Rabu, 23 Juni 2010

Editor's Fresh Review




Oblivion (B)
Olympus Has Fallen (C)
The Croods (B)
Oz the Great and Powerful (D)
Jack the Giant Slayer (B)
Zero Dark Thirty (A)
Djanggo Unchained (B-)
Mama (B)
A Good Day to Die Hard (F)

Review Film Indonesia


Kolom ini kami khususkan untuk ulasan film Indonesia yang ditulis baik oleh anggota dan kontributor kami serta penulis luar. Ulasan film-film Indonesia pada edisi terdahulu (kecuali edisi terbaru) baik yang telah dicetak maupun tidak dalam buletin, kami sertakan pula dalam kolom ini. Kami mengajak para pembaca untuk turut berpartisipasi mengisi kolom ini. Semoga ulasan-ulasan di kolom ini mampu memberi masukan yang berarti bagi perkembangan sinema kita. (Kolom Review Film Indonesia)

Sabtu, 01 Mei 2010

Sekilas Sejarah Film Indonesia


Awal Sinema Indonesia (1926-1949)

Pada masa penjajahan Belanda sekitar tahun 1900-an masyarakat kita sudah mengenal adanya film atau yang lebih dikenal dengan �Gambar Hidoep�. Hal ini dibuktikan dengan adanya koran Bintang Betawi No.278, 5 Desember 1900 yang memuat iklan bioskop. Seni pertunjukkan film pada masa itu diselenggarakan oleh orang Belanda. Jenis bioskop terbagi menjadi tiga golongan berdasarkan status penonton, yaitu bioskop untuk orang Eropa, bioskop orang menengah, dan golongan orang pinggiran. Pada tahun 1925 sebuah artikel di koran masa itu, De Locomotif, memberi usulan untuk membuat film. Pada tahun 1926 dua orang Belanda bernama L. Heuveldorp dan G.Kruger mendirikan perusahaan film, Java Film Coy di Bandung dan pada tahun yang sama mereka memproduksi film pertamanya berjudul Loetoeng Kasarung (1926), yang diangkat dari legenda Sunda. Film ini tercatat sebagai film pertama yang diproduksi di Indonesia dan ini dianggap sebagai sejarah awal perfilman Indonesia. Film ini diputar perdana pada 31 Desember 1926. Film berikutnya yang diproduksi adalah Eulis Atjih (1927) berkisah tentang istri yang disia-siakan oleh suaminya yang suka foya-foya.

Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan studio film yang dinominasi oleh orang-orang Cina. Pada tahun 1928 Wong Brothers dari Cina (Nelson Wong, Joshua Wong, dan Othniel Wong) mendirikan perusahaan film bernama Halimun Film dan memproduksi film pertamanya Lily Van Java (1928). Film ini berkisah tentang seorang gadis Cina yang dipaksa untuk menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya, padahal ia telah memiliki kekasih. Film ini sendiri kurang disukai oleh penonton pada masa itu. Wong Brothers akhirnya mendirikan perusahaan film baru bernama Batavia Film. Selain Wong Brothers, ada pula Tan�s Film, Nansing Film dan perusahaan milik Tan Boen Swan. Nansing Film dan perusahaan Tan Boen Swan memproduksi Resia Borobudur (1928) dan Setangan Berloemoer Darah (1928).

Setelah L.Heuveldorp menarik diri, G.Kruger mendirikan perusahaan film sendiri bernama Kruger Filmbedriff, yang memproduksi, Karnadi Anemer Bangkong (1930) dan Atma De Visher (1931). Selain itu orang Belanda lainnya yaitu F.Carli yang mendirikan perusahaan film bernama Cosmos Film Corp atau Kinowerk Carli yang memproduksi De Stem des Bloed (Nyai Siti, 1930) yang berkisah mengenai orang Indo, lalu juga Karina�s Zelfopoffering (1932). Sedangkan Tan�s Film dan Batavia Film pada tahun 1930 memproduksi Nyai Dasima (1930), Si Tjonat (1930), Sedangkan Halimun film memproduksi Lari Ke Arab (1930).

Masuk era film bicara, tercatat dua film tercatat sebagai film bicara Indonesia pertama adalah Nyai Dasima (1931) yang di-remake oleh Tan�s Film serta Zuster Theresia (1931) produksi Halimun Film. Masa ini juga muncul The Teng Chun yang mendirikan perusahaan The Teng Chun �Cino Motion Pict� dan memproduksi Boenga Roos dari Tjikembang(1931) dan Sam Pek Eng Tai (1931). Sasarannya adalah orang-orang Cina dan kisahnya pun masih berbau budaya Cina. Sementara Wong Brothers juga memproduksi Tjo Speelt Voor de Film (1931). Sedangkan Kruger dan Tans�s berkolaborasi memproduksi Terpaksa Menikah (1932). Di penghujung tahun 1932 beredar rumor kuat akan didirikan perusahaan film asal Amerika. Semua produser menjadi takut karena tak akan bisa menyaingi dan akhirnya Carli, Kruger dan Tan�s Film berhenti untuk memproduksi film. Studio yang masih bertahan adalah Cino Motion Picture.

Beberapa tahun setelahnya muncul seorang wartawan Albert Balink yang mendirikan perusahaan Java Pasific Film dan bersama Wong Brothers memproduksi Pareh (1935). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Balink dan Wong akhirnya sama-sama bangkrut. Pada tahun 1937, Balink mendirikan studio film modern di daerah Polonia Batavia yang bernama ANIF (Algemeene Nederland Indie Film Syndicaat) dan memproduksi Terang Boelan/Het Eilan der Droomen (1937). Film ini berkisah tentang lika-liku dua orang kekasih di sebuah tempat bernama Sawoba. Sawoba adalah sebuah tempat khayalan yang merupakan singkatan dari SA(eroen), Wo(ng), BA(link) yang tak lain adalah nama-nama penulis naskah, penata kamera, editor, dan sutradaranya sendiri. Walau meniru gaya film Hollywood The Jungle Princess (1936) yang diperankan Dorothy Lamoure namun film ini memasukkan unsur lokal seperti musik keroncong serta lelucon yang diadaptasi dari seni panggung. Film ini sukses secara komersil dan distribusinya bahkan sampai ke Singapura. Pemeran utama wanitanya, Rockiah setelah bermain di film ini menjadi bintang film paling terkenal pada masa itu. Kala ini Terang Boelan (1937) adalah film yang amat populer sehingga banyak perusahaan yang menggunakan resep cerita yang sama.

Pada tahun 1939 banyak bermunculan studio-studio baru seperti, Oriental Film, Mayestic Film, Populer Film, Union Film, dan Standard Film. Film-film populer yang muncul antara lain Alang-alang (1939) dan Rentjong Atjeh (1940). Pada masa ini pula kaum pribumi mulai diberi kesempatan untuk menjadi sutradara yang perannya hanya sebagai pelatih akting dan dialog. Justru yang paling berkuasa pada masa itu adalah penata kamera yang didominasi orang Cina. Pada era ini pula muncul kritik dari kalangan intelek untuk membuat film yang lebih berkualitas yang dijawab melalui film, Djantoeng Hati (1941) dan Asmara Moerni (1941). Para pemain dari kedua film ini didominasi kaum terpelajar namun karena dirasa terlalu berat, para produsen film akhirnya kembali ke tren awal melalui film-film ringan seperti Serigala Item (1941), Tengkorak Hidup (1941).

 Pada akhir tahun 1941, Jepang menguasai Indonesia. Semua studio film ditutup dan dijadikan media propaganda perang oleh Jepang. Jepang mendirikan studio film yang bernama Nippon Eiga Sha. Studio ini banyak memproduksi film dokumenter untuk propaganda perang. Sementara film cerita yang diproduksi antara lain Berdjoang (1943) yang disutradarai oleh seorang pribumi, Rd. Arifin namun didampingi oleh sutradara Jepang, Bunjin Kurata. Pasca kemerdekaan RI pada tahun 1945, studio film milik Jepang yang sudah menjadi kementerian RI direbut oleh Belanda dan berganti nama Multi Film. Film-film yang diproduksi antara lain Djauh Dimata (1948) dan Gadis Desa (1948) yang diarahkan oleh Andjar Asmara. Di era ini pula muncul nama Usmar Ismail yang kelak akan menjadi pelopor gerakan film nasional. Pada tahun ini pula, 1949, para produser Cina lama mulai berani mendirikan studio lagi. The Theng Chun dan Fred Young mendirikan Bintang Surabaja. Tan Koen Youw bersama Wong mendirikan Tan & Wong Bros. Salah satu film produksi Tan & Wong Bros yang populer adalah Air Mata Mengalir Di Tjitarum (1948).

