Sabtu, 23 Juni 2007

Sinema Neorealisme Italia

Selama hampir dua dekade sinema Italia dibawah kontrol penuh pemerintahan fasis dibawah pimpinan Benito Mussolini (1922�1945). Mussolini menyadari betul bahwa ia dapat memanfaatkan medium sinema untuk tujuan propaganda. Di tahun 1933, Mussolini membentuk Direzione Generale per la Cinematografia sebuah dewan yang bertugas menyensor semua naskah film yang akan diproduksi. Naskah-naskah film yang disetujui mendapat subsidi dari pemerintah hingga 60% dari biaya produksinya. Sementara naskah film yang bertema murni pro-fasis mendapatkan subsidi hingga 100%.

Di tahun 1935, Mussolini membentuk Ente Nazionale Industrie Cinematografiche (ENIC) yang melengkapi campur tangan pemerintah di semua aspek industri sinema melalui kontrol penuh seluruh mata rantai distribusi film di Italia. Seluruh film asing (didominasi film-film Hollywood) yang masuk harus melalui jalur ini untuk sekaligus diseleksi untuk kemudian di-dubbing bahasa Italia. Mussolini juga membentuk Centro sperimentale di cinematografia sebuah sekolah film yang masih eksis hingga kini serta studio film Cinecitta di Roma Tujuannya jelas untuk membantu para sineas lokal untuk memproduksi film-film bertema pro-fasis. Mussolini juga adalah sosok yang memprakarsai ajang Venice Film Festival yang dimulai sejak tahun 1932.

Sistem kontrol demikian ketat berakibat pada semua film-film Italia yang diproduksi adalah bertema pro-fasis dan memiliki prinsip serta ideologi kebangsaan yang kuat. Film-film yang secara terang-terangan mengusung tema propaganda diistilahkan dengan �black film�. Tujuan film ini adalah untuk mempertebal semangat rasa kesatuan dan persatuan rakyat Italia. Sementara film yang banyak diproduksi pada masa ini diistilahkan �pink film�. Film jenis ini juga menganut idealisme fasis dan lebih sekedar merupakan hiburan ringan yang mampu menutup realitas sosial yang porak-poranda akibat persengketaan politik. Salah satu jenis �pink film�, diistilahkan film �white telephone�. Film jenis ini umumnya mengadopsi film-film Hollywood dan memotret kehidupan masyarakat yang bahagia dan sejahtera.

Mendaratnya tentara sekutu di pantai Sicilia pada tanggal 10 Juli 1943 merupakan sinyal keruntuhan pemerintahan Mussolini. Di saat tentara sekutu berperang melawan Jerman di wilayah utara Italia, perlawanan separatis anti-fasis juga berlangsung di wilayah selatan. Dengan bantuan perlawanan separatis akhirnya tentara sekutu mampu menembus garis wilayah utara. Tanggal 25 April 1945 akhirnya rakyat Italia lepas dari pendudukan Jerman dan merdeka secara total. Di masa perlawanan tersebut beberapa sineas telah memproduksi beberapa film yang mengangkat kondisi serta realitas yang sesungguhnya terjadi.

Salah satu film yang menonjol berjudul Obsession (1943) arahan Luchino Visconti. Film ini mengangkat tema kemiskinan dan penderitaan akibat tekanan sosial dari rezim penguasa yang disajikan dengan pesimistik dan dingin. Obsession menandai perkembangan sebuah era sinema Italia ke arah yang baru. Awal kemunculan gerakan neorealisme ditandai melalui film Open City (1945) arahan Roberto Rossellini. Rosselini bahkan memulai produksi film ini sejak tahun 1943, ketika tentara Jerman masih menduduki kota Roma. Berbeda dengan film-film di era sebelumnya, Open City merupakan sebuah kisah tragis yang memotret perjuangan manusia melawan belenggu penjajahan. Film ini mampu menggambarkan realitas politik yang sebenarnya terjadi di balik segala keindahan yang ditampilkan pemerintahan Mussolini.

Dalam perkembangannya film-film bertema sejenis mulai bermunculan. Film-film ini secara umum menampilkan realitas politik dan sosial yang terjadi pada masyarakat Italia masa itu. Tendensi inilah yang kemudian dikenal sebagai gerakan sinema neorealisme, sebuah gerakan �new realism� atau sebuah realitas baru. Walau film-film neorealis ini umumnya kurang berhasil di pasaran namun secara kritik mereka mencapai hasil yang luar biasa. Seperti Shoeshine (1946) serta film landmark gerakan ini, The Bicycle Thief (1949) keduanya arahan Vittorio De Sica, masing-masing mendapatkan penghargaan Oscar.* Film-film neorealis lainnya yang menonjol antara lain, Paisan (1946) dan Germany Year Zero (1947) keduanya karya Rosselini, La Terra Trema (1948) karya Visconti, Bitter Rice (1949) karya Giuseppe De Santis, kemudian Miracle in Milan (1951) dan Umberto D (1951) karya De Sica.

Secara tema film neorealis umumnya mengangkat tema kemiskinan dan ketidakadilan. Sangat kontras dengan film-film berjenis �white telephone�. Karakter dan tokohnya biasanya berasal dari kalangan bawah, seperti buruh, nelayan, petani, pekerja kasar, bahkan pengangguran. Semua film-film neorealis menekankan pada aspek emosional ketimbang ide-ide yang bersifat abstrak, selalu menghindari dan melakukan perlawanan terhadap bentuk naratif konvensional. Tragedi selalu menjadi menu utama dalam film-film neorealis. Umumnya mereka selalu memiliki akhir menggantung, tragis, penuh penyesalan dan ketidakbahagiaan.

Secara estetik film-film neorealis memiliki ciri-ciri unik yakni melakukan syuting di lokasi sesungguhnya seperti di jalanan kota atau desa, pemukiman, pasar serta ruang-ruang publik lainnya. Ciri utama lainnya adalah penggunaan pemain non-aktor sehingga mampu memperbesar efek realisme serta orisinalitas tiap adegannya. Film-film neorealis umumnya menggunakan teknik dubbing serta menggunakan bahasa sehari-hari dan menghindari pemakaian bahasa formal. Dengan pengambilan gambar di lokasi sesungguhnya serta penggunaan dubbing menyebabkan pergerakan karakter serta kamera menjadi lebih leluasa. Secara umum film-film neorealis bentuknya sangat sederhana dan jarang sekali menggunakan efek kamera.
..
Faktor politik, ekonomi dan budaya yang memicu gerakan neorealisme timbul namun faktor tersebut jugalah yang membuat gerakan tersebut memudar. Kondisi perekonomian yang membaik dan rakyat Italia yang mulai sejahtera membuat pemerintah kurang menyukai film-film yang menyorot masalah kemiskinan. Beberapa kebijakan pemerintah mulai menghambat gerakan neorealis hingga para sineas tidak lagi memperoleh kebebasan. Gerakan sinema neorealisme boleh dibilang bukan merupakan gerakan sinema yang sifatnya inovatif secara sinematik. Namun merupakan sebuah gerakan sinema yang mampu merubah sinema secara sosial, politik maupun sejarah. Elemen-elemen estetik neorealis sendiri masih selanjutnya masih tampak dalam karya-karya sutradara besar Italia lainnya seperti, Federico Fellini dan Michelangelo Antonioni; lalu film-film karya sutradara besar India, Satyajit Ray; serta film-film gerakan New Wave Perancis.

Himawan Pratista

The Bicycle Thieves


Potret Kemiskinan Rakyat Italia




The Bicycle Thief (Ladri di biciclette, 1949) merupakan film paling populer dari gerakan neorealisme. Film ini sukses mendapatkan predikat film berbahasa asing terbaik dalam ajang Academy Awards di tahun 1949 serta beberapa ajang bergengsi lainnya. Film ini seringkali dianggap banyak pengamat sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. Film arahan sutradara Vittorio De Sica ini mengetengahkan tema seputar masalah sosial dan kemiskinan di kalangan masyarakat perkotaan Italia pasca perang dunia kedua.

Alkisah seorang pengangguran bernama Antonio Ricci (Lamberto Maggiorani) akhirnya mendapatkan pekerjaan sebagai tukang tempel poster. Ricci membutuhkan sepeda untuk syarat pekerjaan tersebut hingga istrinya harus menggadaikan selimut untuk menebus sepeda yang telah ia gadaikan. Keesokan harinya dengan berbekal semangat baru Ricci memulai pekerjaannya. Namun naas ketika ia sedang menempel poster pertamanya seseorang mengambil sepedanya. Ricci berusaha mengejarnya namun usahanya sia-sia. Sisa cerita memperlihatkan bagaimana usaha Ricci bersama anaknya, Bruno berkeliling kota untuk mencari sepedanya yang hilang.

Maggiorani bermain sangat sempurna menghidupkan perannya sebagai Antonio Ricci. Maggiorani sendiri adalah bukan seorang aktor dan ia adalah benar-benar seorang buruh pabrik. �Dari cara dia berjalan... dari cara dia duduk ...dan segala sikapnya dari seorang pekerja bukan seorang aktor ...semuanya sempurna� kata De Sica. Wajah Maggiorani adalah juga wajah Ricci yang selalu tampak bingung dan cemas hampir sepanjang film. Enzo Stoila yang juga bermain sempurna sebagai sang bocah, Bruno, juga ditemukan seorang kru film di jalan ketika sedang mencari lokasi untuk syuting.

Dari perjalanan Ricci dan Bruno, De Sica mampu menggambarkan kondisi sosial ekonomi masyarakat bawah Italia yang memang sedang dalam masa sulit. Tampak dari orang-orang yang mengantri air, antrian bis yang panjang, tempat pegadaian yang ramai dikunjungi warga hingga apartemen yang padat, kecil dan sempit. Sekilas disingung pula masyarakat Italia yang sangat religius, percaya pada ramalan serta begitu fanatik dengan olahraga favorit mereka, yaitu sepakbola. Dalam sebuah adegan tampak Ricci dan Bruno bersantap di sebuah restoran mewah. De Sica secara brilyan mampu menunjukkan betapa jauhnya kesenjangan ekonomi. Seolah mereka (kalangan atas) hidup di dunia yang berbeda dengan dunia Ricci dan Bruno yang diperlihatkan pada kita.

