Minggu, 01 Juni 2008

Film Horor dari Masa ke Masa

..
Horor merupakan salah satu genre yang paling populer sejak puluhan tahun silam hingga kini. Tujuan utama film horor cuma satu, yaitu memberikan rasa takut yang mendalam bagi penontonnya. Bagi kebanyakan orang, film horor semakin menghibur jika mampu memberikan ketakutan, teror, mimpi buruk, serta kepanikan luar biasa. Film horor dianggap berhasil jika mampu membuat penontonnya menjerit histeris dan nuansa horornya masih terbawa hingga lama setelah selesai menonton. Hampir sepanjang film, penonton selalu disajikan adegan-adegan aksi mencekam dan menakutkan yang membuat jantung berdegup kencang setiap saat.
..
Plot film horor pada umumnya sederhana, yakni bagaimana usaha manusia untuk melawan kekuatan jahat yang sering kali berhubungan dengan dimensi supernatural dan sisi gelap manusia. Film Horor sering kali menampilkan makhluk dengan sosok menyeramkan berwujud non-manusia, seperti arwah, iblis, mayat hidup, vampir, makhluk asing (alien), dan sebagainya. Salah satu keberhasilan karakter-karakter tersebut terletak pada aspek tata rias wajah. Karakter antagonis bisa pula sosok manusia seperti, psikopat, pembunuh serial, atau seseorang dengan gangguan kejiwaan lainnya. Untuk mendukung suasana mencekam, umumnya set memakai tata cahaya cenderung gelap (low-key lighting) dan adegan aksinya banyak berlangsung pada malam hari. Unsur suara menjadi kunci keberhasilan film horor. Efek suara yang mengagetkan lazim digunakan bersama iringan musik mencekam untuk menambah ketegangan adegan demi adegannya. Elemen natural seperti hujan serta suara dan kilatan halilitar juga sering digunakan, biasanya pada adegan klimaks. Film horor juga dikenal dengan ending yang sering kali mengambang. Tak jelas apakah kekuatan jahat masih ada di sekitar kita atau tidak.
..
Awal Perkembangan Film Horor
Mungkin tidak banyak orang yang tahu jika film horor telah ada sejak awal perkembangan sinema lebih dari seratus tahun yang lalu. Film horor pertama tercatat adalah Le Manoir Du Diable (1896) karya sineas yang juga pesulap asal Perancis, George Melies dengan durasi tiga menit. Film-film awal horor monster dalam perkembangan mulai diproduksi di Amerika pada awal dekade 1910-an hingga awal 1920-an. Salah satunya yang menonjol adalah Edison Frankenstein (1910) yang diproduksi studio Edison. Dalam perkembangannya film horor mulai populer di Eropa terutama Jerman melalui Der Student von Prag (1913), serta Nachte des Grauens (1916) yang dianggap merupakan salah satu film vampir pertama.
Adalah sinema ekspresionisme Jerman yang memberikan landasan berpijak bagi perkembangan genre horor berikutnya. Aliran sinema ini diawali dengan film bernuansa horor, Cabinet of Dr. Caligary (1919) arahan Robert Wiene. Film mengetengahkan serangkaian kisah pembunuhan oleh sosok monster yang dikontrol penghipnotis bernama Dr. Caligari. Adapun film-film bertema horor lainnya yang sangat berpengaruh adalah Nosferatu (1922) karya F.W. Murnau yang diinspirasi dari novel Dracula karya Bram Stoker, legenda Der Golem (1921) arahan Paul Wagener, serta WaxWorks (1924) arahan Paul Leni. Film-film horor produksi Jerman ini dibawa ke Amerika beberapa tahun berselang dan sangat berpengaruh membentuk film-film horor konvensional Hollywood pada dekade mendatang.
Era Emas Horor Hollywood Klasik
Di era film bisu adalah aktor Lon Chaney yang banyak membantu menaikkan popularitas film horor pada penonton Amerika. Chaney yang memiliki julukan �pria dengan seribu wajah� tercatat sebagai bintang film horor Amerika pertama. Chaney sejak dekade 1910-an telah membintangi beberapa seri film horor bersama sutradara spesialis horor, Tod Browning. Salah satunya yang sangat populer adalah Phantom of the Opera (1925) dimana Chaney berperan sebagai �hantu� opera berwajah seram. Bersama Browning, Chaney juga membintangi film vampir Hollywood pertama, London after Midnight (1927). Pada era bisu ini, cerita klasik Dr. Jekyll and Mr. Hyde (1920) juga telah diproduksi dan dibintangi oleh John Barrymore. Setelah hijrah ke Hollywood, Paul Leni mengarahkan film �rumah hantu� pertama, The Cat and the Canary (1927).
Memasuki era 30-an, Hollywood memasuki fase baru perkembangan film horor. Studio Universal selama dua dekade ke depan sukses besar bersama ikon-ikon horor populer seperti Dracula, monster Frankenstein, mumi, werewolf bersama para bintangnya, Bela Lugosi dan Boris Karloff. Aktor asal Hungaria, Lugosi menjadi ikon vampir setelah sukses melalui Dracula (1931) arahan Browning. Sukses ini membawa Lugosi membintangi beberapa film vampir, seperti Mark of the Vampire (1935). Sementara Karloff menjadi ikon karakter monster ciptaan Dr. Frankenstein serta mumi. Karloff mengawali sukses dengan kisah klasik, Frankenstein (1931) yang diikuti pula dua sekuelnya The Bride of Frankenstein (1935) dan Son of Frankenstein (1939). Karloff tampil meyakinkan pula sebagai si mayat hidup dalam The Mummy (1932). Universal sukses pula dengan karakter horor populer lainnya seperti, The Invisible Man (1931), The Werewolf of London (1935), serta The Wolf Man (1941).
Sukses sensasional film-film horor tersebut memotivasi Universal memproduksi beberapa film yang menampilkan monster-monster tersebut dalam satu film, seperti Frankenstein Meets the Wolfman (1943), House of Frankenstein (1944), House of Dracula (1945) hingga horor komedi Abbot and Castello Meets Frankenstein (1948). Film-film horor lainnya yang menonjol pada era ini adalah Freaks (1932), Old Dark House (1932), lalu film zombie pertama The White Zombie (1932), lalu The Black Cat (1934) yang dibintangi Lugosi dan Karloff. Sementara produser studio RKO, Val Lewton memproduksi film-film horor berbujet rendah dengan pendekatan berbeda dengan Universal, seperti The Cat People (1942). Film ini boleh jadi adalah film horor pertama yang sama sekali tidak memperlihatkan sosok monsternya. Sukses ini membawa Lewton memproduksi beberapa horor-psikologis sejenis antara lain, The Sevent Victim (1943), The Curse of the Cat People (1943), Isle of the Dead (1945), Bedlamb (1945) serta Body Snacther (1945).
Horor Era Perang Dingin
Perkembangan horor Hollywood era 50-an sedikit berubah dengan munculnya isu perang nuklir serta perang dingin antara Amerika Serikat dan Soviet. Nuansa fiksi ilmiah terasa begitu kental dengan monster-monster hasil uji coba ilmiah, limpahan bahan kimia, kebocoran radio aktif, hingga invasi makhluk asing. Film-film horor tersebut juga telah menggunakan efek visual yang semakin canggih. Adapun film-film horor invasi makhluk asing yang populer antara lain, The Thing From Another World (1951) dan Invasion of Body Snatchers (1956). Film-film horor mutan hasil uji coba ilmiah dan kecelakaan radioaktif, seperti The Creature from the Black Lagoon (1954), Them! (1954), dan The Fly (1958). Pada akhir dekade ini raja �B-Movies�, Roger Corman memproduseri film-film horor berbujet rendah untuk konsumsi remaja dan drive-in theatre seperti I Was A Teenage Werewolf (1957), Attack of the Crab Monster (1957), serta The Blob (1958). Corman masih memproduksi film-film sejenis hingga satu dekade ke depan.
Horor Era Transisi
