Jumat, 02 Mei 2008

Kedalaman Riset Membawa Kemenangan


Saya seorang pembuat film dokumenter pemula yang membuat film yang berjudul �Paku Buwono XII, Berjuang Untuk Sebuah Eksistensi�. Film itu saya buat sebagai tugas akhir sebagai sarjana perfilman di Fakultas Film dan Televisi � Institut Kesenian Jakarta. Seingat saya ujian akhir dilaksanakan pada bulan Oktober 2004, saat itu berhasil menempuh ujian dengan sangat memuaskan.

Gelisah

Setelah menempuh kuliah selama 3 tahun, saya lulus sebagai videografer pada tahun 2002, kemudian langsung diterima bekerja sebagai kepala studio merangkap sebagai asisten dosen videografi di IKJ. Sebagai calon pengajar saya mendapatkan kesempatan melanjutkan studi ke jenjang sarjana dengan bea siswa.

Kegelisahan timbul setelah lulus saat film itu saya putar di beberapa pertemuan, baik di lingkungan keluarga Karaton Surakarta, lingkungan kawan-kawan, keluarga saya sendiri, mendapatkan respon biasa-biasa saja, bahkan ada yang mengatakan film ini gak jelas, ada juga yang mengatakan seperti video kawinan. Saya menjadi ragu, apakah betul saya sudah bisa bikin film sesuai nilai A-minus saya terima? Ataukah karena posisi saya saat itu sebagai asisten dosen, sehingga para penguji memberi nilai terlalu murah?

Untungnya di saat kegundahan itu seorang teman menyarankan untuk mengirimkan film saya untuk mengikuti Festival Film Indonesia 2005, katanya bila saja nanti film itu berhasil masuk nominasi, itu akan sangat berarti bagi film maker-nya. Saya ikuti saran teman itu walau saat pengirimannya pada saat yang sudah sangat mepet dead line.

Ternyata Bisa Bikin Film

Kegundahan akan penilaian para dosen penguji terjawab saat saya mendapat kabar bahwa film saya masuk nominasi. Menjadi salah satu dari 9 nominator yang dipilih dari 90 film yang masuk saya merasa sudah cukup puas. Saya merasa sudah bisa membuat film dokumenter... saya sudah merasa menang. Saya mengadiri upacara pesta Festival Film Indonesia 2005 di JCC saat itu dengan langkah yang sangat ringan tanpa beban dan berharap apapun, karena saya sudah merasa cukup puas sebagai nominator.

Saya merasa jantung saya hampir meledak saat film Paku Buwono XII dibacakan sebagai peraih citra 2005. Tak bisa saya ungkapkan bagaimana perasaan saya saat itu...saya merasa hadiah ini mukjizat Tuhan...Saya bersyukur kepada Tuhan, hanya karena Beliaulah ini terjadi...dan juga restu dari seorang Raja Jawa yang menjadi subyek film ini.

Mengapa Paku Buwono XII ?

Saya mengenal beliau sejak tahun 1993 pada saat saya bekerja di Solo, jauh sebelum saya kuliah di IKJ (tidak pernah menyangka kalau pada tahun 1998 akan terjadi krisis moneter yang menyebabkan saya kehilangan pekerjaan). Pada saat itu pimpinan saya membantu perbaikan beberapa kereta yang sudah berusia ratusan tahun di Karaton Surakarta, dan membantu pelaksanaan berbagai upacara di Karaton. Dengan perantaraan itulah saya saya masuk kedalam keluarga kerajaan, mulai berurusan dengan putra-putri beliau sampai dengan suatu saat saya berhubungan dengan sangat dekat dengan Sinuhun.

Dalam perjalanan persahabatan saya dengan PBXII saya menangkap karakter beliau sebagai pribadi yang sangat unik. Kehidupan sebagai seorang raja yang bertahta pada jaman kemerdekaan mengalami suka duka hidup yang amat kompleks.

Selama mengenal beliau banyak saya dengar di masyarakat tentang siapa dan bagaimana seorang PBXII yang cenderung negatif. Antara lain masyarakat umum mengatakan bahwa PBXII seorang raja yang pro Belanda, bebeda dengan Sultan. Namun anehnya Sinuhun tidak pernah mencoba membela diri atas apa yang dibicarakan orang yang cenderung mencibirkan beliau. Pada kesempatan lain, hampir setiap hari saya masuk Karaton. Pada saat saya berteduh di depan Sasana Wilapa (kantor PBXII) yang jarang dikunjungi Sinuhun, saya sering ditemani Kanjeng Pangeran Wirodiningrat. Pada suatu saat dengan menunjukkan sebuah map yang penuh dengan surat-surat penting KP Wirodingirat berkata: �Mas Wie, apa yang dikatakan orang di luar sana tidak semuanya benar...lihat surat-surat ini...ini sebagai bukti bahwa PBXII juga punya andil dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia�.

Dalam map itu saya melihat berbagai surat serah terima berbagai sumbangan PBXII untuk kepentingan NKRI, itu sudah cukup bagi saya bahwa beliau juga punya andil dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Seorang raja tidak harus ikut berjuang mengangkat senjata berperang meninggalkan keratonnya.

Rasa prihatin atas nasib beliau itulah yang mendorong saya untuk menjadikan PBXII sebagai subyek film saya, film ini saya dedikasikan sebagai tanda kasih dan bhakti saya atas bimbingannya kepada saya selama menjadi sahabat beliau.

Riset yang Matang

Seorang sahabat, sutradara dokumenter dari Amerika Michael Sheridan berkomentar �It�s all about access� sambil memuji kedekatan saya sama PBXII sesaat setelah dia menonton film saya. Memang hal itulah yang menurut saya yang merupakan faktor penting dalam membuat film dokumenter. Kedekatan dengan subyek menyebabkan kita leluasa dalam mengakses informasi, ruang, dan waktu. Persahabatan saya selama sepuluh tahun dengan PBXII sebelum saya membuat film tentang beliau merupakan perjalanan riset yang panjang dan dalam, yang tidak saya sadari sebelumnya. Semakin dalam dan lama kita berinteraksi dengan subyek, semakin banyak informasi dan berbagai permasalahan tentang subyek yang kita pahami. Dengan bekal pemahaman yang dalam tentang narasumber dan berbagai persoalannya akan menghantarkan film kita dapat bertutur dengan tepat tentang siapa dan bagaimana subyek kita. Disamping itu dengan kedalaman riset, kita bisa lebih jeli memilih bagian mana dari subyek yang sangat menarik, yang mengandung informasi penting, yang sedih, yang lucu, kemudian tepat meletakkan dalam alur film kita.

Salah satu tujuan riset juga membangun rasa saling percaya antar film maker dan subyek, kepercayaan seorang subyek sangat penting dalam film dokumenter tanpa ada rasa saling percaya mustahil bisa membuat film yang bagus, yang jujur, yang merepresentasikan sebuah kebenaran

Rasa saling percaya menyebabkan subyek kita siap saat menghadapi wawancara, maksud siap disini subyek tidak demam kamera, tampil sebagai dirinya sendirinya sendiri (tidak acting).
Salah satu cara untuk mempersiapkan subyek kita selama riset adalah secara perlahan memperkenalkan alat-alat elektronik sejak proses riset. Bila sudah mulai agak dekat dengan subyek, mintalah ijin untuk boleh merekamnya dengan handycam atau audio recorder sepanjang proses riset. Manfaat dari perekaman itu adalah, pertama: agar narasumber kita siap pada saat shooting /tahap produksi nantinya, karena sudah terbiasa berhadapan dengan peralatan elektronik saat riset. Kedua: sebagai back-up bila pada tahap produksi gagal mendapatkan intonasi wawancara dan ekspresi yang bagus seperti pada saat riset, rekaman suara maupun video handycam dapat dipergunakan untuk menjadi bagian dari film dokumenter kita, walau kualitas gambar dan suaranya tidak sebaik pada tahap produksi. Ekspresi dan intonasi yang bagus/sesuai sangat diutamakan, karena dalam film dokumenter kesedihan, kelucuan, harus nampak wajar tidak boleh direkayasa, film maker harus menangkapnya secara spontan. Rekaman seperti itulah yang harus kita tata untuk memberi nafas film kita.

