Rabu, 30 April 2008

Dokumenter dan �Pembungkusnya�


Melakukan perjalanan dengan mencatat berbagai peristiwa melalui berbagai cara tentunya memiliki keasyikan tersendiri, Seperti yang dilakukan oleh Christopher Columbus sampai Ibnu Batuta, mereka memiliki jurnal perjalanan yang pada akhirnya menjadi bukti kehebatan sejarah kehidupan mereka, yaitu tentang filosofi dan keinginan mereka untuk menceritakan apa yang mereka lihat dan rasakan.

Perkembangan teknologi saat ini semakin memudahkan kita untuk saling berhubungan satu sama lain. Melalui foto atau video, kita dapat membuat catatan perjalanan dalam sebuah web log atau lebih dikenal dengan sebutan blogger, hingga catatan perjalanan itu bisa dibaca dan dilihat oleh banyak orang di seluruh dunia.

Kita tidak perlu melalukan perjalanan menuju Timbuktu atau Papua New Guinea seperti yang dilakukan Kira Salak seorang penulis traveling yang mendapatkan penghargaan dari National Geographic Emerging Explorer dan PEN Award, karena mendokumentasikan kisah perjalanan baik melalui tulisan, foto, ataupun video merupakan pengalaman personal masing-masing orang. Sekalipun kita sama-sama menuliskan perjalanan dari Jakarta ke Bandung, tentu saja gaya mengemas tulisan akan berbeda satu sama lain.

Mengapa orang melakukan catatan perjalanan baik dalam bentuk tulisan (blog), foto, maupun video, karena itu semua merupakan suatu usaha untuk �membungkus� kenangan atau menyimpan sejarah dari apa yang kita alami. Sewaktu melakukan perjalanan berkeliling Asia dan Eropa, selain melakukan penulisan dalam blog, saya juga melakukan dokumentasi dalam bentuk video untuk merekam setiap perjalanan yang saya tempuh. Membuat film dokumenter boleh dibilang gampang-gampang susah. Membuat film dokumenter diperlukan kepekaan insting yang kuat karena si pembuat film tidak mengolah set dan adegan. Semua kembali kepada sang sineas bagaimana ia mampu mengolah apa yang ia lihat melalui teknik-teknik bahasa visual yang bisa mewujudkan apa yang ia rasakan dan lihat.

Film dokumenter boleh jadi tidak semurni yang kita tonton. Entah banyak atau sedikit, selalu ada faktor �tangan-tangan� sineas yang mengolah rupa �adegan� sesuai tuntutan yang ada. Ide untuk membuat film dokumenter yang mendekati realitas bisa kita ambil contoh dari karya Martin Kunert dan Eric Manes: Voices of Iraq, dimana 150 buah kamera DV dikirim ke Iraq semasa perang berlangsung, lalu dibagikan kepada warga Irak untuk merekam diri mereka sendiri tanpa campur tangan dari sineas.

Cara yang unik dalam kasus diatas juga dilakukan stasiun TV Hongkong (RHTK). Saat mereka mengolah sebuah traveling show di kota-kota menarik di Asia, cara yang mereka lakukan agar lebih masuk ke kultur bersangkutan adalah dengan memakai host (pembawa acara) setempat. Dan ketika saya yang saat itu menjadi host mereka di Yogyakarta mengenalkan kota ini lewat acara tersebut, saya tidak menyangka melihat hasilnya yang berlawanan sekali dengan prinsip dokumenter yang menuntut realisme, lantaran film tersebut seluruh dialognya tidak memakai bahasa setempat. Bisa anda saksikan tayangan tersebut di streaming internet (http://www.rthk.org.hk/rthk/tv/journey/20081227.html) bagaimana saya dan tukang angkringan berbahasa cantonese dengan fasihnya. Ah...ada-ada saja.

Andrei Budiman

Selasa, 29 April 2008

Miniatur


Sinema dokumenter kerap diperlawankan dengan sinema fiktif, tersebab ambisinya yang ingin menghadirkan realita tanpa tipu-daya. Setiap citra optik maupun akustik yang muncul di depan kamera dikekalkan hadirnya. Demikian ini turut memberikan anggapan: tiadanya campur tangan sineas untuk membangun realita ke dalam sebuah cerita. Daya ungkapnya menyaran pengungkapan sesuatu sebagaimana rupanya, �les choses telles qu�elles sont� atau �cin�ma verit��, atau sinema yang sebenarnya.