Genre horor berkembang semakin kompleks di era 60-an sejalan dengan dihapusnya lembaga sensor di Amerika pada dekade ini. Tidak seperti film horor konvensional di era 30-an, genre horor berkembang semakin realistik dengan mengambil latar yang nyata. Master thriller, Alfred Hitchcock memproduksi horor-thriller berpengaruh Psycho (1960) berkisah tentang seorang pembunuh psikopat di motel Bates. Film ini dianggap banyak pengamat sebagai lompatan jauh yang mengubah genre horor setelahnya. Hitchcock melanjutkannya dengan film horor-bencana, The Birds (1963), yang berkisah tentang invasi burung-burung liar di sebuah kota. Sutradara Polandia, Roman Polanski memproduksi film horor sukses, Rosemary Baby (1968) berkisah tentang ibu muda yang mengandung anak iblis. Dan pada akhir dekade, sineas spesialis horor, George Romero mengawali debutnya dengan film zombie fenomenal, Nigth of the Living Dead (1969) yang diproduksi dengan bujet rendah. Film inilah yang nantinya banyak mempengaruhi film-film horor bertema zombie selanjutnya hingga kini.
Kejayaan Kembali Horor di Era 70-an.
Setelah era emas beberapa dekade silam, periode ini dapat pula dikatakan era kejayaan kembali genre horor. Horor berkembang semakin jauh dengan munculnya sistem rating yang memberi kebebasan penuh bagi para sineas untuk berkreasi. Film-film horor semakin berani mengumbar adegan aksi kekerasan dan seks yang lebih vulgar. Tercatat pula film-film horor supernatural sangat sukses pada dekade ini. Sukses fenomenal dicapai The Exorcist (1973) arahan William Friedkin. Sebuah film kontroversial yang berkisah tentang seorang gadis muda yang kerasukan iblis. Pada masanya film ini sempat menjadi film terlaris sepanjang masa serta dianggap sebagai film horor terbaik. Sukses film ini diikuti beberapa film bertema supernatural sejenis yang juga populer, seperti The Omen (1976) dan The Amitville Horor (1979). Di akhir dekade, sutradara kenamaan Stanley Kubrick juga memproduksi film horor berpengaruh bertema sejenis, yakni Shining (1980) yang merupakan adaptasi lepas dari novel karya Stephen King.
Beberapa film horor remaja berpengaruh juga diproduksi pada era ini. Karakter antagonis umumnya adalah psikopat atau orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Pertengahan dekade tercatat dua film jenis ini yang sukses, yaitu It�s Alive (1974) dan The Texas Chainshaw Massacre (1974). Sukses fenomenal juga dicapai John Carpenter melalui Hallowen (1978) yang untuk pertama kalinya memperkenalkan karakter Michael Myers. Brian De Palma ikut meramaikan melalui tiga film horornya, yaitu Sisters (1973), Carrie (1976), dan Dressed to Kill (1980). Spesialis horor Wes Craven memulai karirnya dengan Last House on the Left (1972) dan The Hills Have Eyes (1977). Sineas muda berbakat, Steven Spielberg mengawali debut dengan horor-thriller, Duel (1972) serta sukses besar dengan film bertema hiu pembunuh, Jaws (1974). Sineas muda berbakat lainnya Ridley Scott mengarahkan awal seri horor-triller populer, Alien (1979). Patut dicatat pula film aneh, The Rocky Horror Picture Show (1975) mampu menarik sensasi melalui perpaduan berbagai genre sekaligus yakni, horor, komedi, musikal, roman, serta fiksi-ilmiah.
Sukses Horor Sekuel serta Remake Era 80-an dan 90-an
Era 70-an ternyata telah memberikan landasan yang lebih dari cukup bagi perkembangan genre horor beberapa dekade ke depan. Horor orientasi remaja rupanya masih menjadi pilihan dengan beberapa sekuel bahkan hingga belasan jumlahnya. Tipikal jenis filmnya adalah si penjagal yang meneror muda-mudi, lengkap dengan adegan kekerasan penuh darah. Dimulai dengan seri horor populer, Friday The 13th (1980) dengan karakter antagonis yang kini menjadi landmark, yakni Jason. Sukses film ini diikuti kemudian oleh belasan sekuelnya. Wes Craven kembali sukses besar dengan karakter fenomenal, Freddie Krueger melalui A Nighmare on Elm Street (1984) bersama setengah lusin sekuelnya. Craven pada era 90-an sukses pula melalui Scream (1996) dengan dua sekuelnya. Sukses Scream mengilhami film-film sejenis, seperti I Know What U Did Last Summer (1997) dan Urban Legend (1998). Sementara si boneka pembunuh, Chucky memulai debut suksesnya melalui Child Play (1988).
Beberapa film horor sukses melalui remake ikon-ikon horor konvensional era 30-an dengan gaya berbeda. Sosok monster tampak lebih meyakinkan dan bergerak lebih cepat dengan dukungan efek visual modern. Werewolf muncul dalam An American Werewolf in London (1981), The Howling (1981), dan Wolf (1994). Karakter vampir tercatat paling sering muncul seperti, Bram Stoker�s Dracula (1992), Interview with the Vampire (1994), From Dusk Till Dawn (1996), dan Vampire (1998). Monster frankenstein muncul dalam Mary Shelley�s Frankenstein (1994) dan mumi sukses besar melalui horor aksi-petualangan, The Mummy (1999).
Beberapa film horor lain sukses pula dengan tema sangat variatif. Horor konsumsi keluarga sukses besar melalui Poltergeist (1982), Ghostbuster (1984), dan Gremlins (1984). Horor-psikopat sukses melalui Misery (1990), Cape Fear (1991), serta The Silince of the Lamb (1991) yang meraih Oscar untuk film terbaik. Beberapa sineas memiliki keunikan melalui film-film horor mereka seperti Tim Burton, Beetlejuice (1988) dan Sleepy Hollow (1999); Sam Raimi, seri Evil Dead (1983); serta David Cronenberg, The Dead Zone (1983), Videodrome (1983), serta The Fly (1986). Akhir milenium ditutup dengan sukses fenomenal dua horor-supernatural, yakni The Sixth Sense (1999) karya M. Night Shyamalan serta The Blair Wicth Project (1999). Blair dengan gaya dokumenternya diproduksi dengan bujet sangat rendah, tercatat sebagai film dengan prosentase keuntugan terbesar sepanjang sejarah sinema. Di lain tempat, horor Jepang, Ringu (1998) menawarkan jenis horor baru yang unik.
Horor Era Milenium Baru
Pada era milenium baru genre horor tidak mengalami perkembangan yang berarti. Tren masih mengikuti dekade sebelumnya, yakni demam sekuel dan remake, dominasi efek visual, dan lebih berani menampilkan adegan-adegan sadis secara eksplisit. Dalam banyak kasus, batasan genre horor dan aksi juga semakin tipis. Karakter horor konvensional rupanya masih menjadi favorit, vampir, mumi, werewolf, zombie dengan beragam variasi, seperti Underworld (2000), The Mummy Returns (2001), Blade II (2002), Resident Evil (2002), 28 Days Later (2002), Van Helsing (2004), Dawn of the Dead (2004), hingga I Am Legend (2007). Beberapa prekuel, sekuel, serta remake seri populer masih juga diproduksi seperti, The Texas Chainshaw Masacre (2003), Freddie vs Jason (2003), Exorcist: The Beginning (2004), The Amitville Horor (2005), The Fog (2005), serta The Omen (2006). Film-film horor lainnya yang cukup unik antara lain, Final Destination (2000) dengan dua sekuelnya, serta horor supernatural, 13 Ghosts (2000) dan The Others (2001).
Beberapa sentuhan baru mewarnai genre horor pada dekade ini. Horor Jepang yang memiliki karakter supernatural khas mengalami masa-masa jayanya melalui remake The Ring (2002), The Grudge (2004), serta Dark Water (2005). Dua film pertama bahkan sempat dibuat sekuelnya. Horor juga masuk dalam tahapan yang lebih jauh melalui film-film horor sadistik dengan aksi kekerasan-penyiksaan eksplisit, seperti tampak dalam Fear Dot Com (2002), Saw (2004), Hostel (2005), serta The Devils Reject (2005). Sukses Saw bahkan memicu produksi sekuelnya hingga beberapa seri. Lantas bagaimana perkembangan genre horor setelah ini? Sepertinya tren horor di awal milenium ini akan terus berlanjut hingga tahun-tahun mendatang dan nyaris mustahil rasanya mencari bentuk-bentuk horor yang orisinil. (hp)