Kamera Sederhana

Film Paku Buwono XII, hampir sebagian besar menggunakan handycam sederhana. Selama kita tahu bagaimana menggunakan kamera dengan tepat, bisa mengatur, balance, eksposur, focus yang tepat pasti dapat menghasilkan gambar yang baik. Jadi pada dasarnya handycam dapat digunakan sebagai alat untuk membuat karya yang baik selama menguasai aspek teknis dan aspek kreatif dalam membuat film antara lain, type of shot, camera angle, dan menguasai bahasa film.

Terima Kasih untuk PBXII

Piala Citra itu merupakan anugrah yang tak pernah saya bayangkan dalam hidup. Saya merasa film ini menang bukan semata-mata karena kemampuan seni film saya, saya yakin semua itu adalah karena Sinuhun, beliau yang sudah di alam lain mendorong saya untuk memperoleh semua ini.

Seminggu setelah mendapat Piala Citra, saya bersama seluruh keluarga nyekar ke makam Sinuhun di Imogiri dengan membawa serta piala dan paigam saya. Dengan meletakkan piagam dan piala itu di sisi makam beliau saya sungkem menyampaikan terima kasih saya atas segala dorongan beliau sejak saat beliau masih sugeng sampai beliau tiada sehingga saya memperoleh prestasi seperti ini.

Kalau saja saya bisa berkomunikasi dengan Suwagi Dalem PBXII, saya ingin menyanyakan apa yang beliau ingin saya lakukan untuk menyampaikan rasa terima kasih saya kepada beliau dan Karaton Surakarta Hadiningrat.

Kebahagiaan lain yang saya dapatkan adalah kesempatan memutar film PBXII di TA-tv Solo pada bulan Juni 2006, sehingga pesan yang saya tanamkan dalam film itu sampai ke masyarakat Solo yang merupakan wilayah kekuasaan Karaton Surakarta Hadiningrat. Setelah penayangan ada talk show interaktif dengan penonton. Saya sangat terharu saat beberapa orang menghubungi via telepon menyatakan rasa terima kasihnya karena setelah menonton film itu kini mereka tahu siapa dan bagaimana PBXII, Raja mereka.

I.G.P. Wiranegara

Kamis, 01 Mei 2008

Perkembangan Film Noir

Film Noir, Genre atau Gaya?

Istilah noir [noa:] kerap kali digunakan untuk menyebut suatu jenis film tertentu. Entah film noir atau neo-noirs. Apa sebenarnya film noir? Kata noir sendiri berasal dari bahasa Perancis yang bermakna gelap, hitam atau suram. Istilah film noir pertama kali digunakan oleh kritikus asal Perancis untuk mengistilahkan film-film kriminal-detektif produksi Amerika yang membanjiri bioskop-bioskop Perancis selepas Perang Dunia Kedua. Dalam perkembangannya film noir kerap kali diperdebatkan antara sebuah genre ataukah gaya. Jika dibandingkan dengan genre lainnya film noir memang lebih memiliki karakter tema serta gaya yang unik dalam membangun mood-nya. Film noir disebut genre bisa jadi lebih karena popularitasnya ketimbang unsur estetiknya. Film noir sendiri sebenarnya merupakan turunan dari genre kriminal-gangster yang sangat populer di Amerika pada era 30-an.

Lahirnya Film Noir serta Perkembangannya

Dalam perkembangan beberapa faktor internal dan eksternal banyak memotivasi lahirnya film noir. Pengaruh paling kuat adalah munculnya novel-novel detektif Amerika pada akhir era 20-an. Para penulis seperti Dashiell Hammet, Raymond Chandler, James M. Cain serta W.S. Burnett memberikan warna baru bagi novel bertema detektif menjadi lebih keras dan sinikal. Novel-novel mereka kelak banyak diadaptasi ke layar lebar. Sementara unsur estetik film noir terutama banyak dipengaruhi oleh sinema ekspresionisme yang dibawa oleh sineas-sineas Jerman yang hijrah ke Amerika. Bahkan hingga sutradara ekspresionis ternama sekelas Fritz Lang pun nantinya memproduksi film noir. Pengaruh gaya ekspresionis kelak tampak pada tata cahaya terutama penggunaan bayangan serta kontras antara gelap-terang. Suasana ketidakpastian dan pesimisme menjelang Perang Dunia Kedua ditambah faktor-faktor sosial di Amerika kala itu seperti, korupsi di kepolisian, mafia politik, perdagangan obat terlarang, protistusi, hingga munculnya gang-gang kriminal turut mempercepat munculnya film noir.

Awal kemunculan film noir pertama dianggap oleh beberapa kalangan adalah film kelas dua, Stranger on The Third Floor (1940) arahan Boris Ingster. Namun adalah The Maltese Falcon (1941) arahan John Huston yang secara tema dan estetik dianggap secara utuh memakai semua elemen film noir. Film ini diadaptasi dari novel detektif berjudul sama karya Dashiell Hammet. Humprey Bogart yang bermain prima sebagai detektif Sam Spade semakin mengukuhkan namanya menjadi salah satu bintang papan atas Hollywood. Setelah sukses Falcon, film-film noir pun membanjiri pasaran. Namun studio-studio besar Hollywood pada awalnya masih belum berani mengambil resiko. Produksi film noir pada awalnya termasuk Falcon, menggunakan standar bujet yang rendah. Hal ini tampak melalui banyaknya syuting dalam studio, jumlah karakter serta figuran yang kecil, serta menggunakan sutradara belum dikenal. Dalam perkembangan sejumlah bintang dan sutradara besar ikut meramaikan produksi film noir selama hampir dua dekade ke depan.

Sutradara-sutradara imigran asal Jerman menjadi motor perkembangan film noir. Mereka banyak memproduksi film noir berpengaruh, seperti Fritz Lang melalui Woman in the Window (1944) dan Scarlett Street (1945), Otto Preminger memproduksi Laura (1944), Billy Wilder mengarahkan Double Indemnity (1944), serta Robert Siodmak melalui Phantom Lady (1944), The Suspect (1944) dan The Killers (1945). Adapun nama-nama besar lainnya yang turut berpartisipasi antara lain, Howard Hawks melalui filmnya The Big Sleep (1944), Orson Welles melalui The Lady from Shanghay (1948), Michael Curtiz melalui Mildred Pierce (1945), Alfred Hitchcock melalui Shadow of Doubt (1943) dan Notorious (1945), serta John Huston melalui Asphalt Jungle (1950). Sementara film-film noir berpengaruh lainnya, This Gun For Hire (1942) arahan Frank Tuttle, Out of the Past (1947) arahan Jacques Tourneur, Detour (1945) arahan Edgar G. Ulmer, Gilda (1946) arahan Charles Vidor, serta The Third Man (1949) arahan Carol Reed.