Era 1950-1980an

Pada tahun 1950 dibentuklah Perfini (Perusahaan Film Nasional). Perfini merupakan perusahaan film pertama milik pribumi. Beberapa bulan kemudian dibentuk pula Persani (Perseroan Artis Indonesia).  Film pertama produksi Perfini adalah Long March Of Siliwangi atau Darah dan Doa (1950) yang disutradarai oleh Usmar Ismail. Syuting pertama film film ini tanggal 30 Maret 1950, kelak ini dijadikan sebagai hari film nasional. Sementara produksi besar lainnya adalah �Dosa Tak Berampun� (1951). Dalam dua tahun saja, Persani telah memiliki studio yang mewah dan megah. Studio ini merupakan studio film terbesar di Indonesia kala itu. Usmar Ismail dan Djamaludin Malik nantinya akan ditetapkan sebagai Bapak Perfilman Nasional (resmi pada tahun 1999).

Antara tahun 1954-1955 Perfini mengalami krisis finansial. Film arahan sutradara Usmar Ismail, Krisis (1953) walau sukses komersil namun tetap saja tak mampu menutup hutang bank. Pada masa ini pula muncul kritik terhadap film-film produksi studio milik orang Cina yang memproduksi film bermutu sangat rendah. Salah satunya adalah film Tans & Wong berjudul Topeng Besi (1953) yang diproduksi dengan biaya sangat murah. Namun di sisi lain, film-film dalam negeri juga bisa mulai bersaing dengan film-film impor dari Malaysia, Filipina, dan India.

Pada Tahun 1954, Usmar dan Djamaludin mempelopori berdirinya PPFI (Persatuan Perusahaan Film Nasional), lalu juga menjadi anggota FPA (Federatuion Of Motion Picture Produsers in Asia). Persani dan Perfini bersama-sama memproduksi film Lewat Djam Malam (1954) disutradarai oleh Usmar Ismail. Film ini bercerita tentang mantan pejuang kemerdekaan yang menghadapi kekecewaan terhadap orang-orang seperjuangannya yang berubah menjadi seseorang yang tidak mewujudkan cita-cita kemerdekaan yang telah mereka perjuangkan dengan susah payah. Konon film ini akan dikirim ke Festival Film Asia di Tokyo namun pemerintah Indonesia melarang karena masa itu kita tengah konflik dengan pemerintah Jepang.
 Pada tahun 1955 PPFI untuk pertama kalinya menyelenggarakan Festival Film Indonesia (FFI) tercatat merupakan festival film pertama yang diselenggarakan di tanah air. Terpilih film terbaik adalah Lewat Djam Malam (1954). Namun sayangnya Usmar Ismail tidak mendapat penghargaan apa pun dalam ajang ini. Film ini rencananya akan diputar di festival film Cannes pada 16-27 Mei 2012 setelah direstorasi penuh. Pada tahun 1955 film produksi Perfini Tamu Agung (1955) mendapat penghargaan  khusus komedi terbaik pada ajang bergengsi Festival Film Asia.

Sejarah juga mencatat awal bulan Maret tahun 1956 para pemain dan pekerja film membentuk PARFI (Persatuan Artis Film Nasional). Pada tahun 1957, PPFI memutuskan untuk menutup studio film mereka karena tak ada dukungan dari pemerintah kala itu. Djamaludin Malik ditangkap tanpa alasan yang jelas. Studio Perfini disita bank karena tidak mampu membayar hutang. Setelah diadakan perundingan dengan pemerintah pada tanggal 26 April 1957 akhirnya studio dibuka kembali. Namun kondisinya tidak seperti dulu dan kondisi perfilman nasional menjadi lumpuh. Hasil negoisasi dengan pemerintah berupa janji pemerintah akan adanya kementerian khusus untuk membina para insan film baru dipenuhi pemerintah 7 tahun setelahnya.

 Pada masa bersamaan sekitar tahun 1957 kondisi politik di Indonesia didominasi golongan komunis PKI atau sering disebut golongan kiri. Golongan kiri juga ingin menguasai dunia perfilman kala itu. Mereka mendirikan Sarfubis (Sarikat Buruh Film dan Sandiwara) namun kelompok ini tidak efektif di pasaran. Kala itu juga terjadi pertikaian antara PARFI dan golongan kiri. Usmar Ismail  dan Djamaludin Malik sangat antipati dengan komunis. Sementara golongan kiri mengganggap kematian film nasional disebabkan impor film Amerika ke Indonesia. Golongan kiri juga menuduh Usmar Ismail sebagai agen Amerika. Walaupun kondisi perfilman Nasional semakin krisis, beberapa film masih diproduksi. Usmar Ismail pada tahun 1956 mengarahkan Tiga Dara(1957) yang dirilis setahun setelahnya.

Pada tahun 1960-an dunia perfilman di Indonesia pecah menjadi dua blok, yakni golongan Usmar dan rekan-rekannya dengan golongan kiri. Pada tahun 1962, Djamaludin Malik yang telah bebas dari penjara, menyelenggarakan FFI yang kedua serta mendirikan LESBUMI (Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia) dengan Ketua Umum Usmar Ismail. Film-film populer yang muncul di masa pelik ini antara lain Pedjoang (1960) dan Anak-anak Revolusi (1964) karya Usmar Ismail. Pada tahun 1961, Pedjoang mendapat penghargaan pemeran pria terbaik (Bambang Hermantpo) di ajang Festival Film International di Moskow. Film fenomenal lainnya adalah Pagar Kawat Berduri (1961) dan Tauhid (1964) karya Asrul Sani. Golongan kiri menuntut agar film Pagar Kawat Berduri (1961) ditarik dari peredaran, karena dianggap dapat membuat orang bersimpati pada Belanda. Lalu juga ada Piso Surit (1960) dan Violtta (1962) karya Bahctiar Siagian, serta Matjan Kemayoran (1965) karya Wim Umboh.

Pada tahun 1964 untuk pertama kalinya diadakan Festival Film Asia Afrika (FFAA) di Jakarta. Golongan kiri yang menguasai seluruh kepanitiaan FFAA mencetuskan berdirinya PAPFIAS (Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika). Tujuan PARFIAS adalah melarang beredarnya film-film produksi Amerika dan sekutunya di bioskop-bioskop Indonesia. Kondisi ini membuat bioskop-bioskop lokal dipenuhi film-film asing dari Rusia, Eropa Timur, dan RRC. PARFIAS sendiri juga tak mampu menggangkat perfilman Indonesia, sehingga kondisi bioskop kala itu sepi pengunjung.

Setelah PKI ditumpas,kondisi industry film kita sedang mati suri maka untuk mengangkat perfilman nasional, sejak tahun 1967, kementerian penerangan mulai bersungguh-sungguh melaksanakan tugasnya. Hasilnya, film-film lokal bergairah kembali. Tahun 1967, Wim Umboh memproduksi film berwarna Indonesia pertama yang berjudul Sembilan (1967) yang diproduksi dengan biaya sangat tinggi. Tahun 1969 pemerintah juga memproduksi film-film percontohan yang diharapkan dapat mengangkat perfilman nasional, seperti Apa Jang kau Tjari Palupi?(1969) karya Asrul Sani, Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) karya Lilik Sudjio, Mat Dower (1969) karya Nya Abbas Acup, Nyi Ronggeng (1969) dan Kutukan Dewata (1969) karya Alam Surawidjaya. Hasilnya ternyata cukup positif, pada tahun 1969 produksi film hanya 9 judul, tahun 1970 meningkat menjadi 20 judul, dan tahun 1971 meningkat menjadi 52 judul. Awal tahun 70-an, tokoh-tokoh film nasional seperti Usmar Ismail dan Djamaludin Malik telah tiada. Djamaludin Malik meninggal pada Juni 1970 dan tak lama kemudian Usmar Ismail juga berpulang.