Bagi Ricci sepeda miliknya merupakan harapan untuk bisa membawa kehidupan keluarganya menjadi lebih sejahtera. Ketika sepeda tersebut hilang maka harapannya pun turut sirna. Ricci tidak hanya kehilangan sepeda namun juga kehilangan segalanya termasuk harga dirinya. Di dalam gereja yang dipenuhi jemaat, Ricci memaki-maki dengan suara keras seseorang yang dianggapnya mengetahui orang yang telah mencuri sepedanya. Di sebuah pemukiman Ricci mengancam dan menuduh seorang warga telah mencuri sepedanya. Paling hina adalah ketika Ricci yang frustasi akhirnya memutuskan untuk mencuri sebuah sepeda. Sang anak berlinang air mata melihat ayahnya (si pencuri sepeda) dikejar-kejar belasan orang hingga akhirnya tertangkap. Film diakhiri dengan gambar Ricci dan Bruno yang bergandengan tangan berjalan menjauhi kamera. Sepeda (harapan) Ricci masih hilang dan selamanya mungkin tidak akan pernah mereka temukan. Tidak jelas nasib mereka esok atau hari-hari berikutnya. Sebuah kondisi mirip realitas sosial dan ekonomi yang dialami masyarakat Italia kala itu. 

Himawan Pratista

Jumat, 22 Juni 2007

Seikat Kata dari Perjalanan ke Prancis

Berangkat dari undangan rekan saya yang bergerak di bidang pemberdayaan budaya di Eropa sekaligus pengamat budaya di Asia, saya berkesempatan mengunjungi negara Prancis untuk mengamati sekaligus mendapatkan pembelajaran tentang bidang seni yang kini tengah saya geluti, yaitu bidang sinematografi. Pembelajaran (workshop) yang saya dapatkan bersama dengan rekan lain dari berbagai negara di Universit� de Lumi�re Lyon II tersebut, membuka banyak wacana kontemporer tentang sinema yang selama ini saya enyam di dunia pendidikan di Indonesia. Impian saya dalam workshop ini terutama tentang ranah produksi tampaknya masih jauh dari angan semata; karena workshop kali ini lebih menekankan aspek sejarah dan nilai yang terkandung dalam dalam sebuah sinema; berbalut Estetika maupun Tema.

Cinema is born at France�(Cin�ma est n� en France), demikian ungkapan Fran�ois Tailandier salah satu pemberi materi workshop, sembari menggerakkan jarinya seperti mengutip. Bisa ditebak selanjutnya, hari-hari workshop selalu dimeriahkan oleh diskusi-diskusi panjang (saya menyebutnya sebagai brain-washing day). Terlepas dari bentuk kekecewaan adanya produksi film bersama, akhirnya saya merasakan antusiasme atau mungkin bentuk euforia dalam keseharian saya membahas sejarah sinema Perancis. Pembahasan dimulai dari gerakan New Wave (Nouvelle Vague) yang terbagi dalam dua periode. Periode awal (1958) mengedepankan beberapa nama-nama sebagai Bart Director yang banyak menentang garis-garis penekanan estetik film pada masa itu. Mereka juga masih menekankan pada aspek naratif yang kental, di satu sisi. Mereka adalah Jean-Luc Goddard, Fran�ois Truffaut, Claude Chabrol, Eric Rohmer, dan Jacques Rivette yang membalut sinemanya dengan estetika �baru�: estetika kedalaman dalam mise en sc�ne dan penolakan akan estetika naratif yang terlalu teratur.

Bahkan beberapa pengajar dan mahasiswa film di sanapun mengapresiasikan berlebihan pada sosok Goddard sebagai Santo. Saya mulai mengingat gelombang New Wave kedua (Pemberontakan Mahasiswa) di Paris dan sekitarnya pada tahun 1968 yang pada akhirnya mengubah tatanan maupun ranah sosial, budaya, juga industri. Fenomena sosial tersebut juga memberikan ruang kebebasan sinematik bagi para sineas yang akhirnya bermuara pada kebijakan maupun inisiatif pemerintah Prancis untuk memberikan subsidi silang bagi sineas pemula dalam bentuk (regeneration program). Inisiatif pemerintah tersebut juga memberikan kontribusi dalam pengembangan film-film artistik. Dan kesemuanya berlandaskan pada asas kebebasan berekspresi. Sisi lain, Goddard dan beberapa sineas pada masa itu lebih menekankan aspek estetika mereka pada own style, gaya bertutur masing-masing personal sutradara (theorie de l�auteur) yang secara tidak langsung bersifat konservatif (one man show).

Terlepas dari adanya sesuatu maupun situasi paradoksal tersebut, saya mencoba mengaca pada sejarah perfilman Indonesia yang tentunya bukan pada skala periodisasi. Dan tentunya banyak orang mengerti benar akan kebangkitan dan mati surinya perfilman kita. Melihat sejenak aspek kualitas sinema Indonesia (bukan kuantitas), ada banyak ketidaksesuaian atau kesalahpahaman estetika, atau sekedar meminjam istilah bahasa Prancis, mise en sc�ne dalam sebuah karya atau sinema yang dibuat. Pengerucutannya terjadi pada Festival Film Indonesia (FFI) 2006. Dan dipandang ada ketidakpuasan terhadap penjurian maupun keputusan juri yang terlihat kasak-kusuk (istilah tersebut untuk menghindari sarkasme semacam perang kata atau adu mulut). Semua hal yang menjadi permasalahan adalah pada aspek estetika dan tematika yang sayangnya tidak ada kesepahaman antara satu sama lain. Adakah yang bisa menjelaskan pada saya absolutnya Estetika juga ranah Tema yang menjadi standar penjurian?

Sekembalinya dari workshop tersebut (baca: cuci otak), saya tidak lagi merasakan gairah yang menggebu dalam memproduksi sebuah sinema. Dan hal tersebut bukan berarti sikap pesimis; namun hanyalah kemalasan yang timbul jika sekedar kembali menjadi cetakan-cetakan yang sama atau pekerja-pekerja baru sinema dan bukan menjadi pemikir-pemikir baru (pioneer) atas apa yang dibuatnya. Rekan saya pernah mengatakan film Indonesia akan dikenal dan berjaya jika saja ada satu film yang masuk nominasi Oscar (at this moment, I just wish a falling star, please).

Saat ini, setelah mengikuti perhelatan Festival Sinema Prancis 2007, hal yang menyenangkan sebagai pelajar di bidang bersangkutan, adalah keikutsertaan saya dalam rangkaian program festival tersebut dan press-release yang saya tulis ini (but, wait!). Terlepas dari gairah menonton film-film di festival di tahun ini, lagi-lagi membuat saya bertanya: mengapa harus ada penilaian dari insan perfilman kita? Artis kita? Mungkin saja saya yang terlalu bodoh dan tidak memberikan sedikit kesempatan kepada mereka untuk memberikan penilaian; lalu menentukan apa dan siapa: film terbaik, artis terbaik, dst.

Tahun ini, artis-artis muda kita duduk sebagai juri dan mereka ikut serta dalam pemilihan artis terbaik. Ben..hmm ada Joshua, Ardina Rasty dan Olga Lidya yang barangkali memiliki kompetensi atau kemampuan dalam menentukan aktor-aktris berkelas macam Audrey Tatou yang hors de prix (priceless) dan aktris besar Perancis lainnya. How come? �Anyway, let it flows as earth is dying.

P.S. :
Rekan saya nyaris mengamuk ketika saya tiba. Tugas kampus yang disodorkan mengharuskan saya dan rekan lain membuat sebuah film. Sebelum terjadi brain-storming besar-besaran dan euforia yang membakar semangat, pada masa pra produksi saat itu saya akhirnya membukanya dengan kalimat: �Nah teman, sepertinya kita sudah siap kembali �beronani�, bukan?�

Andrei Budiman

Nagabonar Jadi 2

Menggugah Rasa Kebangsaan


Ketika ingin menonton film Nagabonar jadi 2 ada sedikit rasa khawatir dalam diri saya. Pertama, saya belum menonton film Nagabonar (1986) arahan Asrul Sani. Kedua, saya masih pesimis dengan mutu film kita, apakah menonton film ini sepadan dengan kepuasan setelah menonton. Ternyata semua hal tersebut tidak terbukti. Saya keluar dari bioskop dengan perasaan amat terpuaskan. Tokoh Nagabonar adalah rekaan Asrul Sani, seorang pencopet yang kemudian mengangkat dirinya menjadi jenderal pada masa perang kemerdekaan. Tokoh Nagabonar diperankah oleh Deddy Mizwar yang kala itu meraih Piala Citra sebagai aktor terbaik. Dalam film Nagabonar Jadi 2 dikisahkan Nagabonar (Mizwar) masih hidup di kebun kelapa sawitnya di Medan, setia mengunjungi makam emak-nya, istri dan sahabatnya, Bujang setiap harinya. Kisah berkembang ketika putranya, Bonaga (Tora Sudiro) mengundangnya ke Jakarta dimana putranya sekarang telah menjadi seorang eksmud, lulusan Inggris. Selama di ibukota Nagabonar terlibat dalam beberapa petualangan lucu dan haru yang mengusik rasa kebangsaannya.

Tidak banyak film kita saat ini yang mengangkat tema kebangsaan. Film mengajak kita untuk menghargai jerih payah para pahlawan yang berkorban jiwa dan raga untuk kemerdekaan kita. Nagabonar jadi 2 menyindir kehidupan kita saat ini yang tidak lagi memahami makna dan hakekat kemerdekaan. Sang sutradara mampu menampilkannya dengan cerdas dan wajar tanpa berkesan menggurui serta memojokkan masyarakat modern. Seperti ketika Nagabonar bersama tukang bajaj bernama Umar keliling kota Jakarta. Nagabonar minta diantar ke makam Jenderal Sudirman (pada detik ini saya sempat bertanya, �memangnya makamnya di jakarta ya?�). Umar pun menjawab bahwa makam sang jenderal berada di Jogja namun ia berinisatif mengajaknya ke Patung Jenderal Sudirman di Tosari. Dalam perjalanan mereka dihentikan oleh polisi yang melarang memasuki kawasan bebas bajaj. Nagabonar berceloteh mengapa ada peraturan yang melarang bajaj masuk, seperti Belanda (penjajah) saja sambungnya.

Di tempat ini Nagabonar tertegun melihat patung sang jenderal yang memberi hormat pada kendaraan yang lalu lalang. Nagabonar bertanya, �Siapa yang kau beri hormat Jenderal, apakah mobil-mobil tersebut karena mereka beroda empat, Turunkan tanganmu Jenderal! Nagabonar memaksa untuk menurunkan tangan patung sang jenderal. Saya menangis pada adegan ini dan untuk pertama kalinya rasa kebangsaan saya terusik Saya tidak mengenal Nagabonar namun saya bisa merasakan apa yang ia rasakan. Entah karena larangan bajaj yang tidak boleh memasuki jalan tersebut dan sang patung malah menghormati kendaraan yang lewat atau haru melihat Nagabonar yang telah berjuang agar kita bisa merasakan kemerdekaan namun ia (saya) melihat bahwa kini kemerdekaan itu sudah tidak ada.

