Minggu, 15 Februari 2009

Dari mOntase

Pada edisi Montase ketigabelas kali ini serta dua edisi ke depan kami mengangkat tema sutradara. Pada edisi ini kami mengupas sutradara kawakan, Quentin Tarantino yang kita kenal film-filmnya memiliki gaya yang khas. Selain mengupas film-film Tarantino, yakni film debutnya, Reservoir Dogs, serta film terbarunya, The Inglorious Basterds, kami juga mengulas film arahan Jean-luc Godard, Band of Outsider, yang sangat menginspirasi Tarantino. Selain itu pula kami juga mengupas beberapa film Indonesia terbaru, yakni Ruma Maida dan Serigala Terakhir serta liputan dari Festival Film Animasi Indonesia baru lalu di Jawa Tengah.

Quentin Tarantino

Biografi dan Film-film Tarantino

Quentin Tarantino lahir pada tanggal 27 Maret 1963 di Knoxville, Tennessee Amerika Serikat. Tarantino merupakan anak dari seorang perawat bernama Connie McHugh Zastoupil, serta ayahnya bernama Tony Tarantino yang merupakan seorang aktor dan musisi amatir. Tarantino tumbuh besar di Los Angeles dan sejak saat inilah mulai tertarik dengan film. Di umur 15 tahun, Tarantino keluar dari sekolah dan melanjutkan pendidikannya di sekolah akting di James Best Theatre Company. Karena kegemarannya pada film, pada umur 22 tahun Tarantino juga sempat bekerja di sebuah tempat persewaan video di daerah Manhattan, dimana ia bertemu dengan Roger Avary, yang nantinya mereka berdua sering berkolaborasi untuk menulis beberapa naskah film seperti True Romance, dan Pulp Fiction. Saat bekerja di sana, Tarantino bersama Avary banyak menghabiskan waktu untuk berdiskusi film. Tak heran jika Tarantino memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang film. Tarantino kemudian meneruskan sekolah akting di Allen Garfield�s Actors� Shelter, Beverly Hills, dengan konsentrasi pada penulisan naskah film.

Tarantino memulai karir di dunia film setelah bertemu dengan Lawrence Bender. Pada tahun 1987, Bender membujuknya untuk menulis naskah serta menjadi sutradara film tersebut yang berjudul My Best Friend's Birthday. Hanya sayangnya, film ini gagal diselesaikan akibat musibah kebakaran di laboratorium saat proses editing. Tarantino menjual naskah filmnya ini dan kelak menjadi dasar naskah film True Romance (1993) yang digarap oleh Tony Scott. Tarantino juga menulis naskah keduanya untuk film Natural Born Killers (1994) yang kelak digarap sutradara kawakan Oliver Stone.

Di tahun 1992, Kembali bersama Bender, Tarantino memulai debut sutradaranya melalui film kriminal Reservoir Dogs. Film berbujet minim dengan dibintangi aktor-aktor kelas dua ini berkisah tentang perampokan oleh sekelompok gangster namun uniknya aksi perampokannya sendiri tidak pernah diperlihatkan. Meski tidak dipromosikan secara besar-besaran namun film ini mampu meraih hasil cukup baik bahkan hingga luar Amerika. Di Inggris misalnya, film ini meraih 6,5 juta Poundsterling. Popularitas film ini kelak akan semakin terangkat setelah sukses film kedua Tarantino, Pulp Fiction. Film ini juga mendapat perhatian di Sundance Film Festival, karena gaya filmnya yang khas, yakni plot nonlinier, aksi kekerasan yang vulgar, budaya pop amerika yang kental, serta dialog-dialog tempelan yang tidak berhubungan dengan plot filmnya. Gaya ini menjadi trademark tersendiri dalam film-filmnya kelak.

Dalam perkembangan juga bersama Bender, Tarantino membuat perusahaan produksi sendiri yang ia beri nama A Band Apart. Nama ini diambil dari film gerakan French New Wave, yakni Bande � part (1964/Band of Outsiders) garapan Jean-Luc Goddard yang filmnya sangat mempengaruhi Tarantino dan rekan-rekannya. Logo perusahaannya sendiri juga mencuplik gambar dari film debutnya, Reservoir Dogs. Tercatat nama-nama besar di dunia film turut bergabung dalam perusahaan ini, sebut saja Robert Rodriguez yang juga sobat kental Tarantino, John Woo, Darren Aranofsky, Tim Burton, hingga Luc Besson.

Sukses Reservoir Dogs membuat Tarantino banyak didekati studio-studio besar untuk menggarap proyek film-film mereka. Namun tidak digubrisnya, ia justru sibuk menggarap naskah film keduanya. Bersama perusahaan barunya dengan menggandeng studio Miramax, Tarantino memproduksi Pulp Fiction. Konon sederet nama-nama besar yang terlibat dalam film, seperti John Travolta, Bruce Willis, Samuel L. Jackson, Ving Rhames, dan Uma Thurman rela digaji rendah. Tercatat Willis adalah bintang paling top yang ikut dalam proyek ini. Diluar dugaan, Pulp Fiction sukses luar biasa. Secara mengejutkan Pulp Fiction mampu meraup pendapatan kotor mencapai lebih dari $200juta di seluruh dunia bandingkan dengan bujet produksinya yang hanya $8,5 juta. Di Amerika sendiri, Pulp Fiction tercatat sebagai film independen pertama yang meraup pendapatan diatas $100juta. Bahkan hingga saat ini pun Pulp Fiction masih tercatat sebagai film independen terlaris sepanjang masa.

Pulp Fiction juga sukses secara kritik dengan mampu menyabet piala Oscar untuk naskah orisinil terbaik dengan tujuh nominasi termasuk Film Terbaik. Sukses film ini juga mampu mengangkat pamor bintang-bintang veteran seperti, Bruce Willis dan John Travolta. Pulp Fiction sendiri kembali dikemas dengan gaya khas Tarantino, yakni pola plot nonlinier, aksi kekerasan vulgar, budaya pop lokal, lagu dan musik 70-an, hingga dialog tempelannya. Sukses Pulp Fiction mampu membangkitkan kembali gairah film independen di dunia serta menginspirasi banyak film setelahnya. Oleh banyak pengamat film ini dianggap sebagai salah satu film terbaik sepanjang masa. (baca ulasan Pulp Fiction di Buletin Montase edisi 7/Film Independen).

Tahun berikutnya Tarantino terlibat dalam produksi film unik, Four Rooms (1995) dimana ia menggarap satu segmen cerita dari empat segmen dalam filmnya. Sohibnya, Robert Rodriuez juga menggarap satu diantaranya. Tarantino menulis, menyutradarai, dan membintangi segmen cerita yang berjudul The Man from Hollywood. Dalam film ini, Tarantino juga bereuni kembali dengan Bruce Willis. Di tahun yang sama, Tarantino juga bermain sebagai aktor dalam dua film yang digarap Rodriguez, yakni Desperado (1995) dan From Dusk Till Dawn (1995). Dalam film yang kedua Tarantino bahkan menulis naskah filmnya sekaligus mendapat peran pembantu utama.

Di tahun 1997, Tarantino memproduksi film ketiganya, Jackie Brown, yang naskahnya ditulisnya sendiri didasarkan novel Rum Punch karya Elmore Leonard. Film ini merupakan tribute Tarantino terhadap film-film kulit hitam (blaxploitation) era 70-an. Film ini dibintangi sederet nama-nama besar seperti Robert De Niro, Pam Grier, Robert Forster, Bridget Fonda, Michael Keaton, serta Samuel L. Jackson. Meskipun tidak sesukses Pulp Fiction namun Jakcie Brown masih mampu terbilang sukses di pasaran, baik dari sisi komersil maupun kritik. Film ini mampu meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik (Robert Forster), serta dua nominasi Golden Globe. Sedikit berbeda dengan gaya di dua film sebelumnya, srruktur linier di film ini lebih dominan. Tercatat hanya sekali struktur �nonlinier� digunakan, yakni menjelang sekuen akhir dan dialog tempelan yang menjadi khasnya, juga tidak dominan seperti dua film sebelumnya.

Setelah absen selama hampir enam tahun, baru pada tahun 2003, Tarantino memproduksi film aksi-kriminal, Kill Bill Vol.1, yang berlanjut dengan sekuelnya, Kill Bill Vol.2 di awal tahun berikutnya. Awalnya film ini akan dirilis satu film namun dipecah menjadi dua karena durasi total sekitar empat jam. Dalam dua film ini Tarantino memadukan beberapa genre sekaligus yakni, silat Hong Kong, samurai (Chanbara), hingga spaghetti westerns. Tidak seperti film-film Tarantino sebelumnya Kill Bill mengambil lokasi syuting di banyak wilayah dan negara, seperti California, Texas, Beijing, Hong Kong, Tokyo, hingga Mexico.

