yang diberi nama Royal Japanesse Cinematograph di Bangkok pada tahun 1905. Kemudian diikuti pengusaha Cina beberapa tahun kemudian. Film-film yang diputar kebanyakan masih diimpor dari Eropa dan Amerika. Tak lama setelahnya teater dan perusahaan distribusi bermunculan. Film menjadi hiburan baru buat rakyat Thailand dan menjadi prospek bisnis yang menguntungkan bagi para pengusaha. Persaingan antara pihak kerajaan dengan pengusaha lokal keturunan Cina khususnya tidak terhindarkan.

Pada tahun 1923, rakyat Thailand akhirnya melihat film fiksi panjang mereka sendiri, Nang Sao Suwan sekalipun masih diproduksi dan disutradarai produser Amerika, Henry McRay. Pemain dan kru sebagian besar menggunakan orang lokal dan dari sinilah mereka belajar memproduksi film panjang. Film pertama yang diproduksi dengan pemain dan kru lokal seutuhnya adalah Chok Sorng Chan (1927) yang diarahkan Manit Wasuwat dan diikuti May Kid Leuy (1927) yang digarap oleh Khun Patikat Pimlikit. Sampai tahun 1932 tercatat terdapat 17 film lokal yang diproduksi. Lembaga sensor film pada masa ini juga mulai dibentuk dalam kendali penuh monarki. 

Era Film Bicara dan Runtuhnya Monarki

Memasuki dekade 30-an industri film di Thailand menjadi semakin besar. Banyak studio film dibentuk dari kelompok keluarga kerajaan serta pengusaha menengah. Masuknya teknologi suara juga memaksa para studio memiliki peralatan audio dan studio suara yang mengadopsi studio Hollywood. Tercatat film lokal bicara pertama adalah Long Tang (1932) yang diproduksi oleh Sri Kung Sound Film Company. Lagu dan musik yang mampu mengoptimalkan teknolgi suara membuat genre musikal menjadi populer, tercatat seperti Klua Mia (1938) yang juga diproduksi studio Sri Kung. Seperti halnya di Hollywood, Studio-studio juga menerapkan �star system� hingga muncul bintang-bintang macam Manne Sumonnat dan Jamrat Suwakon. Perkembangam yang pesat membuat pengamat berpendapat era ini adalah era emas pertama industri film di Thailand. Namun tetap saja film-film dari Amerika masih mendominasi pasar lokal.

Ketika Monarki runtuh oleh partai rakyat pada tahun 1932, perubahan besar terjadi di industri film. Campur tangan pihak kerajaan di industri film mulai mengendur. Studio-studio film yang berhubungan kerajaan dibubarkan dan diambil-alih oleh negara. Lembaga sensor juga direvisi oleh pemerintahan baru dengan mengubah beberapa kriteria yang diantaranya berupa tindakan preventif terhadap tindakan amoral dan asusila, kriminal, serta politik kiri. Pemerintah juga mendukung produksi film-film propaganda untuk menggambarkan arah politik mereka. Runtuhnya monarki juga berdampak makin banyaknya bermunculan studio film dan bioskop dari pengusaha menengah, pengusaha Cina serta asing. Jumlah bioskop dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Terbukti pada awal dekade 30-an tercatat hanya ada 68 bioskop di seluruh negeri dan pada akhir dekade ini tercatat ada 120 bioskop.

Era Pasca Perang Dunia II atau Era Film �16 mmm�

                Memasuki perang dunia II industri film Thailand praktis berhenti selama beberapa waktu. Pemerintah memaksa banyak studio-studio film untuk memproduksi film propaganda. Dalam perang Thailand bersekutu dengan Jepang sehingga berbuntut tidak masuknya film-film dari Eropa dan Amerika. Hal ini juga kelak berakibat kurangnya stok film 35 mm sejak untuk produksi film sehingga produksi menggunakan film 16 mm yang relatif lebih murah menjadi pilihan. Fase film �16 mm� ini cukup lama berlangsung dari pertengahan dekade 50-an hingga awal dekade 70-an.