Adegan lain yang membuat saya haru adalah ketika Bonaga mengajak ayahnya ke tempat para eksmud berkumpul. Tokoh Bonaga dan ketiga rekannya mewakili karakter pemuda kota yang cerdas, kaya, sukses, serta single. Orang-orang yang berusaha keras mencapai kedudukannya tidak seperti Umar yang dianggap Bonaga sebagai orang yang kurang berusaha. Tempat tersebut ternyata dugem di mana Bonaga dan ketiga kawannya bersuka-ria sepanjang malam. Saya tersentuh melihat Nagabonar kecewa melihat bagaimana anak-anak muda bersuka-ria yang dianggapnya merupakan tindakan salah untuk menikmati kemerdekaan ini.

Nagabonar bukanlah sosok seorang pahlawan. Ia hanya sosok orang tua yang sederhana, keras, humoris, dan suka bermain bola. Namun ia mampu menunjukkan pada kita apa arti pahlawan dan bagaimana kebebasan hasil perjuangan para pahlawan di masa lalu tidak mampu kita gunakan dengan semestinya. Nagabonar jadi 2 mengingatkan pada kita sifat kebangsaan yang saat ini mulai luntur dimana individualitas dan keberhasilan personal menjadi ukuran terpenting.

Audina Furi Nirukti

Cinta Pertama

Hanya Mengejar Romantisme



Cinta Pertama bercerita tentang kisah cinta Alia (Bunga Citra Lestari) yang dituliskan dalam buku hariannya. Setelah hari pertunangannya dengan Abi mendadak Alia jatuh koma akibat stroke. Selama Alia koma, Abi membaca buku harian yang ditulis tunangannya sejak ia masih SMU. Abi lalu menemukan sesuatu yang selama ini disembunyikan Alia, terutama rahasia tentang teman dekatnya semasa SMU, Sunny, yang juga cinta pertamanya, cintanya yang ia pendam, serta cintanya yang hilang. Rentetan kilas balik Alia semasa SMU bergulir kembali hingga suatu saat Alia harus merelakan cintanya yang hilang untuk pergi dan hilang kembali untuk kedua kalinya. Penonton remaja yang sentimentil mungkin akan berkaca-kaca selama menyaksikan film ini. Pemilihan tema �cinta pertama� pada masa SMU juga pas mendukung penonton remaja untuk lebih jauh menyelami dan menghayati film ini. Cinta Pertama bisa jadi akan membawa penonton mengingat memori-memori manis semasa SMU, cinta pertama anda mungkin, serta ide-ide liar lainnya di seputar hal ini. Dari sisi cerita, film ini bisa dibilang cukup berhasil membidik penonton remaja sebagai sasarannya.

Selain cerita yang menguras air mata penontonnya, elemen-elemen lain seperti setting romantis, akting dan dialog penuh kata-kata mesra, alunan musik romantis, teknik slow-motion hingga pencahayaan temaram digunakan secara intensif untuk memperkuat karakter film ini. Latar indah penuh dengan warna-warni bunga, dedaunan, burung dara putih serta serbuk bunga (kapas) berterbangan ditiup angin. Penggunaan elemen air seperti hujan (gerimis), kebetulan merupakan satu hal yang disukai Alia juga ikut mendukung suasana romantis, haru, sedih, dan tragis. Nyaris semua adegan diambil dengan pergerakan kamera yang lambat dan seringkali dipadukan dengan teknik slow-motion untuk menambah kesan dramatik. Bahkan hingga semua pemain utamanya pun di-setel untuk berakting sedih, haru, datar, gerak tubuh lambat serta ekspresi kosong.

Satu hal yang sangat mengganggu adalah penggunaan elemen-elemen pendukung diatas yang seringkali terlalu berlebihan. Latar indah bak mimpi ala film drama romantis Korea muncul tidak hanya pada kilas balik �dunia mimpi� semasa SMU namun juga terjadi juga pada dunia kini. Seperti adegan pembicaraan antara Abi dan Rena, di halaman rumah sakit, suasananya nyaris sama �romantis�-nya dengan dialog antara Alia dengan Sunny ketika mereka berduaan. Ada pula beberapa adegan yang tidak terlalu berarti dimasukkan hanya untuk sekedar menambah unsur romantisme dan haru. Pergerakan kamera pun beberapa kali tampak agak berlebihan. Akting dan dialog yang tidak ber-�jiwa� dan kaku (seperti biasa) masih menjadi kelemahan utama. Namun satu hal yang perlu disyukuri setidaknya kali ini Nayato, sang sutradara, menggunakan ilustrasi musik asli yang penggarapannya diserahkan Addie MS. Lagu dan ilustrasi musiknya sendiri juga cukup pas mendukung suasana yang dibangun. Hal ini patut mendapatkan pujian tersendiri mengingat kesalahan yang dilakukan sutradara pada film sebelumnya.

Cinta pertama tidak memberikan pesan moral apapun bagi penontonnya selain romantisme belaka. Inti cerita pun tidak jauh berbeda dari roman-roman umumnya yang kisahnya memang pas untuk penonton remaja. Berbicara soal moral, justru sebaliknya kunci utama kesalahan film ini terletak pada Abi ketika ia mulai membaca buku harian Alia. Seluruh konflik cerita dipicu oleh tindakan ini. Apapun alasannya sebenarnya ia tidak berhak membaca buku harian tersebut. Dan jika memang harus dilakukan pun mestinya ada penjelasan moral untuk memperkuat hal tersebut, setidaknya untuk menjawab, �mengapa buku harian tersebut harus dibaca?�. Mengapa pula Abi harus menanggapi dengan sikap berlebihan. Bukankah mestinya cinta saja cukup untuk menjawabnya. �Tuh kan, berarti belum semuanya tentang aku kamu tau� kata Bunga pada Abi.

Adithya Nugroho & Audina Furi Nirukti

Berbagi Suami


Poligami yang Hablur 

Masalah Poligami rupanya masih menjadi topik menarik untuk diangkat. Kali ini melalui film Berbagi Suami, Nia Dinata mencoba menggambarkan berbagai masalah dalam praktek poligami di kota besar. Film dibagi dalam tiga segmen cerita yang berjalan simultan dengan latar belakang yang berbeda. Segmen pertama merupakan praktek poligami di kalangan atas, segmen kedua di kalangan bawah, dan segmen ketiga di kalangan keturunan Tionghoa. Seluruh segmen dituturkan melalui sudut pandang salah satu istri, berturut-turut, istri pertama, istri ketiga dan terakhir istri simpanan. Cerita dalam tiap segmennya berjalan dengan tempo cepat dan tiap kali dijejali dengan informasi-informasi baru tanpa sedikitpun memberikan waktu bagi kita untuk mengambil nafas. Kejutan demi kejutan terus bermunculan hingga mencapai titik balik sekitar pertengahan segmen kedua. Seluruh informasi yang masuk setelahnya sudah bukan lagi kejutan dan cenderung melelahkan. Segmen ketiga hanya merupakan pertunjukan visual semata tanpa mampu lagi dicerna oleh otak dan pikiran kita.


Dari ketiga kisah yang disajikan, kisah kedua bisa dibilang merupakan segmen yang terbaik. Walau hanya dibatasi dengan ruang gerak yang terbatas namun cerita dapat berkembang begitu utuh dan kompleks. Bisa dibayangkan satu rumah kecil dengan satu orang suami bersama tiga orang istri dan lima orang anak (atau lebih). Kunci kekuatan episode ini terletak pada permainan akting para pemainnya yang matang. Ria Irawan, Rieke Dyah Pitaloka dan Shanti dengan karakternya masing-masing yang unik mampu menghidupkan suasana tiap adegannya dengan begitu enerjik. Adegan demi adegan berjalan penuh dengan nuansa komikal yang segar seperti ketika adegan Mbak Sri melahirkan, malam pertama Siti, percintaan Mbak Dwi dan Siti, lengkap dengan suara-suara desahan di malam hari. Dialog pun bergulir sederhana namun efektif dan pas untuk tiap karakternya. Tercatat penampilan Rieke sebagai sosok Dwi adalah yang paling menonjol. Tanpa menggunakan banyak dialog, Rieke mampu menggunakan bahasa tubuh bersama asap rokoknya untuk berkomunikasi dengan penonton. Satu-satunya kelemahan segmen ini mungkin pada logat jawa yang digunakan terasa agak kaku.


Dari sisi cerita tmpak bahwa Berbagi Suami memiliki tendensi sikap anti-poligami. Kenyataannya memang film ini banyak menyinggung bermacam dampak negatif poligami seperti cekcok antara suami-istri, persaingan antar istri, konflik antara anak-orang tua, masalah ekonomi, banyak anak, hubungan sesama wanita dan sebagainya. Film juga memberikan kesan kuat bahwa poligami hanya untuk memenuhi tuntutan biologis (fisik) semata. Kaum wanita semata-mata hanya digambarkan sebagai subyek namun anehnya mereka juga tampak menikmati hal ini. Hal ini memang manusiawi namun justru mengaburkan pesan anti-poligami itu sendiri. Bagi kaum pria film ini bisa jadi justru memberikan gambaran yang kuat pada mereka tentang nikmatnya berpoligami. Terlebih para istri digambarkan memiliki sosok fisik yang menarik. Ataukah film ini memang sengaja berada di tengah-tengah untuk mengungkapkan realitas sosial semata. Entahlah. Berbicara realitas sosial, beberapa pesan kemanusiaan yang disinggung seperti bencana dan bantuan ke Aceh serta pesan KB juga lebih sekedar merupakan tempelan belaka atau iklan layanan masyarakat (KB).

M. Pradipta

Spiderman 3

Kali ini Cuma Hiburan Semata


Sekuel superhero populer berbujet ratusan juta dollar super laris, Spiderman 3 arahan Sam Raimi akhirnya dirilis juga. Film pertama, Spiderman adalah film istimewa sementara sekuelnya, Spiderman 2 bahkan lebih baik dari sisi cerita maupun artistik. Penulis tidak pernah berpikir jika sekuel berikutnya akan bisa lebih baik dari kedua film ini dan ternyata dugaan penulis tidak salah.