Melalui Kill Bill Vol.1, Tarantino tidak hanya bereksperimen melalui teknik naratif namun juga bahasa sinematik. Gaya khas Tarantino, yakni pola nonlinier, aksi brutal, serta lagu dan musik 70-an masih ia gunakan namun kali ini sineas mencoba lebih jauh bermain-main dengan teknik sinematografi dan editing. Gerak kamera dan sudut kamera jauh lebih dinamis dan bervariasi dari film-film sebelumnya. Teknik editing pun semakin cepat dan bervariasi terutama pada adegan aksi pertarungan. Dalam satu segmen cerita, Tarantino bahkan menggunakan teknik animasi gaya Jepang (anime). Tidak seperti film-film sebelumnya, Kill Bill Vol.1 adalah film garapan Tarantino yang paling banyak mengumbar adegan pembantaian berdarah dengan ekstra brutal. Sayang, dialog tempelan khasnya dalam film ini tidak ia gunakan.

Berbeda dengan film pertamanya, Kill Bill Vol.2 lebih mengutamakan sisi dramatik ketimbang aksinya. Bahkan pada adegan klimaks akhir pun kita tidak melihat adegan aksi pertarungan seru seperti halnya di film pertama. Tarantino juga kali ini menuturkan ceritanya secara linier dengan tempo yang lebih lambat sangat jauh berbeda dengan seri pertamanya. Perbedaan gaya dan tempo yang sangat kontras dalam film kedua memperlihatkan seolah kedua film ini dibuat oleh sineas yang berbeda. Sekalipun begitu tercatat dua film ini menuai sukses komersil luar biasa. Hanya dengan bujet produksi masing-masing sekitar $30juta, dua film ini mampu meraih lebih dari total $400 juta pada rilisnya baik domestik maupun internasional. Tarantino sendiri berniat membuat sekuel ketiga, sepuluh tahun setelah seri kedua dirilis.

Bersama karibnya, Robert Rodriguez, Tarantino membuat dua seri film (double feature) yang mereka beri judul, Grindhouse (2007). Ide ini terinsipirasi mereka dari poster film double feature klasik era 50-an yang berisi dua film. Grindhouse sendiri diinspirasi dari nama bioskop-bioskop era silam yang hanya memutar film-film kelas B. Rodriguez membuat film pertama yang berjudul Planet Terror dimana Tarantino sendiri mendapat peran kecil dalam filmnya. Sementara Tarantino membuat film kedua, yakni Deathproof. Dua film ini memang dikemas dengan unik layaknya film aksi kelas B dengan gambar yang sengaja dibuat cacat, menyajikan beberapa iklan (film) fiktif, hingga �missing reel�. Deathproof sendiri sangat berbeda dengan film-film garapan Tarantino sebelumnya. Gaya khasnya yang dominan masih muncul yakni dialog-dialog tempelan, aksi brutal, serta lagu dan musik lawas. Tarantino juga menunjukkan kepiawaiannya membuat adegan �car chase� yang sangat seru dan menegangkan. Dalam film ini untuk pertama kalinya juga Tarantino bertindak sebagai sinematografer. Sekalipun dua film ini mendapat respon positif dari kritikus namun gagal secara komersil.

Inglourious Basterds (2009) merupakan film garapan Tarantino yang belum lama ini rilis. Film ini terinspirasi Tarantino dari film perang tahun 1978, Inglorious Bastards namun sang sineas sendiri tidak pernah menganggap filmnya sebuah remake. Untuk pertama kalinya dalam filmnya, Tarantino mengkasting bintang papan atas Hollywood, Brad Pitt. Kisah filmnya yang juga berlatar masa silam (Perang Dunia Kedua) juga merupakan sebuah hal yang baru bagi Tarantino. Hampir semua gaya khasnya juga ia munculkankan dalam film ini. Selain dipuji banyak pengamat juga film ini juga merupakan film garapan Tarantino yang paling sukses secara komersil dengan meraih pendapatan lebih dari $300 juta di seluruh dunia.

Sepanjang karirnya, Tarantino juga tidak hanya berprofesi sebagai sutradara dan penulis naskah namun juga seorang aktor. Tarantino tercatat sering muncul dalam film-filmnya sendiri serta film-film garapan sobatnya, Robert Rodriguez. Tarantino juga tercatat pernah terlibat dalam produksi film seri televisi (satu episode) sebagai sutradara, seperti ER dan CSI: Crime Scene Investigation. Tarantino juga seringkali memproduseri film-film garapan rekannya sendiri seperti From Dusk Till Dawn bersama dua sekuelnya, Hostel dan sebuah sekuelnya, serta Hell Ride.

�Gaya Tarantino�

Bicara tentang karakteristik film-film Tarantino tidak bisa lepas dari karakter gerakan sinema di Perancis, yaitu Nouvelle Vague atau yang lebih dikenal Fench New Wave. Karakteristik film-film Tarantino memang memiliki banyak kemiripan dengan film-film gerakan ini terutama arahan Jean-Luc Godard. Isi (tema/cerita) bukanlah hal pokok namun adalah bagaimana isi tersebut dikemas. �Kemasan� adalah gaya serta karakter utama dari film-film Tarantino. Ia selalu mencoba sesuatu yang tidak lazim digunakan dalam film-film mainstream baik genre, struktur dan pengembangan cerita, aksi, dialog, musik, serta lainnya. Film-film Tarantino juga sangat dipengaruhi film-film yang ia tonton terutama di era 60-an dan 70-an. Tarantino juga selalu menyutradarai dan menulis naskah semua filmnya sendiri.
Dari sisi genre, semua film-film Tarantino selalu berkutat dengan aksi kriminal atau gangster, sejak film debutnya, Reservoir Dogs hingga Inglourious Basterds. Nuansa gangster sedikit mengendur hanya pada Deathproof yang mengisahkan seorang stuntman �maniak" yang suka membunuh gadis-gadis muda. Seperti film-film French New Wave, karakter tokoh-tokoh utama di film-film Tarantino lazimnya juga tipe orang yang bebas, cuek, bertindak semaunya, kasar, serta anti kemapanan. Alhasil karakter-karakter tokoh ini sangat mendukung alur cerita, dialog, serta aksi kekerasan yang menjadi ciri khas Tarantino.

Dari sisi cerita Tarantino menyukai gaya bertutur nonkonvensional, yakni pola plot nonlinier serta multiplot. Pola nonlinier tampak dalam film-film seperti, Reservoir Dogs, Pulp Fiction maupun Kill Bill Vol.1. Nyaris dalam semua filmnya, layaknya sebuah novel Tarantino juga suka membagi cerita filmnya menggunakan chapter atau babak, yang seringkali ia beri judul. Seperti contoh dalam Kill Bill Vol 1, ia menamai babaknya, Chapter One: 2 dan Chapter Two: The Blood Splattered Bride, dan seterusnya. Sementara pola multi-plot ia gunakan dalam Reservoir Dogs, Pulp Fiction, dan Jackie Brown.

Dalam semua alur cerita film-film Tarantino, plotnya selalu bersifat spontan (tidak terduga), sering berubah arah secara mendadak, dan seringkali berkesan kompleks namun memiliki penyelesaian yang sangat sederhana (mudah). Tokoh-tokoh ceritanya seringkali terjebak dalam situasi rumit yang mengejutkan dan tidak mereka duga sama sekali. Dalam Reservoir Dogs, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita secara mengejutkan justru tidak diperlihatkan sama sekali. Lalu kisahnya yang demikian simpang-siur diakhiri begitu mudahnya pada klimaks cerita. Dalam Pulp Fiction, karakter Jules dan Vincent, beberapa kali terjebak dalam situasi tak terduga, salah satunya ketika mereka tengah makan siang di sebuah restoran tiba-tiba mereka terjebak dalam situasi perampokan.

Salah satu ciri utama film-film Tarantino adalah dialog ekletiknya (tempelan). Dialog-dialog tersebut biasanya berupa dialog ringan �tak bermutu� yang sama sekali tidak ada hubungan dengan plot utama. Namun begitu justru dialog-dialog ini membantu mendukung karakterisasi tiap tokohnya serta memberikan nuansa komedi dalam film-filmnya. Dalam Reservoir Dogs, pada adegan pembuka memperlihatkan para tokohnya membicarakan hal-hal di luar aksi perampokan, seperti lagu Madonna serta masalah tip. Dalam Pulp Fiction, Jules dan Vincent membicarakan masalah istilah burger ketika mereka tengah berkendaraan. Dalam segmen kedua Deathproof, keempat gadis selama hampir lebih dari setengah jam membicarakan masalah-masalah ringan seperti, laki-laki, liburan, senjata api, hingga film. Masih berhubungan dengan dialog, Tarantino juga teramat sering menyisipkan kata-kata sumpahan kasar dalam semua dialognya yang seringkali memicu kontroversi.

Film-film Tarantino juga dikenal dengan adegan aksi kekerasannya yang sangat brutal. Tokoh-tokoh utamanya yang lazimnya seorang gangster atau kriminil tidak segan-segan menyiksa atau menghabisi nyawa musuh-musuh mereka dengan cara yang sadis. Dalam nyaris semua filmnya, senjata api seringkali ditembakkan ke seseorang dalam jarak yang sangat dekat. Satu adegan brutal yang paling banyak dikecam pengamat adalah adegan penyiksaan polisi dalam Reservoir Dogs. Walau Tarantino tidak menampakkan secara eksplisit namun adegan tersebut mampu membuat jeri orang yang menontonnya. Dalam sebuah sekuen di Kill Bill Vol.1, tokoh utama membantai puluhan yakuza secara brutal dengan pedangnya.