Karakteristik Film Noir

Sesuai dengan maknanya, gelap atau suram, film noir menggunakan tema serta aspek estetik yang mendukung mood tersebut. Mood film noir terbentuk dari rasa sinis, pesimis, keraguan serta aspek sisi gelap manusia lainnya. Tema umumnya tidak lepas dari misteri dan teka-teki. Alur cerita biasanya kompleks serta membingungkan. Cerita bisa berubah arah kapan saja tanpa bisa kita tebak. Film noir umumnya tidak lepas dari tindak kriminal, seperti pembunuhan, korupsi, pemerasan, serta pula upaya penyelidikan dari pihak tertentu, seperti polisi, detektif, petugas asuransi, veteran dan lainnya. Karakter pria umumnya sinis, keras, obsesif serta delusionis seperti figur aktor Robert Mitchum, Fred MacMurray dan Humphrey Bogart. Sementara karakter wanita [diistilahkan: femme fatale] umumnya berpenampilan menarik, berambut pirang, manipulatif, bermuka dua, serta misterius seperti sosok Mary Astor, Veronica Lake, Jane Greer, Barbara Stanwyck, dan Lana Turner. Kisah umumnya berakhir non happy ending serta terkadang tidak jelas (ambigu). Film noir juga kerap kali menggunakan narasi untuk menuntun alur cerita serta sering menggunakan kilas balik.

Secara teknis film noir banyak menggunakan unsur setting, tata cahaya, serta sinematografi untuk membangun mood �suram�-nya. Setting film noir umumnya di kota besar dan paling dominan adalah malam hari. Baik setting eksterior maupun interior menggunakan tata cahaya temaram yang kontras antara gelap-terang (low-key lighting). Penggunaan efek bayangan tampak begitu dominan. Setting eksterior yang menjadi ciri khas film noir adalah gang-gang gelap, jalanan (aspal) yang licin dan basah lengkap dengan cahaya neon yang berkedip-kedip. Sementara setting interior umumnya mengambil lokasi di kamar hotel, kantor, bar, apartemen, atau gudang. Setting interior kerap kali dipenuhi asap rokok yang tebal. Unsur sinematografi diwakili oleh penggunaan teknik deep-focus (fokus yang tajam pada foreground maupun background), sudut kamera high-angle serta low-angle, serta komposisi yang tidak seimbang.

Akhir Era Film Noir serta Pengaruhnya

Film noir sangat populer terutama pada dekade 40-an di masa dan pasca Perang Dunia Kedua. Hollywood mampu merespon sinisme masyarakat Amerika pada era ini secara efektif melalui film noir. Pamor film noir mulai menurun menjelang akhir dekade 50-an. Namun beberapa film noir berkualitas berhasil diproduksi diantaranya, Angel Face (1952) arahan Otto Preminger, The Big Heat (1955) arahan Fritz Lang, serta Kiss Me Deadly (1955) arahan Robert Aldrich. Beberapa faktor menjadi penyebab popularitas film noir mulai menurun pada dekade 50-an ini, yakni munculnya televisi, era emas genre fiksi-ilmiah, akhir era sistem studio, serta semakin sejahteranya masyarakat Amerika sehingga memilih hiburan yang lebih ringan. Banyak pengamat menganggap akhir era film noir ditandai melalui salah satu karya terbaik Orson Welles, Touch of Evils (1958). Pada dekade-dekade mendatang beberapa pembuat film mencoba menghidupkan kembali jiwa film noir dan beberapa diantara mereka berhasil. Semangat film noir juga dianggap banyak kalangan sangat mempengaruhi karakteristik film independen yang mulai berkembang pada era ini.

Setelah berakhirnya era film noir, film-film yang bertendensi memakai tema serta gaya yang sama diistilahkan pengamat sebagai film post-noirs atau neo-noirs. Karakteristik film noir tampak kembali dalam The Naked Kiss (1966) arahan Sam Fuller, The Long Goodbye (1973) arahan Robert Altman, serta yang dinilai terbaik adalah Chinatown (1974) arahan Roman Polansky. Film-film neo-noirs yang menonjol pada dekade selanjutnya diantaranya, Body Heat (1981), The Blue Velvet (1986), The Grifters (1990), The Millers Crossing (1990), The Usual Suspect (1995), L.A Confidential (1997), The Man Who Wasn�t There (2001), serta Mulholland Dr. (2001), serta Black Dahlia (2007). David Lynch serta Coen Bersaudara tercatat sebagai sutradara yang kerap kali memproduksi film berjenis ini. Dalam perkembangan, karakter film noir juga tampak pada genre fiksi-ilmiah, seperti Alien (1979), Blade Runner (1982), The Terminator (1984), Johny Mnemonic (1995), Dark City (1998), hingga The Matrix (1999). Film adaptasi komik karya Frank Miller, Sin City (2005) karya Robert Rodriguez merupakan kombinasi antara neo-noirs dengan komputer grafis yang sangat unik. Film ini memakai hampir seluruh elemen tema maupun estetik film noir orisinilnya. 

Himawan Pratista

The Maltese Falcon, Pelopor Film Noir



The Maltese Falcon (1941) banyak dianggap pengamat sebagai titik lahirnya film noir. Lebih dari itu film ini juga menjadi standar bagi film detektif swasta kelak. Film ini sukses mendapatkan tiga nominasi Oscar termasuk film terbaik dan naskah terbaik. Film ini juga kerap kali dinilai sebagai salah satu film terbaik produksi Hollywood. Falcon dianggap sebagai pembuka jalan (pelopor) karena dinilai telah menggunakan seluruh elemen yang menjadi ciri film noir. Tulisan ini membahas sejauh mana karakteristik tema dan estetik film noir digunakan dalam The Maltese Falcon.

The Maltese Falcon merupakan debut karir sutradara John Huston yang diadaptasi dari novel detektif berjudul sama karya Dashiell Hammet. Film produksi Warner Brothers ini dibintangi secara menawan oleh Humprey Bogart, Mary Astor, Sidney Greenstreet, serta Peter Lorre. Kisah film ini pada awalnya tampak begitu sederhana. Seorang wanita cantik bernama Mrs. Wonderly (Astor) datang ke kantor detektif swasta, Spade & Archer. Sang wanita menuturkan masalahnya pada Sam Spade (Bogart) dan meminta pertolongan untuk mencari adiknya yang mengaku dibawa seorang bernama Flyod Thurbsy. Spade menerima kasus tersebut dan sang partner, Miles Archer menjalankan tugasnya. Pada titik inilah cerita berkembang semakin rumit. Malamnya, Archer tewas tertembak dan juga tak lama diikuti Thursby. Polisi malah menuduh Spade membunuh Thursby karena ingin membalas dendam partnernya. Spade lalu mengetahui jika kliennya ternyata berbohong tentang adiknya dan nama asli sang wanita ternyata adalah Brigid O'Shaughnessy. Belum selesai masalah, Spade bertemu dengan seseorang bernama Joel Cairo (Lorre) yang memaksanya untuk menyerahkan sebuah patung yang ia pikir ada pada Spade. Belakangan Spade mengetahui jika Brigid, Cairo, dan seorang pria misterius bernama Kasper Gutman (Greenstreet) adalah sekawanan gembong internasional yang menginginkan sebuah patung bernilai tinggi berbentuk burung Falcon.

Sesuai dengan mood kisahnya yang gelap dan misterius. Kisah film sebagian besar mengambil setting indoor dengan tata cahaya yang minim. Nyaris semua ruangan seperti, kantor serta apartemen Spade, Brigid dan Kasper hanya menggunakan cahaya lampu meja atau tembok. Setting eksterior tampak pada beberapa adegan saja dan selalu diambil pada malam hari dengan tata cahaya yang suram pula. Hampir semua adegan menggunakan arah kamera low-angle (dari arah bawah) dan beberapa adegan kerap kali menggunakan teknik deep focus. Pengunaan efek bayangan begitu mengesankan tercatat pada adegan awal serta shot penutup film.