Spiderman 3 diawali dengan Peter yang saat ini hidup bahagia bersama Mary Jane. Cerita berkembang ketika Peter lebih menikmati dirinya sebagai Spiderman ketimbang dirinya sendiri. Karir pertunjukan Mary Jane yang hancur hanya karena sebuah review negatif makin memperburuk hubungannya dengan Peter. Terlebih setelah Peter melakukan �ciuman pertamanya� dengan seorang gadis rekan satu lab-nya dihadapan orang banyak termasuk Mary Jane. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi setelah semua peristiwa yang terjadi di dua film sebelumnya. Peter seolah lupa ucapan pamannya, �Great power comes great responsibility!�. Apa cairan hitam berasal dari angkasa luar penyebabnya? Ternyata bukan. Cairan tersebut dijelaskan hanya baru berefek negatif setelah menyatu dengan tubuh induk semangnya. Semuanya jadi serba lucu dan kebetulan. Konflik dan segala peristiwa yang ada seperti terkesan terlalu dibuat-buat tanpa ada sedikit pun penjelasan.

Hubungan Peter dan Mary Jane juga tidak lagi sekuat di dua film pendahulu. Peter dan Mary Jane seperti kehilangan diri mereka. Bahkan karakter Harry yang dendam habis dengan Spiderman sampai benar-benar dibuat amnesia. Entah mengapa hubungan kimiawi antara Harry-Mary Jane yang berdansa twist terasa lebih kuat dari hubungan Peter-Mary Jane. Satu lagi adegan yang benar-benar konyol dan tidak lucu adalah ketika Peter berubah menjadi lebih modis (rambut dibiarkan ke depan) dan digilai banyak wanita hingga berdisko bersama pasangan barunya dihadapan Mary Jane. Tapi ok lah� kali ini Peter memang �kebetulan� memakai kostum �hitam�. Tapi semua itu untuk apa? Peter sudah tidak lagi memiliki masalah dengan dirinya.

Karakter Sandman lebih sekedar tempelan ketimbang ikut larut dalam cerita. Menghubungkan karakter Flint Marko (Sandman) dengan terbunuhnya kakek Peter sungguh ide konyol seperti penulis naskah tidak ada ide lain saja. Hal ini malah justru mementahkan cerita dua film sebelumnya yang telah dibangun demikian kuat. Siapapun tahu jika amnesia Harry kelak akan pulih di saat yang �tepat�. Karakter Bernard, pelayan Harry juga mendadak muncul di film dan seolah mengetahui segala persoalan tentang Harry, ayahnya dan Peter. Entah bagaimana ia bisa menyimpulkan luka tusukan di tubuh ayah Harry. Dan seperti sudah diduga� karakter Goblin Jr. muncul disaat kritis menolong sahabatnya� penonton pun bersorak riuh. Sungguh konyol! Amat disayangkan karakter Venom yang penuh pesona tidak muncul sejak awal dan harus menunggu hingga Peter mampu melepaskan �sifat buruk� yang ada di tubuhnya.

Bicara soal adegan aksi boleh jadi memang lebih gemerlap dan lebih �seru� dari dua film pendahulunya terutama karena adanya dua karakter musuh. Namun satu hal yang hilang tidak seperti pada dua film pendahulunya adalah unsur ketegangan. Mary Jane yang di dua film sebelumnya menjerit-jerit dan jatuh dari ketinggian kali ini melakukan hal yang sama. Siapapun tahu Mary Jane akan selamat. Sedemikian nyarisnya seorang karakter mendekati kematian tetap saja adegan tersebut tidak berarti apa-apa. Dan seperti telah diduga pula Goblin Jr. (Harry) akhirnya mati menyelamatkan nyawa sahabatnya. Tak ada kejutan maupun ketegangan sama sekali apapun bentuknya. Terlalu jauh jika membandingkan film ini dengan dua film pendahulunya namun menurut penulis bukanlah hal sulit bagi film ini untuk meraih keuntungan seperti dua film sebelumnya.

M. Pradipta

Waktu di Persimpangan


Demikian sinema menyajikan waktu yang bervariasi dalam sepanjang narasi, tentang kisah di masa lalu, masa depan juga masa kini. Semacam ada jejaring di dalamnya; yang mengupayakan si figur menandai: orang yang dikasihi, tetangga, rumah, kota dan lain sebagainya. Kisah yang dihadirkannya kemudian teracuni oleh citra-citra sepia yang hadir. Dan ia disebut kemudian alur kilas-balik; semacam upaya untuk mengelindankan citra-citra di kelampauan yang dihadirkan secara sengaja di masa kini.

Bagi Tornatore, alur kilas-balik mengujar sebuah usaha untuk mengelindankan rantai kisah yang putus; dan si figur tergugah untuk menghadirkannya kembali. Sewaktu Toto beroleh kabar; Alfredo telah meninggal dunia. Ingatannya kemudian melarat citra; semasa kecil, remaja hingga dewasa. Seorang yang kini telah berhasil dalam karirnya, terganggu lelap tidurnya begitu terucap nama: Alfredo. Dan akhir narasi �Cinema Paradiso�, Toto memandang nanap wajah-wajah serupa karib, bioskop yang ditinggalkan, alun-alun yang kini menjelma lahan parkir, dan tubuh Alfredo dalam peti mati. Juga dalam �Les Choristes�, Morhange bergegas pulang sewaktu ia beroleh kabar: ibundanya telah tiada. Melalui lisan Pepinot yang sempat bertandang ke rumahnya, sosok Matthieu akhirnya terkisahkan dengan jelas lewat buku hariannya.

Kilas-balik menyisakan sekisah gaib maupun suatu yang hadir tidak terduga; semacam ada kelindan kausal yang retak dalam waktu. Retaknya kelindan ini kemudian memberikan si figur sebentuk alasan untuk menandai citra-citra yang mungkin; apakah ia benar adanya atau hanya imajinasinya belaka. Ingatan si figur lalu meraba-raba peristiwa yang telah lewat. Upaya tersebut akhirnya menemani si figur menuju jalan bercabang; jalan yang memandunya menemukan keterserakan kisah maupun akhir pencariannya.

Upaya Toto untuk menemukan kisahnya di kelampauan hampir pungkas begitu ia berjumpa Elena, seorang yang pernah menjadi kekasihnya. Janjinya dahulu kepadanya untuk bertemu di kali terakhir sebelum mereka berpisah, tidak terwujud. Berpuluh tahun telah lewat, mereka akhirnya kembali bertemu. Usaha Alfredo untuk memisahkan keduanya terungkap sewaktu mereka saling bertukar cerita di gigir pantai. Harapannya yang pupus kemudian tergantikan oleh titipan Alfredo yang dilimpahkan kepadanya. Sehari menjelang keberangkatannya ke Roma, segulung diapositif itu kemudian diputar dan bercerita. Mengapa ia menitikkan air mata?

Gedung batu: Fond de l�Etang; rumah singgah anak-anak nakal. Tiba Clement Matthieu menjadi guru pengganti. Metode pembelajaran yang diterapkan Rachin, Aksi-Reaksi, tak mampu menjinakkan anak-anak yang liar. Berkat Matthieu yang sabar, akhirnya mereka bernyanyi. Anak-anak menjadi jinak; Rachin menanggapi sebaliknya. Iapun mengusir Matthieu. Dan anak-anak membisu sewaktu Matthieu pergi. Akhirnya dengan berat hati, Matthieupun pergi meninggalkan anak asuhannya. Semenjak ia pergi, segala telah berubah di Fond de l�Etang. Rachin ikut tersingkir dari tempat itu; sedangkan Matthieu melanjutkan impiannya: mengampu musik sepanjang hidupnya. Ingatan si figur seolah memandu narasi; namun seolah ada suatu keterputusan di dalamnya. Si figur seakan bertanya: bagaimana aku sampai di sana? Apa yang terjadi?

Persepsi atas citra di kelampauan lalu bersifat statis. Ia diberikan jangkauan dinamis oleh si figur guna mencapai keutuhan citra satu dengan citra lainnya. Ia menjelmakan sebentuk aksi sewaktu si figur berupaya menautkannya dengan citra optik juga akustik yang mewarnai kisah di kelampauan tadi. Citra serta deskripsi kemudian bersamaan hadir sebagai reaksi. Pun, pemaknaan atasnya kerap menjumpai jalan buntu; jalan di mana kehadiran keduanya berhenti hanya sebagai citra (akustik juga optik). Begitu ketertarikan si figur atas kesemua hal tersebut tereduksi hingga hampir pupus, akhirnya citra-citra tersebut dapat terbahasakan olehnya. Citra tersebut akhirnya terkenali oleh si figur: ia berbeda antara satu dengan yang lainnya.

Persepsi kemudian terbedakan dari ingatan: ia hanya menyanjung sebentuk obyek yang hadir berkat munculnya intuisi. Ia bersifat reaktif atas suatu aksi; serupa persepsi seseorang atas sebuah lagu yang muncul begitu ia mendengar senandung sumbang maupun kata yang diucapkan lamat oleh seseorang. Persepsi Toto dalam �Cinema Paradiso� muncul begitu teman tidurnya menyebut nama �Alfredo� di gigir gagang telepon. Begitupun persepsi Morhange hadir sewaktu Pepinot menyebut nama �Matthieu� sewaktu album foto dikenali isinya. Ingatan kemudian hadir bersama-sama persepsi; namun ingatan berujar sebaliknya. Ia berupaya menghadirkan obyek yang telah pupus tadi dengan jalan merekam kembali peristiwa yang telah bersedimentasi dalam pikiran. Cerita masa lalu yang unik kemudian tersuai lewat ingatan Toto dalam �Cinema Paradiso�; juga kisah �Fond de l�Etang� terlihat nyata melalui ingatan Morhange dan Pepinot.

Ingatan dan persepsi meniru dualisme antara roh dan tubuh. Persepsi menjadikan ingatan sebagai karib dalam pencariannya atas seklumit citra di kelampauan; namun ingatan tetap berada di sana sekalipun persepsi telah memisahkan dirinya lewat kematian. Guna menapis meruyaknya kejadian yang telah terekam oleh ingatan, pikiran kemudian berperan sebagai penyeleksi. Ia hanya memilih kejadian yang unik maupun penting. Tidak semua kejadian lalu diingatnya kembali. Ingatan yang dimaksud persepsi adalah ingatan yang murni dan tak teracuni (le souvenir pur); ingatan atas seklumit citra intim dan unik di masa lalu.