Ciri khas lain dalam film-film Tarantino adalah musik dan lagu yang seringkali menggunakan musik pop dan rock lawas era 70-an dan 80-an. Tarantino juga sering menggunakan pemain-pemain veteran yang telah lewat masa jayanya, sebut saja seperti John Travolta, David Carradine, hingga Kurt Russel. Dalam beberapa filmnya, seperti seri Kill Bill dan Deathproof, Tarantino mencoba lebih jauh berujicoba menggunakan beberapa teknik sinematografi dan editing. Dalam film-film ini Tarantino dalam beberapa adegan menggunakan teknik hitam-putih, sudut serta pergerakan kamera yang lebih dinamis, ritmik editing, serta lainnya. Ada hal unik dari sisi sudut kamera, dalam semua film-filmnya pasti terdapat sebuah POV (point of view) shot dari dalam bagasi mobil.

Dalam produksi filmnya, Tarantino juga sering berkolaborasi dengan orang-orang yang sama. Lawrence Bender dan Sally Menke tercatat adalah orang yang paling sering terlibat dalam produksi film-film Tarantino. Bersama Bender, Tarantino membentuk perusahaan produksi A Band Apart dan Bender selalu menjadi produser semua film-film Tarantino. Tarantino juga mempercayakan penuh Sally Menke sebagai editor semua film yang ia garap. Mengapa editor wanita? Menke memiliki sentuhan feminin yang dianggap Tarantino memberikan sentuhan berbeda serta warna lain pada filmnya. Sementara sobat lamanya, Robert Avary juga beberapa-kali membantu Tarantino menulis naskah beberapa filmnya. Sementara aktor dan aktris seperti Samuel L. Jackson, Uma Thurman, Michael Madsen, Harvei Keitel, serta Tim Roth tercatat adalah para pemain yang paling sering bermain dalam film-film Tarantino.

When people ask me if I went to film school I tell them, No, I went to films� ujar Tarantino. Awal karirnya sebagai penjaga rental video, ia selalu mengamati film-film apa yang disukai para peminjam, ini menginspirasinya kelak untuk menjadi seorang sutradara serta pula karakter film-filmnya. Film-film Tarantino murni adalah sebuah kemasan yang lepas dari isu moral, etika, serta sosial. Melalui pendekatannya Tarantino terbukti telah memberikan sumbangsih berharga bagi dunia perfilman serta mampu membangkitlan gairah film independen. Melalui film-filmnya, Tarantino mencoba mengatakan pada kita bahwa tidak ada batasan sama sekali dalam mengembangkan sinema.

Febrian Andhika & Himawan Pratista

Reservoir Dogs, Gangster Modern Ala Tarantino

Reservoir Dogs (1992) adalah film kriminal yang merupakan debut sutradara tersohor, Quentin Tarantino. Bermain dalam film ini adalah bintang-bintang kelas dua, seperti Harvey Keitel, Michael Madsen, Tim Roth, Steve Buscemi, Chris Penn, serta Tarantino sendiri. Sekalipun tidak sukses komersil namun film ini banyak dianggap pengamat sebagai salah satu film independen terbaik dan merupakan terobosan besar bagi perkembangan film independen selanjutnya.

Inti plot Reservoir Dogs sederhana sekali. Seorang gembong mafia, Joe Cabot berniat merampok sebuah toko berlian. Cabot kemudian merekrut beberapa orang yang sebagian besar sudah ia kenal baik, diantaranya, Mr. White (Keitel), Mr. Pink (Buscemi), Mr. Orange (Roth), Mr. Blonde (Madsen), serta Mr. Brown (Tarantino). Cabot mempercayakan putranya, �Nice Guy� Eddie (Penn) sebagai tangan kanannya di lapangan. Pada hari perampokan ternyata segalanya berjalan tidak sesuai rencana. Mr. White bersama Mr. Orange yang tertembak pergi ke sebuah gudang yang menjadi tempat kumpul mereka setelah perampokan. Mr. Pink tak lama datang dan menuduh seseorang diantara mereka adalah mata-mata polisi. Tak lama Mr. Blonde datang semakin memperkeruh suasana dengan menculik seorang polisi.

Dalam film debutnya ini, Tarantino telah menggunakan beberapa formula unik yang menjadi trademark-nya kelak. Dapat kita lihat bagaimana ia bermain-main dengan unsur cerita melalui pola cerita nonlinier. Tidak seperti film kriminal lazimnya, aksi perampokan yang menjadi kunci cerita justru sama sekali tidak diperlihatkan pada penonton. Alur cerita utama justru terfokus pada peristiwa setelah aksi perampokan terjadi. Tarantino menggunakan pola nonlinier dengan memotong kisah utamanya dengan tiga kisah, yakni �Mr. White�, �Mr. Blonde�, dan �Mr. Orange�. Masing-masing kisah pendek tersebut memperlihatkan latar-belakang tokoh yang bersangkutan. Uniknya dalam masing-masing kisah tersebut juga memperlihatkan beberapa penggal kejadian setelah aksi perampokan terjadi. Sekalipun dalam durasi waktu cerita yang pendek, lokasi cerita terbatas, serta pelaku cerita yang berjumlah banyak (masing-masing memiliki karakter yang unik) namun Tarantino secara efektif masih mampu mengemas cerita dengan gayanya yang khas dengan memberikan kejutan-kejutan yang tidak bakal kita duga sebelumnya.

Kemasan cerita yang unik ternyata mampu diimbagi pula oleh Tarantino dengan sentuhan estetiknya yang khas. Satu hal yang paling dominan adalah �sense of humor� Tarantino melalui dialog-dialog tempelannya yang khas, spontan, cuek, konyol, serta kadang menyebalkan. Dialog-dialog tersebut seolah �tak berguna� dan sama sekali tidak berhubungan langsung dengan cerita utamanya. Coba simak seperti pada adegan pembuka, para pelaku justru berdebat masalah lagu Like a Virgin (Madonna), serta masalah tip. Coba simak adegan ketika bos Cabot tengah menjelaskan rencana perampokan justru Mr. Pink berdebat masalah nama alias mereka. Satu adegan lagi yang juga menjadi ciri Tarantino adalah penggunaan aksi kekerasan yang vulgar. Cipratan darah dimana-dimana dan patut dicatat adalah ketika adegan Mr. Blonde menyiksa sang polisi muda. Sejak Reservoir Dogs, Tarantino juga menggunakan lagu dan musik 70-an yang kelak menjadi ciri khasnya. Reservoir Dogs merupakan film kriminal gaya baru (modern) yang kelak banyak menginspirasi puluhan film lainnya termasuk juga film-film Tarantino sendiri.

Himawan Pratista

Jackie Brown, Momen Tarantino Menyempurnakan Hat-Trick

Jackie Brown dibuat Tarantino pada tahun 1997, tiga tahun setelah magnum opus-nya, Pulp Fiction. Tidak seperti film-film terdahulunya yang ia tulis sendiri. Jackie Brown adalah adaptasi dari Novel berjudul Rum Punch karya Elmore Leonard yang terbit tahun 1992. Mendengar hal ini, saya merasa sedikit kecewa karena Tarantino dikenal sebagai penulis skrip yang baik, sehingga mengadaptasi karya orang lain saya rasa tidak perlu. Tapi setelah menonton filmnya, Tarantino membuktikan kemampuannya lewat cara yang berbeda. Tarantino dengan gayanya sendiri memilah adegan yang diinginkan dan membuang potongan-potongan cerita yang tidak sesuai dengan keinginannya. �Keberanian� Tarantino ini sangat penting, lewat upaya seperti inilah dia bisa membuktikan bahwa dirinya tidak hanya sekedar �Two-Film Wonder Boy� (Reservoir Dogs, Pulp Fiction) saja, melainkan adalah seorang sutradara yang serius ingin menggoreskan namanya dalam sejarah perfilman: dan dia berhasil.

Seperti film-film yang telah dibuatnya, Plot Jackie Brown berjalan dengan latar belakang yang tegas. Setiap karakter punya motif yang kuat dalam melakukan adegan mereka, Jacklyn Brown (Pam Grier) adalah seorang pramugari yang ketahuan membawa sejumlah besar uang dan sebungkus kokain dalam tasnya, ia diciduk oleh ATF (Divisi di LAPD yang bertugas mengawasi alkohol, senjata api dan peledak, serta tembakau-rokok) saat baru mendarat dari Meksiko. Jackie dihubungkan dengan seorang pedagang senjata api bernama Ordell Robbie (Samuel L. Jackson) yang sudah menjadi incaran polisi. Sementara ditempat lain, Ordell tengah meminta bantuan seorang �Penjamin�, Max Cherry (Robert Forster) untuk membebaskan seorang teman bernama Beaumont Livingston dari penjara. Adegan incar-mengincar antara Jackie, Max, Ordell, dan dua agen ATF, dan kenyataan bahwa Semua pelaku (kecuali Max Cherry) saling mengkhianati-lah yang kemudian membuat film ini menarik. Pada dasarnya, Jackie hanyalah kurir untuk membawakan uang dari Meksiko, tetapi karena tertangkap, ia kemudian menjadi poros hubungan semua karakter, ini tidak sepenuhnya menguntungkan sebab ternyata Jackie juga menginginkan uang tersebut, padahal bila ada sedikit saja hal yang tak beres, kecurigaan setiap orang akan tertuju padanya. Meskipun diadaptasi dari sebuah novel, Tarantino senantiasa menyisakan ruang bagi penonton untuk terus bertanya �Trus ini gimana?, yang itu tadi bagaimana?�.