Sebagai suatu yang nonfiktif, hakikat sinema dokumenter bersifat hablur manakala seseorang membandingkannya dengan dokumentasi dalam bentuk reportase � la televisi. Kenyataan ini turut menjauhkan posisinya yang nonfiksi dari sinema fiksi. Guna menepis pandangan tersebut kemudian diyakini: keduanya disandingkan sebagai ekspresi seni yang menyaran adanya kode naratif yang spesifik, bukan sekedar sekumpulan informasi. Melalui tangan sineas, obyek tangkapan kamera tidak mesti suatu materi terpilih. Ia berbentuk apa saja dan berasal bukan dari dirinya.

Pelbagai obyek yang tertangkap oleh kamera kemudian direkonstruksi untuk membangun sebuah cerita. Terkadang obyek yang dihadirkannya pun merupakan suatu yang biasa, seperti dalam �Les Glaneurs et la Glaneuse� (2000) besutan Agnes Varda. Obyek perhatiannya tidak memenuhi standar estetik galibnya: para pengais sisa palawija usai panen, pengais sisa makanan di tempat sampah dan seniman yang memanfaatkan sampah sebagai medium ekspresinya. Tentu saja pemilihan obyek tersebut tidak menyaran apa yang menjadi perhatian orang banyak; namun bagaimana memerlakukan obyek yang tidak berharga tersebut dapat diringkus ke dalam sebuah cerita.

Realita yang ditangkap oleh Varda hanyalah seklumit cerita yang ingin ia hadirkan selama dalam perjalanannya mengunjungi kota-kota di Prancis. Realita yang terekam tersebut kemudian disunting sedemikian rupa. Sesuatu yang remeh pun bisa juga mengisi ruang kosong cerita. Goyangan tali kamera yang tidak sengaja tertangkap oleh Varda bisa pula dimampatkan ke dalam cerita.

Perjalanan Timothy Treadwell yang terangkum dalam �Grizzly Man� (2005) awalnya cuma kisahnya mengarungi alam liar Alaska. Sampai dia dan teman wanitanya tewas tercabik oleh cakar tajam beruang Grizzly, sekumpulan informasi tersebut kemudian disusun oleh Herzog sebagai dokumentasi yang berharga. Herzog karuan tidak turun terlibat sebagai pengarah adegan atau penyusun skenarionya. Perannya di situ cuma mereka ulang apa yang didapat oleh Treadwell selama 5 tahun menjelajahi Alaska lewat 100 jam dokumen-gambar yang dibuatnya. Herzog kemudian menyunting dokumen tersebut menjadi sebuah struktur yang baru. Saksi hidup juga ia tampilkan untuk menyambung struktur yang terputus, baik dari sanak-familinya, pilot heli yang kerap mengantarnya, sampai dokter yang melakukan visum atas diri Treadwell. Herzog barangkali sadar: sinema dokumenter tidak terlahir dari rencana matang. Ia bisa dibikin dari dokumen-gambar milik orang lain yang tidak pernah ia kenal sebelumnya juga dari pelihatan singkat Varda selama perjalanannya. Dan mereka ingin mengabadikannya.

Sinema dokumenter terbangun dari anggapan awal untuk menghadirkan realita sebagaimana rupanya; namun hal ini kemudian bersifat cair sewaktu realita dan fiksi bergabung membentuk struktur baru dalam �Hiroshima Mon Amour� (1959), besutan Alain Resnais. Keduanya hadir seolah tidak menyisakan ruang kosong untuk bisa dibedakan secara terang. Kilas balik yang digunakan Resnais dalam penceritaan menyaran kilatan ingatan atas peristiwa yang menewaskan ratusan ribu orang itu; dengan memadukan antara fiksi dan realita. Tidak pelak teknik Resnais ini untuk menyuguhkan kedua hal yang berlawanan tadi menyaran sebentuk isyarat untuk berjarak terhadap realita yang terserak di depan kamera: antara kehancuran Hiroshima pascaperang Dunia II dan beban psikologis orang-orang yang mengalaminya, terwakilkan oleh potret buram para korban. Penceritaan kemudian beralih pada percintaan sepasang sejoli yang sedang kasmaran. Kombinasi demikian turut menggulirkan pertanyaan sewaktu suatu yang bersifat universal (penderitaan) bercampur dengan suatu yang partikular (percintaan).