Mood setting yang suram hanya merupakan pendukung semata sementara kunci kekuatan film ini sebenarnya ada pada akting para pemainnya. Bogart bermain brilian sebagai Sam Spade yang berwatak keras, sensitif, cerdas sekaligus sulit ditebak. Sementara Astor bermain menawan sebagai femme fatale yang licik, manipulatif serta cenderung ingin memanfaatkan Spade. Aktor gaek debutan, Greenstreet bermain dingin sebagai fat-man dan akting primanya membawanya meraih nominasi Oscar untuk aktor pembantu terbaik. Alur cerita yang sulit ditebak semakin lengkap dengan penutup yang non happy ending (?). Tak jelas apakah Spade benar-benar menyukai Brigid. Di akhir film, Spade ditanya sang inspektur perihal patung falcon (palsu) yang ada di mejanya, �It�s heavy� what is it?�. Spade menjawab, � The stuff that dream are made off�. 


Himawan Pratista

Kala, Film Noir yang Tanggung


Film karya Joko Anwar ini menawarkan sesuatu yang berbeda dibandingkan film-film kita lainnya. Film ini memiliki karakter tema dan estetik bergaya film noir dan dibumbui dengan sedikit unsur horor. Cerita film diawali seorang detektif bernama Eros (Ario Bayu) dan seorang jurnalis bernama Janus (Fachri Albar) yang secara terpisah menyelidiki kematian lima laki-laki yang tewas mengenaskan. Dikisahkan Janus adalah seorang penderita narkolepsi (mendadak pingsan jika merasa tertekan) yang diambang perceraian dengan istrinya, Sari (Shanty). Suatu ketika dalam penyelidikannya Janus tanpa sengaja merekam pembicaraan misterius istri dari seorang lelaki yang tewas. Tidak seberapa lama wanita tersebut tewas mengenaskan di depan mata Janus. Setiap kali orang lain mengetahui pembicaraan tersebut, orang tersebut juga tewas mengenaskan dibunuh sosok misterius. Penyelidikan kemudian mengarah kepada seorang wanita muda bernama Ranti (Fahrani) yang memiliki hubungan dengan orang-orang yang tewas sebelumnya. Janus dan Eros lebih jauh ternyata terlibat pada pencarian sebuah harta karun terpendam yang juga melibatkan sekelompok orang-orang pemerintah.

Secara tema Kala mengusung cerita penuh misteri. Namun tidak seperti film noir lazimnya, alur ceritanya terlalu sederhana dan mudah ditebak sekalipun kesimpulan cerita disajikan pada akhir filmnya. Nuansa misteri serta intrik tidak mampu dibangun dengan rapi dan matang. Tokoh-tokohnya sejak awal cerita tidak beranjak dari orang-orang yang sama dan kemunculan tokoh-tokoh baru pun mudah untuk diduga. Informasi baru yang diharapkan mampu �membingungkan� penontonnya justru langsung terjawab begitu saja tak lama setelahnya. Misteri sekaligus kunci jawaban lebih banyak terlontar dari dialog ketimbang bahasa visual. Hal inilah yang menjadi kelemahan utama film ini. Munculnya femme fatale (Sari) juga hanya tempelan belaka tanpa intrik berkepanjangan serta motif yang jelas. Aneh, untuk apa Sari menanyakan motif lokasi tersebut jika sejak awal ia hanya menginginkan uang. Beberapa hal juga tampak belum jelas seperti bagaimana kutukan ini bermula dan darimana asalnya makhluk gaib serta data-data mengenai harta karun yang tersedia begitu lengkap di perpustakaan.

Terlepas dari kelemahan dari segi cerita, pencapaian estetik film ini patut mendapatkan pujian. Karakteristik film noir begitu kental terutama terutama dari aspek tata cahaya serta pemilihan set. Penggunaan area gelap-terang (low-key lighting) tampak sangat dominan dan kombinasi dengan set bangunan kolonial semakin menambah nuansa misteri serta mistis film ini. Amat disayangkan potensi set yang sedemikian megah tidak dimanfaatkan secara maksimal untuk efek bayangan. Penggunaan asap rokok digunakan cukup baik dalam banyak adegannya walau terkadang agak berlebihan. Dari sisi sinematografi, penggunaan low-angle serta high-angle yang menjadi satu ciri film noir juga seringkali digunakan dengan pas. Sayang sekali memang, pencapaian estetik yang demikian baik tidak didukung cerita yang matang. Setidaknya Kala telah memberi warna yang berbeda pada film-film produksi kita. Satu hal lagi, Kala juga sarat dengan pertanda munculnya sosok Ratu Adil di akhir jaman. Terlalu naif rasanya jika lantas sosok sang penidur adalah orang yang �suka tidur� (narkolepsi) serta sosok Ratu Adil adalah laki-laki �wanita� (homoseksual). 

M. Pradipta

Opera Jawa Memang Beda

Boleh jadi film Opera Jawa (2006) karya Garin Nugroho kurang sukses di negeri sendiri namun justru mampu meraih penghargaan di beberapa ajang Festival Film Internasional. Salah satu prestasi yang paling sukses adalah dalam ajang Hong Kong Film Festival, Opera Jawa mendapatkan penghargaan untuk ilustrasi musik terbaik serta nominasi untuk film terbaik. Kisah Opera Jawa mengambil inspirasi dari salah satu segmen kisah Ramayana, yakni �Penculikan Sinta�. Seperti judulnya, seluruh dialog disajikan dalam bentuk �musikal� atau lebih tepatnya tembang. Filmnya berkisah tentang Siti (Artika Sari Devi), seorang penari cantik yang dipersunting pengusaha tembikar bernama Setio (Martinus Miroto). Kehidupan perkawinan mereka berjalan langgeng namun ketika situasi dagang semakin sulit, Siti mulai merasa dijauhi  suaminya. Anak pengusaha kaya, Ludiro (Eko Supriyanto) yang sejak dulu menyukai Siti mulai mencoba merayunya.

Satu hal yang menjadi nilai lebih Opera Jawa adalah perpaduan antara berbagai seni seperti, seni tari, seni pertunjukan, seni musik, seni instalasi, seni rupa, dan seni sinematografi. Film ini banyak berisi musik dan tarian tradisional maupun kontemporer. Nuansa jawa begitu kental dalam setting, ilustrasi musik, serta penggunaan bahasa Jawa dalam �dialog�nya. Falsafah Jawa sangat terasa melalui tempo filmnya yang lambat. Pada adegan ramai-ramainya (perang) justru tempo semakin melambat, digambarkan dengan alunan gamelan Jawa yang mengiringi tari Bedoyo. Seni instalasi menjadi latar abstrak yang sangat mengesankan seperti labirin kelapa, patung dan lilin merah, ratusan lilin dalam ruangan, televisi batu, bentangan kain merah, serta tenda kain pada akhir adegan. Opera Jawa penuh dengan simbol-simbol visual yang kuat namun tidak sulit untuk kita cerna, yaitu dalam adegan asmara antara Siti dan Setio di kamar tidur, pada waktu sang suami menutup wajahnya dengan kaos, Ludiro yang merayu Siti di ruang penuh �lilin� maupun di rumahnya (adegan kain merah), Ludiro yang ingin kembali ke rahim ibunya, serta adegan Setio membunuh Siti. Terakhir, para pemain juga bermain sangat baik, terutama Eko Supriyanto yang mampu menarik perhatian melalui gerak tubuhnya yang lentur.

Beberapa hal yang menjadi kelemahan film ini justru terdapat pada keunikannya. Penggunaan beberapa seni instalasi dengan karakter yang berbeda membuat film ini seperti kehilangan totalitas. Tampak tidak ada ikatan �visual� yang kuat antar adegannya sehingga membuat satu adegan dengan adegan lain seolah terpisah. Film menjadi lebih enak dinikmati dan diikuti adegan per adegan ketimbang menyeluruh. Penggunaan dialog Jawa (krama) juga menjadi masalah tersendiri. Entah mengapa pada adegan ber�dialog� menjadi sulit untuk dinikmati, karena setiap saat mata kita harus melihat teks terjemahannya. Penggunaan tembang yang temponya lambat senantiasa membuat kita menunggu teksnya. Orang yang memahami bahasa Jawa mungkin bisa menikmati film ini lebih baik. Di luar hal-hal tersebut pencapaian artistik yang dicapai Opera Jawa patutlah kita puji. Garin terbukti telah membawa nama bangsa kita di bidang seni film menuju ke level yang lebih tinggi. Sejauh ini Opera Jawa menurut penulis adalah film terbaik produksi kita dalam satu dekade terakhir. 