Secara teknis, saya teringat pada beberapa sekuen dalam film The Killing (Stanley Kubrick, 1956) yang juga mengulang kejadian yang sama dari perspektif pelaku yang berbeda, hal ini efektif untuk menjelaskan trik-trik kriminal yang �njelimet� kepada penonton. Kita baru paham kenapa karakter A melakukan sesuatu ketika angle diambil dari sudut pandang karaker A, demikian juga dengan karakter B, dan Karakter C (Tarantino melakukan adegan yang sama dari tiga sudut pandang yang berbeda). Beberapa adegan kekerasan diakali Tarantino dengan menggunakan extreme long-shot ataupun lewat adegan off-camera, usaha ini patut dicermati sebab terdapat lebih banyak adegan kekerasan dalam novel dibanding apa yang ditampilkan dalam film. Secara khusus, isu-isu Blaxploitation yang terselip dalam film juga memperlihatkan bahwa Tarantino mencoba menembus topik yang lebih dewasa dibanding fokus noir-kriminal yang ditampilkan dalam Pulp Fiction. Pilihan peran untuk Robert de Niro juga unik, tak seperti peran De Niro dalam film-film terdahulunya (Taxi Driver, The Godfather Part II, Raging Bull), dalam Jackie Brown, De Niro tampil dengan karakter yang berlawanan: bodoh dan lamban. Memang Banyak yang tak tertulis di sini, tapi pendek kata: Jackie Brown bukanlah sebuah film yang biasa. Jackie Brown adalah 'gol ketiga' yang dicetak tarantino ke gawang perfilman dunia.

Makbul Mubarak
Penonton Film

Inglorious Basterds,

Cara Tarantino Meruntuhkan Rezim Hitler

Ingloriuos Basterds adalah film perang garapan Quentin Tarantino yang naskah filmnya ia tulis sendiri. Naskah filmnya terinspirasi dari film perang lawas, The Inglorious Bastards (1978) namun Tarantino sendiri mengklaim film karyanya ini bukanlah remake. Film berdurasi 2,5 jam ini dibintangi aktor papan atas, Brad Pitt didampingi aktor-aktris seperti, Christopher Waltz, Eli Roth, Diane Kruger, Michael Fassbender, serta M�lanie Laurent.

Film ini berkisah tentang dua rencana rahasia dari dua kelompok berbeda untuk melenyapkan semua petinggi Nazi di bioskop kecil di Kota Paris ketika melangsungkan premiere film propaganda Nazi berjudul Nation�s Pride. Kelompok pertama diotaki oleh Shosanna (Laurent), seorang gadis Yahudi pemilik bioskop yang memiliki dendam kesumat pada Nazi yang beberapa tahun silam menghabisi keluarganya. Pihak kedua adalah sepasukan sekutu elit yang dijuluki Ingloriuos Basterds pimpinan Lt. Aldo Raine (Pitt) yang sangat ditakuti oleh pihak Jerman. Pada malam premiere di luar dugaan segala sesuatunya berjalan tidak sesuai dengan rencana mereka masing-masing.

Kembali Tarantino sekalipun mengambil latar Perang Dunia Kedua masih mampu mengemas cerita dengan gayanya yang khas. Seperti lazimnya film-filmnya, film ini juga dibagi dalam beberapa babak atau chapter, yang memiliki judul masing-masing. Struktur plotnya tidak nonlinier seperti biasanya namun beberapa-kali menggunakan teknik kilas-balik sehingga relatif mudah alurnya untuk kita ikuti. Alur plot berkembang penuh kejutan setiap saat dan sulit kita duga hingga akhir cerita. Pada adegan di sebuah bar di Desa Nadine yang menjadi tempat randevous pasukan Basterds dengan seorang mata-mata Inggris asal Jerman, siapa sangka bisa berakhir dengan begitu tragis dan brutal. Lalu pada sekuen klimaks cerita, Tarantino kembali memberikan kejutan demi kejutan bahkan ia berani merubah sejarah menjadi versinya sendiri.

Secara teknis Tarantino juga masih mampu mengemas dengan gayanya yang unik dengan terampil sekalipun berlatar masa silam. Dialog tempelan yang menjadi khasnya beberapa kali muncul, seperti adegan bar di Nadine yang kali ini uniknya menggunakan bahasa Jerman. Adegan aksi brutal juga banyak muncul seperti ketika Aldo dan rekan-rekannya memaksa seorang tentara Jerman buka mulut soal posisi pasukan Jerman. Film-film �spagetty western� juga banyak mempengaruhi filmnya terutama dari sisi sinematografi dan musik seperti tampak begitu kental pada sekuen pembuka. Tarantino juga menggunakan satu klip pendek layaknya �iklan� plus narasi untuk menggambarkan karakter Hugo Stiglitz serta sifat film nitrat (seluloid) yang mudah terbakar. Dari sisi akting Pitt bermain lumayan dengan aksen Amerika-nya yang khas namun yang patut mendapat pujian tinggi adalah Christopher Waltz yang bermain brilyan sebagai Hans �The Jew Hunter� Landa seorang perwira khusus Jerman yang dingin dan cerdas.

Lebih jauh Ingloriuos Basterds tidak hanya sekedar bagaimana cara Tarantino mengemas filmnya plus naskah yang brilyan namun juga bagaimana cara ia menyindir Hitler dan rezimnya. Tarantino dengan gaya dan caranya sendiri mengubah alur sejarah menjadi miliknya. Tidak ada yang lebih indah menurut Tarantino untuk menghabisi Hitler (Nazi) selain menggunakan sinema. Pencapaian film ini persis seperti kata Aldo di akhir film, � I think this might be my masterpiece�.

M. Pradipta

Band of Outsider

Bagaimana Godard Mengilhami Tarantino


Band of Outsider (Bande � part, 1954) merupakan film drama kriminal arahan sineas besar French New Wave, Jean-Luc Godard. Film ini diadaptasi dari novel kriminal Amerika, Fool�s Gold tulisan Dolores Hitchens. Film ini konon ditulis Godard sendiri tanpa menggunakan naskah yang matang dengan waktu produksi hanya 25 hari. Para pemain dalam Band of Outsider adalah aktor-aktris muda belum ternama, yakni Anna Karina, Sami Frey, dan Claude Brasseur.

Alkisah dua pemuda, Arthur (Brasseur) dan Franz (Frey) dekat dengan seorang gadis muda bernama Odile (Karina). Atas desakan Arthur dan Franz, mereka bertiga akhirnya berniat mencuri uang milik bibi Odile yang disimpan di lemari kamar rumahnya. Entah mengapa Arthur membocorkan rencana tersebut ke pamannya dan ia juga berniat untuk mencuri uang tersebut. Hal ini membuat Arthur mempercepat rencana mereka. Pada hari berikutnya ternyata segalanya berjalan tidak sesuai dengan rencana mereka.

�Bukan materinya yang terpenting namun adalah bagaimana materi tersebut dikemas� Godard berujar. Hal ini menjadi konsep utama Band of Outsider dimana ia bermain-main dalam nyaris semua aspek baik sisi cerita maupun perangkat sinematik. Seperti tradisi French New Wave lazimnya, Godard menjungkirbalikkan aturan-aturan sinema tradisional yang ada. Dari sisi cerita, Godard berulang-kali menyisipkan adegan-adegan yang sama-sekali tidak berhubungan atau lepas dari plot utama. Adegan-adegan tersebut sifatnya spontan dan lebih berkesan mengulur-ulur waktu. Satu adegan paling dikenal adalah ketika ketiga tokoh utamanya menari di kafe (yang diberi nama �Madison Dance�) yang berdurasi sekitar empat menit. Konon Godard menyuruh tiga pemainnya untuk terus menari hingga mereka lelah. Hal yang sama juga tampak dalam adegan ketika Odile yang tengah berlari meninggalkan rumahnya dipotong oleh beberapa shot yang memperlihatkan Arthur dan Franz yang tengah membaca koran. Satu rangkaian shot ini berdurasi hingga empat menit lamanya sementara sineas lazimnya hanya menggunakan beberapa detik saja.

Dari sisi estetik film ini juga amat sangat bervariasi. Godard benar-benar bebas bermain-main dengan semua perangkat sinematik yang ada. Sejak awal pembuka film Godard bermain dengan teknik editing cepat yang secara bergantian memperlihatkan shot-shot wajah tiga tokoh utamanya. Sepanjang filmnya, Godard sendiri bertindak sebagai narator (�Voice of God�) yang menjelaskan suasana serta perasaan batin para tokoh utamanya. Satu hal yang jarang dilakukan sineas kebanyakan. Dalam sebuah adegan di kafe, ketika tiga tokoh utama bermain �one minute silence�, Godard secara literal benar-benar meniadakan semua suara yang ada sekitar empat puluh detik. Ilustrasi musik jazz yang mengalun ringan juga sangat pas mengiringi �mood� filmnya serta �mood� kota Paris sendiri. Godard juga memasukkan beberapa sense of humor hingga sikap politiknya ke dalam filmnya. Dalam satu adegan tiga tokoh utama berlarian menyusuri lorong museum Louvre sekedar untuk memecahkan rekor yang dibuat oleh orang Amerika.