Tahun 1970 muncul desakan kepada pemerintah dari industri perfilman agar sensor terhadap film Indonesia dilonggarkan seperti perlakuan pada film-film impor. Maka muncul film-film yang memasukkan unsur erotisme seperti Djambang Mentjari Naga Hitam (1968) dan Bernafas Dalam Lumpur (1970). Kedua film yang juga telah diproduksi berwarna ini ini merupakan pelopor dari film-film yang mengutamakan adegan berbau seksual dan penuh dengan adegan aksi yang kejam. Namun pada akhir tahun 1972, Badan Sensor Film kembali bersikap tegas terhadap film-film yang berbau seksual.

Sutradara Teguh karya memulai debutnya melalui Wadjah Seorang Lelaki (1971). Film ini dipuji pengamat namun tidak sukses komersil. Teguh adalah seorang sutradara teater yang kelak menjadi sutradara berpengaruh di era 1980-an. Sementara sineas kawakan lainnya, Wim Umboh memproduksi film Pengantin Remadja (1971) yang sukses secara komersil. Pada Tahun 1973 dipelopori oleh Sumardjono diselenggarakan kembali FFI yang sempat vakum beberapa tahun. Hingga tahun 1980-an pemenang FFI masih didominasi oleh sineas-sineas seperti Wim Umboh, SyumanDjaya, Teguh Karya, serta Asrul Sani. Namun pada era ini juga sudah muncul sutradara-sutradara muda seperti, Ismail Subardjo, Slamet Raharjo, dan Franky Rorempandey. Film-film yang populer tahun 70-an diantaranya Ratapan Anak Tiri (1973), Bing Slamet  Koboi Cengeng (1974), Karmila (1976) serta, Inem Pelayan Sexy (1977).

Era 1980-1999

Pada era 1980-an hingga awal 1990-an film-film yang paling populer masa ini adalah film-film komedi slapstick yang dibintangi oleh grup lawak legendaris, Warkop DKI, yakni Dono, Kasino, Indro seperti Mana Tahaaan.. (1979), Setan Kredit (1981), Tahu diri Dong (1984), Maju Kena Mundur Kena (1983) dan Sabar Dulu dong (1989). Dengan gaya banyolan yang unik dan konyol, Warkop telah memproduksi lebih dari 30 film dan hampir seluruhnya sukses komersil. Pada masa ini juga populer genre horor yang dipelopori sang ratu horor, Suzanna, seperti, Sundel Bolong (1981), Malam Jumat Kliwon (1986), dan Malam Satu Suro (1988). Film aksi fantasi sejarah, Saur Sepuh: Satria Madangkara (1987), yang diadaptasi dari sandiwara radio populer juga sukses besar dengan empat sekuelnya. Aktor laga, Barry Prima juga sukses dengan film aksi sejenis melalui Jaka Sembung (1981) dengan tiga sekuelnya. Sementara film remaja Catatan Si Boy (1987) yang dibintangi Onky Alexanderd dan Meriam Bellina, juga sukses besar dengan empat sekuelnya.

Sementara itu muncul pula film-film drama berkualitas dari sutradara-sutradara berpengaruh pada masa ini seperti, Doea Tanda Mata (1984) karya Teguh Karya, Matahari-Matahari (1985) karya Arifin C Noer, Tjoet Nyak Dien (1986) karya Eros Djarot, Kodrat (1986), karya Slamet Rahardjo Djarot, Kejarlah daku Kau Kutangkap (1985) karya Chaerul Umam, serta Nagabonar (????) karya Deddy Mizwar. Sementara Pengkhianatan G-30-S PKI (1982) karya Arifin C. Noer yang merupakan film propaganda fenomenal, menjadi film terlaris era 80-an dan kelak selalu diputar di televisi nasional tiap tahunnya selama era Orde baru.

Dimulai awal dekade 1990-an hingga awal dekade 2000-an kondisi perfilman Indonesia mati suri dengan menurunnya jumlah produksi film nasional terutama sekali karena munculnya TV swasta di akhir era 80-an. Sejak Tahun 1993, FFI tidak lagi diselenggarakan karena minimnya produksi. Di tengah kondisi serba sulit ini sejak awal 90-an hingga tahun 1997, muncul film-film erotis berkualitas rendah yang mengeksploitasi seks semata dengan judul-judul yang bombastis, sebut saja macam Gadis Metropolis (1992), Ranjang yang Ternoda (1993), Gairah Malam (1993), Pergaulan Metropolis (1994), Gairah Terlarang (1995), Akibat Bebas Sex (1996), Permainan Erotik (1996), serta Gejolak Seksual (1997).  

Namun film-film drama berkualitas masih muncul seperti seperti Taksi (1990) Arifin C Noer, Sri (1997)sutradara MarselliSumarno, Telegram (1997) karya SlametRaharjo Djarot, serta Badut-Badut Kota (1993) karya Ucik Supra. Garin Nugroho juga memulai debutnya dengan film-filmnya seperti Cinta Dalam Sepotong Roti (1990), Daun di Atas Bantal (1997), dan Puisi Tak Terkuburkan (1999). Dewan Film Nasional juga membiayai Bulan Tertusuk Ilalang (1994) karya Garin Nugroho dan Cemeng 2005 (1995) karya sutradara N. Riantiarno untuk menggairahkan kembali perfilman nasional seperti yang telah dilakukan pada era 60-an silam. Sementara dari kalangan sineas independen, muncul sineas-sineas intelek muda yang kelak berpengaruh pada dekade mendatang seperti Riri Reza, Mira Lesmana, Rizal Mantovani, dan Nan Acnas dengan memproduksi Kuldesak (1997).

Era 2000 - Sekarang

Pasca reformasi dianggap sebagai momentum awal kebangkitan perfilman nasional. Momen ini ditandai melalui film musikal anak-anak Petualangan Serina (1999) karya Riri Reza serta diproduseri Mira Lesmana yang sukses besar di pasaran. Selang beberapa tahun diproduksi dua film fenomenal yang sukses luar biasa yang selanjutnya memicu produksi film-film lokal. Pertama adalah film horor Jelangkung (2001) karya sutradara Jose Purnomo dan Rizal Mantovani dan kedua Ada Apa Dengan Cinta? (2001) karya Sutradara Rudi Soedjarwo yang diproduseri oleh Mira Lesmana dan Riri Reza. AADC sukses fenomenal hanya dalam tiga hari diputar di Jakarta film ini telah meraih 62.217 penonton. Dua film ini dianggap sebagai film pelopor yang nantinya banyak bermunculan puluhan film-film dengan tema dan genre yang sama. Film bertema remaja dan film horor bahkan hingga kini masih membanjir dan laris di pasaran.

Mengikuti sukses AADC film-film roman dan melodrama remaja bermunculan dan tak jarang menggunakan bintang muda, penyanyi atau grup musik yang tengah naik daun. Film-film roman remaja yang populer antara lain Eiffel I�m in Love (2003) karya Nasri Ceppy, Heart (2005), Inikah Rasanya Cinta? (2005), Love in Perth (2010), Purple Love (2011), Love is U (2012). Sineas Nayato Fio Fuala dikenal juga memproduksi film-film melodrama yang menyayat hati antara lain Cinta Pertama (2006), The Butterfly (2007), serta My Last Love (2012). Melalui Virgin (2004) film remaja mulai berani mengambil tema-tema yang dianggap tabu sebelumnya.

Genre horor mendominasi pasar melalui film-film horor remaja yang umumnya mengambil cerita mitos atau legenda dari sebuah tempat atau lokasi angker yang menampilkan makhluk-makhluk gaib khas lokal, seperti kuntilanak, pocong, genderuwo, suster ngesot, tuyul, dan sebagainya. Pengaruh horor Jepang juga seringkali tampak dan tak jarang pula memasukkan unsur erotisme sebagai bumbu. Beberapa film horor populer diantaranya, Tusuk Jelangkung (2002), Kuntilanak (2006), Terowongan Casabanca (2007), Tali Pocong Perawan (2008), serta Suster Keramas (2009). Bahkan Suzanna, sang ratu horor pun masih sempat bermain dalam Hantu Ambulance (2008). Selain film-film horor bermunculan film-film slasher ala barat seperti Rumah Dara (2010), Air Terjun Pengantin (2009), Pintu Terlarang (2009), hingga yang terbaru Modus Anomali (2012). Genre horor juga sering dipadukan dengan genre komedi, seperti Setan Budeg (2009), Poconggg Juga Pocong (2011), dan Nenek Gayung (2012).