Untuk yang kesekian kali Resnais berkesempatan mengadaptasi novel bergenre �nouveau roman�, karya Marguerite Duras yang bertajuk sama. Yang dibincangkan kemudian tidak menyaran proses adaptasi dari teks ke citra; namun hanya sedikit struktur metabahasa yang akan dicerabut perlahan, melalui hadirnya tokoh yang anonim �Elle� (dia, persona kedua wanita-tunggal) dan �Lui� (dia, persona kedua pria-tunggal) dan ruang intim (kamar) sebagai manifestasi dari sikap keberjarakan.

Tokoh anonim �Elle� dan �Lui� secara tidak langsung bermakna ia-dan-bukan-ia. Persona tersebut bisa menunjuk siapa saja. �Elle� memang seorang perawat asal Navers, Prancis yang diperbantukan pascaperang dan �Lui� seorang Jepang yang kemudian jatuh cinta kepadanya, �Elle�. Tokoh anonim tadi seakan menetap dalam narasi untuk sekedar menunjuk sepenggal drama eksistensial manusia sewaktu berhadapan dengan derita yang tidak bernama. Ia bisa menimpa siapa saja. Kehadiran derita di antara puing-puing eksistensi tadi (Elle dan Lui) bukan merupakan suatu yang bersifat negatif maupun positif bagi keduanya; namun sikap mereka terhadap derita selalu bersitegang. Simbolisasi linguistik atas dua tokoh anonim tadi menunjuk posisi manusia di hadapan sesuatu (derita), yang bermakna pula tidak memihak. Oposisi cinta dan derita merupakan suatu yang serius, seperti halnya kata kerja mengingat dan melupakan. Dua tokoh anonim tadi kemudian simbolisasi dari ketidakberdayaan manusia di hadapan derita yang menyaran semacam sikap keberjarakan.

Resepsi kita terhadap kilas balik singkat yang memperlihatkan kondisi para korban pada waktu prolog, kemudian runtuh sewaktu penceritaan mengambil posisi kedua tokoh anonim tadi. Keberjarakan yang disarankan oleh kedua tokoh anonim tadi menyaran suatu ruang yang intim; di mana segala sesuatu bermula: sebuah kamar. Latar yang tadinya merujuk suatu ruang luas bertransformasi menjadi sebuah ruang sempit yang bisa memengaruhi orang untuk berpikir kembali mengenai tempat. Potret para korban Hiroshima yang memilukan bertukar posisi dengan potret dua sejoli di sebuah kamar.

Kamar merupakan ruang intim ketika kedua tokoh anonim yang dilanda cinta tadi saling berujar dan bertanya baik melalui dialog maupun monolog tanpa rupa, mengenai derita yang mereka ingin hayati bersama. Citra jendela dan daun pintu kemudian muncul. Kedua citra tersebut merupakan bagian elemen kamar. Keduanya menjalin relasi keberjarakan, antara kata kerja mengingat dan melupakan. Jendela menyaran pelihatan terhadap suatu yang jauh, sedangkan pintu menyaran jalan untuk pergi dan meninggalkan. Kedua sikap yang terwakilkan oleh elemen rumah tadi terus bersitegang. Hanya �Elle� sempat berujar pada �Lui�: �Seperti halnya dirimu, aku pun berjerih payah untuk melupakan semua dengan segenap kekuatanku. Seperti halnya dirimu, aku telah melupakan. Seperti halnya dirimu, kucoba rengkuh kembali ingatan yang mengganggu itu, ingatan akan bayang-bayang dan serak batu�.