Banyak pengamat menilai bahwa Band of Outsider merupakan satu-satunya film Godard yang paling mudah dinikmati penonton serta kaya dengan variasi teknik dan gaya. Band of Outsider juga menginspirasi banyak sineas muda di seluruh dunia, termasuk di antaranya Quentin Tarantino. Tak heran jika Tarantino sangat mengagumi film ini hingga mengabadikan nama studio miliknya A Band Apart.

Himawan Pratista

Ruma Maida

Mencoba Mengangkat Semangat Sumpah Pemuda


Ruma Maida adalah film drama besutan sutradara Teddy Soeriaatmadja yang sebelumnya menggarap film-film seperti Banyu Biru, Ruang, dan Badai Pasti Berlalu. Naskah filmnya ditulis oleh Ayu Utami. Film ini dibintangi beberapa bintang baru seperti Atiqah Hasiholan, Nino Fernandez, Yama Carlos, serta Imam Wibowo. Film ini dirilis bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober baru lalu.

Film ini berkisah tentang Maida (Atiqah Hasiholan) seorang mahasiswi yang suka mengajar anak-anak jalanan di sebuah rumah tua kosong. Suatu ketika Maida dan anak-anak didiknya diusir karena rumah tersebut akan dibongkar menjadi sebuah gedung perkantoran. Sakera (Yama Carlos), arsitek yang akan membangun gedung di tanah sengketa tersebut bersimpati dengan Maida. Bersama Sakera, Maida mencoba untuk mengungkap sejarah rumah tua tersebut karena ternyata terkait erat dengan Isak Pahing (Fernandez), seorang pemusik keroncong yang konon lagunya menginspirasi Presiden Sukarno untuk membentuk gerakan nonblok.

Film ini dituturkan secara menarik dengan sering menggunakan teknik kilas-balik. Kisah masa kini (Kisah Maida) adalah berlatar tahun 1998. Sementara era masa silam (Kisah Isak Pahing) dituturkan secara acak (tidak linier) antara tahun 1928 hingga 1945 sehingga cenderung membuat penonton bingung jika tidak fokus dengan cerita. Namun secara keseluruhan cerita filmnya dituturkan secara apik dan rapi hingga klimaks cerita. Kelemahan filmnya seperti film-film kita lazimnya adalah alur cerita yang mudah ditebak serta masalah logika. Lahan rumah tua tersebut ingin dialih-fungsi menjadi areal bisnis modern. Jika diperhatikan besar luas bangunan dan tanah rumah, sepertinya terlalu kecil untuk fungsi tersebut. Ketika Maida dan Sakera mencari ruang rahasia di rumah tua tersebut, aneh rasanya jika Maida sebelumnya tidak pernah melihat gambar-gambar di dinding. Sakera yang seorang arsitek anehnya juga tidak bisa menemukan ruang rahasia di rumah yang relatif tidak terlalu besar tersebut.

Untuk mengakali latar masa silam, sineas cukup cerdik dengan lebih banyak menggunakan setting interior yang ditata cukup apik. Sayang sudut pengambilan kamera tidak pernah memperlihatkan secara jelas jika rumah Isak Pahing di masa silam dan masa kini adalah rumah yang sama. Beberapa setting eksterior, seperti pada adegan awal, ketika tentara Jepang menangkap Hanz Schmutzer juga tampak sangat meyakinkan. Satu kesalahan yang sangat fatal adalah tata rias wajah. Tokoh Bertha (Wulan Guritno) dan Sukarno nyaris tidak ada bedanya (tidak bertambah tua) ketika muncul pada tahun di 1928 dan 1945. Ada selang waktu sekitar 15 tahun disini, apa iya wajah mereka tidak berubah?. Satu hal lagi yang cukup mengganggu adalah penggunaan teknik handheld camera terutama pada segmen cerita masa kini. Penggunaan teknik ini dalam beberapa adegan tampak begitu kasar sehingga membuat gambar tidak nyaman untuk dilihat. Entah apapun motifnya, seperti tidak ada bedanya jika handheld camera digunakan sewajarnya.

Pesan yang ingin disampaikan sepertinya adalah semangat sumpah pemuda yang tampaknya menjiwai Maida untuk terus berjuang memperjuangkan pendidikan bagi anak-anak jalanan. Maida menjadi tokoh teladan dalam film ini, seorang pemudi yang berbekal seadanya namun berusaha keras untuk memperjuangkan nasib kaum terpinggirkan. Ruma Maida sebenarnya mampu berkisah lebih baik dan menarik dengan menggali cerita lebih dalam, terutama tokoh-tokoh masa silamnya. Dengan segala kekurangannya namun usaha Ruma Maida untuk mengangkat semangat Sumpah Pemuda cukup layak kita beri pujian.

Agustinus Dwi Nugroho

Serigala Terakhir

Mau Bicara Soal Gaya


Saat 9 Naga (2005) dirilis dulu, filmnya diledek sebagai �preman yang berucap bak kartu ucapan Hallmark�. Di situ, preman yang kehidupannya serba keras bisa sangat puitis kala berucap. Lubang logika ini dipupus oleh Upi lewat film terbarunya, Serigala Terakhir (2009). Kalau Museum Rekor Indonesia iseng menghitung, film ini mungkin yang terbanyak bilang �anj***� dan �bang***�. (hingga saat filmnya diputar di TV nanti pasti Anda akan dibuat terganggu dengan bunyi �tiiitt..� berkali-kali).

Masalahnya, apa memberi atribut sumpah serapah yang kebanyakan itu saja sudah cukup? Tentu tidak. Upi lalu mengembel-embeli filmnya dengan atribut lain: style alias gaya. Perhatikan, betapa �style� amat dominan di film ini. Jika �9 Naga� mengingatkan kita pada style film gangster Hong Kong (menembak dengan memiringkan pistol, misalnya), �Serigala Terakhir� menyajkan lebih jauh. Aroma film gangster Hong Kong memang masih terasa (beberapa bagian mengingatkan pada film �Young and Dangerous� dan sekuel-sekuelnya), tapi urusan style di film ini lebih kasat mata pada mise-en-scene yang muncul.

Lihat pakaian para preman/gangster di film ini. Pengamat mode pasti akan dibuat bingung oleh �fashion statement� yang hendak dikatakan sineas di sini. Celana ketat motif kulit ular dan batik ketat bermotif jadul tahun �70-an bisa berendengan dengan jas tuksedo perlente atau pakaian preman jalanan kebanyakan (jins belel, kaus oblong). Mobil sedan tahun �70-an bisa bertemu handphone model terkini. Dandanan retro mirip yang muncul di video klip �Sabotage�-nya Beasty Boys bisa-bisanya bersatu di layar dengan dandanan sehari-hari orang biasa jaman kiwari. Saat menonton, Anda pasti dibuat bingung, setting film ini sebenarnya terjadi di tahun berapa? Atau, sebuah pertanyaan mendasar yang muncul: apa sih maunya sineas ini? Bikin gado-gado? Kok, alih-alih sedap dipandang, malah bikin mata sakit ya�

Masalahnya, buat sineasnya, segala kesalah-kaprahan mode dan waktu itu tak digubris. Sebab yang penting filmnya terlihat �gaya� di layar.

Nah, saat gaya menjadi maha penting, cerita yang jadi tumpuan utama film kemudian harus minggir. Kisahnya seperti dibuat hanya untuk agar segala macam urusan fesyen tadi bisa muncul di layar. Maka, terciptalah cerita yang kira-kira jalannya begini: si A,B, C, D, dan E adalah preman kampung yang kerjanya membuat onar. Mereka bersahabat. Hingga suatu kali, si A (okelah namanya Jarot [Vino G. Bastian]) membunuh orang. Para sahabatnya tak ada yang menjenguknya waktu di penjara. Padahal ia butuh kawan curhat karena selama di penjara jadi bulan-bulan preman penjara. Kekecewaan itu membuatnya bekerja di pihak lawan. Akhirnya, sekawan yang sudah berbeda pihak ini saling berhadapan. Lalu, ada juga sub-plot lain, soal pria bisu (Reza Pahlevi) yang ujug-ujug jadi penjahat maha jago. Dia yang mengajak Jarot bergabung dengan kelompok Naga Hitam yang bersebrangan dengan kawan-kawannya.

Di Hong Kong sana ada sineas bernama Wong Kar Wai. Ia sineas yang kerap mementingkan gaya dalam film-filmnya. Tapi filmnya tak jatuh jadi sebatas gaya. Siluet gambar bergerak cepat dan warna-warna cerah di filmnya (lihat Chunking Express untuk contoh jelas), dimaknai sebagai ketergesaan yang selalu terjadi di kota kontemporer. Siluet warna-warna yang bergerak mirip kerlap-kerlip lampu neon di gedung-gedung kota Hong Kong.