Selain film roman dan horor, film bergenre komedi juga juga sukses besar di pasaran. Film ini rata-rata juga ditujukan untuk penonton remaja dan beberapa diantaranya berkualitas baik. Dalam perkembangan film komedi yang berbumbu seks juga semakin banyak diproduksi. Film-film komedi yang populer dan sukses diantaranya Arisan! (2003) serta sekuelnya yang rilis tahun lalu, Get Married (2007) dengan dua sekuelnya, Get Married 2(2009), dan Get Married 3 (2011), Sekuel Nagabonar, yaitu Naga Bonar jadi 2 (2007), Quickie Express (2007), XL :Extra Large(2008) serta Otomatis Romantis(2008).  

Film anak-anak diproduksi tidak sebanyak film roman dan horor namun film bertema ini seringkali sukses besar di pasaran. Film umumnya berkisah tentang perjuangan seorang anak atau sekelompok anak-anak untuk menggapai impian dan cita-citanya. Film-film anak-anak yang populer antara lain Denias, Senandung di Atas Awan (????) karya John De Rantau. Laskar Pelangi (2008) dan Sang Pemimpi (2009) karya Riri Reza diangkat dari novel best seller karya Andrea Hirata. Laskar Pelangi (2008) menjadi film terlaris di Indonesia dengan penonton mencapai 4.606.785. Film anak-anak tidak jarang pula dipadukan dengan genre olah raga, seperti Garuda di Dadaku (2009), King (2009), dan Tendangan Dari Langit (2011). Industri perfilman kita melakukan terobosan dengan memproduksi film animasi musikal melalui Meraih Mimpi (2009).

Film-film bergenre drama juga banyak muncul yang biasanya berkisah tentang perjuangan hidup, perncarian eksistensi diri, nilai-nilai moral, dan dan masalah sosial. Beberapa diantaranya berkualitas sangat baik dan sukses di beberapa ajang festival film intersnasional. Film-filmnya drama populer diantaranya Cau Bau Kan (2001) dan Berbagi Suami (2006) yang keduanya karya sutradara Nia Dinata, lalu Pasir Berbisik (2000) dan The Photograph (2007) karya Nan Achnas, Eliana, Eliana (2002), 3 hari untuk Selamanya (????), dan Gie (2004) karya Riri Reza, Mengejar Matahari(2004) karya Rudi Soedjarwo, Surat Kecil Untuk Tuhan (2011), dan pemenang Citra tahun lalu Sang Penari (2011) karya Ifa Irfansyah.

Film bertema religi Kiamat Sudah Dekat (2003) karya Deddy Mizwar memang sukses komersil namun adalah Ayat-ayat Cinta (2008) karya Hanung Bramantyo yang mengangkat genre religi menjadi populer hingga sekarang. Film religi kental sekali dengan nuansa agama (muslim) dan kisahnya berhubungan dengan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sehari-hari dan tak jarang pula dibumbui unsur roman. Film-film religi populer seperti Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009), Perempuan Berkalung Sorban (2009), Dalam Mihrab Cinta(2010), Tanda Tanya (2011), hingga film religi anak-anak, Negeri 5 Menara(2012). Film religi juga mengangkat kisah tokoh agama seperti Sang Pencerah (2010) dan yang baru dirilis Soegija (2012). Sementara Cin(T)a (2009) serta 3 Hati Dua Dunia, Satu Cinta (2010)  mengangkat tema masalah beda agama.

Genre aksi baru mulai populer akhir dekade 90-an dan seringkali berpadu dengan tema kriminal dan perang, seperti Serigala Terakhir (2009), Merah Putih (2009), Darah Garuda (2010), Merantau (2009), serta yang baru saja rilis The Raid (2012). The Raid bahkan sukses dirilis luas di Amerika dan sempat masuk 11 besar box office mingguan disana. Selain sukses secara komersil film ini juga sukses secara kritik karena adegan aksinya yang dikoreografi secara menawan. Film ini merupakan sejarah bagi kita karena sukses komersil di mancanegara hingga menjadi perbincangan banyak media dan pengamat film di dunia.

Sedangkan dari para pembuat film non mainstream (non komersil) muncul pula film-film alternatif. Beberapa diantaranya abstrak, kompleks, dan ceritanya sulit dipahami orang awam. Tema film yang diangkat biasanya merupakan kritik dan respon terhadap isu sosial, ekonomi, dan politik di negara ini. Garin Nugroho adalah satu diantara sineas yang memilih di jalur ini, dan seringkali justru film-filmnya mendapat apresiasi di festival-festival luar negeri. Film-filmnya seperti Opera Jawa (2006), Under the Tree(2008), Generasi Biru (2008), serta Mata Tertutup (2012). Juga film-film semi abstrak seperti Novel Tanpa Huruf R(2003) dan Identitas (2009) karya Aria Kusumadewa.

Setelah vakum selama duabelas tahun, Festival Film Indonesia akhirnya mulai diselenggarakan kembali pada tahun 2004. Peraih Citra tahun 2006, Ekskul (2006) membuat kontroversi dengan menggunakan ilustrasi musik film-film populer barat seperti Gladiator,Bourne Supremacy,Taegukgi, dan Munich. Sebagai bentuk protes, para peraih Piala Citra tahun tersebut seperti Riri Reza, Mira Lesmana, dan lainnya melakukan aksi pengembalian Piala Citra. Mereka pulalah yang membentuk festival film tandingan, yakni IMA (Indonesian Movie Award) yang diselenggarakan pertama kali pada tahun 2007.

Dari sedikit penjelasan diatas terlihat perkembangan perfilman Indonesia dari masa ke masa yang dinamis. Hingga saat ini sinema kita masih berjuang mencari bentuknya menuju industri film yang lebih mapan. Secara rata-rata, kualitas kita masih dibawah industri film negara Asia lainnya seperti Jepang, Hong Kong, Korea, bahkan Thailand. Secara teknis kita tidak kalah namun dari aspek cerita kita masih sangat lemah. Para sineas kita masih harus lebih banyak belajar dan jeli mencari celah untuk bisa bersaing dengan film-film dari negara lain. Sukses The Raid bisa menjadi secercah harapan, bukan hal yang mustahil film kita bisa menembus pasar internasional.

Agustinus Dwi Nugroho


         

Darah dan Doa


Perpaduan Teknik Sinematografi dengan Kekuatan Tema 

Tahun:  1950
Sutradara : Usmar Ismail
Produser : Perfini (Usmar Ismail) / Spectra Film Exchange
Penulis Naskah : Usmar Ismail  / Sitor Situmorang (Cerita)
Pemain : Del Juzar / Farida (Lily Handuran) / Aedy Moward / Sutjipto
Ilustrasi Musik : GRW Sinsu (Tjok Sinsu)
Sinematografi : Max Tera
Editing : Max Tera
Penata Artistik: Basuki Resobowo
Penata Suara: Sjawaludin
Durasi : 128 min

Darah dan Doa (The Long March) adalah sejarah bagi perfilman Indonesia karena merupakan film Indonesia pertama yang diproduksi studio film lokal setelah Indonesia merdeka, yakni Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), dan tanggal syuting film ini, yakni 30 Maret, ditetapkan pemerintah sebagai Hari Film Nasional.  Film ini sendiri adalah film drama perang yang berlatar era aksi polisionil Belanda di akhir dekade 40-an lebih khususnya aksi long march pasukan divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Perang yang mereka hadapi tidak hanya dengan Belanda namun juga para pemberontak. Kisah berpusat pada karakter Kapten Sudarto (Del Juzar) yang memimpin divisi bersama sohibnya, Adam.

                Sisi manusiawi kisahnya terfokus pada karakter Sudarto ketika dalam situasi dan kondisi serba genting, ia justru disibukkan dengan urusan pribadinya. Sepanjang perjalanan ia berhubungan asmara dengan dua orang gadis, pertama adalah gadis asing keturunan Jerman, dan satu lagi adalah Widya, seorang perawat, padahal ia sudah beristri. Polah Sudarto selalu membuat geram Adam yang membuat suasana tidak kondusif karena selalu menjadi gunjingan anak buahnya. Dalam sebuah aksi pertempuran Sudarto kehilangan orang-orang yang terdekatnya. Sudarto pun sadar bahwa ia melakukan kesalahan.