Industri film masih mati suri sesaat setelah perang dunia kedua walaupun ada produksi masih sangat minim. Tercatat hanya dua film diproduksi pada tahun 1946, yakni Chai Chatree dan Chon Kawao. Barulah pada tahun 1949 melalui sukses besar, Supab Buruth Sua Tai  yang diproduksi menggunakan 16 mm, mengembalikan industri film Thailand dari masa suram. Format 16 mm menjadi populer karena produksinya lebih murah dan prosesnya tidak serumit film 35 mm.

Dalam waktu singkat produksi film meningkat drastis dari 10 film menjadi 50 film setahun hingga periode ini sering disebut era emas kedua. Lebih dari 500 film lokal diproduksi dalam periode ini dan di wilayah Bangkok saja terdapat 150 bioskop dan 700 bioskop di seluruh wilayah negeri, namun film Amerika dan Eropa masih mendominasi bioskop. Periode ini juga memunculkan dua superstar lokal, yakni pasangan aktor-aktris, Mitre Chaibancha dan Pecthchara Chawarat yang mendominasi hampir seluruh film produksi 16 mm. Hanya Mitre seorang pada dua dekade ini memproduksi 265 film!

Produksi film era 16 mm ini memunculkan film dengan gaya konvensional yang lebih membumi, mengadopsi berbagai seni dari literatur, pakaian, hingga seni pertunjukan. Cerita juga menggabungkan beberapa genre sekaligus melodrama, aksi, dan komedi. Setting cerita juga tidak hanya di kota namun di daerah pinggiran dan wilayah terpencil. Hal-hal ini yang menyebabkan film lebih akrab dengan penonton segala kalangan. Hal yang menarik pada era ini juga munculnya ratusan bioskop keliling (outdoor theatre) yang menjangkau daerah-daerah pelosok. Produksi 16 mm juga menarik sineas-sineas muda untuk produksi film berbujet murah. Beberapa diantara mereka kelak menjadi sineas besar pada era mendatang. Era film �16 mm� ini merupakan era bukan hanya milik penonton namun juga para pembuat film.

Era 70-an hingga 80-an

Ada tiga faktor yang menyebabkan berakhirnya era film 16 mm dan beralih ke film 35 mm sejak awal 70-an. Pertama adalah sukses luar biasa dua film yang menggunakan film 35 mm yakni, Mon Rak Luk Tung (1970) garapan Rungsri Thasanapayak dan Thon (1970) garapan Somboonsok Niyomsiri. Mon Rak Luk Tungdiputar di bioskop selama 6 bulan dan sukses menghasilkan 16 juta Bath. Sementara Thon sekalipun hanya sukses meraih 3 juta Bath namun mendapat banyak pujian dari pengamat. Sukses dua film ini banyak menginspirasi studio film lokal kemudian beralih ke 35 mm. Faktor kedua adalah film 35 mm dan proses laboratorium di Hongkong jauh lebih murah ketimbang proses laboratorium yang sering mereka pakai yakni di Inggris. Faktor ketiga adalah kebijakan pemerintah di awal era 70-an yang mendukung penggunaan produksi film 35 mm.

Krisis energi di pertengahan era 70-an sempat menurunkan industri film di Thailand akibat pembatasan jam pemutaran bioskop namun kebijakan tersebut segera direvisi pemerintah. Bioskop masih didominasi film-film Amerika dan Eropa. Para pengusaha bioskop lebih menguntungkan memutar film-film barat ketimbang film-film lokal yang rata-rata berdurasi lebih panjang. Untuk memicu produksi film lokal, pada tahun 1977, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak film asing yang berujung pada boikot film-film Amerika oleh MPEAA (Motion Pictures Export Association of America) hingga tahun 1981. Produksi film lokal meningkat pesat dan 161 film diproduksi hanya pada tahun 1978 saja. Namun sebagian besar film yang diproduksi adalah film aksi berkualitas rendah hingga para pengamat mengistilahkan sebagai film �nam nao� (air yang terkena polusi /bau).  