The Exorcist, Film Horor Terbaik Sepanjang Masa?

The Exorcist (1974) arahan sineas William Friedkin merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya William Peter Blatty. Film ini tercatat merupakan film horor pertama yang sukses secara komersil maupun kritik. Pada masanya film ini sempat menjadi film terlaris sepanjang masa dan merupakan film horor pertama yang mampu meraih nominasi Oscar untuk film terbaik. Film ini sukses meraih dua Oscar dari sepuluh yang dinominasikan, yakni untuk naskah adaptasi serta suara terbaik. Film ini juga mengundang kontroversi karena beberapa aksi vulgar serta sumpah serapah yang diucapkan seorang gadis cilik.

Filmnya sendiri berkisah tentang seorang gadis cilik yang kerasukan iblis yang konon diinsipirasi dari kisah nyata. Alkisah Chris (Ellen Burstyn) adalah seorang aktris dan ibu muda yang baru saja bercerai dan tinggal bersama putrinya, Regan (Linda Blair) yang berusia 12 tahun. Suatu ketika sang putri mengalami perubahan sifat menjadi lebih agresif. Awalnya Regan diduga mengalami gangguan psikis akibat perceraian orang tuanya, namun kondisinya justru semakin memburuk. Wajah dan suara Regan berubah, kekuatannya berlipat, seolah ada makhluk lain yang merasukinya. Pihak dokter akhirnya menyerah dan Chris meminta bantuan seorang pendeta muda, Damien Karras (Jason Miller). Sang pendeta yang tengah dilanda krisis kepercayaan akibat ibunya yang sekarat juga tidak mampu berbuat banyak. Ia akhirnya ditemani pendeta senior berpengalaman, Lankester Merrin (Max Von Sydow) untuk mengusir iblis di tubuh Regan.

The Exorcist seperti lazimnya film horor menggunakan plot kebaikan versus kejahatan. Namun tidak seperti pada umumnya, film ini memiliki tempo cerita yang lambat. Lebih dari separuh cerita dituturkan secara paralel antara kisah Chris/Regan dengan Damien. Cerita juga lebih mengedepankan logika ketimbang hal-hal mistik. Gangguan �kejiwaan� yang dialami Regan mengalami tahapan-tahapan uji-coba medis yang lama, sebelum akhirnya ia divonis �kesurupun�. Film telah berjalan hampir � durasi total ketika Damien pertama kali bertemu Regan. Tidak ada unsur ketegangan yang berarti karena kita tahu persis jika sang iblis selalu berada dalam kamar. Istimewanya justru horor tidak tercipta dari sosok fisik iblis, namun lebih menganggu kita secara psikologis. Ucapan serta tindak-tanduk sang iblis mampu memperdaya kita dengan mengaburkan makna kejahatan dan kebaikan.

Tidak seperti film horor pada umumnya, film ini tidak didominasi tata cahaya yang gelap. Iblis rupanya bekerja tidak mengenal waktu. Ketika �Regan� menyerang ibunya dengan kekuatan supernaturalnya, terjadi di siang bolong, dan hanya pada adegan klimaks terjadi di waktu malam. Film menampilkan efek-efek visual yang begitu meyakinkan seperti kepala Regan yang berputar 360�, tubuh sang iblis yang melayang, tempat tidur yang bergoyang-goyang, hingga perabot rumah yang bergerak. Agar set tampak meyakinkan konon sineas mengambil gambar di ruang pendingin pada adegan klimaks agar hembusan nafas terlihat oleh kamera. Sosok iblis makin sempurna dengan tata rias wajah yang begitu meyakinkan serta suara �serak� sang iblis yang khas. Dua aktor debutan, Blair dan Miller bermain sangat baik hingga keduanya diganjar nominasi Oscar. Film ditutup dengan akhir �manis� yang merupakan solusi dari dilema Damien, ketika sang iblis masuk ke tubuhnya, dan ia lalu mengorbankan dirinya. Pada eranya film ini memang istimewa, namun sekarang, kami serahkan Anda yang menilai. 

Himawan Pratista

I Am Legend, Legenda yang Tidak Akan Melegenda

I Am legend kisahnya diangkat dari novel karya Richard Matheson yang digarap oleh sutradara Francis Lawrence. I Am legend merupakan film horor-fiksi ilmiah adaptasi ketiga setelah The Last Man on Earth (1964) dan The Omega Man (1971). Dalam dua film sebelumnya tokoh utama masing-masing diperankan oleh Vincent Prize serta Charles Heston, dan kini diperankan Will Smith. Sejauh ini I Am Legend tercatat sebagai film �zombie� terlaris sepanjang masa dengan total pemasukan kotor lebih dari $450 juta dari rilisnya di seluruh dunia.


Cerita film dibuka dengan sebuah tayangan televisi berisi wawancara seorang ilmuwan yang meyakini berhasil menyembuhkan penyakit kanker melalui virus yang telah ia reka-genetik. Cerita mendadak melompat tiga tahun berselang, menggambarkan kota New York yang telah berubah menjadi kota mati. Virus diceritakan gagal dan menyebar melalui udara serta menginfeksi umat manusia menjadi monster ganas yang memangsa manusia lainnya. Satu-satunya orang yang tidak terinfeksi di kota ini adalah Robert Neville. Kesehariannya Neville ditemani anjingnya Sam, berkeliling kota mencari persediaan makanan, menyapu wilayah dari satu blok ke blok lain, serta mengirimkan pesan melalui radio untuk mencari orang lain yang selamat. Pada malam harinya barulah para monster keluar dari sarangnya dan Neville pun menutup rumahnya rapat-rapat. Sementara di laboratorium kecilnya, ia beruji-coba keras mencari antivirus menggunakan darah imunnya. Suatu hari Sam mengejar seekor Rusa hingga masuk ke dalam sebuah bangunan dan dari sinilah semua masalah bermula.

Kisah �zombie� sejenis sebelumnya telah banyak diproduksi, dan I Am Legend sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru. Alur cerita relatif lambat dan separuh durasi awal terasa sedikit membosankan karena minimnya aksi. Kisah filmnya sendiri memiliki banyak kejanggalan. Dikisahkan para monster adalah sosok yang telah kehilangan rasa kemanusiaannya dan tentu saja juga kehilangan akal serta logika. Kejanggalan pertama, dalam film ini tidak jelas bagaimana sang monster dapat mengenali Fred, boneka (manekin) �rekan� Neville yang digunakan sebagai umpan. Apakah hanya kebetulan belaka? Kedua, bagaimana ceritanya sang monster dapat memperhitungkan jebakan untuk Neville dengan begitu sabar, detil, dan cermat. Apakah hanya secara kebetulan atau mungkin saja sang monster mempelajarinya dari Neville ketika menjebak rekannya sebelumnya? Namun jika sang monster memang secerdas itu kenapa tidak langsung saja ia mencari tempat tinggal Neville?, atau mungkin sekalian saja menantang dengan menjawab sinyal radio Neville? Sungguh tidak masuk akal!