Separuh awal kisahnya boleh jadi memang sedikit membosankan karena kaburnya fokus cerita. Posisi geografis lokasi cerita hampir tak pernah jelas karena tidak pernah dipaparkan secara gamblang. Namun arah cerita mulai jelas setelah separuh cerita dengan akhir yang amat mengejutkan. Film ini intinya menyinggung keras perpecahan antar satu bangsa yang kala itu menjadi isu besar. Sesama anak bangsa membunuh satu sama lain atas nama kelompok dan dendam.

                Dari sisi teknis memiliki kekuatan terutama dari aspek sinematografi. Teknik-tekniknya banyak mengingatkan pada gaya sineas Jepang kawakan, Kenji Mizoguchi yang kaya pergerakan kamera, komposisi yang kuat, penggunaan long take, serta jarang sekali menggunakan close up. Satu shot di adegan akhir adalah satu contoh sempurna dengan motif yang kuat. Penggunaan setting studio terlalu artifisial berbalik dengan penggunaan shot on location-nya yang menampilkan panorama alam perbukitan yang indah. Sementara dari sisi akting bagi penonton masa kini bisa jadi dialog dan akting para pemainnya terlihat sangat kaku. Para pemain layaknya menghafal dialog tanpa ekspresi yang sepatutnya. Mungkin jika menggunakan bahasa daerah setempat (Sunda dan Jawa) seperti dalam beberapa adegan, film ini bisa lebih baik. 

Darah dan Doaadalah contoh sebuah film kita yang kuat secara tema dan masih relevan hingga kini. Pada penutup filmnya sang kapten berpesan dengan terbata-bata, �Jangan diulangi lagi, biar aku saja� seolah ia berbicara pada kita (penonton) sebelum ia jatuh mencium tanah. Pertumpahan sesama anak bangsa cukup disudahi momen ini saja dan tak perlu ada lagi. Namun sejarah membuktikan pesan ini ternyata hanya angan-angan dan mimpi belaka.

Himawan Pratista

Malam Satu Suro

Suzanna dan Tradisi Horor Lokal

Tahun : 1988   
Studio : Inter Pratama Studio
Sutradara : Sisworo Gautama Putra
Produser : Ram Soraya
Penulis Naskah : Naryono
Pemain : Suzzanna / Fendy Pradhana
Penata Suara  : Endang Dharsono
Sinematografi  : Subakti LS
Editing  : Muryadi
Durasi  : 86 mnt

Film ini berkisah tentang sundel bolong yang dirubah wujudnya menjadi manusia oleh dukun bernama Ki Renggo. Manusia jadi-jadian itu adalah wanita bernama Suketi (Suzzanna). Suketi diangkat  anak oleh Ki Renggo dan tinggal di tengah-tengah Hutan Alas Roban. Nuansa mistik yang menggabungkan unsur tradisi dan kepercayaan Jawa sudah mulai tampak sejak pembuka filmnya. Suatu hari dua pemuda yang berburu di tengah hutan secara tak sengaja bertemu dengan Suketi. Salah satu pemuda bernama Bardo (Fendy Pradhana) tertarik dengan kecantikan Suketi dan ia pun meminangnya. Mereka akhirnya menikah tepat pada malam satu Suro. Suketi dibawa Bardo ke kota dan mereka hidup bahagia degan memiliki dua orang anak. Cerita mulai berubah ketika ada seorang rival bisnis Bardo yang ingin menjatuhkan karirnya. Mereka datang ke seorang dukun dan akhirnya mengetahui bahwa Suketi ternyata adalah sundel bolong.

Sekalipun bergenre horor namun unsur drama filmnya sangatlah kuat. Cerita film bergerak dengan cepat, walau banyak informasi yang tak jelas namun logika cerita masih bisa terjaga. Sejak awal hingga pertengahan, cerita filmnya enak dinikmati, namun beberapa adegan yang sama sekali tak perlu merusak mood filmnya. Sejak Suketi berubah kembali menjadi arwah gentayangan cerita film menjadi kehilangan fokus dan terkesan kehabisan akal untuk mengembangkan cerita. Suketi gentayangan kesana-kemari dan menakut-nakuti penjual bak pao serta lainnya. Memang ini dimaksudkan menjadi bumbu komedi namun bukankah Suketi mestinya balas dendam pada orang-orang yang telah menganiaya keluarganya. Adegan pembalasan Suketi yang ditunggu-tunggu penonton tak mampu digali lebih dalam dan sama sekali tidak ada gregetnya. Potensi horor yang diharapkan sama sekali tak muncul. Namun tercatat adegan akhir yang menyentuh ketika arwah Suketi mengunjungi keluarganya, bermain piano sambil menyenandungkan sebuah lagu seperti kebiasaannya dulu sebagai salam perpisahan  pada suami dan anaknya.

Beberapa pencapaian teknis juga cukup istimewa. Melalui montage sequence yang menyentuh mampu menampilkan kebahagiaan keluarga Bardo dengan iringan lagu Selamat Malam yang bawakan sendiri oleh Suketi. Lagu Selamat Malam ciptaan Vina panduwinata yang menyentuh ini mampu memperkuat unsur dramatik cerita filmnya. Satu lagi teknik editing adalah superimpose yang digunakan ketika Suketi berubah menjadi manusia maupun sebaliknya, mampu memberikan efek yang sangat menakutkan. Kostum dan rias wajah karakter sundel bolong sangatlah meyakinkan. Suzanna memang seperti terlahir untuk memerankan karakter ini.  Sayang sekali, setting suasana mistis hanya terbagun pada awal film, pada adegan-adegan yang seharusnya membutuhkan suasana horor dan nuansa mistik justru malah tak tampak.

Kita patut mengapresiasi bahwa kita pernah memiliki film horor seperti ini. Terlepas dari kekurangan dan kelebihan, kita menerimanya sebagai bagian sejarah perfilman kita. Horor tidak melulu harus aksi menakutkan namun bisa menampilkan aspek drama yang kuat. Harus kita akui pula, Suzzanna adalah aktris tipikal film horor yang sangat berkarakter dan fenomenal dalam sepanjang sejarah sinema kita. Sejauh ini belum ada aktris kita yang mampu menggantikannya.

Agustinus Dwi Nugroho

Maju Kena Mundur Kena

Tipikal Banyolan Khas Warkop


Tahun:  1983
Produksi: PT. Parkit Film
Sutradara : Arizal
Penulis Naskah :  Deddy Armand / Raam Punjabi
Pemain :  Dono / Kasino / Indro / Eva Arnaz / Lydia Kandou
Ilustrasi Musik : Gatot Sudarto
Sinematografi : Harry Susanto
Editing : Nasrul Syawar
Durasi : 96 menit


            Maju Kena Mundur Kena merupakan salah satu film trio pelawak legendaris Dono, Kasino dan Indro yang  sangat sukses pada masa rilisnya. Film ini sangat populer pada saat itu dengan jumlah penonton lebih dari enam ratus ribu. Film ini bercerita tentang tiga anak kost yang bekerja di bengkel mobil, yang kemudian suka dengan seorang gadis teman kos mereka yang bernama Marina. Cerita kemudian berjalan seputar kejadian-kejadian lucu di rumah kos mereka.


Seperti film-film Warkop kebanyakan, pada opening credit diperlihatkan adegan-adegan lucu yang menimpa Dono, Kasino dan Indro sekaligus memperkenalkan mereka. Satu aksinya memperlihatkan  ketika mereka bertiga bersepeda pagi dan mengalami kesialan ketika bertemu gadis-gadis cantik yang mereka temui di jalan. Sepanjang film kita disuguhi berbagai macam adegan lucu tanpa berhenti. Aspek cerita seolah hanya sebagai medium untuk mengantarkan aksi-aksi lucu mereka yang spontan.  Seperti ketika adegan kakek dan nenek Marina datang ke kos dan mulailah Marina dan Dono membuat akal-akalan untuk berpura-pura menjadi sepasang suami istri. Rangkaian adegan aksi-aksinya terpisah tanpa membentuk satu rangkaian runtut dari awal hingga akhir sehingga membuat film ini dapat dinikmati secara terpisah tiap adegannya.