Era 80-an, industri film mendapat persaingan berat dari televisi dan pemutar video. Sebagian besar orang sudah merasa cukup mendapat hiburan murah dari layar kaca televisi dan video. Pengusaha bioskop besar banyak gulung tikar dan muncul bioskop-bioskop mini (cineplex) di mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi remaja. Merespon hal ini industri film mulai mengubah strategi pasar dengan memproduksi film sasaran penonton remaja dan genre ini mendominasi pasar hingga awal dekade 90-an.

Era 90-an, Masa Suram dan Kelahiran Kembali

Pada era 90-an kembali industri film menemui pesaing-pesaing berat, yakni tv kabel, video dan vcd, serta internet. Pemerintah masa ini yang menurunkan pajak film asing membuat film-film barat, terutama Hollywood masuk ke bioskop-bioskop lebih banyak dari sebelumnya. Krisis ekonomi yang melanda Asia di tahun 1997 semakin memperburuk industri film dan bahkan dianggap pengamat tengah sekarat. Tercatat jumlah produksi film tahun 1997 hingga 2001 tidak lebih dari seratus film, bahkan tahun 1999 dan 2000 tercatat hanya sembilan film per tahunnya. Industri film di Thailand belum pernah mengalami masa sesuram ini sebelumnya.

Namun justru amat mengejutkan di masa suram ini justru industri film Thailand terlahir kembali. Pada tahun 1997 muncul beberapa sineas berbakat yang berasal dari industri televisi, yakni Nonzee Nimibutr, Pen-Ek Ratanaruang, dan Wisit Sasanatieng yang kelak mengubah wajah industri film Thailand pada dekade mendatang. Mereka berpendapat bahwa film haruslah lebih artistik untuk menarik penonton dan juga investor. Diawali dengan film garapan Nonzee berjudul 2499 Antapan Klong Meoung (Daeng Baeley and Gangster, 1997) yang sangat mengejutkan meraih penghasilan 75 juta bath dan memecahkan rekor sebagai film terlaris Thailand pada masa itu. Film ini juga sukses meraih penghargaan di Festival Film Independen Internasional di Belgia. Lalu Fun Bar Karaoke (1997) garapan Pen-Ek yang juga sukses komersil dan diputar di Berlin Film Festival.

Sukses 2499 ternyata memotivasi para produser dan pembuat film lainnya untuk berani kembali memproduksi film. Diantaranya yang sukses luar biasa adalah Nang Nak (1999) arahan Nonzee yang meraih 150 juta Bath, Satree Lek (2000) garapan Yongyuth Thongkhongtun yang meraih 99 juta Bath, Bangrajan (2000) garapan tanit Jitnukum yang meraih 134 juta Bath, serta film western unik, Tears of the Black Tiger (2000) garapan Wisit Sasanatieng yang sukses dan dipuji pengamat internasional. Sukses ini juga memicu dibangunnya bioskop multiplex dengan kapasitas besar di Kota Bangkok dan beberapa kota besar lainnya. Pihak kerajaan yang juga mulai ikut mengambil peran besar di industri film turut memproduksi, Suriyothai (2000) yang digarap sendiri oleh pangeran Chatree Chalern Yukon. Film ini tidak hanya film termahal Thailand yang pernah diproduksi namun juga film tersukses dengan meraih 700 juta Bath.

Era Milenium Baru hingga Kini

Sukses film-film di akhir milenium lalu ternyata berdampak banyak bagi perkembangan film di Thailand setelahnya. Film-film bergenre aksi, komedi, horor, epik sejarah, dan drama adalah genre yang terhitung sering diproduksi. Kadang bahkan beberapa diantaranya sukses di luar Thailand. Film independen sineas-sineas lokal juga unjuk gigi dengan film-filmnya yang mampu meraih penghargaan internasional bergengsi. Perfilman Thailand juga memiliki Bangkok International Film Festival yang digelar sejak tahun 2003, mengkompetisikan film-film terbaik pilihan dari seluruh dunia serta film-film dari wilayah Asia Tenggara.