Kekuatan film ini sedikit banyak tertolong oleh sosok Will Smith serta set-nya. Kematangan akting Smith mampu mengubah nuansa film yang kosong menjadi lebih humanis melalui rasa keterasingannya, rasa takutnya ketika ribuan monster keluar pada malam hari, kedekatannya dengan Sam, memori tentang istri dan putrinya, hingga bagaimana ia masih bisa menikmati alunan lagu Bob Marley. Sementara set kota mati bukanlah hal yang baru, seperti dapat kita jumpai pada film �zombie� lainnya, 28 Days Later yang mampu mengosongkan kota London. Film ini berhasil menggambarkan kota New York yang kosong dengan sangat meyakinkan yaitu dengan memperlihatkan beberapa landmark kota yang tampak telah lama terbengkalai. Namun amat disayangkan sosok monster hingga binatang dalam film ini seluruhnya diciptakan menggunakan rekayasa komputer. Seperti dalam film-film sejenis, sosok �zombie� diartikan sebagai simbol sifat binatang yang ada dalam diri manusia.



Viantari

The Victim, Sebuah Realitas di Balik Realitas


Tidak banyak film-film horor Asia yang diputar di bioskop-bioskop kita. Beruntung salah satu dari kru kami, yang kebetulan berada di Bandung, sempat menonton film horor produksi Thailand berjudul, The Victim (Phii khon pen). Film horor-thriller ini diarahkan oleh sutradara lokal, Monthon Arayangkoon. Konsep filmnya konon diinsipirasi dari teknik reka-ulang adegan kriminal yang dilakukan pihak kepolisian setempat yang diliput luas media setempat. Peran korban biasanya diperankan oleh seorang aktor atau aktris, sementara peran pelaku kriminal diperankan sendiri oleh pelaku sesungguhnya.

Alkisah Ting (Pitchannart Sakakorn) adalah seorang aktris muda yang suatu ketika mendapat tawaran dari pihak kepolisian untuk berperan sebagai para korban dalam reka-ulang adegan kriminal. Ting lambat laun mulai menyukai pekerjaannya dan namanya pun semakin populer. Suatu ketika Ting mengambil peran sebagai Meen, seorang selebriti yang tewas dan diduga telah dibunuh oleh suaminya sendiri. Kejadian-kejadian aneh menerpa Ting setelahnya, sebelum akhirnya ia mengetahui jika Meen sebenarnya dibunuh oleh rekan wanitanya, Fay. Fay berusaha membunuh Ting namun di saat genting seorang polisi menembaknya lebih dulu. Mendadak cut! Semua ini ternyata hanyalah sebuah produksi film belaka. Cerita sesungguhnya bermula di sini, ketika satu persatu kru film tewas mengenaskan oleh sosok arwah penasaran. Ting yang ternyata diperankan seorang aktris populer bernama May menjadi target akhir sang arwah.

Arayangkoon mampu mengemas filmnya dengan alur cerita yang unik dengan nuansa lokal yang demikian kental. Hampir separuh durasi film, kita tidak menyadari jika semua yang kita tonton hanyalah sebuah film. Sebuah realitas di dalam realitas lainnya. Setelah separuh durasi cerita kita baru memahami jika ternyata selama produksi film telah terjadi peristiwa-peristiwa gaib yang menimpa May (kesurupan). Ceritanya sendiri cukup membingungkan karena hingga akhir cerita kita baru memahami motif sesungguhnya dari sang arwah. Tidak jelas mengapa sang arwah mesti repot-repot membunuh para kru film jika sejak awal bisa langsung �masuk� ke tubuh May. Amat disayangkan sekali, kisah Ting di awal film yang sebenarnya menarik untuk digali lebih dalam ternyata hanya merupakan pengantar menuju cerita sesungguhnya. Sang �victim� (Ting) akhirnya menjadi victim sungguhan (May).

Tidak berbeda dengan film-film horor sejenis, The Victim sarat dengan adegan-adegan mencekam yang membuat jantung kita berdebar setiap saat. Efek suara dan musik sangat dominan dalam mendukung nuansa horornya. Entah mengapa paruh pertama film terasa jauh lebih baik daripada paruh cerita kedua dalam membangun nuansa mistiknya. Seperti sosok arwah-arwah penasaran yang didoakan oleh Ting, serta adegan ketika Ting dipandu menari oleh arwah Meen. Pada paruh kedua aksi yang relative menonjol hanya pada munculnya sosok bayangan penari Thai yang disajikan cukup unik dengan gerakan patah-patah sebelum membunuh korbannya. Satu hal lagi yang membuat film ini berhasil adalah penampilan meyakinkan dari sang aktris, Sakakorn, terutama perannya sebagai Ting. Secara teknis film ini memang tidak jauh berbeda dengan film-film horor kita, namun secara keseluruhan The Victim masih setingkat lebih baik. Satu saran dari kami, jangan menonton film ini pada malam hari. 

M. Pradipta

Kuntilanak 2, Sekuel yang Tidak Perlu Ada

Sukses Kuntilanak rupanya berbuntut pada produksi film sekuelnya, Kuntilanak 2 (K2). Kuntilanak sendiri adalah film horor yang tidak begitu buruk. Setidaknya Kuntilanak menawarkan sesuatu yang berbeda dari film-film horor lainnya. K2 masih menampilkan dua bintang utamanya, Julie Estelle serta Evan Sanders. Sutradaranya pun masih sama, yakni Rizal Mantovani. Jika kita bandingkan dengan film pertamanya, K2 mengalami kemunduran dua langkah dari sisi mana pun.

Alkisah Samantha (Estelle) setelah pindah dari rumah kosnya yang lama semakin menikmati hobi barunya bersama �peliharaan�nya, yakni, membunuh orang-orang yang bermasalah dengannya. Sopir taksi dan rekan pacarnya tidak luput jadi korban. Di lain pihak, pacar Sam, Agung (Sanders) yang masih trauma karena kejadian silam mulai berani menghadapi rasa takutnya dan mencari Sam. Sementara sekte sesat bernama Mangkujiwo (dedengkotnya dibunuh Sam pada film pertama) merasa terancam karena hanya Sam yang kini memiliki wangsit untuk memanggil Kuntilanak. Perkembangan cerita selanjutnya berputar-putar sekitar konflik batin Sam serta usahanya bersama Agung untuk lepas dari ancaman sekte Mangkujiwo.
..
K2 adalah satu contoh bagus bagaimana sebuah sekuel bisa diproduksi dengan begitu buruk. Kelebihan pada film pertamanya, seperti set dan mood-nya sudah tidak lagi tampak. Mengapa set bangunan kos tua pada seri pertama tidak lagi dipakai? Pada ending film pertama, Sam tampak nyaman tinggal di rumah tersebut, tak jelas mengapa ia pergi. Satu-satunya benda yang dibawa Sam dari rumah kos lama adalah cermin kuno yang fungsinya kini tak jelas (dulu menjadi �pintu� keluar Kuntilanak). Lucunya, tempat kos Sam yang baru, sebuah ruko (toko elektronik) milik keluarga Tionghoa suasananya justru dibuat remang-remang. Juga ilustrasi musik yang pada seri pertama banyak mendukung adegannya, kini hanya menonjol pada opening title-nya saja.