Dalam menciptakan adegan-adegan lucu Warkop DKI sering kali mengandalkan pada adegan-adegan lucu dan konyol yang berpangkal dari ketidakberuntungan seperti terjatuh dari sepeda, menabrak sapi, hingga Dono tertimpa bola pada pertandingan sepak bola wanita. Dalam hampir semua film-filmnya, termasuk film ini, Warkop juga seringkali �mengeksploitasi� sisi sensualitas dari para pemeran wanitanya melalui pakaian yang seksi dan minim. Juga mesti terdapat adegan di pantai yang memperlihatkan wanita-wanita cantik yang mengenakan  bikini.

Penggunaan bahasa visual juga tidak jarang pula digunakan untuk mendukung dan menciptakan aksi lucu. Seperti ketika Dono mencetak gol dalam pertandingan sepakbola, aksi ini diulang beberapa kali dengan diikuti bertambahnya skor dari pihak Dono. Musik dan efek suara, seperti �dung� atau �boing� juga setiap kali muncul untuk mendukung aksi-aksi konyolnya.

Secara keseluruhan adegan-adegan komedi yang ditawarkan oleh Warkop merupakan adegan yang bisa dibilang sedikit usang untuk penonton pada masa sekarang. Namun tentunya pada masanya film ini mampu memuaskan para penonton melalui sebuah sajian komedi yang sangat menghibur. Dono, Kasino, dan Indro adalah legenda industri film di Indonesia dan akan selalu dikenang para penikmat film-film komedi Indonesia. 

Febrian Andhika


Ada Apa Dengan Cinta?

Sebuah Tawaran Budaya Remaja yang Positif

Tahun  : 2002
Sutradara :Rudy Soedjarwo
Produser :Mira Lesmana / Riri Reza
Penulis : Jujur Prananto / Prima Rusdi / Rako Prijanto
Pemeran : Dian Sastrowardoyo / Nicholas Saputra / Titi Kamal /Ladya Cherill / Sissy Pricillia / Adinia Wirasti / Dennis Adhiswara
Musik : Anto Hoed / Melly Goeslow
Distributor : Miles Production
Durasi : 112 menit
Anggaran : Rp 4 milyar

Sebuah keceriaan remaja ditunjukan dalam serentetan gambar di pembuka film, dibalut dengan lagu energik yang diaransemen oleh Melly Goeslow dan Anto Hoed. Kelima gadis remaja tersebut (Cinta, Maura, Alia, Carmen, Mily) sibuk dengan semangat persahabatan dalam hiruk pikuk keceriaan masa SMA. Gambar kemudian beralih pada konflik Alia dengan keluarganya yang semakin mempererat persahabatan mereka, menuntut mereka untuk saling membutuhkan satu sama lain. Lalu sosok Rangga, seorang pendiam tidak populer dan sinis muncul sebagai pemenang lomba puisi, membuat Cinta, salah satu pengurus majalah sekolah harus mewawancarainya sebagai pemenang lomba. Dari sanalah kedekatan Cinta dan Rangga tercipta, dan lambat laun perasaan pun muncul diantara keduanya, dari rasa benci menjadi cinta. Tentang inilah film ini bertutur, persahabatan dan cinta. Sebuah konflik klasik anak-anak remaja pada umumnya. Mungkin akan terasa sedikit membosankan jika kita berbicara �melulu� tentang itu, tanpa ada tawaran untuk menggali konflik remaja secara lebih mendalam. Tapi di Ada Apa dengan Cinta? konflik ini mampu disajikan dengan pas dan menarik.

Ada Apa Dengan Cinta? adalah sebuah roman remaja, sehingga romantisme yang hadir adalah sebuah romantisme semangat remaja dimana unsur-unsur seperti eksistensi diri, ego serta budaya pop terasa begitu kental dalam film ini. Salah satu kekuatan film ini adalah chemistry antara Cinta dan Rangga, mereka nyaris selalu bertengkar mulut, dan hampir setiap saat ketika Cinta dan Rangga bertemu selalu memunculkan pertikaian sepele yang membuat kita tersenyum melihatnya. Seperti adegan pertengkaran kecil ketika Cinta dan Rangga di perpustakaan. Adegan ini enak untuk dinikmati, chemistry diantara keduanya tercipta dengan baik, ditunjang dengan dialog serta pembawaan yang baik membuat adegan pertengkaran semacam ini begitu menggemaskan.  Adegan romantis juga dikemas dengan indah dan hangat, seperti ketika Cinta datang ke rumah Rangga, serta saat mereka pacaran di sebuah kaf� dan Cinta melantunkan puisi yang dibuat Rangga dengan begitu syahdu. Scene juga begitu dramatik karena disaat yang bersamaan diperlihatkan Alia yang berusaha bunuh diri di kamar mandi.

Sisi persahabatan adalah pesan sebenarnya ingin ditonjolkan dalam kisahnya. Cara kelima sahabat berbicara, bersikap, menari, hingga menangis merupakan refleksi persahabatan para remaja pada umumnya. Kisah filmnya sederhana namun aspek-aspek yang mendukung seperti dialog, akting, budaya pop, musik serta lagu hingga puisi membuat film ini begitu spesial. Scene akhir ketika Cinta membaca puisi Rangga dalam perjalanan pulang dari bandara menjadi sebuah resolusi yang manis tanpa terlihat berlebihan dalam akhir cerita yang membahagiakan.

AADC? adalah sebuah film yang menawarkan semangat budaya remaja yang positif bagi remaja-remaja kita sekarang. Film ini bisa menjadi refleksi para remaja kita dalam menghadapi maupun memaknai masa remaja secara positif. Tidak berlebihan jika AADC? merupakan film remaja terbaik yang pernah diproduksi di negeri ini, setelah kurang lebih dua belas tahun sejak film ini pertama kali tayang. Diantara banyaknya film-film remaja yang dirasa kurang inspiratif, para penonton remaja kita merindukan film semacam ini bisa kembali hadir ditengah-tengah perfilman kita.

Febrian Andhika
   

Kamis, 01 April 2010

Sekilas Sinema Thailand



Awal Perkembangan Sinema  dan Kendali Monarki

Awal perkembangan sinema di Thailand sama seperti kebanyakan di Asia diawali dengan screening film-film karya Lumiere Bersaudara, yakni bulan Juni tahun 1897. Era Raja Chulalongkorn pada masa ini adalah mengusung modernisasi Thailand yang terbuka dengan inovasi dari barat, salah satunya adalah sinema.  Kunjungan raja ke ke Eropa membawa pulang seperangkat peralatan kamera yang dibeli oleh adik termuda sang raja. Tahun 1900, sang pangeran mulai mendokumentasikan serangkaian aktifitas publik raja dan upacara ritual kerajaan. Film-film ini lalu diputar untuk publik dan masyarakat biasa harus membeli tiket. Film tak hanya menjadi hobi para bangsawan namun sekaligus menjadi alat propaganda monarki.

Film menjadi bisnis yang semakin berkembang setelah ketika perusahaan film dari Jepang membangun bioskop yang diberi nama Royal Japanesse Cinematograph di Bangkok pada tahun 1905. Kemudian diikuti pengusaha Cina beberapa tahun kemudian. Film-film yang diputar kebanyakan masih diimpor dari Eropa dan Amerika. Tak lama setelahnya teater dan perusahaan distribusi bermunculan. Film menjadi hiburan baru buat rakyat Thailand dan menjadi prospek bisnis yang menguntungkan bagi para pengusaha. Persaingan antara pihak kerajaan dengan pengusaha lokal keturunan Cina khususnya tidak terhindarkan.

Pada tahun 1923, rakyat Thailand akhirnya melihat film fiksi panjang mereka sendiri, Nang Sao Suwan sekalipun masih diproduksi dan disutradarai produser Amerika, Henry McRay. Pemain dan kru sebagian besar menggunakan orang lokal dan dari sinilah mereka belajar memproduksi film panjang. Film pertama yang diproduksi dengan pemain dan kru lokal seutuhnya adalah Chok Sorng Chan (1927) yang diarahkan Manit Wasuwat dan diikuti May Kid Leuy (1927) yang digarap oleh Khun Patikat Pimlikit. Sampai tahun 1932 tercatat terdapat 17 film lokal yang diproduksi. Lembaga sensor film pada masa ini juga mulai dibentuk dalam kendali penuh monarki. 