Genre aksi di Thailand merupakan salah satu genre populer yang tidak hanya sukses domestik namun juga internasional. Bahkan tidak jarang meraih penghargaan internasional dan mendapat pujian kritikus luar. Aktor laga, Tony Jaa menjadi maskot film aksi bela diri berkat film-filmnya yang sukses bahkan dirilis dan dipuji banyak pengamat di Amerika. Ong-Bak (2003) menjadi film awal sukses Jaa disertai dua prekuelnya, Ong Bak 2 (2008) dan Ong Bak 3 (2010) walau tidak sesukses sebelumnya. Jaa juga bermain dalam film aksi bela diri, Tom-Yum-Goong (2005) yang sukses domestik bahkan menjadi film Thailand yang paling sukses di Amerika. Beberapa film aksi sejenis yang sukses antara lain, Kerd Ma Lui (2004) serta The Tiger Blade (2005). Lalu sukses diikuti pula film komedi aksi, The Bodyguard (2004) dan sekuelnya, The Bodyguard 2 (2007).

Beberapa film horor populer diproduksi di negeri Siam ini. Bangkok Haunted (2001) mengekor sukses, menjadi film horor terlaris kedua setelah Nang Nak. Film kompilasi ini digarap oleh sineas Hong Kong, Oxide Pang dan Pisut Praesangeam. Oxide bersama saudara kembarnya Danny Pang, menggarap film horor sukses lainnya, The Eye (2002). Shutter (2004) garapan Banjong Pisanthanakun dan Parkpoom Wongpoom sukses tak hanya domestik namun juga internasional. Dua film ini juga di-remakeoleh Hollywood beberapa tahun kemudian walau tak sebaik film aslinya. Beberapa film horor sukses lainnya antara lain, Dek Hor (2004), Art of the Devil(2004) garapan Tanit Jitnukul dan dua sekuelnya, Alone (2009) garapan Banjong dan Parkpoom yang meraih penghargaan internasional, lalu 4bia (2008) dan sekuelnya, Phobia 2 (2009)merupakan omnibus dari karya empat sineas.

Unsur komedi nyaris tidak lepas dari film-film Thailand apapun genrenya. Film komedi murni sendiri juga sukses, seperti The Holy Man (2005) dibintangi komedian Pongsak Pongsuwan yang sukses meraih 141 juta Bath. Pongsak juga bermain dalam film komedi sukses lainnya, antara lain Nong Teng Nakleng-pukaotong (2006) yang setting ceritanya mengambil era produksi film pertama Thailand, Nang Sao Suwan, lalu Teng and Nong: The Movie (2007) merajai box-ffice lokal sekalipun dinilai buruk di mata pengamat. Komedi unik bertema karma, Ahimsa: Stop to Run(2005) merupakan wakil Thailand di untuk film berbahasa asing di ajang Academy Awards. Beberapa film komedi remaja juga sukses besar, diantaranya First Love (2010) yang juga diputar di Shanghai International Film Festival, serta Suck Seed (2011), komedi musikal unik yang meraih 38,1 juta Bath hanya dalam seminggu rilisnya.

Setelah sukses Suriyothaidan Bangrajan, film bertema sejarah dengan bujet besar juga menjadi tren dan sukses. The King Maker (2005) diproduksi dengan bujet 250 juta Bath bekerja sama dengan studio luar dengan menggunakan dialog Inggris. Lalu proyek ambisius, seri King Naresuan merupakan seri lima film yang diarahkan oleh Pangeran Chatree Chalern Yukon yang konon total mencapai biaya 750 juta Bath, menjadikan film termahal Thailand yang pernah diproduksi. Seri pertama dan kedua dirilis tahun 2007 lalu dan mendapat respon sangat baik. Film bertema sejarah lainnya adalah The Tin Mine (2005) yang berkisah tentang penambangan di era pasca perang dunia kedua. King Naresuan part IIdan The Tin Mine menjadi wakil Thailand dalam ajang Academy Awards.