Beberapa hal yang menjadi kelemahan mendasar film ini terutama tampak pada dialog serta banyak adegan yang tidak perlu (kelemahan umum film kita). Satu contoh sederhana adalah dialog pada adegan rapat sekte Mangkujiwo di awal film. Dialog yang bergulir dipaksakan �digilir� satu persatu oleh semua anggota. Dialog satu karakter hanya menyambung dialog karakter lain dengan begitu kaku. Kualitas dialog yang begitu buruk juga semakin diperparah dengan kualitas akting yang sangat rendah. Sementara adegan yang tak jelas fungsinya jumlahnya bisa lusinan lebih. Satu contoh sempurna adalah adegan pembuka film yang memperlihatkan tiga anak bermain petak-umpet di dalam bangunan kos lama. Pada akhir adegan memperlihatkan bagaimana mereka akhirnya terjebak dalam cermin bersama Kuntilanak. Lantas apa hubungan adegan ini dengan rangkaian cerita keseluruhan? Justru adegan pembunuhan sopir taksi di awal film rasanya lebih pantas menjadi pembuka film. Hampir sepanjang film kemunculan adegan satu dengan adegan lain terasa begitu ganjil karena hubungan sebab akibat yang lemah. Di akhir film, muncul seorang karakter baru yang membuka peluang bagi sekuel berikutnya. For heaven sake! Please no�

M. Pradipta

Merah itu Cinta Mencoba Berbeda

..
Merah itu Cinta adalah film keempat Rako Prijanto setelah Tragedy, Ungu Violet, dan D� bijis. Merah itu Cinta adalah salah satu film yang masuk nominasi film terbaik dalam ajang FFI 2007. Merah itu Cinta berkisah tentang perjuangan Raisa (Marsha Timothy) untuk lepas dari trauma setelah kematian tunangannya, Rama (Yama Carlos). Raisa kemudian semakin terusik dengan kedatangan Aria (Gary Iskak) sahabat karib Rama. Uniknya, film ini menggunakan pendekatan sinematik yang berbeda dengan film-film kita kebanyakan. Sang sineas bermain-main dengan beberapa teknik yang �tabu� dilakukan seperti teknik jump-cut, pelanggaran aksis aksi (garis imajiner), serta komposisi tak seimbang. Dalam behind the scene, sang sineas memaparkan bahwa ia sengaja menggunakan teknik-teknik tersebut untuk menunjukkan ketidakseimbangan jiwa para karakternya. Jika dicermati memang penggunaan ketiganya cukup dominan sepanjang film.
..

..
Pelanggaran aksis aksi serta komposisi gambar tak seimbang paling mudah kita temui dalam adegan dialog. Agak sulit memang menjelaskan aksis aksi dengan singkat. Sederhananya begini, dalam adegan dialog antara dua orang dalam satu ruang (dua shot close-up wajah bergantian) biasanya kita akan melihat wajah satu orang menghadap ke kanan dan wajah satu orang lagi menghadap ke kiri, sehingga kita tahu jika mereka saling berhadapan. Namun dalam film ini, kita seringkali melihat wajah dua orang menghadap ke arah yang sama. Contohnya cukup jelas terlihat pada adegan dialog Raisa-Aria di teras rumah setelah mereka berdua pergi makan-malam. Sementara komposisi tak seimbang tampak jelas dalam banyak adegan dialog dimana posisi wajah selalu berada di pinggir sehingga menyisakan banyak ruang kosong di belakang kepala. Sementara jump-cut juga sangat intensif digunakan. Seperti tampak jelas pada adegan awal, ketika Raisa yang masih mengenakan handuk mendengarkan suara Rama. Kita dapat melihat jump-cut digunakan beberapa kali ketika suara Rama terdengar di mesin penerima telepon.
..
Teknik-teknik non-konvensional tersebut memang bukan tidak pernah digunakan dalam sebuah film. Namun sepertinya baru kali ini seorang sineas mempergunakan ketiga teknik tersebut secara intensif dalam satu film. Memang sah-sah saja seorang sineas menggunakan teknik apa pun, terlebih jika memiliki motif-motif tertentu. Pertanyaannya sekarang, apakah penggunaan teknik-teknik tersebut telah berhasil mencapai tujuan yang diinginkan? Sepertinya belum. Singkatnya, tanpa menggunakan teknik-teknik tersebut kisahnya sudah terlalu kompleks untuk diikuti, terlebih untuk penonton awam. Penonton sendiri sudah cukup bingung menduga-duga apa yang sesungguhnya terjadi dengan para karakternya, sehingga penggunaan ketiga teknik tersebut sekaligus rasanya menjadi tidak efektif. Jika saja jalan cerita bertutur sederhana dan jelas, mungkin penonton lebih sadar akan ketidaklaziman bahasa visual tersebut. Jika dipaksakan sepertinya teknik jump-cut saja sudah cukup efektif menjelaskan ketidakseimbangan jiwa para karakternya atau permainan kemiringan kamera. Walaupun begitu keberanian sineas bereksperimen dengan bahasa visual perlu kita acungi jempol. Setidaknya sang sineas telah memperkaya industri perfilman kita dengan sesuatu yang sama sekali berbeda. 

Subiyanto

The Photograph, Sebuah Kisah Datar Dibalut Keindahan Gambar

The Photograph adalah sebuah film karya Nan T. Achnas yang sebelumnya kita kenal melalui filmnya Pasir Berbisik dan Bendera. Seperti film-film karya sang sineas sebelumnya, film ini kembali mengangkat tema yang tidak lazim, jauh berbeda dengan tren horor, komedi, dan percintaan remaja yang berkembang saat ini. Film ini jelas tidak ditujukan untuk kalangan penonton awam namun lebih untuk segmen penonton khusus yang memiliki selera seni �tinggi�. Uniknya pula, pemeran pria utama menggunakan aktor kawakan asal Singapura, Lim Kay Tong.

Cerita filmnya berpusat pada dua tokoh utama yakni, Sita (Shanty), seorang ibu muda yang merantau jauh ke kota untuk mencari nafkah, serta Pak Johan (Tong), seorang fotografer tua keturunan Tionghoa yang selalu dibayangi memori kematian istri dan anaknya. Sita bekerja sebagai seorang penyanyi di sebuah klub malam. Ia membanting tulang demi putri dan neneknya yang sakit-sakitan di kampungnya. Sita yang memiliki banyak masalah di tempat kerjanya akhirnya tinggal dan bekerja di tempat Pak Johan. Selama tinggal di tempat Pak Johan, Sita banyak menimba pelajaran hidup dari sang fotografer baik suka maupun duka.

Bagi penonton awam film ini boleh jadi sangat membosankan karena cerita yang datar serta tempo cerita yang lambat. Namun justru inilah yang menjadi kelebihan film ini. Bahasa visual lebih banyak berbicara ketimbang ceritanya sendiri. Kekuatan filmnya terutama tampak pada komposisi fotografi yang cukup menawan. Shot-shot banyak didominasi oleh kamera statis dengan hanya sesekali menggunakan pergerakan kamera. Sineas juga sering kali bermain dengan efek kedalaman gambar yakni, permainan latar depan dan latar belakang. Pilihan set perkampungan Tionghoa yang kumuh didukung tata cahaya low-key lighting sangat pas dengan kisah suram Sita dan Pak Johan. Last but not least, Lim Kay Tong bermain begitu menawan sebagai sosok Pak Johan yang dingin.