Titipan yang dialamatkan Alfredo kepadanya, turut mencukupkan pencarian Toto atas masa lalunya. Surga yang ia kenal adalah tempat yang paling dekat; tempat yang mewadahi ingatannya yang paling murni. Ia menyatukan segala kisah-kisahnya lewat adegan intim yang basi; bibir demi bibir saling memagut pasi. Begitulah kepergian Matthieu disambut oleh Pepinot sebagai sebentuk harapan untuk mengajaknya pergi. Sekalipun dengan berat hati, Matthieu akhirnya mengajaknya ikut serta dan menjadikannya anak angkat di kemudian hari. Harapan Pepinot untuk bertemu orang tuanya pada hari Sabtu akhirnya terkabul. Hari itulah kepergiannya dengan Matthieu.

Demikian juga persepsi serta ingatan serupa karib dalam benak si pencerita dalam seklumit episode �Du C�t� de Chez Swann�-nya Proust; bagaimana mengelindankan rasa dan waktu? Syahdan, si pencerita beroleh rasa sedemikian nikmat sewaktu kue Madelaine lunak menggayut di langit-langit mulut juga guyuran teh terjungkal di tubir tenggorokan? Dan ia terus bertanya-tanya: apakah rasa itu memang ada atau hanya igauan basi? Upaya si pencerita untuk menemukan suatu yang hadir dalam pencarian atasnya dari Combray hingga ke ajal menjemput dalam �Le Temps Retrouv��, menuai suatu yang berharga atau upaya yang sia-sia? Dunia yang dikembarai si pencerita semacam ini menyaran pada dunia partikular; sebuah dunia tertutup. Hanya ia yang memiliki? Dan kembara si pencerita akhirnya pungkas: �Sewaktu peristiwa di kelampauan tidak lagi dapat dipertautkan, setelah tiadanya makhluk, setelah pupusnya semua benda: aroma juga bau, tetap berada di sana�. Mereka yang telah mengarunginya sendirian seakan berkata: �Mengapa kita terlanjur bahagia?�

F. Taftazani

Sinema Ekspresionisme Jerman

Selama perkembangan era film bisu terdapat beberapa gerakan sinema yang sangat berpengaruh di dunia, salah satunya adalah aliran ekspresionisme di Jerman. Ekspresionisme sendiri bermula dari istilah seni lukis dan puisi sebelum berkembang ke seni literatur, seni pertunjukan, seni bangunan hingga akhirnya seni film. Ekspresionisme merupakan sebuah aliran yang mengekspresikan pikiran manusia secara abstrak; aliran yang menekankan pada emosi serta reaksi personal seorang seniman; berbeda dengan aliran realisme yang mengutamakan hasil karya persis seperti wujud aslinya.

Bermula pada awal Perang Dunia Pertama ketika industri film Jerman mulai disokong oleh pemerintah akibat minimnya produksi film mereka. Hasilnya produktivitas meningkat tajam dan studio-studio baru pun mulai bermunculan. Untuk mengontrol produksi serta distribusi film-film Jerman, pemerintah lalu membentuk perusahaan film yang bernama UFA (Universelfilm Aktiengesellschaft) pada tahun 1917. Produktivitas film pun semakin bertambah dan film-film Jerman bahkan mulai dikenal di dunia internasional. Persaingan yang semakin hebat terutama dari film-film Hollywood, memaksa industri film Jerman berpikir keras untuk menghasilkan karya-karya baru yang mampu bersaing dengan produksi luar.

Pada tahun 1919, sebuah studio kecil bernama Decla merekrut dua penulis, Carl Meyer dan Hans Janowitz yang memiliki sebuah naskah film yang unik. Mereka menginginkan film tersebut diproduksi dengan gaya yang berbeda. Penata artistik, Hermann Warm, Walter Reinman, dan Walter Rohrig lalu mengusulkan film tersebut dibuat dengan gaya ekspresionisme. Akhirnya film berjudul, Cabinet of Dr. Caligary (1919) arahan sutradara Robert Wiene diproduksi dengan bujet murah. Film ini ternyata sukses di seluruh Eropa bahkan hingga ke Amerika. Sukses Caligary membuat banyak para pelaku industri film Jerman meniru gaya yang sama dalam produksi film-film mereka. Gaya ekspresionisme lalu menjadi sebuah tren sinema yang bertahan hingga beberapa tahun.
..
Tidak kurang sutradara besar Jerman masa itu seperti Friedrich Wilhelm Murnau serta Fritz Lang ikut memproduksi film-film dengan gaya ekspresionisme. Murnau memproduksi, The Haunted Castle (1921) lalu film horor berpengaruh, Nosferatu (1922) serta Faust (1926); Lang bahkan memproduksi film berskala besar, sebuah epik historis, Die Nibelungen (1923) serta film monumental berlatar futuristik, Metropolis (1927). Sutradara lain seperti Carl Boese dan Paul Wegener memproduksi film horor The Golem (1921) diikuti Paul Leni melalui Waxworks (1923). Secara seporadik pengaruh gaya ekspresionisme bahkan sampai ke Perancis dan Rusia pada periode yang sama, seperti pada film-film, L�inhumaine (1924) dan The Cloak (1926).

Gaya ekspresionisme biasanya tampak pada film bertema fiksi, fantasi, dan horor. Secara estetik, gaya ini tampak pada aspek mis� en scene*, yakni latar atau setting, perabot, kostum, pencahayaan hingga karakternya yang wujudnya tidak realistik. Latar seringkali digambarkan tidak lazim, bentuknya tidak beraturan serta surealistik. Sebuah jendela rumah misalnya, bisa digambarkan berbentuk lingkaran, segitiga atau bahkan tidak beraturan. Rumah, pepohonan, jalan, jembatan dan lainnya digambarkan unik seolah latarnya menyerupai lukisan. Permainan gelap-terang sangat dominan dan kerap kali menggunakan efek bayangan. Karakter utama seringkali menggunakan kostum yang unik, ber-make up tebal, serta bergerak atau berjalan tidak seperti manusia umumnya.

Inflasi yang melanda Jerman di awal 20-an sedikit banyak mempengaruhi perkembangan gerakan ini. Biaya untuk memproduksi film-film ekspresionis menjadi lebih mahal. Film-film ekspresionis berbujet besar seperti Faust dan Metropolis ternyata juga gagal di pasaran, sehingga studio tidak lagi mau berjudi dengan memproduksi film-film sejenis. Situasi politik di Jerman yang tidak lagi kondusif juga menyebabkan para pelaku industri Jerman sebagian besar hijrah ke Eropa dan Amerika, termasuk Murnau dan Lang. Mulai tahun 1927, gerakan ekspresionisme dinyatakan telah berakhir; Cabinet of Dr. Caligary (1919) adalah film yang pertama dan Metropolis (1927) adalah film yang terakhir. Walaupun gerakan ini secara formal sudah berakhir namun pengaruh ekspresionisme tidak pernah hilang hingga kini.

Pengaruh Aliran Ekspresionisme

Walaupun gaya ekspresionisme hanya berumur tujuh tahun namun pengaruhnya begitu besar bagi perkembangan industri film di dunia. Banyaknya pelaku industri Jeman yang pindah ke Amerika kala itu juga membuat film-film Hollywood terpengaruh gaya ekspresionisme. Gaya ini terutama mempengaruhi film-film horor produksi Universal di era 30-an tampak pada latar dan karakter monsternya; film noir* di era 40-an tampak pada pengaturan tata cahaya serta penggunaan bayangan; serta film-film karya Orson Welles. Di Jerman sendiri pengaruh gaya ini masih tampak hingga awal 30-an, seperti M (1931) dan Testament Dr. Mabuse (1932), keduanya karya Lang.
.
Hingga kini pengaruh ekspresionis masih tampak dalam beberapa film, dan biasanya hanya terbatas pada jenis film fiksi atau fanstasi. Diantaranya film-film fiksi populer seperti, Brazil (1985), 12 Monkey (1995), Dark City (1998), Lemony Snicket�s A series of Unfortunate Events (2004), serta yang terbaru Pan�s Labyrinth (2007). Namun hingga kini tercatat hanya satu sineas yang nyaris seluruh karyanya loyal memakai gaya ekspresionis, yakni Tim Burton. Burton menggunakan semua elemen estetik ekspresionis nyaris sama seperti film-film ekspresionis aslinya, baik setting, kostum, karakter hingga tata cahayanya. Bahkan bisa dibilang ia melebihi para pendahulunya karena tidak hanya elemen visual semata namun Burton juga menggunakan ilustrasi musik yang khas dalam semua filmnya oleh komposer Danny Elfman. Film-filmnya antara lain, Beetle Juice (1987), Batman (1989), Edward Scisscorhands (1990), Sleepy Hollow (1999), Planet of the Apes (2001), Big Fish (2003), serta Charlie and the Chocolate Factory (2005).


Himawan Pratista

Pan's Labyrinth

 Antara Fantasi dan Realitas

Pans�s Labyrinth sejauh ini boleh dibilang adalah film berbahasa asing bergaya ekspresionis yang paling sukses secara kritik. Dalam ajang Academy Awards tahun ini, Labyrinth sukses mendapatkan enam nominasi Oscar dan menjadi kandidat kuat peraih film berbahasa asing terbaik. Dalam puluhan ajang bergengsi lainya termasuk diantaranya, Golden Globe dan Cannes, Labyrinth sukses mendapatkan total lebih dari 30 buah penghargaan. Sejak sukses film ekspresionis pertama Cabinet of Dr. Caligary (1919) hingga sukses Pan�s Labyrinth (2006) telah membuktikan bahwa gaya ekspresionis tidak pernah surut bahkan semakin matang. Boleh jadi kita masih akan melihat karya-karya bergaya ekspresionis yang lebih baik lagi di masa datang; atau mungkin ada sineas kita yang berminat menggunakan gaya ini dalam produksi filmnya.

Pans�s Labyrinth merupakan perpaduan antara tema fiksi dan drama berlatar era fasisme masa perang dunia kedua di Spanyol. Film ini merupakan arahan sutradara besar Meksiko, Guillermo del Toro. Filmnya berkisah tentang seorang gadis cilik bernama Ofelia yang konon merupakan titisan putri Moanna yang lari dari sebuah kerajaan antah berantah di dalam perut bumi. Diceritakan Ofelia dan ibunya yang hamil tua pindah untuk tinggal bersama ayah tirinya, Capit�n Vidal yang merupakan seorang pemimpin pasukan militer di garis depan melawan pasukan pemberontak. Vidal merupakan sosok yang ditakuti anak buahnya, sadistik, ambisius dan kejam. Di tempat tinggal barunya, Ofelia kemudian dituntun oleh seekor �peri� masuk ke sebuah labirin hingga bertemu sosok makhluk aneh bernama Faun. Faun memberikan tiga buah ujian pada Ofelia yang harus diselesaikannya sebelum bulan purnama agar sang gadis dapat kembali ke tempat asalnya. Tanpa disadari Ofelia, tiga hambatan yang dihadapinya ternyata berdampak besar pada kehidupan nyata.