Himawan Pratista

Nagabonar Versus Nagabonar Jadi 2

Film drama komedi, Nagabonar Jadi 2 arahan Deddy Mizwar yang diputar beberapa waktu lalu sukses luar biasa di bioskop-bioskop tanah air. Namun tidak banyak pononton kita sekarang yang berkesempatan menonton film aslinya, Nagabonar (1986) yang konon pada masanya juga laris manis. Beruntung penulis berkesempatan menonton film ini pada sebuah acara Festival Film Internasional beberapa waktu lalu di Jogjakarta. Bahkan sang sutradara sendiri juga berkesempatan hadir pada acara tersebut.

Film Nagabonar disutradarai oleh MT. Risyaf yang menceritakan seorang pemuda bernama Nagabonar yang juga diperankan oleh Deddy Mizwar. Tidak seperti sekuelnya, film ini berlatar jauh kebelakang tepatnya pada era kemerdekaan Indonesia. Dikisahkan Nagabonar, seorang pemuda mantan tukang copet tidak berpendidikan yang memiliki sifat naif, jujur, setia kawan, patuh pada orang tua, namun juga nekat. Melihat bangsanya yang tertindas, Nagabonar lalu mengangkat dirinya menjadi seorang jendral untuk berjuang melawan Belanda. �Kalau tidak ada yang jadi jendral biar aku sajalah yang jadi jendralnya�, ungkap Nagabonar. Film menuturkan aksi-aksi kocak sang jendral yang disuguhkan dengan wajar tanpa dilebih-lebihkan. Cerita juga menyinggung kisah cinta Nagabonar dengan Kirana (Nurul Arifin), putri seorang dokter yang memihak Belanda, serta persahabatannya dengan Bujang.

Jika kita bandingkan Nagabonar dengan Nagabonar Jadi 2 terdapat beberapa kejanggalan cerita pada film sekuelnya. Pertama adalah masalah perbedaan waktu dan usia. Film Nagabonar berlatar cerita sekitar era masa kemerdekaan yakni, antara tahun 1940 -1950 dan umur sang tokoh sendiri kira-kira berusia 20 tahunan. Sementara dalam sekuelnya, film Nagabonar Jadi 2 berlatar cerita masa kini, kita sebut saja tahun produksi filmnya, yakni tahun 2007. Jika usia sang jendral dalam film aslinya kita anggap saja berusia 20 tahun pada tahun 1950, maka usia Nagabonar pada film sekuelnya adalah 77 tahun. Apa usia Nagabonar pada film sekuelnya tampak berumur sekian? Jika misalnya Nagabonar dan Kirana melahirkan putra mereka, Bonaga, 5 tahun kemudian (1955) maka umur sang putra setidaknya kini adalah 52 tahun. Apakah Bonaga tampak berumur 52 tahun?

Hal lain yang agak menggangu adalah sosok Nagabonar yang penggila sepak bola pada film sekuelnya. Dalam cerita film aslinya sama sekali tidak mengindikasikan jika sang jendral muda suka bermain bola. Zaman memang telah berubah namun sifat Nagabonar jelas tidak berubah. Hal-hal di atas memang berkesan sepele namun sineas tidak dapat mengindahkannya begitu saja. Setidaknya menjadi masukan bagi para sineas kita jika logika cerita sekuel berhubungan erat dengan film aslinya. Hal yang menarik dalam kedua cerita film ini adalah moto, � Apa kata dunia?� yang menunjukkan prinsip serta jiwa sang jendral (dan sang putra) yang keras. Kedua film tersebut sama-sama mampu menggugah rasa kebangsaan kita, mencintai bangsa serta sesama dengan sepenuh hati. Kedua film tersebut masih sangat relevan dengan kondisi bangsa kita yang masih saja terjajah baik jiwa maupun raga. Entah kapan akan muncul seseorang anak bangsa yang berani berkata dengan sepenuh hati, �Kalau tidak ada yang jadi jendral biar aku sajalah yang jadi jendralnya!� 

Antonius Rah Utomo

Get Married di Tengah Serbuan Hantu

Ditengah serbuan �hantu-hantu� di bioskop-bioskop kita, Get Married datang memberikan nuansa cerah dan menghibur dengan tema komedi percintaan. Sang sutradara, Hanung Bramantyo mampu membawakan filmnya sesuai dengan realita sosial yang ada di tengah kita. Hasilnya film ini cukup mendapat sambutan hangat dan terbukti belum genap satu bulan pemutarannya, Get Married sudah ditonton lebih dari 700 ribu orang.

Get Married dibintangi Nirina Zubir yang berperan sebagai cewek tomboy bernama May serta ketiga sahabatnya sejak kecil, yakni Beni (Ringgo Agus Rahman), Guntoro (Desta Club Eighties), Eman (Aming). Mereka berempat adalah pemuda-pemudi pengangguran di pinggir kota Jakarta yang putus asa karena tidak mampu meraih apa yang mereka cita-citakan. Suatu ketika orang tua May, Pak Mardi (Jaja Mihardja) dan Istrinya (Meriam Bellina) ingin mencarikan jodoh untuk putrinya. Satu per satu calon datang untuk memperkenalkan diri namun tidak ada yang berkenan di hati May, kecuali seorang pemuda kaya bernama Randy. Namun karena kesalahpahaman Randy malah menjadi korban keroyokan teman-teman May. Mendadak ibu May sakit dan segera menginginkan putrinya untuk menikah. Karena belum mendapat calon juga maka May terpaksa memilih Beni. Saat pernikahan, Randy bersama kelompoknya menyerbu kampung bersama geng motornya. Pernikahan batal dan May pun ikut tawuran bersama warga lainnya. Ditengah situasi panas, Randy bertemu May dan mereka akhirnya sepakat menikah.

Terlepas dari adegan-adegan aksi serta dialog konyol yang mengundang tawa, cerita film ini sedikit memiliki kejanggalan. Kejanggalan pertama adalah perubahan sikap Beni, Guntoro, dan Eman terhadap May. Di awal cerita mereka bertiga berusaha merebut perhatian May saat ia sedang dirawat di rumah sakit serta saat perkelahian mereka dengan seorang pemuda bertubuh kekar. Namun justru ketika May menawarkan siapa yang ingin menjadi calonnya mereka malah berubah sikap. Sesaat sebelum pernikahan Beni sempat berujar, �Gara-gara Guntoro sama Eman sakit, jadinya gua yang ketiban sial. (menikahi May)�. Dalam cerita tak tergambar dengan jelas alasan perubahan sikap mereka, apakah atas dasar setia kawan, atau lainnya. Kejanggalan kedua terkait dengan Randy yang serta merta menyambani May hanya karena ia bosan dengan para wanita yang mengejarnya. Dan tanpa diduga May pun ternyata menyukai pemuda yang baru saja ditemuinya tersebut. Juga Randy yang konon selama ini studi di Amerika ternyata memiliki rekan-rekan pemuda kompleks (perumahan elit) yang suka tawuran dan begitu solid layaknya pemuda kampung.

Terlepas dari segala kelemahan tersebut, film ini mampu mengetengahkan realita sosial kita dengan kemasan yang lebih segar dari film-film kita sebelumnya. Film ini banyak memotret kondisi sosial masyarakat bawah ibukota yakni, masalah pengangguran, populasi penduduk, korupsi, kesenjangan ekonomi, budaya tidak tepat waktu, serta budaya hukum rimba yang selalu bertindak tanpa dipikir. Setidaknya film ini dapat menjadi cermin bagi kita agar lebih menyadari betapa buruknya moral bangsa kita. Untuk sebuah film komedi, Get Married cukup berhasil menghibur para pecinta sinema Indonesia, khususnya kalangan remaja.