Terlalu banyak masalah dalam cerita filmnya namun tak ada yang terjawab tuntas. Masalah Sita, rasa bersalah Pak Johan pada istri dan anaknya, pencarian penerusnya, serta rasa bersalah pada leluhur. Semuanya tak ada yang terjawab dan hanya diselesaikan dengan sederhana melalui �Kematian�. What�s so special about it? Hal yang juga mengganjal adalah tidak jelasnya motif penggunaan narator, yakni Yani, putri Sita. Siapa sebenarnya Yani (sekarang)? Apa pengaruh pengalaman ibunya tersebut terhadap dirinya tidak dijelaskan. Hanya disebutkan di awal film jika, �kisah ini menyentuh saya (Yani)�. So what? Apanya yang tersentuh? Kenapa bukan Sita yang menjadi narator. Sitalah yang mengalami semua peristiwa dan mungkin mempengaruhi kehidupannya setelah ini.

Film ini sedikit banyak mengingatkan penulis pada sebuah film produksi Hong kong berjudul, The King of Masks arahan Wu Tianming yang berkisah tentang laki-laki penari topeng yang mencari seorang bocah sebagai penerusnya. Kisahnya sedikit mirip dengan The Photograph hanya bedanya film ini memiliki alur cerita jauh lebih dramatik dengan ending yang begitu kuat. The Photograph memiliki potensi cerita (tema) yang cukup untuk memiliki pukulan akhir yang mematikan, namun sayangnya berakhir datar-datar saja. Masih jauh tampaknya jika The Photograph ikut bersaing dalam ajang-ajang kompetisi film bergengsi. 

Himawan Pratista

Pocong 2

When talking about horror genre in Indonesia, as it can be seen whether from our today�s movies or back in the early age of our horror movies; one thing that we can obviously see here is; �fright sells�. Our audience love�love�.love� ghoulies and the cheap thrills it provide. From dead pregnant woman�s ghosts, genies, haunted places, people that dies of tragic event with their unmentionables hanging eerily as the remainings of their death and so on� But one proved to be an all Indonesian favorite ghoulies of all time, pocong. The scariest, most intimidating, and unpredictable ghost there is, to even speak of the name shivers the lot of us.

It�s a no brainer that many film makers are fixated on pocong as the focus of their attention. Not to mention this movie pocong 2 with the title that shows what they mean. The previous movies that use pocong as the fear factor impose the fright on it as the villain or as a tool of evil. But in this movie, they try to use a different kind of approach, where pocong not only as the hated entity, but also a sign of our self reflection. They use history that�s a well known recipe to spice up horror movies with facts meant to a be the make believe effect. And also philosophy as a mean to explain the world of the unknown where pocong is one of it�s inhabitants, of it�s reasons of acts and existence. But, despite all efforts added to this movie. I would not consider this movie as a must seen movie. As it shows no result on what they aim from it.
In some parts I feel confuzzled on what the director is thinking on serving those scenes and facts. Though it�s a candy movie doesn�t mean it can give unrelated facts and bits where audience would not have to think that it�s ridiculous. In some scenes, although you can�t compare Indonesia to foreign special effects but, for heaven�s sake, must you put a sack of pocong sitting on a stair? You can do better Monty! And although the main actress is recruited for a popular demand, seriously, the part where she laughed when the shaman assistant noted her case, makes me think they gave her a scripts where it�s written �action , mock-laugh unnaturally�.

And God have mercy, you would really discus pocong philosophically with your lecturer? And your lecturer would seriously elaborate it with you?! I don�t think so. It�s too much, too stupid and too unreal. One word to describe it, unnecessary. Which lead me in to thinking how it�s about time Indonesian movies are well planned and well thought. To stop thinking that they�re making a movie where the audience can see the movie stars in a movie and act, and start thinking that they make a movie so that people can actually sink and blend in to the movie. I would be honest though it does scare me on parts where I barely open my eyes. But to me, that�s merely because of the cultural side of the movie that makes me scared. Something that is repeated over and over again in a human learning process that makes you un avoidably think that it�s scary. Not more.

So in the end, I would just say, don�t think too much, just enjoy the thrill, and be nice.Looking at my schedule today where I have to call an advertisement in a newspaper, brings my mind back to this movie. I chuckled a bit imagining what would happen if I went to the address shown at the ad and found an empty lot instead of a marketing office.

A ghost that puts advertisement on a newspaper, silly isn�t it? 

Shelomita

Polemik Sensor

Belakangan ramai dibicarakan keberadaan lembaga sensor yang dinilai beberapa pihak sudah tidak relevan pada era sekarang ini. Satu pihak menginginkan dihapusnya lembaga ini karena motif yang beragam, salah satunya dianggap membatasi ruang gerak bagi para sineas muda dalam berkreasi. Mereka menuntut adanya suatu sistem rating film atau pembatasan usia penonton, dan bukan filmnya yang disensor. Sementara pihak lain bersikukuh untuk tetap mempertahankan keberadaan lembaga sensor ini dengan beberapa revisi dari dalam. Dua-duanya sama-sama mengaku berpihak pada masyarakat, sekarang mana yang benar?

Jika kita tarik mundur beberapa dekade silam, masalah yang sama juga pernah muncul di Amerika. Dimulai pada era 30-an yang dipicu oleh eksploitasi kekerasan serta seks dalam film-film produksi Hollywood. Pada tahun 1934 dibentuklah Motion Picture Production Code Administration yang menelurkan aturan-aturan baru dalam produksi film. Aturan-aturan hukum atau kode-kode (lebih dikenal dengan The Hays Code) tersebut mampu memaksa industri film Hollywood berada dalam era �bersih� selama hampir tiga dekade ke depan. Aturan sensornya menyangkut sensor bahasa, seks, kekerasan serta amoral, yang substansinya jauh lebih ringan dari sekarang. Penggunaan kata-kata seperti, �sex� dan �hell� dalam film pun tidak diperbolehkan. Film-film yang lolos sensor diberi �seal of aproval� sebelum dirilis secara luas. Sementara film yang melanggar dikenai denda hingga ditarik dari peredaran.

Pada era 60-an perkembangan budaya modern serta kebebasan dalam berbagai aspek semakin banyak diekspresikan dalam media film. Eksploitasi kekerasan dan seks secara eksplisit semakin jamak dalam film. Akhirnya pada tahun 1966, The Hays Code resmi dihapus karena dianggap sudah tidak mampu mengimbangi kebebasan ekspresi yang semakin luas. Sebagai gantinya di tahun 1968 diberlakukan suatu sistem rating yang bertujuan untuk membatasi usia penonton yang diperuntukkan bagi distributor film. Muncullah kode rating seperti G (general), PG (Parental Guidance), R (Restricted), serta X. Babak baru dimulai. Para sineas kini lebih leluasa mengembangkan tema-tema yang berhubungan dengan seks, nudisme, kekerasan, serta lainnya ke tingkat yang lebih tinggi. Sistem rating ini masih diberlakukan hingga kini.

Dari pengalaman sejarah di atas dapat kita tarik kesimpulan jika sistem rating sebenarnya adalah sistem paling ideal dalam sebuah tatanan masyarakat (ideal). Sistem ini memungkinkan para sineas berkreasi tanpa batasan dan tanpa resiko besar pada masyarakat. Kita telah memiliki lembaga sensor, namun telah siapkah masyarakat kita menerima sistem rating? Sistem rating mengharuskan satu kontrol sosial yang kuat pada masyarakat. Tidak hanya penonton yang harus dewasa (berpikir), namun juga para pelalu industri, distributor, serta pemerintah. Industri film kita mestinya bisa belajar banyak dari industri televisi kita. Setiap hari masyarakat sudah cukup dijejali tontonan �bermutu� dari televisi, apakah masih perlu ditambah lagi? Kultur barat berbeda dengan kultur kita yang sangat terikat norma, adat, serta agama. Tidak bisakah para sineas kita menganggap batasan tersebut sebagai tantangan? Kenapa harus menuntut film dewasa? Tidak bisakah membuat film yang mampu membuat orang menjadi �dewasa�? 