Labyrinth merupakan kisah bertema unik yang sejauh pengamatan penulis belum pernah diangkat sebelumnya. Sejak awal kita dibawa ke dunia dongeng yang seolah mengisyaratkan bahwa film ini adalah untuk anak-anak. Namun adegan sadistik yang diperlihatkan Vidal pada awal film membuang jauh-jauh isyarat tersebut. Del Toro yang telah berpengalaman memproduksi film-film bernuansa horor seperti Devil�s Backbone, Blade II dan HellBoy tampak jauh lebih matang dalam menangani Labyrinth. Dari awal hingga klimaks Del Toro mampu menjaga keseimbangan serta ketegangan alur cerita dengan sempurna antara dunia Ofelia (mimpi) dan dunia Vidal (nyata). Pengaruh gaya ekpresionis hanya tampak pada dunia Ofelia dari setting hingga karakter-karakter unik, seperti faun, katak raksasa serta monster dengan mata di kedua telapak tangannya. Salah satu kekuatan film ini adalah permainan akting yang kuat dari Sergi Lopez sebagai sosok Capit�n Vidal yang terjebak dalam ambisinya. Aktris belia, Ivana Baquero yang berperan sebagai Ofelia bermain tidak kalah menawannya. Wajah sendunya mampu menampakkan kesedihan Ofelia yang begitu mendalam namun di saat yang bersamaan ia bisa tersenyum menampakkan mimpi dan harapannya.

Dunia Ofelia yang ekspresionistik sangat jauh berbeda dengan dunia Vidal yang realistik. Ofelia terjebak dalam labirin fantasinya seperti juga Vidal terjebak dalam labirin ambisinya. Suatu ketika Faun muncul dan Ofelia yang baru saja kehilangan ibunya langsung memeluk erat mahluk bersosok seram tersebut, begitu pula Vidal yang menembak Ofelia pada klimaks film, menunjukkan betapa kuat upaya mereka untuk mempertahankan mimpi dan ambisinya masing-masing. Ofelia dan Vidal hidup di dunia yang saling berlawanan. Ofelia merupakan simbol cinta, kepolosan, kemurnian jiwa, mimpi, dan harapan yang dimiliki tiap manusia. Sementara Capit�n Vidal merupakan simbol kebencian, ambisi berlebihan, ketamakan, serta sisi gelap yang dimiliki tiap manusia. Semua yang dialami Ofelia adalah realitas baginya namun bagi kita segala hal yang terlihat bisa jadi cuma ilusi belaka, persis seperti apa yang kita lihat melalui mata Capit�n Vidal, hanya kebencian semata. Cinta memang hanya bisa tampak bagi orang yang mampu menemukannya; jika tidak seseorang akan selamanya terjebak dalam labirin yang ada pada dirinya.

Himawan Pratista

Kuntilanak Versi Baru


Kisah Kuntilanak diawali oleh mimpi buruk yang tiap kali menghantui Sam (Julie Estelle). Sam lalu pindah dari rumahnya dan mendapatkan kost di sebuah rumah kuno disamping areal pekuburan. Sejak pindah ke rumah tersebut Sam mengalami kejadian-kejadian aneh yang berhubungan dengan mimpinya. Sam berulang kali seperti kerasukan mahluk halus jika ia disakiti oleh seseorang dan orang tersebut tak lama tewas dengan kondisi mengenaskan. Perilaku Sam bertambah aneh dan bahkan ia mulai menyakiti pacarnya, Agung (Evan Sanders) serta membunuh rekan satu kostnya, Dinda (Ratu Felisha) yang sama sekali tidak bersalah. Belakangan diketahui jika sang pemilik rumah ternyata memelihara Kuntilanak untuk pesugihan dan anak-anak kost merupakan tumbalnya. Sam yang ternyata juga memiliki wangsit untuk memanggil Kuntilanak harus berhadapan sang pemilik rumah untuk menyelamatkan Agung.

Apa yang terbayang ketika mendengar kata, Kuntilanak. Menurut mitos awam, Kuntilanak merupakan sosok gaib yang berwujud wanita berambut panjang, berpakaian putih dan suara �tertawa� yang khas. Namun sosok Kuntilanak dalam film ini sangat berbeda jauh. Sang sutradara, Rizal Mantovani menggambarkan Kuntilanak sebagai mahluk gaib yang memiliki wujud separuh wanita separuh kuda. Diceritakan Kuntilanak setelah dipanggil masuk ke alam manusia melalui perantara sebuah cermin khusus. Cara memanggilnya pun cukup unik yakni dengan mendendangkan tembang Durmo. Patut dihargai usaha sang sutradara untuk menggali mitos-mitos mahluk gaib lokal seperti telah dilakukan sebelumnya lewat Jelangkung. Namun ada hal-hal yang sedikit kurang jelas seperti fungsi tanda yang ada di pundak belakang Sam; mengapa Agung tidak mati setelah ia �dikutuk� oleh Sam; serta motif membunuh Dinda yang dirasakan kurang beralasan.

Salah satu nilai lebih film ini adalah keberhasilan sang sutradara membangun atmosfir yang mencekam serta penuh misteri melalui latar rumah kuno peninggalan Belanda yang suram dengan dukungan ilustrasi musik mistikal dari Andi Rianto. Perabotan antik seperti lemari, ranjang, kursi serta cermin cukup mendukung suasana. Hanya saja yang menjadi pertanyaan sekarang, orang waras mana yang mau tinggal atau indekost di sebuah rumah kuno besar yang tidak terawat di sebelah areal pekuburan pula. Alasan biaya kost murah tidak bisa lantas begitu saja dijadikan alasan utama mereka mau tinggal disana. Terlebih lagi para penghuni kost juga digambarkan sebagai orang-orang yang penakut. Kalau mereka memang calon tumbal yang sudah sejak awal �ditarik� untuk tinggal disana, mengapa tidak semua melainkan hanya tiga orang penghuni saja yang tewas.

Setting serta ilustrasi yang telah mendukung sayangnya tidak mampu diimbangi oleh unsur-unsur ketegangan yang dibangun. Ketegangan justru menurun drastis ketika sang pemilik rumah muncul menjelaskan semuanya; kucing-kucingan antara Sam dengan Kuntilanak yang ingin keluar lewat cermin juga terlihat tampak konyol; juga tidak jelas apa yang selama ini merasuki Sam padahal Kuntilanak masih ada dalam �cermin�. Untuk film bertema horor, Kuntilanak relatif tidak menakutkan dan mungkin akan lebih pas jika disebut sebagai film misteri. Sekali lagi usaha untuk menggali potensi mahluk gaib yang telah membumi pada masyarakat kita perlu diacungi jempol. Setidaknya sejauh ini Kuntilanak boleh dibilang secara tema dan estetik lebih baik dan matang daripada film-film horor kita sebelumnya.

Goegi Poerwono

Mendadak Dangdut, Benar-Benar "Dangdut"


Mendadak Dangdut berkisah tentang Petris (Titi Kamal), seorang penyanyi pop yang sedang naik daun, bersama kakak sekaligus manajernya, Yulia (Kinaryosih). Suatu ketika mereka ditangkap polisi karena didalam mobil yang mereka tumpangi terdapat heroin seberat 5 Kg milik pacar Yulia. Takut akan ancaman hukuman mati membuat mereka akhirnya memutuskan untuk melarikan diri. Dalam pelarian tersebut tanpa sengaja mereka bertemu dengan Rizal, seorang pemain organ tunggal yang baru saja kehilangan penyanyi dangdutnya ketika akan melakukan show disebuah kampung. Petris akhirnya naik pentas untuk bisa mengelabui polisi yang mengejarnya. Dalam perkembangan selanjutnya mereka akhirnya terpaksa tinggal bersama Rizal untuk bersembunyi menghindari kejaran polisi. Selama persembunyian, Petris menjadi penyanyi dangdut dari kampung ke kampung untuk membiayai hidup mereka. Alur cerita serta konflik pun berkembang antara Petris, Yulia, dan orang-orang disekitar mereka. Peristiwa-peristiwa yang mereka lalui pada akhirnya membuat Petris sadar kalau selama ini ia tidak pernah menghargai orang lain.

Dangdut!. Hal pertama yang terlintas dibenak penulis ketika mendengar kata tersebut adalah jenis musik dengan penyanyi bersuara pas-pasan dengan goyang erotis dan kostum yang seksi. Yang kedua adalah ide-ide tentang kalangan masyarakat bawah, kemiskinan dan kesengsaraan. Walaupun saat ini dangdut telah menjelma menjadi musik populer dan tidak lagi selalu dikonotasikan dengan ide-ide tersebut, namun sang sutradara, Rudi Soedjarwo, tetap menggambarkan dangdut seperti kedua hal tersebut dengan cukup pas. Hal ini tampak dalam pemilihan setting, kostum, dan ilustrasi musik atau lagu yang digunakan.

Namun semua hal tersebut menjadi sia-sia ketika konflik serta plot yang dibangun terasa saling bertabrakan dan tumpang tindih. Alur cerita yang tidak logis dan pemaksaan adegan membuat adegan-adegan selanjutnya menjadi tidak berarti. Bila anda mencermati ringkasan cerita pada awal tulisan ini anda pun sudah dapat melihat ketidaklogisan alur cerita, yang dapat dikatakan merupakan kelemahan utama film ini. Selanjutnya, apakah hanya sesederhana itu perlakuan polisi kepada seseorang yang kedapatan membawa 5 Kg heroin? Kenapa Petris dan Yulia harus tinggal bersama Rizal? Apakah mereka tidak memiliki siapa-siapa lagi selain keluarga mereka di Manado? Apakah orang-orang disekitar mereka tidak ada yang mengenali Petris yang notabene adalah seorang penyanyi pop terkenal ? Dan yang paling fatal adalah kenapa pacar Yulia tidak membawa heroin miliknya ketika ia keluar dari mobil ?. Tidak ada penjelasan yang tuntas dari setiap adegan membuatnya seolah terpisah satu sama lain sehingga tidak mampu membangun keseluruhan cerita dengan baik. Seperti kebanyakan film-film kita, dialog serta akting yang lemah juga masih tampak dominan dalam film ini.