Era Film Bicara dan Runtuhnya Monarki

Memasuki dekade 30-an industri film di Thailand menjadi semakin besar. Banyak studio film dibentuk dari kelompok keluarga kerajaan serta pengusaha menengah. Masuknya teknologi suara juga memaksa para studio memiliki peralatan audio dan studio suara yang mengadopsi studio Hollywood. Tercatat film lokal bicara pertama adalah Long Tang (1932) yang diproduksi oleh Sri Kung Sound Film Company. Lagu dan musik yang mampu mengoptimalkan teknolgi suara membuat genre musikal menjadi populer, tercatat seperti Klua Mia (1938) yang juga diproduksi studio Sri Kung. Seperti halnya di Hollywood, Studio-studio juga menerapkan �star system� hingga muncul bintang-bintang macam Manne Sumonnat dan Jamrat Suwakon. Perkembangam yang pesat membuat pengamat berpendapat era ini adalah era emas pertama industri film di Thailand. Namun tetap saja film-film dari Amerika masih mendominasi pasar lokal.

Ketika Monarki runtuh oleh partai rakyat pada tahun 1932, perubahan besar terjadi di industri film. Campur tangan pihak kerajaan di industri film mulai mengendur. Studio-studio film yang berhubungan kerajaan dibubarkan dan diambil-alih oleh negara. Lembaga sensor juga direvisi oleh pemerintahan baru dengan mengubah beberapa kriteria yang diantaranya berupa tindakan preventif terhadap tindakan amoral dan asusila, kriminal, serta politik kiri. Pemerintah juga mendukung produksi film-film propaganda untuk menggambarkan arah politik mereka. Runtuhnya monarki juga berdampak makin banyaknya bermunculan studio film dan bioskop dari pengusaha menengah, pengusaha Cina serta asing. Jumlah bioskop dari tahun ke tahun juga semakin meningkat. Terbukti pada awal dekade 30-an tercatat hanya ada 68 bioskop di seluruh negeri dan pada akhir dekade ini tercatat ada 120 bioskop.

Era Pasca Perang Dunia II atau Era Film �16 mmm�

                Memasuki perang dunia II industri film Thailand praktis berhenti selama beberapa waktu. Pemerintah memaksa banyak studio-studio film untuk memproduksi film propaganda. Dalam perang Thailand bersekutu dengan Jepang sehingga berbuntut tidak masuknya film-film dari Eropa dan Amerika. Hal ini juga kelak berakibat kurangnya stok film 35 mm sejak untuk produksi film sehingga produksi menggunakan film 16 mm yang relatif lebih murah menjadi pilihan. Fase film �16 mm� ini cukup lama berlangsung dari pertengahan dekade 50-an hingga awal dekade 70-an.

Industri film masih mati suri sesaat setelah perang dunia kedua walaupun ada produksi masih sangat minim. Tercatat hanya dua film diproduksi pada tahun 1946, yakni Chai Chatree dan Chon Kawao. Barulah pada tahun 1949 melalui sukses besar, Supab Buruth Sua Tai  yang diproduksi menggunakan 16 mm, mengembalikan industri film Thailand dari masa suram. Format 16 mm menjadi populer karena produksinya lebih murah dan prosesnya tidak serumit film 35 mm.

Dalam waktu singkat produksi film meningkat drastis dari 10 film menjadi 50 film setahun hingga periode ini sering disebut era emas kedua. Lebih dari 500 film lokal diproduksi dalam periode ini dan di wilayah Bangkok saja terdapat 150 bioskop dan 700 bioskop di seluruh wilayah negeri, namun film Amerika dan Eropa masih mendominasi bioskop. Periode ini juga memunculkan dua superstar lokal, yakni pasangan aktor-aktris, Mitre Chaibancha dan Pecthchara Chawarat yang mendominasi hampir seluruh film produksi 16 mm. Hanya Mitre seorang pada dua dekade ini memproduksi 265 film!

Produksi film era 16 mm ini memunculkan film dengan gaya konvensional yang lebih membumi, mengadopsi berbagai seni dari literatur, pakaian, hingga seni pertunjukan. Cerita juga menggabungkan beberapa genre sekaligus melodrama, aksi, dan komedi. Setting cerita juga tidak hanya di kota namun di daerah pinggiran dan wilayah terpencil. Hal-hal ini yang menyebabkan film lebih akrab dengan penonton segala kalangan. Hal yang menarik pada era ini juga munculnya ratusan bioskop keliling (outdoor theatre) yang menjangkau daerah-daerah pelosok. Produksi 16 mm juga menarik sineas-sineas muda untuk produksi film berbujet murah. Beberapa diantara mereka kelak menjadi sineas besar pada era mendatang. Era film �16 mm� ini merupakan era bukan hanya milik penonton namun juga para pembuat film.

Era 70-an hingga 80-an

Ada tiga faktor yang menyebabkan berakhirnya era film 16 mm dan beralih ke film 35 mm sejak awal 70-an. Pertama adalah sukses luar biasa dua film yang menggunakan film 35 mm yakni, Mon Rak Luk Tung (1970) garapan Rungsri Thasanapayak dan Thon (1970) garapan Somboonsok Niyomsiri. Mon Rak Luk Tungdiputar di bioskop selama 6 bulan dan sukses menghasilkan 16 juta Bath. Sementara Thon sekalipun hanya sukses meraih 3 juta Bath namun mendapat banyak pujian dari pengamat. Sukses dua film ini banyak menginspirasi studio film lokal kemudian beralih ke 35 mm. Faktor kedua adalah film 35 mm dan proses laboratorium di Hongkong jauh lebih murah ketimbang proses laboratorium yang sering mereka pakai yakni di Inggris. Faktor ketiga adalah kebijakan pemerintah di awal era 70-an yang mendukung penggunaan produksi film 35 mm.

Krisis energi di pertengahan era 70-an sempat menurunkan industri film di Thailand akibat pembatasan jam pemutaran bioskop namun kebijakan tersebut segera direvisi pemerintah. Bioskop masih didominasi film-film Amerika dan Eropa. Para pengusaha bioskop lebih menguntungkan memutar film-film barat ketimbang film-film lokal yang rata-rata berdurasi lebih panjang. Untuk memicu produksi film lokal, pada tahun 1977, pemerintah mengeluarkan kebijakan menaikkan pajak film asing yang berujung pada boikot film-film Amerika oleh MPEAA (Motion Pictures Export Association of America) hingga tahun 1981. Produksi film lokal meningkat pesat dan 161 film diproduksi hanya pada tahun 1978 saja. Namun sebagian besar film yang diproduksi adalah film aksi berkualitas rendah hingga para pengamat mengistilahkan sebagai film �nam nao� (air yang terkena polusi /bau).  

Era 80-an, industri film mendapat persaingan berat dari televisi dan pemutar video. Sebagian besar orang sudah merasa cukup mendapat hiburan murah dari layar kaca televisi dan video. Pengusaha bioskop besar banyak gulung tikar dan muncul bioskop-bioskop mini (cineplex) di mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang banyak dikunjungi remaja. Merespon hal ini industri film mulai mengubah strategi pasar dengan memproduksi film sasaran penonton remaja dan genre ini mendominasi pasar hingga awal dekade 90-an.

Era 90-an, Masa Suram dan Kelahiran Kembali

Pada era 90-an kembali industri film menemui pesaing-pesaing berat, yakni tv kabel, video dan vcd, serta internet. Pemerintah masa ini yang menurunkan pajak film asing membuat film-film barat, terutama Hollywood masuk ke bioskop-bioskop lebih banyak dari sebelumnya. Krisis ekonomi yang melanda Asia di tahun 1997 semakin memperburuk industri film dan bahkan dianggap pengamat tengah sekarat. Tercatat jumlah produksi film tahun 1997 hingga 2001 tidak lebih dari seratus film, bahkan tahun 1999 dan 2000 tercatat hanya sembilan film per tahunnya. Industri film di Thailand belum pernah mengalami masa sesuram ini sebelumnya.