Ade Irwansyah

Emak Ingin Naik Haji

Mengamati film Indonesia dewasa ini membuat saya sekali lagi berharap akan film berkualitas yang semakin meningkat tiap tahunnya. Adalah film "Emak Ingin Naik Haji" (EINH), film yang diangkat dari cerpen salah satu penulis islami Asma Nadia, yang ditangani sutradara Aditya Gumay, mampu mengolah cita rasa film Indonesia dengan apik dan khas.

Film yang bercerita tentang impian Emak menunaikan ibadah haji dengan menabung sebagian hasil berjualan kuenya. Diceritakan pula cinta dan ketulusan sang anak, Zein yang berusaha mewujudkan mimpi ibunya yang sempat membawanya pada usaha tidak terpuji ditambah ia sendiri pun mewarisi masalah atas kegagalan rumah tangganya. Keinginan naik haji Emak kontras dengan motivasi berbeda tokoh lain seperti juragan haji sekeluarga yang dengan mudahnya bolak-balik pergi ke tanah suci dan Pak Joko yang mengejar gelar Haji karena pencalonan dirinya sebagai caleg.

Film yang memiliki sentuhan islami dengan setting urban, orang kaya di tengah perkampungan miskin mampu di kemas secara apik, dengan gaya satir yang ringan. Sutradara mampu membuka sisi lain yang luput ditangkap banyak orang. Aditya Gumay yang dikenal sebagai pendiri sanggar Ananda dan Teater Kawula Muda serta kita kenal lewat besutan anak didiknya di Lenong Bocah mampu membuat para pemain EINH bermain sangat natural. Inilah kelebihan sutradara yang berangkat dari teater. Ati Kanser (Emak) dan Reza Rahadian (Zein) memiliki chemistry yang baik sebagai ibu dan anak, piawai mengolah penonton larut dalam kisah perjuangan dan kisah pilu hidup mereka. Adapun konteks judul yang semula mampu menjadi spoiler isi cerita, namun Aditya justru membuat menjadi sebuah kejutan. Ketika penonton merasa Emak akan berangkat haji dengan cara yang manis dengan mendapatkan lucky draw, penonton mungkin sudah dibawa nyaman dengan adegan yang berjalan manis, namun disanalah Aditya "bermain" dengan pola yang semula sudah tertanam pada penonton lewat judulnya.

Di sisi lain terdapat minus dari sisi cerita. Film yang kontennya menggunakan plot yang mirip dengan film Babel ini (multiplot) menjadikan banyak tokoh lain akhirnya terpinggirkan. Panggung sebenarnya adalah milik Emak dan Zein. Unsur sensasi dari tokoh lain, seperti pejabat yang selingkuh dan ingin mendapat gelar haji semata justru menurunkan tempo alur cerita yang sudah terjaga ritmiknya lantaran porsinya yang cukup besar walau toh pada akhirnya ceritanya bertaut sebab-akibat dengan baik. Hanya tokoh-tokoh keluarga pak haji juragan kaya saja yang unsur ceritanya mampu bersinergi baik dengan kehidupan Emak dan Zein.

Sebenarnya film ini menempatkan waktu tayangnya pada momen yang tepat yaitu saat musim haji, namun sayangnya film ini muncul pada periode sama dengan film-film besar lainnya yang sudah banyak ditunggu pecinta film (2012 dan New Moon) hingga menutupi gaung filmnya. Jika kita bandingkan film-film islami sebelumnya seperti Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, film ini bukan hanya mampu membawa pesan moral yang baik. Namun lebih dari itu mampu mengupas esensi kehidupan yang terekam kontras dan dikemas bukan untuk menyimbolkan namun menyelusup dan mengetuk hati penonton, lewat cerita yang update dan dialog-dialognya yang mampu ditempatkan sang sineas hingga menjadi punch line yang menggugah.

Andrei Budiman

Perjaka Terakhir,

Satu Lagi Komedi Konyol


Perjaka Terakhir adalah judul yang kurang pantas untuk film garapan Arie Aziz ini. Cerita berawal dari tokoh Ramya (Aming) seorang cowok kemayu yang bertemu dengan Sigi (Fahrani), seorang gadis tomboy anggota geng Black Rose, geng rentenir kelas kakap. Cerita berkembang pada Ibu Sigi ( Nani Wijaya ) yang berniat menjodohkan anaknya dengan Ramya karena sudah tak sabar ingin menimang cucu. Karena merasa risih dengan bujukan sang ibu, Sigi pun akhirnya mau menikah dengan Ramya.

Kelucuan yang ditampilkan oleh Aming dalam tokoh Ramya cukup menghibur penonton, karena mimik wajahnya yang konyol sangat kontras dengan sikap cuek Fahrani yang sangat apik dibawakannya. Pernikahan yang tidak selayaknya membuat adegan demi adegan menjadi komedi yang menghibur. Sigi yang mendapat amanat dari Om Toro, bos besar untuk menjadi pemimpin berusaha tidak menggunakan kekerasan lagi. Mereka membuat lagu yang mencerminkan bahwa rentenir cinta kedamaian. Rupanya hal ini menjadi sebuah tantangan bagi geng Pirates karena takut kehilangan �pelanggan�. Maka geng Pirates mengajak bekerja sama dengan bos besar Black Rose.

Merasa sangat terancam karena sang ibu diculik, Sigi yang mencurigai geng Pirates segera bertatap muka dan dengan terus terang menuduh geng Pirates. Namun apa yang dilakukan geng Pirates? Mereka malah mengajak tanding bermain �bola�. Kaget karena bola diganti dengan buah durian, Sigi pun unjuk gigi kehebatannya. Sebagai film komedi, mungkin wajar saja bila banya menampilkan adegan yang tidak masuk akal seperti adegan terbang dan tendang menendang durian. Tapi ini sangat konyol terutama durian di sini jelas terlihat merupakan rekayasa digital yang kasar. Sangat tidak masuk akal dan tidak enak dipandang.

Begitu juga dengan klimaks cerita bahwa ternyata Om Toro, si Bos Besar malah membunuh ketua Geng Pirates karena memang hanya ingin memperdayainya. Ramya, Sigi, dan gengnya yang melihat kejadian itu berusaha melawan Om Toro yang juga berniat mengahabisi Sigi. Adegan-adegan aksi yang tidak seberapa, ditampilkan dengan kurang apik. Sigi dan gengnya akhirnya dipenjara selama 10 tahun. Saat bebas, Sigi kembali hidup bahagia dengan Ramya. Cerita pun selesai di atas ranjang dengan adegan mesra yang dibuat lucu.

Cerita yang dangkal, komedi yang konyol tapi berlebihan, dan adegan aksi yang tidak sedap dipandang mewarnai film ini. Film ini hanya menonjolkan karakter Ramya yang lucu dan kebanci-bancian, berlawanan dengan karakter Sigi yang tomboy dan keras. Perpaduan karakter tersebut menjadi kunci kelucuan dalam film yang alur ceritanya sederhana ini. Entah pesan apa yang hendak disampailan oleh film ini, setidaknya tersirat bahwa kekerasan tidaklah menyelesaikan masalah dengan baik. Sikap lembut dan pikiran jernih lebih dapat menyelesaikan masalah dengan baik daripada menggunakan aksi kekerasan. Perjaka Terakhir juga menyinggung isu gender dengan menonjolkan sikap Ramya sebagai suami yang lemah lembut dan tidak macho, sedangkan Sigi, istri yang cuek, tangguh dan cenderung melindungi suaminya. Tidak jelas mengapa film ini �menghalalkan� perilaku tak lazim seperti itu? Atau ini hanya sekedar sindiran saja? Setidaknya melalui Perjaka terakhir, dapat memberikan nasehat kepada penonton bahwa cara terbaik menyelesaikan masalah adalah dengan pikiran yang jernih dan sikap yang lembut bukan dengan kekerasan seperti yang sedang merajalela di negara kita saat ini.

Debby Dwi Elsha

Marahkah Anda Bila Saya Bilang �This is It� Hanya Film (Gladi Resik) Konser Semata?

Pertama, yang sudah terang: film ini, This is It (2009) dipasarkan dengan jitu. Semula Sony Pictures, pemilik Columbia, ngebet minta filmnya rilis tepat saat Sang Raja Pop ultah, 29 Agustus. Kenny Ortega, sahabat Michael Jackson yang juga pengarah panggung konsernya, menolak saat diminta menyutradarai film ini. Ya, tidak gampang mengedit rekaman 120 jam jadi film berdurasi 111 menit. Pihak Sony manut.

Namun kemudian mereka datang dengan strategi jitu lain: merilis filmnya hanya dalam tempo 2 pekan. Ini pasti membuat orang begitu ngebet menontonnya, mengiranya akan kehabisan tiket, lalu melewatkan momen bersejarah ini.

Tanpa diembel-embeli kiat pemasaran itu, orang pasti bakal berduyun-duyun menonton film ini. Ini Michael �gitu, loh! Tapi Hollywood memang selalu saja ada akalnya.
Kedua, filmnya. Bila Anda bukan fans Michael atau Anda terlalu sinis, Anda pasti akan menganggap ini sekadar film gladi resik konser semata. Untungnya saya fans Michael dan sedang tak ingin terlalu sinis. Saya tak sedang ingin membuat Anda marah. Jadi, film ini jelas bukan semata film gladi resik konser yang tak jadi. Ini mungkin film dokumenter paling jujur tentang Michael dari yang pernah ada.