F. Taftazani

Senin, 21 April 2008

Keindahan Barangkali

Keindahan adalah sebentuk gelisah. Seseorang akan ragu dan dengan lugu bertanya: bagaimana menilai pispot Duchamp sebagai karya instalasi di sebuah galeri di New York atau sekerat daging-nya Danarto di TIM sebagai bait puisi? Keindahan lalu bertampuk di antara gayutan warna pelangi dan warna senja . Sewaktu seorang buta hendak mengetahui apa warna baju yang dikenakannya; seseorang mesti luput menerangkan definisi warna-warna kepadanya. Pun, dari 64 bit warna yang dikenal, galibnya hanya terdiri dari tiga warna dasar. Menerangkan warna pelangi lewat tiga warna tersebut, serasa cukup aneh juga. Menerangkan hal ini pun kerap melantunkan nada getir juga sepi. Bukankah konsep tersebut tetap berpijak pada perspektif ia yang bercerita? Keindahan akhirnya terus dirangkai sebagai obyektivikasi atas benda seni yang berwarna sepia. Demikian sesal tumpah; seniman merasa terlambat telah terlahirkan ke dunia: semua telah terkatakan, igau Sartre. Alih-alih menghadirkan suatu yang indah terletak pada pemilihan obyek, demikian seniman terus mencari cara bertutur untuk menyingkap kualitas pada setiap benda.

Estetika sebagai penilai kualitas benda seni kembali dibincangkan sebagai pewarta pengalaman manusia. Serupa bentuk penghayatan atas apa dan peristiwa, ada semacam kehendak bagi seseorang untuk melanjutkan pengalaman lain dalam bentuk yang berbeda. Yang akan dilaluinya rupanya tidak menyertakan nalar sebagai penentu kualitas benda. Nalar hanya berfungsi sebagai penimbang kuantitas benda. Sensibilitas yang partikular lalu berperan sebagai penilai sesuatu yang abstrak tersebut. Pun, bagaimana seseorang menempatkan sensibilitasnya yang partikular? Sisi lain, ia mengabaikan tanggapannya yang biasa di luar sensibilitas dimaksud? Menilai benda seni adalah satu hal; namun menghayati nilainya kemudian suatu yang lain. Sensibilitas lalu disertakan sebagai suatu yang metafisik dan tidak teraba. Pengalaman atau referensi yang bersifat individual lalu menjadi titik beranjak untuk menghayati benda seni. Pengalaman estetik lalu hadir dalam diri si penghayat sewaktu nilai yang terungkap pada benda seni bertutur suatu yang lain.

Sebagai tindak ekspresi, sinema beranjak dari saran citra. Atas peran teknologi, citra akustik lalu mengisi gigir diapositif di era sinema bersuara. Citra optik dan akustik lalu membentuk komposisi atau narasi. Ia lalu bercerita: tentang apa juga siapa.

Formalis Russia semacam Eisenstein menyarankan mestinya ada keutuhan antara obyek dan representasi dalam jalinan cerita; sembari menyertakan diagram triadik Saussurian sebagai pemahaman awal aksi-komunikasi dalam semesta bahasa: signifiant-signifi�-r�ferent. Sebentuk obyek menjalin asosiasi dengan obyek lainnya. Jalinan tersebut kemudian mengacu representasi utuh mengenai suatu benda. Kelindan kedua obyek yang secara arbitraire atau semena-mena tersebut kemudian dianggap mewakili sesuatu yang tidak terbahasakan lewat aksi-visualisasi biasa. Antara citra air sebagai signifiant dan citra gerak pupil mata sebagai signifi� merupakan r�ferent dari tangis ataupun isak. Sepucuk bunga sebagai penanda dan sesayat luka sebagai petanda menyajikan: simpul keindahan adalah sewaktu seseorang selalu luput menangkap rupa pada setiap benda yang dijumpainya. Bahasa sinematografis lalu dimanfaatkan: close-up, long take dan lain sebagainya.

Jika editing hanya menggabungkan pelbagai citra menjadi sebait narasi; penyelarasan (montage) memanfaatkan sisi puitik dan ekspresif citra awal yang masih mentah. Citra-citra ini kemudian terjalin secara naratif menjadi suatu yang berbeda. Upaya ini turut menyajikan bahasa metaforis atau kiasan dalam jalinan citra. Ketidaklangsungan dalam pengucapan ini kemudian menjadi pilihan bagi sineas untuk menjelaskan sesuatu. Pemirsa tidak diajak untuk menyanjungkan sesuatu yang bersifat definitif; namun pemirsa diundang untuk duduk satu meja dan berbincang dengannya. Pemahaman semacam ini menyaran relasi refleksif antara pemirsa dan sinema yang tersajikan di hadapannya.