Genre drama juga menjadi favorit penonton dan beberapa diantaranya bahkan sukses di berbagai ajang festival luar. Fan Chan (2003) merupakan film drama roman yang disutradarai dan ditulis enam sineas sekaligus, dengan menggunakan iringan lagu-lagu pop masa itu film ini meraih 140 juta Bath yang merupakan film terlaris tahun tersebut. Lalu film drama musikal, Overture (2004) yang sukses meraih puluhan penghargaan lokal dan diputar di berbagai festival internasional. Lalu The Love of Siam(2005) yang menuai banyak pujian sekaligus kontroversi karena penggunaan tema sesama jenis. Tidak hanya sukses komersil namun film ini juga meraih puluhan penghargaan di ajang kompetisi lokal dan menjadi wakil Thailand di ajang Academy Awards. 

Film-film non mainstreamproduksi sineas lokal juga berjaya di banyak festival film di luar negeri. Dimotori Apichatpong Weerasethakul mengawali sukses internasional melalui Blissfully Yours (2002) yang sukses meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Apichatpong kembali sukses di ajang yang sama melalui Tropical Malady(2003) dan Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010). Pen-Ek Ratanaruang sejak Fun Bar Karaoke, film-filmnya mendapat perhatian pengamat luar, seperti Last Life in the Universe(2005), Ploy (2007), serta Nymph (2009).  Beberapa film juga diputar di berbagai festival film internasional, seperti I-san Special (2002) garapan Mingmongkol Sonakul dan Pleasure Factory (2007) garapan Ekacahi Uekrongtham.

Perkembangan sinema di Thailand sejak era silam tak bisa lepas dari unsur monarki, budhisme, dan nasionalisme. Tiga aspek ini yang membuat Sinema Thailand memiliki gaya dan keunikan sendiri. Sinema Thailand jelas tak bisa diremehkan dan ke depan rasanya mampu menjadi kekuatan besar di Asia sejajar dengan Jepang, Korea, India, dan Hong Kong.  


Himawan Pratista

Nang Nak


Kisah Horor tentang Kesetiaan

Tahun:  1999
Distributor : Tai Entertainment
Sutradara : Nonzee Nimibutr
Produser : Visute Poolvoralaks
Penulis Naskah : Wisit Sasanatieng
Pemain : Intira Jaroenpura, Winai Kraibutr
Ilustrasi Musik : Chartchai Pongprapapan, Pakkawat Vaiyavit
Sinematografi : Nattawut Kittikhun
Editing : Sunij Asavinikul
Durasi : 100 min

Nang Nak didasarkan legenda di Thailand berkisah tentang sepasang suami istri yang tinggal di pedalaman Thailand. Sang suami, Mak(Winai Kraibutr) harus meninggalkan Nak(Intira Jaroenpura) sang istri yang tengah hamil , untuk berperang. Nak sebenarnya tak rela Mak pergi. Setiap hari Nak menunggu kepulangan Mak dengan setia yang disajikan melalui montage sequence yang menarik hingga Nak yang tengah hamil kini telah menggendong bayinya.  Perubahan cerita dimulai ketika Mak pulang ke kampung halamannya. Intensitas ketegangan sedikit demi sedikit terus bertambah. Ketegangan memuncak ketika penonton tahu bahwa ternyata Nak sudah meninggal sewaktu ia melahirkan. Dan Mak ternyata tinggal bersama arwah Nak dan bayinya. 

Visualisasi yang meyakinkan membuat penonton sempat tak percaya bahwa sang istri telah meninggal karena adegan-adegan Nak bersama Mak di rumahnya terlihat begitu nyata seolah tak terjadi apa-apa. Perbedaan visualisasi sudut pandang yang membuat filmnya menarik, seperti ketika pimpinan biksu desa setempat datang menyambangi Mak, para biksu melihat kondisi dan suasana rumah yang kotor dan tak terawat sedangkan Mak justru melihat sebaliknya. Tidak seperti film horor kebanyakan, penonton juga dibuat bersimpati dan berempati dengan sang hantu. Nak tampak menderita dan terpojok,  tak tahu harus berbuat apa dan yang ia tahu adalah Nak mencintai dan tak mau lepas dari suaminya.