Terlepas dari semua kelemahan yang ada, usaha untuk mengangkat tema menyangkut budaya lokal yang sudah mengakar kuat di masyarakat perlu kita hargai. Dengan mengangkat tema lokal membuat beberapa unsur dalam film ini berhasil �masuk� serta �diterima� berbagai lapisan penonton. Keberhasilan tersebut dapat dilihat dari, sebagai contoh, dijadikannya mendadak dangdut menjadi tema party ditempat hiburan kelas atas dan juga menjadi salah satu judul dan tema program acara di salah satu stasiun televisi nasional. Ilustrasi musik atau lagu yang digunakan pun cukup pas sehingga dapat membuat penulis menjentikkan jari untuk mengikuti irama-iramanya. Jablai, salah satu lagu dalam film ini, bahkan hingga saat ini menjadi lebih populer dari filmnya sendiri. Mengutip salah satu lirik dalam lagu Jablai, �Lai lai lai lai lai lai, panggil aku si jablai�� Mendadak Dangdut, benar-benar dangdut! 

Adithya Nugroho

Ekskul dan Ilustrasi Musik Gladiator

Seperti sudah kita ketahui bersama film Ekskul yang memenangkan penghargaan film terbaik Festival Film Indonesia (FFI) banyak menuai kontroversi seputar tuduhan pelanggaran hak cipta terhadap film tersebut. Beberapa artikel harian surat kabar seperti Kompas mengatakan bahwa film ini menggunakan ilustrasi musik mirip dengan film aksi Hollywood, Gladiator serta film perang Korea, Taegukgi. Beberapa rekan-rekan yang menonton film ini juga banyak berkomentar bahwa ilustrasinya mirip film ini, film itu dan sebagainya. Para pembaca sendiri yang telah menonton filmnya mungkin juga merasakan hal yang sama. Lalu bagaimana sebenarnya ilustrasi musik film Ekskul sendiri? Apa benar film ini mengambil ilustrasi musik film lain atau di aransemen ulang? Sebelumnya perlu ditekankan bahwa tulisan ini sama sekali tidak menyudutkan pihak manapun dan tidak bertujuan apapun kecuali hanya menyajikan fakta semata. Siapapun bisa membuktikan sendiri fakta-faktanya.

Di saat film baru berjalan sekitar 10 menit saja penulis sudah beberapa kali menggelengkan kepala karena ilustrasi musiknya memang mirip dengan beberapa film. Filmnya sendiri sejak awal hingga akhir tidak memiliki ilustrasi musik yang konsisten, nyaris tiap adegan berganti selalu menggunakan ilustrasi musik yang berbeda. Bagi para penggila film, pasti tahu persis jika ilustrasi musiknya sebagian besar diambil dari beberapa film populer. Ketika selesai menonton film, setidaknya penulis langsung bisa mengenali tiga film menggunakan ilustrasi musik yang �mirip� yakni, Gladiator, Bourne Supremacy, dan Munich. Beberapa ilustrasi musik lainnya terasa akrab ditelinga namun penulis belum bisa langsung mengindentifikasinya (belakangan diketahui Taegukgi). Lebih jauh penulis meneliti satu persatu film-film bersangkutan ternyata musiknya tidak hanya mirip namun memang sama persis. Terapan ilustrasi musik Gladiator dan Munich nyaris sama yakni hanya mengambil sebagian kecil musik serta suara vokal sebagai ungkapan kesedihan atau penderitaan. Sedangkan Bourne seringkali digunakan untuk memperkuat adegan aksi.

Suara �vokalGladiator setidaknya digunakan beberapa kali. Seperti pada adegan menit-menit awal saat penonton diperlihatkan pertama kali suasana ruang sandera dan beberapa kali ketika Joshua selesai dipukuli teman-temannya. Suara �vokal� Munich terdengar pada adegan ketika seorang guru berkomunikasi dengan Joshua melalui HT. Sementara ilustrasi musik film aksi, Bourne Supremacy paling sering digunakan dalam film ini. Seperti misalnya ilustrasi musik menghentak pada adegan awal ketika polisi-polisi berloncatan dari truk dan berjaga-jaga di sekitar sekolah, sama persis dengan adegan klimaks dalam Bourne ketika adegan kejar-mengejar mobil di dalam terowongan. Juga ilustrasi musik ketika Joshua menyelinap masuk ke ruang guru untuk membuat surat palsu, sama persis dengan adegan awal dalam Bourne ketika dua agen rahasia terbunuh di Berlin. Serta banyak contoh lainnya yang para pembaca bisa cermati sendiri bila berminat.

Sangat disayangkan kenapa kasus ini baru muncul setelah film ini dinyatakan sebagai pemenang FFI. Sekalipun film ini tidak dinominasikan dalam ajang FFI mestinya �pelanggaran� ini oleh pihak yang berwenang telah diklarifikasi terlebih dahulu terkait ijin hak cipta serta ketentuan hukum lainnya. Sangat aneh jika kesalahan mendasar seperti ini bisa dibiarkan terjadi (atau barangkali memang tidak terdeteksi sebelumnya). Tidak hanya film Ekskul saja, sebenarnya kasus serupa juga beberapa kali tampak pada film-film lainnya. Apapun alasannya hal ini jelas menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam industri perfilman kita. Biarlah film Ekskul kita jadikan pengalaman untuk seluruh pelaku industri film agar tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Setidaknya kita mampu menghargai hasil karya cipta orang lain jika ingin hasil karya cipta kita dihargai oleh orang lain. Bagaimana mungkin kita bisa mengirimkan pesan cinta jika kita sendiri tidak mengerti apa arti cinta.

Himawan Pratista

Tentang Gaya dalam Sinema

Soalnya tentang gaya. Begitulah kita beroleh cara bertutur; sebuah konsep yang tegak namun labil dari cakrawala orang kedua. Kepemilikannya tertentu. Hanya individu saja yang simpati padanya. Seturut dengan Nietszche, ia bersifat menaik juga menurun. Apa yang seorang tutur kemudian bersifat majemuk: entah sebuah pesan atau seklumit pertanyaan. Ada keterserakan pada suatu yang si fulan sampaikan. Entah ia mengacu pada suatu keutuhan maksud atau pembicaraan. Kita lalu mengujar: ia mengutuh atau bertumpangtindih dalam keterserakan.

Katakanlah sinema itu hampir secarik teks atau suatu yang ingin melampaui teks: serupa bahasa atau arca batu yang bercerita. Ada keberjarakan sewaktu kita berupaya mengurai maksud atau pesannya. Dan sineas membentangkannya telanjang di hadapan pemirsa. Apakah pemahaman si pemirsa atas sinema berakhir pada sinema itu sendiri? Lalu kita bilang: �Sineas telah mati�. �Je est un autre�!, sambut penyair Rimbaud. �Soi-m�me comme un autre�: �Saya serupa orang lain�, ucap Ricoeur. Lantas sineas hanya mengujar keberpihakan semu; sinema hanya milik pemirsa. Laiknya sekeping cermin, keutuhan maksud itu didapat dari jangkauan si pemirsa antara sinema dan dirinya. Sineas lantas terabukan; hanya ada tanda-tanda yang kita tafsir pada karyanya yang posthume.

Tanda dan sewenang-wenang bertubuh. Cukup kita jumpai hadirnya pada adegan-adegan lambat dalam sinema yang terserak. Tanda-tanda yang mengada tidak berujar suatu yang kita anut secara umum: misal sekuntum bunga untuk cinta, sebuah gitar untuk penggambaran tubuh yang sempurna. Dan puisi surealis Desnos hanya mengujar pesona wanita terletak pada giginya. Penggambaran tersebut begitu meleset ketika Man Ray mengadaptasikannya ke dalam �L��toile de Mer�(1928). Apakah pesona wanita terujar pada betisnya yang jenjang? Dan apa yang ia maksud dengan bintang laut, senada dengan judul di atas? Hanya kita beroleh tanda dimaksud serupa kepingan acak. Lantas kita sempat berpaling. Apa yang ingin mereka sampaikan? Hanya kita jumpai kemudian seklumit peristiwa remeh dan banal.

Mari kita sebut sinema yang melantun sumbang itu mosaik. Ada semacam keniskalaan sewaktu kita mencapai lembah maknanya. Makna yang ingin tersampaikan tidak terlekat pada kulit terluar; namun ia bertubuh pada sinema dan sineas yang bergerak semakin menjauh. Dan pemirsa kemudian menempatkan posisinya. Pemaknaan pemirsa atas sinema diawali penundaan membaca atasnya. Ia dihadirkan secara sengaja. Model perselingkuhan itu dilanjutkan kemudian dengan proses mengelindankan sinema atas dunia sekelilingnya, dirinya. Kemungkinan diciptakan untuk memaknai suatu yang masih samar. Dan sinema yang kita bicarakan bisa kita jumpai pada �400 Coups�-nya Truffaut juga �Contes de Quatre Saisons�-nya Rohmer. Ketakjuban kita berpihak pada apa yang ingin mereka sampaikan. Dan perjalanan kita memahaminya masih berlanjut?

Keberlimpahan makna tidak secara harfiah kita jumpai dalam ungkapan verbal, seperti tutur opera sabun kita. Apakah sinema religius selalu menyaran pekatnya peci hitam, sesusun manik-manik berwarna pelangi, atau kibaran sarung bermotif jalang? Lalu kesedihan ditunjukkan oleh rembihnya tetes-tetes asin di sela pelupuk mata? Bahagianya bercinta selalu merujuk pada perjumpaan sepasang kekasih di gigir telaga? Tentu semua bermuara pada sebuah cara bertutur; yang tak berujung pada sebuah pembuktian � la Cartesian. Sebuah dunia di atas menawarkan keterserakan. Sinema semacam ini mesti enggan dijuluki sebagai guru, seorang yang ingin digugu atau ditiru. Ia serupa sebuah lukisan. Dan kita memaknainya? �Hypocrite lecteur, mon semblable, mon fr�re!�: wahai pembaca munafik, sesamaku, saudaraku.