Viantari

Film Bagus

Menilai sebuah film sebagai film yang bagus bukan hal yang mudah, walau sudah jamak frasa ini diucapkan atau ditulis dalam sebuah kritik film atau sekedar resensi. Seseorang bisa berkata bahwa film Opera Jawa itu bagus sedangkan seorang yang lain malah berkata sebaliknya.

Film seperti L�avventura atau The Rules of the Game pada awal pemunculannya dicemooh oleh penonton namun bertahun-tahun kemudian film tersebut mendapat apresiasi yang luar biasa. Sepertinya sebuah film dikategorikan bagus semata hanyalah penilaian subyektifitas. Apakah memang demikian? Apa benar subyektifitaslah sebagai pemegang otoritas nilai? Seperti yang pernah diucapkan oleh chief editor sebuah majalah film beroplah besar di Indonesia, menurutnya kritik film yang disampaikan majalah mereka merupakan sebuah penilaian olah subyektif, masing-masing memiliki penilaian sendiri sehingga pembaca jangan sampai terlalu bersandar pada penilaian mereka tapi hanya sebagai panduan saja.
Pernyataan chief editor di atas bagi saya adalah sebuah penghinaan pada karya seni film, sekaligus memperlihatkan kapasitas tim redaksi majalah itu sendiri. Subyektifitas sebagai apologi yang konyol.

Dalam suara Barthes pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dibahasakan seperti ini : sutradara (auteur) telah mati setelah karya selesai. Tapi apakah dengan demikian maksud Barthes adalah pembaca (penonton) boleh semena-semena dalam mengkritisi sebuah karya film?

Film sebenarnya seni yang dinamis karena mempunyai alat kreasi yang beragam. Ada yang termasuk di dalam formnya dan ada juga yang termasuk dalam style. Dengan demikian film memiliki standar dan karakter yang dapat dinilai secara obyektif dan bisa dipertanggung jawabkan.

Contoh menarik tentang subyektifitas ada dalam film Blow Up karya Michelangelo Antonioni, yaitu ketika kenyataan (realitas) dihadapkan dengan penilaian subyektif. Si tokoh utama yang tak bernama itu meyakini bahwa dirinya telah melihat pembunuhan lewat foto. Si tokoh utama bahkan kembali ke tempat kejadian untuk meyakinkan dirinya bahwa di tempat itu benar terjadi pembunuhan, dan dia menemukan mayat di taman itu. Tapi anehnya dia masih membutuhkan temannya untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa pembunuhan itu terjadi. Sampai akhirnya dia kembali lagi ke taman itu dan tidak menemukan mayatnya. Si tokoh utama malah bertemu dengan kelompok anarkis yang sedang bermain tenis lapangan tanpa bola dan raket (atau dengan bola dan raket?). Pertemuan itu menjadi kunci pemahaman film Blow Up. Si tokoh utama mengalami pencerahan. Jelas bahwa realitas tidak terdapat di pundak individu. Realitas membutuhkan afirmasi, karenanya dia tidak bisa subyektif. Realitas butuh ukuran komunitas.

Blow Up di sini juga memperlihatkan bahwa film dapat berkomunikasi dengan penonton dan bukannya sebaliknya, penonton sebagai dokter bedah yang bisa berlaku sewenang-wenang terhadap film. Seolah film adalah karya yang pasif, yang menyerah di mata penoton. Blow Up secara konsisten mengkomunikasikan idenya baik lewat form maupun style.

Melalui ukuran obyektif dalam menilai sebuah film, bukannya tidak mungkin akan terjadi perbedaan. Perbedaan penilaian itu pasti terjadi. Namun karena obyektifitas adalah sesuatu yang bisa diukur, maka masing-masing bisa ikut mengukurnya dan dengan lantang bisa menantang bahwa film itu bagus atau buruk. Obyektifitas merupakan ring tinju yang kedua petinjunya bertarung dengan aturan yang sama.

Sebaliknya seruan subyektifitas tanpa disadari telah berperan dalam pembodohan masyarakat, sehingga film punjabian merajalela. Penonton diserang tanpa punya pertahanan. Film buruk kembali diproduksi dan penonton seolah tidak bisa berkata tidak. Disinilah kritikus film berperan untuk mengkritisi film secara obyektif karena siapa tahu ini merupakan sebuah langkah lain untuk menghasilkan film bagus di Indonesia.

Homer Harianja

Denias versus �Goliath�

Pada pertengahan tahun ini Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS) mengundang 95 negara untuk ikut berkompetisi ajang Academy Award yang ke-80 untuk kategori Film Berbahasa Asing Terbaik (Best Foreign Languange Film). Pada bulan Oktober lalu AMPAS mengumumkan ada 63 negara (film) yang telah diterima untuk bisa bersaing dalam ketegori tersebut. Negara kita diwakili oleh peraih film terbaik Festival Film Indonesia tahun lalu, yaitu Denias, Senandung di Atas Awan. Keputusan untuk memilih film ini ditetapkan oleh Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI). PPFI adalah lembaga yang ditunjuk resmi oleh AMPAS untuk memilih satu film kita untuk dikirim ke ajang bergengsi tersebut. PPFI membentuk sebuah komite seleksi yang beranggotakan 18 orang, terdiri dari wartawan, produser, sineas, dan praktisi yang masing-masing telah berpengalaman di bidangnya. Beberapa anggotanya antara lain, Garin Nugroho, Leila Chudori, Shanty Harmain, Firman Bintang, dan Raam Punjabi.



Awalnya komite tersebut menyeleksi 40 film hingga akhirnya dipersempit lagi menjadi tiga film, yakni Denias, The Photograph, dan Opera Jawa. Setelah diputuskan melalui voting, Denias akhirnya menang mutlak. Sepuluh anggota komite memilih Denias, dua abstain, dan sisanya memilih dua film lainnya. Denias dianggap komite seleksi memiliki kelebihan dari dua film lainnya karena mengandung muatan lokal yang kuat (budaya Papua), tata fotografi serta dramaturgi yang menarik. Tidak dijelaskan secara rinci bagaimana Denias bisa lebih unggul dari kedua kompetitornya yang jauh lebih superior. Kita ambil contoh Opera Jawa. Tidak perlu kita bicara masalah tema (muatan lokal) atau estetik. Opera Jawa jelas telah mendapatkan banyak pujian dari kritikus asing karena pencapaian estetiknya yang unik. Film ini juga telah mendapatkan nominasi film terbaik di salah satu ajang festival film terbesar di Asia. Apa kriteria ini saja belum cukup.


Ikut serta dalam ajang sekelas Academy Awards bukan hal main-main. Orang-orang yang terlibat dalam ajang ini adalah para pelaku industri film dunia yang sungguh-sungguh mengerti tentang film. Kami pikir sudah sewajarnya jika kita menggunakan tolak ukur mereka dan bukan tolak ukur kita jika ingin berprestasi di ajang tersebut. Muatan budaya dalam ajang Oscar sudah tidak menjadi tolak ukur lagi. Muatan sosial serta politis yang kuat jauh lebih berpeluang untuk mendapatkan nominasi. Opera Jawa memiliki tema yang universal namun film ini dikemas dengan cara yang istimewa. Hal ini juga telah diakui beberapa kritikus asing. Tanpa mengesampingkan Denias (serta The Photograph), setidaknya Opera Jawa kami anggap lebih berpeluang mendapatkan nominasi Oscar.