Himawan Pratista

Menunggu Ayat-Ayat Cinta

We take it for granted that film directors are, if they so wish, in the game of recycling.
(Susan Sontag)

Film Ayat-Ayat Cinta (AAC) yang sejatinya akan dirilis pada tanggal 29 Desember 2007 seperti yang dipromosikan dengan gencar selama ini kembali mengalami penundaan jadwal tayang. Ini yang ketiga kalinya. Hanung Bramantyo sebagai sutradara AAC memberi keterangan bahwa film tertunda karena masih adanya kendala teknis dalam proses penyelesaiannya. Hanung tidak merinci apa yang disebutnya dengan kendala teknis itu. Hanung hanya menambahkan bahwa AAC adalah produksi yang penuh dengan cobaan dibanding dengan 6 film yang pernah dibuatnya sebelumnya. Film ini sepertinya telah menjadi sangat personal bagi Hanung sendiri. Membaca tulisan di blognya kita akan merasakan itu. Termasuk kekuatiran akan diterima atau tidaknya film ini. Terlebih kepada pembaca fanatik novel Ayat-Ayat Cinta, novel yang menjadi sumber adaptasi. Hanung menulis dengan emosiona beginil �Mereka tidak lebih dari sekedar penonton yang menuntut hiburan atau membanding-bandingkan film dengan novelnya. Lantas jika tidak sama dengan novelnya terus mencaci maki, menganggap bodoh dan kafir sutradara yang membuat. Karena hal-hal islami dalam novel tidak tampak, tidak terasa.�

Lebih dalam lagi ketika Hanung kemudian menyitir kata-kata ibunya yang menurutnya terus menerus terngiang � Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu�. Hanung tidak sedang membuat film kodian. Ini adalah idealismenya. Dia sedang membuat film yang diadaptasi dari novel best seller yang kemunculannya sangat fenomenal. Dari berita terakhir yang saya dapat, film ini akan tayang pada 28 Februari 2008.

Novel Ayat-Ayat Cinta yang ditulis oleh Habiburrahman El Shirazy adalah novel yang bercerita tentang seorang pemuda desa miskin bernama Fahri bin Abdillah yang merantau ke Mesir, Kairo untuk bersekolah di Universitas Al Azhar. Dalam novelnya, periode waktu yang dipakai adalah masa ketika Fahri sedang menyusun tesis untuk S-2nya. Fahri adalah sosok islam yang berlaku islam. Dalam pengenalan tokoh ini, El Shirazy memulai dengan menggambarkan karakter Fahri yang berkemauan kuat dan teguh dalam memegang janji. Hari itu sangat panas di Kairo, cuaca sangat buruk. Suhu 41 derajat celcius. Padahal hari itu adalah jadwal untuk talaqqi (belajar langsung face to face dengan seorang syaikh atau ulama) pada Syaikh Utsman Abdul Fattah seorang ulama besar di Mesir. Pada Ulama besar ini, Fahri belajar ilmu tafsir dan membaca Al-quran dengan riwayat tujuh imam. Tidak sembarang orang yang bisa diterima menjadi murid Syaikh Utsman. Mereka diuji secara ketat. Yang diuji adalah hafalan Al-Quran tiga puluh juz dengan qiraah bebas. Di tahun itu hanya sepuluh orang yang diterima salah satunya adalah Fahri. Di sini El Shirazy juga mengenalkan Fahri sebagai seorang yang cerdas. Pengenalan karakter Fahri menjadi sentral dan teramat penting dalam novel ini. Karakter Fahri adalah pengerak dari semua peristiwa, menjadikannya pesan moral yang ingin disampaikan penulis kepada pembacanya. Pendeknya karakter Fahri adalah karakter seorang islam yang Kaffah.

Karena karakternya yang sangat sempurna Fahri dicintai oleh empat wanita sekaligus. Fahri yang juga mahir menyitir puisi-puisi romantis dari penyair Perancis, bukan cuma membuat perempuan berbunga-bunga didekatnya tapi tergila-gila bahkan jatuh koma. Lika-liku cinta, romantisme dan Fahri sebagai seorang pemuda islam yang sempurna menjadi tema besar novel ini.

Mengadaptasi novel berbobot menjadi film adalah sebuah tantangan besar bagi seorang sutradara, Susan Sontag menyebutnya sebuah kerja seni yang terhormat. Pesan dakwah yang kental dalam novel ini membuat tantangan itu menjadi ganda. Mengerti saya kemudian kenapa Hanung menjadi kuatir. Mungkin jika novel ini bukanlah sebuah novel best seller yang dalam pencapaian sastranya menurut beberapa kritikus juga bagus dan tidak punya beban dakwah, Hanung tidak akan menjadi kuatir. Hanung sebelumnya telah membuat film yang mengadapatasi dari novel yaitu Jomblo yang hanya berhasil secara komersil. Novel itu tidak mempunyai beban untuk diadaptasi menjadi film. Seperti sebuah diktum, that cinema was better nourished by pulp fiction than by a literature.

Sebagai contoh The Birth of Nation (D.W. Griffith) yang banyak dipuji sebagai film modern pertama merupakan adaptasi novel sampah karya Thomas Dixon. Sedang film Darah dan Mahkota Ronggeng (Yazman Yazid) merupakan sebuah contoh kegagalan sutradara dalam mengadaptasi novel sastra, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.

Louis Giannetti membuat tiga model bagaimana seorang sutradara melakukan pendekatan dalam proses adapatasi novel ke film, yaitu loose, faithful dan literal. Loose adalah pendekatan di mana sutradara hanya mengambil ide, situasi atau karakter dari sumber literatur kemudian mengembangkannya secara bebas dan independen. Contoh yang paling terkenal adalah Throne of Blood karya Akira Kurosawa yang diadaptasi dari Macbeth karya Shakespeare. Adaptasi ini dianggap berhasil malahan karena Kurosawa tidak berusaha mengikuti sepenuhnya Macbeth, kekuatannya bertumpu pada sinematik dan bukan verbal. Faithful adalah mencoba untuk menciptakan kembali sama seperti sumber literaturnya dalam bahasa film. Film-film John Huston termasuk dalam pendekatan ini. Fassbinder melakukan yang lebih ketat lagi. Dalam filmnya yang berjudul Berlin Alexanderplatz, Fassbinder sangat setia pada bukunya tidak heran kemudian jika durasi film tersebut menjadi 15 jam 21 menit. Literal biasanya merupakan adaptasi dari naskah-naskah drama.

Apapun pendekatan yang dipilih oleh seorang sutradara dalam mengadaptasi novel punya peluang sama untuk berhasil disebut film yang bagus. Film adaptasi yang bagus bukan melulu harus sama dengan bukunya. Pembaca buku harus tahu bahwa dalam film ada batas waktu dan ruang. Terkecuali ada bioskop yang mau memutar film berdurasi 15 jam seperti Berlin Alexanderplatz karya Fassbinder.

Untuk film AAC rasanya memang Hanung lebih baik setia kepada novelnya. Selain karena muatan dakwah yang kental. Keuntungan dalam pendekatan ini adalah Hanung jadi bisa berkosenstrasi penuh pada aspek sinematik tanpa perlu banyak mengutak-atik aspek naratifnya.