Ya, sudah berkali-kali media meliput Michael, mewawancarainya di Neverland, mengulasnya sebagai pedofil, megalomania uzur, pria bangkrut yang berutang segunung, atau meledeknya �from Jacko to wacko�. Sebuah dokumenter tentangnya berjudul �Living with Michael� berhasil mendapat pengakuan dari mulutnya kalau ia biasa tidur ditemani bocah-bocah. Media memang pernah begitu kejam padanya. Sampai saat ia muncul dan berniat menggelar konser akbarnya di London, media menganggap ini semata upaya Michael mencari uang buat menuttup utangnya.

Tidak sepenuhnya salah. Utangnya memang betul menggunung (sekitar 300-500 juta dollar). Tapi ia tak hendak mengecewakan setiap fans yang membeli tiket konsernya. Ya, andai konsernya betul digelar sesuai rencana, fans yang sudah beli tiiet dipastikan tidak akan kecewa. Michael tak sekadar sedang menyiapkan diri menyanyi dan berjoged di depan fansnya. Ia tengah menyiapkan sebuah tontonan terbaik sekali seumur hidup bagi mereka. Inilah dia. This is it. There is no other.

Di sini diperlihatkan Michael menyiapkan betul konsernya sematang mungkin. Sebuah panggung disiapkan di Los Angeles, dekat dai rumahnya, agar ia bisa setiap hari datang berlatih vokal dan menari. Film-film berteknologi 3D disiapkan untuk mengiringi sejumlah lagunya. Pedansa terbaik dari seluruh dunia diaudisi dari ribuan orang untuk dapat yang terbaik menemaninya menari di panggung.

Filmnya hanya disusun dari potongan gambar Jacko berlatih nyanyi dari satu lagu ke lagu (semuannya favorit, meski �Heal the world� dan �Childhood� tidak muncul). Andai Anda melihatnya semata sebagai film konser, anda mungkin akan melihatnya sambil ikut berdendang atau bertepuk tangan usai lagunya kelar kayak di konser betulan. Tapi tontonlah dengan seksama lagi. Lihat betapa ia tetaplah dewa bagi pemujanya, begitu dihormati tapi juga tetap rendah hati (Michael tak terlihat marah-marah bila tak setuju atau ada hal yang menurutnya kurang pas), terlalu kurus untuk usia 50 tapi tetap energik. Ah, mungkin inilah Michael sesungguhnya, dan bukan yang didengung-dengungkan media selama ini.

Film ini ditutup dengan Michael, Kenny Ortega dan kru lain berpegangan tangan, berdoa agar konsernya nanti lancar. Filmnya tak memperlihatkan bagaimana Kenny, para penari, atau kru lain menanggapi kematian Michael yang mendadak. Kenny menutup filmnya seolah konsernnya memang betulan jadi. Memang tidak di London sesuai rencana, tapi di seluruh dunia dalam keremangan bioskop dengan kita, fansnya, berseru: we love you, Michael! ***

Ade Irwansyah
Editor Tabloid Bintang

Liputan Festival Film Animasi Indonesia 2009

Festival Film Animasi Indonesia (FFAI) secara rutin telah diselenggarakan setiap dua tahun selama lima tahundalam satu dekade terakhir. Sebelumnya FFAI dilangsungkan berturut-turut di Jakarta dan terakhir di Jambi. Festival Film Animasi IndonesiaFFAI (FFAI) yang ke lima kali ini diselenggarakan di wilayah Magelang, Jawa Tengah, yang berpusat di desa Grabag, yaitu di sStudio tTelevisi kKomunitas Grabag TV serta aAula Kecamatan Grabag. Selain di dua tempat tersebut ada beberapa tempat yang dipilih sebagai lokasi kegiatan, seperti Desa Sorobayan (Kec. Grabag), SMK YP 17 Magelang, dan Universitas Tidar Magelang. Acara yang berlangsung selama lima hari tersebut dari tanggal 27 Oktober 2009 hingga 31 oktober 2009 diselenggarakan dan didukung oleh FFTV-IKJ (Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta), ASIFA Indonesia, GRABAG TV, serta Yayasan Seni Visual Indonesia. Kegiatan festival ini sangat padat dan beragam, di antaranya pemutaran film animasi produksi lokal dan internasional yang secara rutin dilakukan selama lima hari berturut-turut di beberapa tempat tersebut di atas, workshop film animasi, sarasehan, diskusi film animasi, serta puncaknya adalah penjurian film animasi lokal.

Acara dibuka pertama kali di aula Kecamatan Grabag sekitar pukul 15.30 WIB yang oleh Dekan FFTV_IKJ, Gotot Prakosa. Pada pembukaan tersebut turut hadir beberapa tamu undangan di antaranya Camat Grabag dan peserta Workshop dari beberapa kota. Kemudian dilanjutkan dengan pemutaran beberapa film animasi, di antaranya film produksi lokal, Keluarga Bajuri Tanggap Flu Burung, film animasi pendek karya Maureen Selwood, serta film animasi panjang dari Prancis yang berjudul The Tale Of Despereaux. Acara pembukaan selesai sekitar pukul 18.00 WIB.

Pagi harinya bertempat di Studio TV Grabag, diadakan workshop animasi televisi. Peserta berasal dari beberapa SMK dan SMU di Jawa Tengah serta beberapa komunitas film dari Jogjakarta. Workshop tersebut dipandu oleh praktisi animasi lokal dan internasional, yakni Bernice Helena, MA., Rachmat Rizal, Kuntep Tarawa, serta Gotot Prakosa. Kegiatan ini juga dibantu oleh tim dari Institut Kesenian Jakarta. Workshop animasi yang kegiatannya sangat padat ini diadakan selama tiga hari, yakni sejak rabu, 28 Oktober 2009 hingga Jumat, 30 Oktober 2009. Inti dari workshop tersebut adalah pelatihan produksi film animasi berupa video klip animasi yang sederhana. Peserta workshop hanya dibatasi sekitar dua puluh orang saja dan diharapkan mereka kelak dapat membagi pengalamannya pada rekan-rekan mereka di daerahnya masing-masing.

Sementara itu kegiatan pemutaran film diadakan secara rutin setiap siang dan malam. Pemutaran film diselenggarakan di aula Kecamatan Grabag. Penonton yang kebanyakan anak-anak dan remaja begitu antusias menonton film-film animasi yang diputar. Film-film yang diputar antara lain adalah film-film animasi produksi lokal seperti Jungle Forever, dan beberapa film animasi luar produksi Pixar serta lainnya. Selain bertempat di Kecamatan Grabag, pemutaran film juga diadakan di Desa Sorobayan, sebuah desa terpencil yang jauh dari keramaian kota, namun tidak mengurangi antusiasme masyarakat untuk hadir dalam acara ini hingga satu ruangan terisi penuh penonton. Film-film yang diputar antara lain berjudul Velveteen Rabbit karya Robin Cook serta beberapa film animasi pendek dari Indonesia. Selain di kedua tempat tersebut pemutaran film juga diadakan didi SMK YP 17 Magelang dan Universitas Tidar Magelang.

Kegiatan di Universitas Tidar tidak kalah meriah. Jumlah penonton yang menghadiri pemutaran, penjurian dan diskusi film tidak kurang dari 150 orang. Tampak hadir juga Rektor Universitas Tidar, Dr. Cahyo Yusuf, M.Pd., dan jajarannya, Ketua Dewan Kesenian Magelang, Drs. Budiono beserta anggotanya, beberapa tokoh masyarakat-budayawan Magelang. Kegiatan diawali dengan pemutaran film animasi pendek Indonesia, Rusia, Jerman, dan Korea. Acara diskusi juga berlangsung meriah. Dalam diskusi terbuka ini ada beberapa hal yang menarik disampaikan oleh peserta. Rektor Universitas Tidar, Cahyo Yusuf, menyampaikan bahwa kalangan civitas akademika Universitas Tidar menyambut gembira dengan adanya FFAI 2009 yang diselenggarakan di Magelang. Melalui festival ini menambah perbendaharaan kegiatan kreatif bagi masyarakat Magelang secara umum, dan Universitas Tidar secara khusus.

Selain kegiatan workshop dan pemutaran film, pada hari Jumat diadakan pula penjurian terhadap film animasi lokal yang sebelumnya telah masuk ke meja panitia yang berasal dari berbagai wilayah di Inodenesia. Penjurian dilakukan di dua lokasi berbeda, yakni aula Kecamatan Grabag dan Universitas Tidar Magelang yang berlangsung dengan suasana meriah. Sistem penjuriannya adalah menggunakan sistem voting dari seluruh penonton yang hadir dengan pemenangnya adalah film animasi pendek dari Magelang berjudul Balada si Budi karya Sugeng Budi Saptian.