Nyaris tak ada bentuk hantu yang menakutkan namun cerita, suasana, dan nuansa yang dibangun cukup membuat bulu kuduk penonton merinding. Tercatat adegan yang paling mengerikan adalah ketika Nak masuk ke ruangan para budha yang sedang berdoa mengelilingi Mak. Nak tiba-tiba datang mengejutkan mereka dan berdiri di langit-langit diatas mereka dengan posisi terbalik sambil menggendong anaknya. Walaupun sosok Nak terlihat wajar namun posisi berdiri yang tidak wajar mampu membuat kengerian yang luar biasa.

Setting sangat mendukung cerita dengan membangun suasana mencekam. Pilihan setting di hutan belantara pedalaman Thailand yang kental dengan nuansa budaya lokal membuat suasananya lebih mistik. Ilustrasi musik juga menyatu dengan cerita dan tiap adegannya untuk menambah unsur ketegangan dan suasana yang mencekam.

Nang Nak merupakan kisah horor mencekam memadu dengan drama dan tragedi yang dikemas dengan baik. Tanpa sosok hantu yang menyeramkan film ini mampu menyajikan ketakutan serta kengerian luar biasa, yang jarang kita temui di film-film horor masa kini. Kisah Nak membawa pesan akan kesetiaan seorang istri pada sang suami, kesetiaan yang dibawa hingga liang kubur. Film ini secara spritual juga berbicara tentang arwah yang tersesat dan ia harus menyelesaikan masalah duniawinya sebelum menemukan ketenangan di alam baka. 

Agustinus Dwi Nugroho

Ong-Bak


Sang Naga dari Thailand

Film ini bercerita tentang sosok Ting (Tony Jaa), pemuda dari Desa Ban Nong Pradu. Desa ini diyakini akan terancam kekeringan dan dilanda bencana karena sebuah kepala patung buddha Ong-Bak telah hilang dicuri oleh orang kota. Dengan berbekal ilmu bela diri Thai Boxing yang telah lama ia latih bersama biksu, dan sedikit uang yang dikumpulkan oleh warga desa, Ting pergi mencari patung tersebut. Ting dibantu sepupunya, Hamle (Petchtai) untuk membantu melacak dimana patung Ong-Bak berada. Selama pencarian, Ting berulang-kali terlibat masalah akibat ulah sepupunya. Mereka harus berhadapan dengangangster danTing terlibat pertarungan sengit dengan para petarung-petarung underground.

Lupakan cerita! Seperti kebanyakan film aksi beladiri cerita bukan tujuan utama namun kelebihan Ong-Bak ada pada adegan-adegan aksinya yang khas. Thai Boxing dengan gaya bertarung unik dan luwes yang mengandalkan lutut dan sikut mampu dikoreografi dengan sangat menawan sehingga begitu indah dinikmati. Setiap scene aksi tarung memiliki warna yang berbeda dari outdoor hingga indoor, dari jalanan kota, bar, hingga kuil. Aspek sinematografi dan editing sangat mendukung kuat aksi-aksi pertarungan ini melalui kombinasi sudut dan jarak kamera, permainan slow-motion, serta cut yang efektif. Sebagai teknik andalan, terutama untuk gerakan-gerakan aksi sulit atau berbahaya, meminjam film-film aksi Hong Kong menggunakan teknik overlapping editing, yakni mengulangi sebuah shot dari beberapa sudut yang berbeda. Seperti segmen aksi ketika Ting dan Hamle dikejar-kejar para preman di gang-gang beberapa kali menggunakan teknik ini.

Tony Jaa adalah bintang dalam film ini. Keahliannya dalam beladiri khas Thailand benar-benar dimanfaatkan secara maksimal, push the limit. Tony memang terbilang aktor baru namun hanya berbekal kemampuannya ini ia menjadi bintang besar. Musik latar benuansa tradisional juga menjadi pendukung kuat filmnya sebagai pengiring adegan-adegan aksinya. Secara keseluruhan saya memberikan acungan jempol untuk Prachya Pinkaewkarena karena mampu menyuguhkan kemasan cerita yang pas untuk mendukung aksi-aksi spektakuler Tony Jaa. Kalau bisa dibandingkan dengan bintang-bintang laga di Asia, Tony Jaa terlihat mempunyai tiga karakter tokoh yang sebagai petarung terkenal di dunia film aksi Asia yaitu si legenda Bruce Lee, Jackie Chan dan Jet Li (kebetulan mereka bertiga juga merupakan idola Tony). Kecepatan, kelincahan serta ketangkasan dalam bertarung menjadi satu. Awesome