F. Taftazani

Sejarah French New Wave

Pada sekitar pertengahan abad 20 muncul beberapa gerakan sinema yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan industri film di dunia. Salah satu gerakan sinema yang terbesar dan paling berpengaruh pada masa itu adalah French New Wave. French New Wave dipelopori oleh nama-nama seperti, Fran�ois Truffaut, Jean-Luc Godard, Claude Chabrol, Eric Rohmer dan Jacques Rivette. Tidak seperti gerakan sinema lainnya, French New Wave awalnya muncul dari para kritikus muda yang gemar menulis pada sebuah jurnal sinema berpengaruh di Paris bernama, Cahiers du Cinema. Truffaut dan rekan-rekannya banyak mengulas karya-karya sutradara besar seperti, Alfred Hitchcock, John Ford, Orson Welles, Jean Renoir, Roberto Rosselini serta menjuluki mereka sebagai auteur. Mereka sangat mengagumi auteur karena masing-masing memiliki visi personal sehingga film-film mereka memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Para kritikus muda ini juga gemar melakukan kritik film-film mainstream Perancis pada masa itu yang mereka anggap terlalu menekankan pada alur cerita tanpa sedikitpun memiliki visi sinematik.

Tidak puas dengan sekedar melakukan kritik mereka akhirnya terpancing juga untuk memproduksi film. Mereka saling membantu satu sama lain dengan meminjamkan uang, kamera dan peralatan, saling bertukar skrip dan mulai membuat film-film pendek di lokasi sekitar mereka. Dengan berbekal pengetahuan sinema yang mereka miliki tanpa diduga akhirnya mereka mampu menghasilkan karya -karya unik yang dianggap merupakan terobosan baru dalam sejarah sinema. Film-film seperti The 400 Blows (Truffaut), Les Cousins (Chabrol) dan Breathless (Godard) menandai munculnya sebuah gerakan sinema baru yang dinamakan French New Wave. Film-film tersebut tidak hanya sukses secara komersil namun juga sukses mendapatkan berbagai pengakuan internasional hingga gerakan ini tidak hanya berpengaruh di Perancis namun juga menyebar ke seluruh Eropa hingga seluruh penjuru dunia. Film-film French New Wave secara umum memiliki karakteristik yang khas seperti, penggunaan kamera tangan ala dokumenter, bujet produksi yang minim, menggunakan skrip kasar, kru film berjumlah kecil, penggunaan aktor non profesional atau amatir, mengambil lokasi syuting di lokasi sesungguhnya (non studio) dan mereka bekerja di luar industri film mainstream.

Tema film-film French New Wave banyak dipengaruhi film-film atau sutradara yang menjadi favorit mereka. Seperti Chabrol banyak terinsipirasi dari film-film karya Hitchcock sedangkan Godard banyak terinspirasi dari film-film gangster klasik Hollywood. Namun keistimewaan French New Wave bukanlah terlihat dari sisi tema melainkan lebih ke aspek teknis. Beberapa pengamat pernah berkomentar tentang film The 400 Blows yang temanya dianggap bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Godard membela rekannya, bukan materi (tema) yang membuat film tersebut istimewa namun bagaimana materi tersebut diperlakukan atau dengan kata lain bukan isinya yang terpenting namun menekankan pada bagaimana cara mengemas isinya. Dalam Breathless, Godard memakai tema kriminal sederhana dengan mengambil lokasi syuting di jalanan, kafe dan apartemen di kota Paris. Godard hanya menggunakan pencahayaan seadanya yang terdapat pada lokasi syuting. Ia juga terkadang membiarkan para pemainnya untuk berimprovisasi dengan dialognya. Terakhir Godard menggunakan gaya editing khasnya, jump cut hingga membuat Breathless menjadi film yang sangat unik dan menjadi bahan perbincangan pengamat sinema di mana-mana.

Pengaruh French New Wave hingga kini tidak pernah hilang. Bisa dibilang setiap film independen yang ada diseluruh dunia sedikit banyak dipengaruhi oleh gerakan ini. Hal ini terbukti dengan munculnya gerakan sinema independen di Amerika, Inggris, Jerman dan lainnya hanya beberapa tahun setelah gerakan French New Wave muncul. Sutradara-sutradara besar masa kini seperti, Martin Scorcese, Robert Altman, Steven Soderberg, hingga Quentin Tarantino seringkali menggunakan elemen-elemen yang tampak dalam film-film French New Wave. Gerakan French New Wave tidak hanya menawarkan karya seni film yang bernilai serta orisinil namun lebih dari itu mampu menunjukkan bahwa pembaruan dan perkembangan di bidang industri film dapat pula dilakukan oleh pemuda-pemuda berani dan berbakat yang hanya dilandasi dari kecintaan mereka terhadap sinema. Godard suatu ketika pernah berkata, �Kita semua adalah kritikus sebelum membuat film, .Dan saya mencintai semua jenis filmSinemalah yang membuat kami atau paling tidak saya berkeinginan membuat film. Saya sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kehidupan kecuali melalui sinema�. 


Himawan Pratista

Indonesian "New Wave"?

Industri film Indonesia telah mengalami pasang surut dalam sejarah perkembangannya. Setelah mengalami masa puncak pada dekade 70-an hingga 80-an, mulai awal dekade 90-an industri perfilman Indonesia dianggap banyak para pengamat mengalami mati suri terbukti dengan dibekukannya Festival Film Indonesia setelah tahun 1992. Pada awal dekade ini industri film Indonesia kembali bangkit dipicu oleh beberapa film yang sukses menyedot ratusan ribu penonton. Ada dua film yang sangat menonjol mengawali dekade ini yakni, Jelangkung (2001) dan Ada Apa dengan Cinta? (2002). Setelah sukses komersil luar biasa dua film tersebut dalam jangka waktu yang tidak lama muncul film-film yang memakai tema sejenis, yakni tema remaja dan horor. Terlepas dari segala pencapaian estetik yang dicapai film-film tersebut dari titik inilah kami menyebut momen ini dengan istilah Indonesian New Wave. Sebuah gerakan, semangat serta gairah baru bagi industri perfilman Indonesia yang bisa kita katakan masih berlangsung hingga kini.

Berbeda dengan gerakan New Wave Perancis, gerakan sinema kita tidak memiliki karakter estetik yang khas. Tendensi yang tampak dalam gerakan sinema kita adalah yang tampak dalam gerakan sinema kita adalah memakai tema roman atau horor yang terorientasi untuk kalangan penonton remaja atau kaum muda. Fokus pada penonton remaja seolah menjadi suatu keharusan karena merekalah yang mendominasi penonton bioskop kita sehingga menjadi jaminan sukses tidaknya suatu film. Suatu film dibuat semata-mata bertujuan untuk meraih keuntungan sebanyak-banyaknya memang sah-sah saja namun bagaimana sebenarnya tingkat pencapaian sinema kita. Apakah memang film-film kita sudah layak bersaing dengan film-film asing? Anda bisa menjawabnya sendiri. Memang fakta bahwa beberapa film-film kita laris di kalangan penonton domestik namun apakah film kita bisa sukses secara komersil di negara luar serta apakah film-film kita sebenarnya sudah mampu berbicara di level Oscar, misalnya.
.
Kelemahan mendasar yang sering terlihat dalam film-film kita adalah motivasi plot yang sangat lemah. Seringkali kita tidak mampu melihat rangkaian hubungan sebab akibat yang kuat serta konsistensi dalam sebuah alur cerita. Plot lemah juga seringkali semakin diperburuk dengan dialog yang lemah dan tidak berguna. Memang beberapa film-film kita telah memiliki pencapaian sinematografi yang cukup baik dengan menyajikan komposisi serta gambar yang kuat. Namun apalah arti sebuah gambar yang indah jika film tersebut tidak memiliki plot yang kuat. Beberapa film kita juga tampak sudah mencoba untuk bermain-main dengan bahasa visual dan hasilnya memang terlihat baik (baca:keren) namun seringkali mereka masih memakai teknik tersebut dalam konteks dan momen yang tidak tepat. Dialog yang lemah secara tidak langsung juga mempengaruhi pencapaian akting dari para pemainnya sekaliber apapun dia. Beruntung film-film kita seringkali banyak tertolong oleh lagu soundtrack manis yang kebetulan memang pas dengan cerita serta tema filmnya.

Dari beberapa kelemahan diatas rasanya masih sulit jika film-film kita harus bersaing dengan film-film asing secara komersil apalagi untuk bisa berbicara di level internasional. Salah satu penyebab utama adalah karena industri film kita belum memiliki instrumen yang mampu mengontrol kualitas film dengan baik. Kontrol kualitas tersebut umumnya dilakukanoleh para kritikus film yang sudah mengakar di negara-negara luar. Tanpa adanya kritikus film yang berpengalaman selamanya sinema Indonesia tidak akan berkembang dan selalu akan berjalan di titik yang sama. Di sebuah harian nasional seorang kritikus lokal pernah mengomentari sebuah film kita yang dianggapnya terlalu monoton karena selalu mengambil gambar yang statis. Apakah dengan gambar yang dinamis film sudah pasti tidak monoton? Apakah dengan hanya menggunakan gambar yang statis lantas sebuah film tidak bisa dikatakan istimewa? Semuanya sangat relatif dan sejarah juga telah membuktikan bahwa film-film dengan tema dan teknis sederhana yang berkualitas tinggi jumlahnya tidak sedikit.

Festival Film Indonesia sejak dua tahun belakangan juga sudah mulai muncul kembali. Hal ini tentu saja sangat positif bagi perkembangan sinema kita hanya saja perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas dari seluruh para pelaku industri jika kita ingin berbicara di level yang lebih tinggi. Para pelaku industri film kita tidak perlu terlalu besar kepala dengan hasil yang telah kita capai karena kita memang belumlah apa-apa. Yang perlu kita lakukan sekarang tidak lain adalah belajar� belajar dan belajar untuk bisa sama-sama memajukan sinema kita. Bagaimana mungkin kita bisa menghasilkan suatu karya yang baik jika kita tidak memahami apa dan bagaimana karya yang baik itu. Kita bisa mengambil teladan dari Truffaut dan kawan-kawannya sebelum mereka menjadi sutradara ternama. Mereka telah memiliki pengetahuan yang luas tentang film baik bentuk, gaya, tema, teknik dan segala jenis film dari ribuan film yang mereka tonton. Mereka tidak menjadi sutradara karena tekanan dari siapapun namun lebih disebabkan karena kecintaan mereka pada film. Film telah menjadi bagian dari hidup mereka. Jika para pelaku industri kita tidak memiliki kecintaan yang sama terhadap film maka semua akan sia-sia karena selamanya film akan menjadi barang dagangan semata. Mengutip kata-kata Godard yang ditujukan untuk para sutradara mainstream di Paris kala itu, �Pergerakan kameramu sangat buruk karena subyeknya buruk, para pemainmu berakting sangat buruk karena dialognya tidak bermakna, dalam satu kalimat, kalian tidak bisa menciptakan film karena kalian sudah tidak tahu lagi apa itu film...�. 


Himawan Pratista