Lebih jauh kami mengamati siapa saja pesaing Denias dalam ajang bergengsi ini. Dari 63 judul film yang akan bersaing di ajang tersebut tercatat lima karya sineas besar yang juga masuk dalam daftar. Kelima sineas besar tersebut pernah mendapatkan piala Oscar sebelumnya. Empat diantaranya bahkan telah meraih piala Oscar untuk Best Foreign Language. Keempat sineas besar tersebut adalah Giuseppe Tornatore (Italia), Denys Arcand (Canada), Jiri Menzel (Republik Ceska), serta Nikita Mikhalkov (Rusia). Satu orang lagi adalah sineas kawakan, Andrzej Wajda (Polandia) dengan filmnya berjudul Katyn yang konon telah ditunggu banyak pengamat film. Juga terdapat tiga sineas selain mereka berlima yang film-film mereka pernah dinominasikan dalam kategori yang sama. Nama besar memang bukan jaminan sebuah film dianggap berkualitas. Lantas bagaimana menurut anda peluang Denias


Himawan Pratista

Adaptasi Novel ke Film


Ketika saya melanjutkan perjalanan backpacker menuju ke bagian timur negara Perancis, tepatnya di kota Annecy, region dari Rhone Alpes. Dalam sebuah mobil tua Pugeot warna biru usang yang berhasil saya tumpangi dari kota Lyon (baca: ngoboy), dengan seorang pria separuh baya berumur 40 an dan seorang anaknya Jean yang berusia 15 tahun. Sepanjang perjalanan perhatian saya tak lepas dari keingintahuan saya akan novel yang dibaca Jean, yang lama terpekur menghayati kedalaman ceritanya. Les Trois Mousquetaires judulnya, karya Alexandre Dumas atau lebih dikenal dengan sebutan The Three Musketeers, yang pada tahun 1993 diangkat dalam sebuah Film dengan hasil yang sungguh mengecewakan. Pria separuh baya yang duduk di belakang kemudi itu juga sependapat dengan saya, sebagai pecinta D'Artagnan Romances ia kecewa sekali ketika usai menonton film tersebut, banyak sekali plot cerita yang berubah, contohnya tak ada misi D'Artagnan ke Inggris yang merupakan bagian penting dari novel itu.

Saya mencoba mengamati tentang apa yang dinamakan dengan adaptasi novel atas film.Entah berapa novel yang telah diadaptasi menjadi Film, sebutlah karya Mario Puzo dengan Godfather 1, 2, 3-nya, Ernest Hemingway dengan The Old Man and the Sea-nya, sampai Tolkien dengan trilogi Lord of the Ring.

Mencermati proses ekranisasi tersebut sungguhlah bukan pekerjaan yang mudah, ketika novel sebagai �dunia kata� yang diinterpretasikan dalam khayalan pembaca, ditransformasikan menjadi media audio visual yang dibangun oleh para pekerja film yang juga memiliki interpretasi sendiri. Disinilah kepiawaian pekerja film diuji. Karena secara harafiah, konteks yang diimajikan pada tataran film tentu tidak akan berbeda jauh dengan imaji sang penulis novel itu sendiri, para pekerja film akan berada pada sekat ruang berekpresi sehingga terjadilah apa yang dinamakan block creativity. Disinilah para pekerja film dituntut untuk lebih mengekplorasi kedalaman novel yang berlapis-lapis sehingga dapat mencapai tingkatan filmis yang mencitra tinggi.

Tidak heran bila J. K. Rowling pernah mengatakan tidak akan menjual hak patennya novelnya untuk dijadikan sebuah film, mengingat hal tersebut di atas. Dalam sejarah sinema Indonesia banyak mencatat karya novel yang difilmkan, sebutlah karya Achdiat Kartamihardja dengan Atheis, ataupun Ronggeng Dukuh Paruk yang ditulis oleh Ahmad Tohari.

Pada masa kebangkitan sinema Indonesia, diawali oleh novel karya Remy syladoy yang berjudul Ca Bau Kan, juga tak lepas diadaptasi oleh sineas Nia Dinata. Kini kecenderungan mengadaptasi novel ke dalam sinema sungguh-sungguh mengalami peningkatan intensitas. Sayang kecenderungan membuat film yang berdasarkan novel tersebut hanya berdasar pada permintaan pasar semata sehingga tidak memperhatikan kualitas. Dalam hal ini kita dapat melihat kecenderungan tersebut melalui beberapa aspek:

a. Film tersebut dibuat berdasarkan novel yang terjual laris (best seller), yang diharapkan dapat ikut memacu apresiasi film tersebut, contohnya: Eifel I�m in Love diangkat dari novel karya Rahma Arunita yang filmnya mampu menyedot penonton terbanyak yaitu 4 juta penonton, akhirnya budaya latah pun terjadi, para pekerja film berduyun-duyun mengekranisasi novel-novel, khususnya novel remaja, yang pada akhirnya memasifkan sinema pada konten yang serupa.

b. Sudah menjadi rahasia umum di kalangan pekerja film kita, betapa sulitnya mencari naskah-naskah yang baik untuk menghasilkan kualitas film yang baik pula, tidak heran jika film berkelas festival jarang sekali lahir dari tangan sineas kita karena minimnya kreator-kreator naskah yang handal. Sementara pasar menginginkan karya-karya tanah air. Akhirnya produser film memilih jalan aman demi memenuhi tuntutan pasar (baca: mengeruk keuntungan) dengan jalan mengekranisasi novel-novel remaja.


Dalam poin awal (1) sudah menjadi hal yang biasa, bahkan di Hollywood sekalipun novel laris seringkali diangkat dalam sebuah film. Tak jarang dalam prosesnya mengalami banyak kegagalan visualisasi yang tak serupa atau melebihi imajinasi kata dalam novelnya. Sebutlah The Da Vinci Code, tahun lalu dalam Cannes Film Festival dimana film yang diangkat dari novel laris karya Dan Brown tersebut, yang didaulat sebagai film screening opening banyak mendapat cemooh para penontonnya, itu yang saya dengar dari panitia perhelatan tersebut. Disinilah pembuatan film berdasar atas novel laris acapkali bagai pedang dengan sisi tajam bermata dua.


Saya sedikit was-was bercampur gembira ketika mendengar novel favorit saya, Laskar Pelangi akan segera difilmkan oleh Riri Riza dalam bendera Miles Production berkerja sama dengan penerbit Mizan. Novel pertama dalam tetralogi Andrea Hirata tersebut memiliki pendekatan yang bertabur metafora yang cerdas, saya penasaran pendekatan visualisasi apa yang akan dipakai nanti? Novel fenomenal lainnya yang dalam waktu dekat akan difilmkan adalah Ayat-Ayat Cinta yang akan dibesut oleh sutradara Hanung Bramantyo.


Sedang dalam poin ke dua saya melihat kecenderungan yang terjadi dalam sinema kita yang mengadaptasi novel ke dalam film tak lepas dari minimnya kreator skenario yang handal. Memang tidak ada yang salah dalam proses sebuah adaptasi dalam sinema kita, hanya saja permasalahannya novel tersebut memiliki karakteristik yang serupa dengan kebanyakan novel-novel cinta remaja (baca: teenlit) padahal mutu novel-novel kita juga tak kalah mentereng, sebutlah Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer atau Saman karya Ayu Utami, yang entah sudah berapa kali naik cetak. Jika berbicara tentang masalah pasar dan strategi-strateginya dalam dunia bisnis tentulah pertaruhan yang berat dalam adaptasi novel tersebut, selain segmented juga perlu kalkulasi royalti penulis atas hak kekayaan dan intelektual mereka yang harus dikeluakan, sayangnya produser kita belum berani berada pada pertaruhan itu karena mereka punya �Tuhan� yang bernama Cash Flow.