Hal yang akan menarik dalam film ini adalah bahasa yang digunakan. Ini jika Hanung akan tetap setia pada novelnya dan jika produsernya tidak punya ide-ide konyol seperti memakai artis kelas sinetron, Fedi Nuril sebagai Fahri. Karena tokoh-tokohnya banyak orang asing maka bahasa yang digunakan harusnya asing juga. Mayoritas bahasa yang digunakan dalam imajinasi novel adalah bahasa Arab. Tentu saja dalam novel secara tulisan adalah bahasa Indonesia. Karena media novel dan film berbeda maka tidak bisa di film hanya diimajinasikan saja dalam bahasa Arab. Dalam cerita novel, kata diproses lewat imajinasi pembacanya sedangkan dalam film kata telah diubah langsung menjadi gambar, tanpa ada hutang budi imajinasi penontonnya. Jika di film dialog yang digunakan adalah bahasa Indonesia maka film ini bisa disebut gagal. Konteks pembauran dan kultural dalam film ini sangat kental. Penggunaan dialog bahasa Indonesia akan menciderai maksud-maksud itu.

Catatan penting lain adalah romantisme yang akan dibangun oleh film ini. Romantisme merupakan elemen penting di novel. Ia adalah bagian dakwah yang penting. Dalam novel, ada penerjemahan ulang akan romantisme. Romantisme ala timur bukan barat. Romantisme yang islami. Penggambaran romantisme dalam teks menjadi terasa wajar. Lain ceritanya ketika romantisme itu muncul dalam bentuk gambar. Bagaimana sutradara akan menampilkan romantisme ini lewat gambar. Jika Aisha saja menutup auratnya saat mandi, apakah dalam film Fahri dan Aisha yang sedang berpelukan mesra di jendela sambil minum dan memandang sungai Nil akan menjadi bagian dalam adegan film? Dalam novel deskripsi romantisme di adegan jendela kamar itu begitu kuat. Ada sebuah hambatan yang harus disiasati dalam penyampaian ide pada medianya. Ketertutupan dan privasi akan menjadi keterbukaan dalam bahasa film. Mentransformasikan kata dalam novel menjadi frame pada film membutuhkan kemampuan mengolah dan mengoraganisir mise-en-scene yang baik untuk mendapatkan konsep romantisme dalam layar tanpa mengkhianati ide riomantisme islami itu sendiri. Bukankkah romantisme islam adalah romantisme yang privat?

Saya sebenarnya berharap banyak dengan film ini. Mengetahui bahwa membuat film ini bagi Hanung begitu personal membuat saya semakin ingin menontonnya. Hanung menulis bahwa AAC adalah film idealismenya. Ini tidak akan seperti film-film remaja dan horor yang banyak beredar di bioskop, begitu janji Hanung. 

Homer Harianja

Imaji Imaji

Beberapa waktu yang lalu ketika saya dan Irene, rekan seperjalanan, dari kota Frankfurt menginjakkan kaki di Koln, kota terbesar ke empat di negara Jerman, kami sempatkan menikmati keindahan senja dengan berjalan kaki di pingiran sungai Rhine. Sesekali kami memasuki hutan kecil, berjalan mendaki menuju sebuah kastil tua. Semburat kuning matahari yang mulai tenggelam di belakang kastil, memberikan kesan megah sekaligus suram, mengingatkan saya pada kastil Dracula dalam film karya Copolla, salah satu master piece yang saya gemari. Film yang memadukan unsur ketegangan dengan estetik yang memukau, atmosfer yang terbangun di dalamnya benar-benar luar biasa, bahkan untuk ditonton di berbagai negara sekalipun. Mengapa saya katakan demikian? Film horror yang dibuat di berbagai negara tentunya memiliki standar khusus yang mengacu pada urban atau folk legend negara yang bersangkutan. Sebutlah film kita yang mengangkat horor pocong, bagi penonton di Indonesia hal ini akan memberikan nuansa seram mengingat pocong adalah folk legend yang mengakar dalam budaya kita. Namun demikian akan berbeda jika film pocong ditayangkan di negara lain (khususnya negara barat), film ini tidak akan mendapatkan chemistry menakutkan yang serupa.

Satu persatu nyala obor menerangi dinding-dinding selasar kastil, malam benar-benar menyelimuti kota itu pada pukul 21.00. Agak terlambat memang, mengingat saat itu musim semi. Bau lumut memenuhi panca indra, sambutan hangat kakek tua penjaga kastil yang uniknya memakai busana kain kasar dan keras khas hobbit, wajar saja jika mengingatkan saya dengan keraton yogya beserta abdi dalemnya yang memakai pakaian adat jawa. Semuanya itu menambah eksotika tempat itu. Kami berjalan menaiki anak tangga menuju balkon atas, pemandangan di tempat ini tepat menghadap sungai Rhine, yang sesekali dilewati kapal pesiar wisata. Irene yang seorang mahasiswi fine art mengeluarkan scetch book dan mulai menggambar beberapa interior dalam kastil itu. Saya yang berjarak beberapa meter darinya dapat merasakan atmosfer yang menyeramkan di ruangan balkon ini, yang menurut doktrin budaya saya kemungkinan akan muncul sejenis kuntilanak dari rerimbunan pohon hutan kecil di bawah sana, sedangkan Irene tampak tak perduli sedikitpun. Ia justru mencoba menangkap keindahan kastil itu untuk dipindahkan dalam guratan scetch book-nya.

Freethinker dan Atheis, ucap Irene mengenai apa yang dipahaminya, suatu paham yang menurutnya menuntut logika dan empirism. Jangankan untuk mempercayai hantu, untuk mempercayai agama pun ia masih belum bisa menerima. Saran saya jika bertemu orang semacam ini lebih baik jangan diajak berdebat (jika kita tidak capable untuk itu), cukup tanyakan pendapatnya, dan Anda mungkin akan terpukau dengan jawabannya. Saya sebagai mahasiswa film sering ditanya pendapatnya tentang film asia yang banyak memakai adegan trance (kesurupan). Cerita film yang kebanyakan memakai adegan tersebut terjadi karena adanya hubungan orang yang sudah meninggal dengan yang dirasukinya untuk menyampaikan sesuatu. Jawaban saya mengacu pada film horor Asia yang sudah saya tonton.

Namun bukankah mereka mempercayai surga dan neraka? Mengapa tidak berhubungan dengan apa yang ditampilkan? Bukankah film merupakan representasi budaya suatu negara? Tanya gadis tersebut masih tak lepas dari keseriusannya menggambar.

Saya mencoba bertanya pada Irene tentang kehidupan setelah kematian walaupun dia tidak mempercayai surga dan neraka (apalagi hantu). Ia hanya mengangkat bahunya.

�Mengapa tidak mencari tahu?�
Gadis itu menoleh pada saya sekilas,
�Kematian akan datang, toh nanti saya juga akan tahu? Bukan begitu?�
Angin lembab berhembus semilir, percakapan kami terhenti begitu beberapa rombongan turis tampak berdatangan. Kami memutuskan untuk pulang, dan sekali lagi menuruni tanah landai memasuki hutan kecil. Senyap. Hanya bunyi injakan ranting patah dan suara-suara insect hutan yang menemani.
�Kamu tahu mengapa film Dracula-nya Copolla begitu digemari? Kekuatan film-nya bukan sekedar pada jalinan cerita belaka, tapi menciptakan mise en scene hasil olahan imajinasi Copolla dan team yang sangat mengesankan. Ini bahkan seperti membuat imajinasi akan adanya surga dan neraka, kamu mengerti kan makna pencapaiannya? Film Asia yang memiliki keseragaman substansi, yang hanya mengandalkan fisik arwah untuk menakuti, banyak mengesampingkan teror psikologi sinematik yang menjadi unsur utamanya. Apalagi jika kuantitas produksi film horor tersebut meningkat, dan tetap mengandalkan arwah (hantu) sebagai �amunisi� ketegangan, maka kamu bisa memakai ukuran itu untuk mencari tahu apakah film di negara Anda mengalami �pembodohan� atau tidak, � ucapnya penuh maksud. 

Andrei Budiman