Namun justru amat mengejutkan di masa suram ini justru industri film Thailand terlahir kembali. Pada tahun 1997 muncul beberapa sineas berbakat yang berasal dari industri televisi, yakni Nonzee Nimibutr, Pen-Ek Ratanaruang, dan Wisit Sasanatieng yang kelak mengubah wajah industri film Thailand pada dekade mendatang. Mereka berpendapat bahwa film haruslah lebih artistik untuk menarik penonton dan juga investor. Diawali dengan film garapan Nonzee berjudul 2499 Antapan Klong Meoung (Daeng Baeley and Gangster, 1997) yang sangat mengejutkan meraih penghasilan 75 juta bath dan memecahkan rekor sebagai film terlaris Thailand pada masa itu. Film ini juga sukses meraih penghargaan di Festival Film Independen Internasional di Belgia. Lalu Fun Bar Karaoke (1997) garapan Pen-Ek yang juga sukses komersil dan diputar di Berlin Film Festival.

Sukses 2499 ternyata memotivasi para produser dan pembuat film lainnya untuk berani kembali memproduksi film. Diantaranya yang sukses luar biasa adalah Nang Nak (1999) arahan Nonzee yang meraih 150 juta Bath, Satree Lek (2000) garapan Yongyuth Thongkhongtun yang meraih 99 juta Bath, Bangrajan (2000) garapan tanit Jitnukum yang meraih 134 juta Bath, serta film western unik, Tears of the Black Tiger (2000) garapan Wisit Sasanatieng yang sukses dan dipuji pengamat internasional. Sukses ini juga memicu dibangunnya bioskop multiplex dengan kapasitas besar di Kota Bangkok dan beberapa kota besar lainnya. Pihak kerajaan yang juga mulai ikut mengambil peran besar di industri film turut memproduksi, Suriyothai (2000) yang digarap sendiri oleh pangeran Chatree Chalern Yukon. Film ini tidak hanya film termahal Thailand yang pernah diproduksi namun juga film tersukses dengan meraih 700 juta Bath.

Era Milenium Baru hingga Kini

Sukses film-film di akhir milenium lalu ternyata berdampak banyak bagi perkembangan film di Thailand setelahnya. Film-film bergenre aksi, komedi, horor, epik sejarah, dan drama adalah genre yang terhitung sering diproduksi. Kadang bahkan beberapa diantaranya sukses di luar Thailand. Film independen sineas-sineas lokal juga unjuk gigi dengan film-filmnya yang mampu meraih penghargaan internasional bergengsi. Perfilman Thailand juga memiliki Bangkok International Film Festival yang digelar sejak tahun 2003, mengkompetisikan film-film terbaik pilihan dari seluruh dunia serta film-film dari wilayah Asia Tenggara.

Genre aksi di Thailand merupakan salah satu genre populer yang tidak hanya sukses domestik namun juga internasional. Bahkan tidak jarang meraih penghargaan internasional dan mendapat pujian kritikus luar. Aktor laga, Tony Jaa menjadi maskot film aksi bela diri berkat film-filmnya yang sukses bahkan dirilis dan dipuji banyak pengamat di Amerika. Ong-Bak (2003) menjadi film awal sukses Jaa disertai dua prekuelnya, Ong Bak 2 (2008) dan Ong Bak 3 (2010) walau tidak sesukses sebelumnya. Jaa juga bermain dalam film aksi bela diri, Tom-Yum-Goong (2005) yang sukses domestik bahkan menjadi film Thailand yang paling sukses di Amerika. Beberapa film aksi sejenis yang sukses antara lain, Kerd Ma Lui (2004) serta The Tiger Blade (2005). Lalu sukses diikuti pula film komedi aksi, The Bodyguard (2004) dan sekuelnya, The Bodyguard 2 (2007).

Beberapa film horor populer diproduksi di negeri Siam ini. Bangkok Haunted (2001) mengekor sukses, menjadi film horor terlaris kedua setelah Nang Nak. Film kompilasi ini digarap oleh sineas Hong Kong, Oxide Pang dan Pisut Praesangeam. Oxide bersama saudara kembarnya Danny Pang, menggarap film horor sukses lainnya, The Eye (2002). Shutter (2004) garapan Banjong Pisanthanakun dan Parkpoom Wongpoom sukses tak hanya domestik namun juga internasional. Dua film ini juga di-remakeoleh Hollywood beberapa tahun kemudian walau tak sebaik film aslinya. Beberapa film horor sukses lainnya antara lain, Dek Hor (2004), Art of the Devil(2004) garapan Tanit Jitnukul dan dua sekuelnya, Alone (2009) garapan Banjong dan Parkpoom yang meraih penghargaan internasional, lalu 4bia (2008) dan sekuelnya, Phobia 2 (2009)merupakan omnibus dari karya empat sineas.

Unsur komedi nyaris tidak lepas dari film-film Thailand apapun genrenya. Film komedi murni sendiri juga sukses, seperti The Holy Man (2005) dibintangi komedian Pongsak Pongsuwan yang sukses meraih 141 juta Bath. Pongsak juga bermain dalam film komedi sukses lainnya, antara lain Nong Teng Nakleng-pukaotong (2006) yang setting ceritanya mengambil era produksi film pertama Thailand, Nang Sao Suwan, lalu Teng and Nong: The Movie (2007) merajai box-ffice lokal sekalipun dinilai buruk di mata pengamat. Komedi unik bertema karma, Ahimsa: Stop to Run(2005) merupakan wakil Thailand di untuk film berbahasa asing di ajang Academy Awards. Beberapa film komedi remaja juga sukses besar, diantaranya First Love (2010) yang juga diputar di Shanghai International Film Festival, serta Suck Seed (2011), komedi musikal unik yang meraih 38,1 juta Bath hanya dalam seminggu rilisnya.

Setelah sukses Suriyothaidan Bangrajan, film bertema sejarah dengan bujet besar juga menjadi tren dan sukses. The King Maker (2005) diproduksi dengan bujet 250 juta Bath bekerja sama dengan studio luar dengan menggunakan dialog Inggris. Lalu proyek ambisius, seri King Naresuan merupakan seri lima film yang diarahkan oleh Pangeran Chatree Chalern Yukon yang konon total mencapai biaya 750 juta Bath, menjadikan film termahal Thailand yang pernah diproduksi. Seri pertama dan kedua dirilis tahun 2007 lalu dan mendapat respon sangat baik. Film bertema sejarah lainnya adalah The Tin Mine (2005) yang berkisah tentang penambangan di era pasca perang dunia kedua. King Naresuan part IIdan The Tin Mine menjadi wakil Thailand dalam ajang Academy Awards.

Genre drama juga menjadi favorit penonton dan beberapa diantaranya bahkan sukses di berbagai ajang festival luar. Fan Chan (2003) merupakan film drama roman yang disutradarai dan ditulis enam sineas sekaligus, dengan menggunakan iringan lagu-lagu pop masa itu film ini meraih 140 juta Bath yang merupakan film terlaris tahun tersebut. Lalu film drama musikal, Overture (2004) yang sukses meraih puluhan penghargaan lokal dan diputar di berbagai festival internasional. Lalu The Love of Siam(2005) yang menuai banyak pujian sekaligus kontroversi karena penggunaan tema sesama jenis. Tidak hanya sukses komersil namun film ini juga meraih puluhan penghargaan di ajang kompetisi lokal dan menjadi wakil Thailand di ajang Academy Awards. 

Film-film non mainstreamproduksi sineas lokal juga berjaya di banyak festival film di luar negeri. Dimotori Apichatpong Weerasethakul mengawali sukses internasional melalui Blissfully Yours (2002) yang sukses meraih penghargaan di Cannes Film Festival. Apichatpong kembali sukses di ajang yang sama melalui Tropical Malady(2003) dan Uncle Boonmee Who Can Recall His Past Lives (2010). Pen-Ek Ratanaruang sejak Fun Bar Karaoke, film-filmnya mendapat perhatian pengamat luar, seperti Last Life in the Universe(2005), Ploy (2007), serta Nymph (2009).  Beberapa film juga diputar di berbagai festival film internasional, seperti I-san Special (2002) garapan Mingmongkol Sonakul dan Pleasure Factory (2007) garapan Ekacahi Uekrongtham.

Perkembangan sinema di Thailand sejak era silam tak bisa lepas dari unsur monarki, budhisme, dan nasionalisme. Tiga aspek ini yang membuat Sinema Thailand memiliki gaya dan keunikan sendiri. Sinema Thailand jelas tak bisa diremehkan dan ke depan rasanya mampu menjadi kekuatan besar di Asia sejajar dengan Jepang, Korea, India, dan Hong Kong.  


Himawan Pratista