Tak terasa perjalanan saya berakhir, saya menginjakkan kaki di kota indah di selatan Perancis. Kota yang dikelilingi pegunungan dan danau jernih di tengah kota, kala itu matahari yang hampir jatuh di balik gunung masih memantulkan cahaya-cahaya kristal ke danau Lac d� Annecy. Angin lembab yang bertiup menambah keanggunan wanita setengah baya dengan anjing Golden Retriever-nya duduk di bangku pinggir danau, seolah bercakap sarat makna. Nah, adakah yang mampu memfilmiskan memvisualisasikan keindahan di mata saya?

Andrei Budiman

The Trap - What Happened to Our Dreams of Freedom


YouTube really is a great medium in which to rewatch Adam Curtis 2007 masterpiece �The Trap�. You know the way that Youtube stops and starts every 3 or 4 seconds as it buffers? And how annoying this usually is? Well, it is still annoying when you want to watch the whole film so that you can write an article about it by the following day, but one thing that the inconvenience does illustrate is the huge number of images that Curtis packs into his films. Often you get to see two or three wildly different images before that rotating flower tells you YouTube is doing its work again. The overload of information contained in the images and the confusing effect that they can have, mirrors how I feel through every day contact with the modern world. In a world where seemingly limitless information is available at the touch of a button, we remain confused and ignorant of it�s relevance to a larger vision.
..
The film is an entertaining and yet incredibly dense, investigation into the dangers of over-simplifying a complex, multi-dimensional world. The world Curtis describes is familiar one; a huge system in which absolute knowledge is impossible, yet individuals and governments continue to presume that they have found the patterns in the chaos that will allow them to predict and influence the future for humans everywhere. The most destructive form this simplification takes in Curtis� film, is an excessive trust in the infallibility of �numbers� as measure and predictors of human behaviour. This obsession with the power of numbers is �The Trap� of the film�s title. The film investigates thoughts, movements and influences from across a broad spectrum of academic pursuits, within some 60 years of history and from around the entire globe.

You can imagine the complexity of the resulting story. These thoughts are often non-linear in their relationships to each other, and thereby not very conducive to the simple, linearity of time favoured by many filmmakers and especially those less sophisticated documentary makers intent on presenting information in its most unambiguous state. Part of Curtis� genius in being able to communicate these complex ideas through the medium of documentary film, is that he is able to guide his audience where he wants by borrowing liberally from other branches of film and communication.

There were some rules devised by a chap called Aristotle in the fourth century BC, and noted down in a book called Poetics, concerning the theory of drama. In this book Aristotle noted that the effect of drama is felt most strongly when the audience identifies with the characters, and the way that they engage with a struggle culminating in an understanding of an earlier mistake that they have made (hamartia in the original Greek). Most often occurring because of human imperfection and arrogance this error will, in spite of their eventual realisation (anagnorosis), sadness and remorse (pathos) inevitably lead to a reversal of fortunes and the downfall (peripeteia) of the main actor in the tragedy (protagonist).

Curtis� film almost perfectly follows Aristotle�s model, thereby creating a story of a �real tragedy�. His primary audience is the population of Great Britain, but it can be extended to include everyone on the planet, as we have all become enmeshed in the system of globalisation. The audience is thus exactly the same ignorant protagonist in the tragedy. We were helpless at the time, existing in the context of imperfect knowledge articulated by far removed governments and intellectuals. It is impossible to create a protagonist that the audience can identify and sympathise with more than that same audience themselves. We know how easy it was to fall into this particular trap. We know how it was to exist believing what we thought to be the truth, until we began watching the film (I certainly believed that psychiatrists were knowledgeable professionals and our policemen are more effective when they�re rewarded for their work) and as such, we feel sorry for ourselves as the victim of the tragedy. It is only when divine knowledge (in the form of Curtis� expose) illuminates the reality of where we are, of what we have done in the name of misguided beliefs, that we realise the full horror and tragedy of the situation.

If you look at horror movies, I�ll bet that you find yourselves getting more scared by the monsters that could exist within your everyday life. Those ones that send you to bed thinking that there really could be a psychopath in the cupboard or that the TV could be possessed. Using these techniques is something that Curtis latches onto again and again throughout his films. By placing the images of the everyday that are recognizable to all, illuminated within a different light (in this case the context of the tragedy Curtis� story is unraveling for us); Curtis is able to encourage a sense of fear and horror within the audience.

But Curtis� skills are not only as a merchant of fear, he also uses moments of comedy or sadness with equal flair, even that strange dreamlike state, a combination of knowledge and confusion, in which unconnected images seem to make sense in spite of the absence of a logical link between them. He is a masterful filmmaker, and whilst some of Curtis� image and music choices may seem non-sensical, each is selected and edited into the film with the utmost care. Their use may be to create an atmosphere, or emotion in the viewer merely through their suggestive power. His sophisticated uses of images of the mundane and the everyday, illustrate not only his keen eye as an artist but also the depth in which he understands the fears, vanities and ideals of his audience. Through the use of this knowledge he is able to provide us not only with a fascinating source of information, a deep and adult investigation into a topic that affects us all without our knowledge, but also a dramatic and entertaining viewing experience.

Curtis� skill as a filmmaker and his ability to use his audience�s familiarity with the styles and forms of western culture allow him to communicate, not merely using spoken language (which for the sake of argument, here I will consider to be fairly neutral) but also to influence and guide our thoughts by using images and music. This is the role that we are often happy to assign to the artist, illuminating our world by providing a new and unique perspective, a way of seeing and communicating that is unfamiliar to the rest of us. But considering the subject matter of Curtis�s film, there is an added level of irony in this position. Just as science, economics, politics and the public blinded themselves and each other through acceptance of what appeared to be the reality of everyday, so the process is repeated when we unthinkingly buy into the collective conceptions of images and their meanings, upon which much of the power of Curtis� work relies. So even in �reading� Curtis� films we are perpetuating many of the same faults that have brought us into the tragedy. Yet the tragedy Curtis shows to Britain is not a horror of ultimate proportions, the UK has not fallen into a Balkan style civil war, we haven�t become the theological island of Iran and not quite the paranoid monster that is the USA. So you may look at the situation and consider it unavoidable, it happened and will happen again, so why worry about it?

But in reaching this point, we have compromised some of the things that we that we most treasure. Or at least the things that we tell ourselves we most treasure. At various points in the films, Curtis mentions how much we say we value individualism, yet this ideal is in opposition to many of the other ideals we hold for ourselves. In my opinion, it is the confusion that arises from these contradictions that show the value of Curtis� work to his audience. The film is a great dramatic story, yet its real triumph is that it encourages all those who watch and enjoy it to start questioning the axiomatic principles of their lives. By extension the engaged viewer is led to a questioning of everything that uses these principles as a foundation, and this is surely intellectual investigation in its purest form.

The range of sources quoted in Curtis� films begins to suggest to us how important holistic knowledge is if we are to even begin to explain things in our complex world. The film acts as a call to action for the audience by showing that intellectuals are humans too and (I certainly agree with Aristotle on this point), humans make mistakes. So Intellectuals are not infallible and nor do they hold a monopoly on truth or its explanation. Questioning of the world is shown to be something not just for academics and those whose role it is to be a big thinker, but rather it is for everybody to explore. People with different histories, different training, and different ideas need to contribute them to a global discussion. So although he never explicitly says it, I believe Curtis� film holds the message that to save the world from further disaster, we don�t need to wear bright red tights or have super human strength. We just need to get engaged with the world, start thinking and questioning even those things that seem so clear. But most of all we just need to not believe �Them� when �They� tell us �They are� right. Whoever, �They� are, they might be wrong, they might be right, mostly likely they hold a little bit of both. But we all have to work together towards understanding the world and to start believing something I consider to be true, that �Nobody is smarter than all of us�.


Charlie Sutherland 
from Newcastle for Montase Readers