Keindahan dan sesuatu yang belum selesai. Mencari jawab: apakah sinema sebagai fiksi atau nyata justru menjauhkan apa yang disampaikan olehnya pada pemirsa. Demikian sewaktu kisah fiktif memiliki kemiripan dengan kisah nyata; sinema kemudian tidak terlahir piatu. Ada relasi antara sineas dan kreasinya yang terenggut secara perlahan. Hanya ada relasi antara sinema dan pemirsanya. Horison harapan lalu muncul sebagai tanggapan dari pemirsa atas apa yang tersajikan di hadapannya. Pemirsa misalnya berupaya untuk mengaitkan konsep cinta sebagai siapa (qui) dan konsep cinta sebagai apa (quoi) dalam �Ada Apa dengan Cinta�.

Membincangkannya hanya akan mengurai definisi yang bersifat klise dan biasa. Sineas rupanya telah menyesal telah lahir ke dunia sewaktu injury time. Alih-alih semua telah terkatakan, memahami konsep cinta dari perspektif berbeda justru menyisakan sebentuk tegangan. Oposisi biner antara kedua hal tadi menjadi awalan untuk mencari jawab yang memadai. Cinta sebagai apa termanifestasikan sebagai singularitas absolut: �Aku mencintaimu sebab itu adalah kamu�. Aku mencintaimu sebab itulah dirimu. Sebaliknya, cinta sebagai siapa menyaran singularitas absolut beserta fakultas-fakultasnya: cantik, semampai, elok, pintar maupun serasi jika dipandang.

Memahami konsep cinta sebagai apa rupanya niskala untuk dibicarakan. Ia hanya menyajikan sikap intuitif yang menyaran aktivitas: mencari atau menemukan. Konsep tersebut lalu gugur sewaktu cinta diawali oleh munculnya berahi dan bujuk rayu. Cinta kemudian berlanjut dengan ungkapan yang menyaran penghambaan tubuh serta kualitas-kualitas lain yang dimiliki oleh seseorang.

Dua hal menjadi titik pusat: cinta yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo dan konsep cinta yang menyaran tema cerita. �AADC� kemudian menyanjung tajuk yang bersifat mendua. Cinta sebagai pemeran cerita menyanjung cinta sebagai subyek partikular yang dihasratkan oleh Rangga. Cinta sebagai tema cerita menyingkapkan adanya suatu hal atau persitiwa dalam konsep cinta: pertemuan dan perpisahan. Cinta yang pertama mengacu subyek partikular yang terimbas identitas: nama. Cinta yang kedua menyertakan konsep yang diyakini keberadaannya bagi mereka yang sedang dan telah melaluinya.

Antara cinta pertama dan kedua kemudian muncul sikap mendua; sewaktu keduanya dihadirkan secara bersama-sama. Konsep cinta sebagai penanda berjalin dengan si Cinta sebagai petanda. Jalinan semacam ini kemudian membentuk citra tujuan yang utuh: si cinta sedang jatuh cinta. Sewaktu si cinta terabuk oleh asmara, ada pelbagai peristiwa yang melatarinya: pertemuan dan perpisahan. Sesaat cinta hadir, pelbagai hal muncul sebagai konsekuensi kedua hal tadi: antara benci, rindu hingga cemburu. Ketika kesemuanya hadir: apakah Rangga dan si Cinta memahami konsekuensinya? Bagaimana menerangkan pertemuan jika mesti ada perpisahan? Ataukah keberlanjutan perpisahan hadir sewaktu ada pertemuan lainnya? Definisi cinta dan pemahaman si Cinta lalu berbalik kepada dirinya sendiri. Si Cinta selalu luput terpahami sewaktu ia sedang jatuh cinta; sedangkan cinta masih berwujud suatu yang terus dicari. 

F. Taftazani