Penutupan acara FFAI ini dilaksanakan pada hari Sabtu pukul 19.30 WIB di aula Kecamatan Grabag. Acara penutupan ini ditutup dengan pemutaran film behind the scene pembuatan film animasi sederhana dan pemutaran filmvideo klip animasi hasil karya salah satu peserta workshop yang bertema Lebaran. Pada acara ini juga diumumkan pemenang FFAI 2009 dari hasil penjurian yang dilakukan hari sebelumnya. Sebagai acara pamungkas adalah pagelaran Wayang Kulit yang berakhir pada pukul 23.00 WIB. FFAI secara resmi telah selesai dan rencananya diselenggarakan lagi tahun depan lokasi kegiatan masih belum diketahui.

Festival Film Animasi Indonesia yang kelima kali ini berlangsung sangat sederhana sekali tampak ddari pilihan lokasi yang berpusat di wilayah pepinggirandesaan yang cukup jauh dari kota besar. Namun justru antusiasme warga dan masyarakat sangat tinggi., khususnya para remaja dan anak-anak. Selain pemutaran film animasi asing, diputar pula beberapa film animasi produksi kita. Ini menunjukan bahwa film-film animasi kita mulai berkembang. Salah satu tujuan utama diadakannya Festival Film Animasi tersebutini adalah ikut mengembangkan film animasi di Indonesia serta memotivasi animator-animator muda kita untuk terus mengembangkan kreatifitas di bidang animasi. Hal penting yang menjadi substansi adalah bahwa dengan menonton karyakarya dari berbagai negara dengan beragam tema, penonton FFAI 2009 diharapkan memetik pesan yang baik untuk diolah menjadi pemikiran, sikap dan perilaku yang sesuai dengan nilai-nilai lokal setempat, sekaligus tidak gagap dengan nilai-nilai universal.

Agustinus Dwi Nugroho

Film, Yahudi, dan Kita

Suatu hari di akhir tahun lalu, Joel Stein, kolumnis berdarah Yahudi berang. Ia tak puas dengan hasil polling yang dikeluarkan The Anti-Defamation League (Liga Anti Pemfitnahan) November 2008. Polling itu mengatakan, sekarang hanya 22 persen orang Amerika Serikat yang percaya "industri televisi dan film dikuasai Yahudi". Angkanya turun jauh dari 50 persen di survey tahun 1964.

Ia berang karena merasa kenyataannya tak begitu. Polling itu, katanya, menandakan betapa bodohnya orang Amerika. "Yahudi sungguh menguasai Hollywood," tegasnya di koran Los Angeles Times edisi 19 Desember 2008 lalu. Ia mengambil iklan satu halaman penuh yang isinya petisi yang ditandatangani para petinggi industri hiburan di sana sebagai contoh.

Di iklan itu, beber Stein, ada nama: President News Corp. Peter Chernin (Yahudi), Chairman Paramount Pictures Brad Grey (Yahudi), Chief Executive Walt Disney Co. Robert Iger (Yahudi), Chairman Sony Pictures Michael Lynton (Yahudi Belanda), Chairman Warner Bros. Barry Meyer (Yahudi), Chief Executive CBS Corp. Leslie Moonves (terlalu Yahudi, paman buyutnya perdana menteri Israel pertama), Chairman MGM Harry Sloan (Yahudi) dan Chief Executive NBC Universal Jeff Zucker (Yahudi). Dengan atau tanpa bos Miramax Weinstein bersaudara yang juga Yahudi, jika orang-orang ini bersepakat menutup tempat kerja mereka, Hollywood dipastikan runtuh seketika. Selain petinggi studio dan stasiun TV, pekerja kreatif Hollywood juga banyak berdarah Yahudi. Dari jejeran sutradara ikonnya adalah Steven Spielberg.

Itu fakta tak terbantahkan. Makanya, selalu muncul anggapan kalau film-film bikinan Hollywood sedikit-banyak mengandung propaganda Yahudi. Film Hollywood, di negeri Muslim, seringkali dipandang curiga. Ujungnya film Hollywood yang terang-terangan berkisah soal kaum Yahudi dilarang beredar di negeri Islam atau berpenduduk mayoritas Muslim.

Contoh paling terang untuk ini adalah saat Schindler�s List (1993) karya Spielberg dilarang beredar pada 1994 di negeri ini. MUI waktu itu menganjurkan film itu ditolak. Kala itu kehadiran film yang berkisah peristiwa Holocaust (pembasmian Yahudi oleh Nazi Jerman saat Perang Dunia II) ini mengundang debat publik. Timbul pro-kontra di masyarakat apa sebaiknya film itu dibolehkan beredar atau dilarang. Yang setuju beredar mengatakan filmnya berisi pesan universal meski kisahnya soal Yahudi. Yang tak setuju beranggapan ini film propaganda Yahudi semata. Pemerintah lewat Badan Sensor Film lalu mengetukkan palu menolak film itu beredar.

Melihat fenomena sekarang apa yang terjadi di tahun 1994 itu rasanya seperti terjadi sudah lama sekali. Tengok saja jadwal bioskop hari-hari ini. Ada film berkisah soal Yahudi yang diputar luas dan tanpa protes siapa pun. Film itu, Inglorious Basterds (2009), karya Quentin Tarantino, bertema sejarah bohong-bohongan saat kaum Yahudi membalas dendam kekejaman Hitler (termasuk membunuhnya). Beberapa bulan lalu juga beredar film Defiance (2008, Edward Zwick) yang berkisah tentang kaum Yahudi yang lari ke hutan menghindari kejaran Nazi. Sementara itu, meski tak beredar di bioskop, telah rilis VCD resmi film Don�t Mess with the Zohan (2008). Film komedi yang dibintangi Adam Sandler itu berkisah soal prajurit pasukan elit Israel yang membuka salon di Amerika.

Jika film-film itu bisa rilis resmi tanpa protes di sini, negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia, timbul pertanyaan: apakah kini kita semakin toleran pada Yahudi? Jawabannya tak sesederhana pertanyaannya. Indonesia banyak berubah sejak Schindler�s List ditolak beredar dulu. Indonesia sudah berganti presiden empat kali sejak 1994. Begitupun masyarakatnya. Kita�tanpa pemerintah bisa membendungnya�kini bisa menikmati tontonan berbau Yahudi dengan bebas.

Ya, sejak marak VCD /DVD bajakan dan alat pemutarnya yang dijual murah, ribuan judul film bisa dinikmati penonton Indonesia. Semuanya tanpa sensor pemerintah. Di antara judul-judul itu terselip film-film lawas yang dulu dilarang/tidak beredar di sini. Termasuk Schindler�s List-nya Spielberg. Banyak pula judul lain macam dokumenter The Last Days (1998), Jakob the Liar (1999), The Pianist (2002), hingga The Boy in the Striped Pyjamas (2008) yang semuanya berkisah soal Holocaust ataupun The Prince of Egypt (2000) film animasi tentang kisah Nabi Musa versi Yahudi.

Tidak bisa dilacak ada berapa orang Indonesia yang sudah menonton film-film soal Yahudi dari VCD/DVD bajakan. Yang pasti, sensor pemerintah tak bisa membendung kemajuan teknologi. Begitu pun sensor dari masyarakat.

Padahal, buat pemerintah dan badan sensornya (kini bernama Lembaga Sensor Film, LSF) tekanan masyarakat ini yang kerap membuat kalang kabut. Perhatikan saja, film Buruan Cium Gue (2004) ditarik dari bioskop setelah diprotes Aa Gym. Begitu juga Paku Kuntilanak yang dituding porno tempo hari. Setelah melewati meja sensor dan beredar, filmnya kemudian ditarik karena diprotes. Schindler�s List resmi dilarang lebih karena kuatnya tekanan dari masyarakat. Pemerintah tak ingin polemik berlanjut jadi protes dan demo di mana-mana.
Sekarang, saat Inglorious Basterds rilis, kita malah tengah ribut menolak Maria Ozawa alias Miyabi. Front Pembela Islam dalam demonya mengatakan Miyabi lebih berbahaya dari teroris. FPI luput memprotes Quentin Tarantino dan filmnya.

Sikap pemerintah yang tak pernah tegas (hanya jadi keras begitu ada protes) pertanda sikap hipokrit. Kita tak mau terima kenyataan kalau nilai budaya apapun dan dari manapun sudah bukan saatnya lagi disensor atau dibendung. Sebab di zaman Internet begini, perbuatan itu sia-sia belaka. Masyarakat kita sesungguhnya sudah dewasa. Walau sudah disuguhi tontonan Yahudi bertahun-tahun, tak lantas membuat kita membela Israel. Kita tetap mengecam penjajahan mereka di Palestina.

Saya juga tak menganjurkan Inglorious Basterds dilarang atau ditarik dari peredaran. Karena itu takkan efektif. Versi bajakannya sudah beredar saat filmnya belum tayang di bioskop. Membolehkan filmnya tayang di bioskop malah membuat negara untung karena dapat uang dari pajak tontonan.

Sebab, beda dengan pemerintah yang sering plin-plan, sikap para pembajak film jelas dan tegas. Mereka tak punya beban moral mensensor diri. Sepanjang ada permintaan, barang apapun dijual. Entah film soal Yahudi macam Schindler�s List atau film porno Miyabi. Tinggal kita sendiri yang memilih dan memilah. Pilihan kita dan sikap kita pada apa yang kita pilih adalah bukti kedewasaan diri. ***

Ade Irwansyah
Editor Tablid Bintang