Anton Soegito 

First Love

Mengenang Cinta Pertama



Tahun : 2010
Sutradara : Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon / Wasin Pokpong
Produser : Somsak Tejcharattanaprasert / Panya Nirankol
Penulis Naskah : Putthiphong Promsakha na Sakon Nakhon/ Wasin Pokpong
Pemain : Mario Maurer/ Pimchanok Luevisetpaibool/ Sudarat Budtporm
Sinematografi : Reungwit Ramasudh
Ilustrasi Musik : -
Studio : Sahamongkol Film International/ Workpoint Entertainment
Distributor : Sahamongkol Film International/ Workpoint Entertainment
Durasi : 118 menit


Masih ingatkah masa-masa Anda mulai tertarik dengan sesorang dan jatuh cinta kepada seseorang? Masa dimana Anda akan melakukan berbagai hal untuk dapat menarik perhatian orang yang Anda sukai. Melakukan hal-hal childish, menjadi pribadi yang berbeda dan berpura-pura menyukai segala hal yang ia sukai. First Love aka Crazy Little Thing Called Love berani menawarkan roman remaja yang berbeda, cinta monyet para ABG yang mereka dapat tafsirkan sebagai first love.

Film ini mengisahkan seorang gadis remaja bernama Nam (Pimchanok Lerwisetpibol). Nam menyukai P�Shone (Mario Maurer), seniornya yang tampan dan menjadi idola di sekolahnya. Dengan wajah dan kepribadian yang biasa saja, Nam jelas bukan apa-apa dibanding para pesaingnya adalahgadis-gadis berparas ayu dan berbakat. Satu-satunya hal yang bisaia banggakan kemampuan bahasa Inggris. Dengan bantuan teman-temannya, dan sebuah buku yang berisi berbagai metode untuk mendapatkan hati seorang pria, Nam mulai melakukan berbagai perubahan pada dirinya, tanpa disadarinya ia menjadi pribadiyang lebih baik dari sebelumnya. Masalah menjadi semakin rumit ketika, Top (Acharanat Ariyaritwikol), sahabat P�Shone ternyata menyukai Nam.

Plot  filmnya sangatlah sederhana dan cenderung childish. Sama sederhana dan childishnya dengan pengalaman seseorang yang baru merasakan first love. Kisah cinta seperti apapun bentuknya tentu mampu menyentuh siapapun yang pernah merasakan jatuh cinta. Dengan jalan cerita yang teramat biasa keunggulan film ini bukan berada pada kisahnya. Namun naskah yang ditulis oleh dua sineas ini juga tidak bisa dibilang buruk karena mereka berhasil memadukan kisah yang sederhana dengan elemen komedi, terutama melalui dialog-dialog yang segar sepanjang film ini.  Namun sedikit kejanggalan cerita justru pada perubahan fisik Nam sendiri. Pencapaian make up-nya memang sangat baik sekali karena bisa menyulap Nam dari biasa menjadi begitu cantik dansulit dikenali. Semua ini bisa saja terjadi, tapi tak secepat dan sedrastis ini, tidak masuk akal dan akhirnya justru ini mengganggu plotnya itu sendiri.

Letak keberhasilan utama film ini adalah karena sang sineas berhasil mendapatkan jajaran pemeran utama yang mampu bermain dengan sangat baik menghidupkan setiap karakter yang mereka bawakan, yakni Pimchanok dan Mario. Mereka berhasil memerankan perannya dengan pas dan sangat baik sehingga tak heran jika mereka memenangkan beberapa penghargaan atas film ini, salah satunya menjadi pasangan bintang terbaik dalam MThai Awards 2011. Tak heran jika film ini sangat laris dan populer di kalangan remaja. 

Danthy Hardianty