Kamis, 16 April 2009

Dari mOntase

.
Montase kali ini masih melanjutkan seri sutradara besar berpengaruh. Kali ini kami akan membahas tentang James Cameron yang kini tengah heboh dengan filmnya, Avatar. Pembahasan sang sineas lengkap dengan biografi serta film-film Cameron, serta kupasan Terminator 1 & 2. Kami juga meliput ajang festival film dokumenter yang baru lalu berlangsung di Kota Jogja. Beberapa film kita yang kita ulas adalah Identitas yang meraih piala Citra baru lalu serta Meraih Mimpi.

James Cameron


James Francis Cameron lahir pada tanggal 16 Agustus 1954 di Kapuskasing, Ontario, Kanada. Ayahnya Phillip Cameron adalah seorang insinyur elektro sementara ibunya, Shirley Cameron adalah seorang artis. Cameron besar di Chippawa sebuah kota kecil di dekat Niagara Falls hingga keluarganya akhirnya pindah ke Fullerton, California, AS. Sejak kecil Cameron adalah seorang penggemar novel fiksi ilmiah. Sewaktu umur 15 tahun ia menonton 2001: Space Oddysey garapan Stanley Kubrick hingga beberapa kali yang menginspirasinya untuk menjadi pembuat film. Tidak hanya itu namun ia juga suka menulis cerita fiksi ilmiah. Semasa ia kuliah fisika dan literatur Inggris, Cameron selalu menyempatkan waktunya mengunjungi perpustakaan film di University of Southern California.

Setelah drop out kuliah, Cameron mengambil beberapa pekerjaan di antaranya bekerja di toko mesin, supir bis sekolah, hingga pengemudi truk namun pada malam hari ia masih menyempatkan untuk menulis cerita. Tahun 1977 merupakan lompatan penting bagi karir Cameron, setelah melihat film Star Wars, ia keluar dari pekerjaannya dan memutuskan untuk masuk dalam industri film. Pada saat yang sama, Cameron bersama dua temannya juga mencoba untuk memproduksi film fiksi ilmiah pendek yang berjudul Xenogenesis.

Karir pertama Cameron di dunia film adalah pembuat miniatur di studio milik sineas kawakan, Roger Corman, yang sering memproduksi film-film fiksi ilmiah kelas B. Cameron yang mampu bekerja efektif dan efisien menjadikan karirnya semakin meningkat hingga terlibat dalam produksi film-film fiksi ilmiah besar. Pada masa ini Cameron menjadi penata artistik dalam film Battle Beyond the Stars (1980), merancang efek khusus untuk Escape from New York (1981), film aksi futuristik garapan John Carpenter, juga menjadi konsultan desainer untuk Android (1980), serta perancang produksi untuk Galaxy of Terror (1981).

Cameron akhirnya mendapatkan kesempatan menjadi sutradara dalam film Piranha II: The Spawning (1981) setelah ditinggalkan oleh sutradara aslinya. Banyak masalah selama produksi menyebabkan hasil filmnya sangat buruk. Dikabarkan selama produksi, produsernya terus menekan Cameron hingga ia sakit keras. Konon sewaktu sakit ia bermimpi sebuah robot dari masa depan dikirim ke masa kini untuk membunuhnya. Terinsipirasi dari mimpinya ini ia menulis naskah film yang kelak akan mendongkrak namanya.

Setelah naskah The Terminator selesai, Cameron berusaha mencari studio yang mau membeli naskahnya sekaligus menyutradarainya. Di saat yang sama Cameron juga sempat menulis naskah Rambo: First Blood Part 2 serta Aliens yang keduanya merupakan sekuel dari dua film sukses. Sementara itu beberapa studio berminat pada naskah The Terminator namun mereka keberatan jika Cameron yang menyutradarainya. Akhirnya sebuah studio independen, Hamdale Pictures berminat membeli naskah film ini hanya dengan harga $1 namun imbalannya Cameron mendapat kursi sutradara dan mendapatkan kebebasan dalam produksi sesuai dengan visinya.

The Terminator (1984) berkisah tentang robot pembunuh dari masa depan yang berusaha membunuh seorang wanita yang kelak putranya akan menjadi pemimpin pemberontak umat manusia terhadap kaum robot. Bermain dalam film ini adalah binaragawan asal Austria, Arnold Schwarzenegger, kemudian Michael Biehn, Linda Connor, serta Lance Henrickson. Film hanya diproduksi dengan bujet tergolong kecil yakni, $6,5 juta. Dengan segala keterbatasan ini Cameron ternyata mampu menunjukkan bakatnya terutama dalam mengemas adegan aksi. Pihak distributor yang semula meremehkan film ini sontak terkejut dengan raihan film ini yakni sebesar $38 juta di Amerika saja, kemudian $78 di seluruh dunia. Seiring berjalannya waktu film ini semakin mendapat pujian dan kemudian sekuelnya dibuat hingga tiga film. Keberhasilan tersebut tidak hanya menaikkan reputasi Cameron sebagai sineas dan penulis naskah namun juga meroketkan nama sang megabintang baru, Arnold Schwarzenegger.

Cameron yang sangat mengagumi film thriller - fiksi ilmiah Alien (1979) garapan Ridley Scott, sangat tertarik untuk membuat sekuelnya. Selama produksi Terminator, Cameron sempat menulis naskah Aliens. Sekalipun naskahnya belum selesai namun pihak studio 20th Century Fox sangat tertarik untuk memproduksinya. Jika ternyata Terminator sukses, Fox berminat memproduksinya dengan Cameron sebagai sutradara. Alhasil sukses Terminator membuat Aliens akhirnya diproduksi. Cameron juga membawa partnernya, yang juga produser film Terminator, Gale Ann Hurd untuk terlibat dalam produksi film ini.

Aliens (1986) memiliki konsep yang berbeda dengan film aslinya dengan lebih dominan memasukkan unsur aksi ketimbang horor. Aliens versi Cameron adalah benar-benar film aksi murni. Aktris Sigourney Weaver yang bermain dalam film pertamanya kembali bermain dalam film ini. Michael Biehn, Lance Henricksen, serta Bill Paxton yang bermain dalam Terminator juga ikut bermain. Aliens diproduksi dengan bujet $18 juta. Film ini penuh dengan efek visual, setting futuristik yang megah lengkap dengan peralatan, perlengkapan, dan kendaraan perang masa depan. Sekali lagi Cameron menunjukkan kepiawaiannya dalam mengolah adegan aksi hingga menjadi sebuah tontonan berkualitas sekaligus menghibur. Diluar dugaan film ini meraih hasil luar biasa, yakni $130 juta hanya dalam peredaran domestik saja. Film ini secara mengejutkan juga meraih tujuh nominasi Oscar dan meraih dua diantaranya, yakni untuk efek visual dan efek suara terbaik. Weaver juga mendapat nominasi aktris terbaik yang merupakan peristiwa langka karena sebelumnya belum pernah film fiksi ilmiah mendapatkan nominasi seperti ini.

Sukses Aliens dan Terminator sangat mengangkat reputasi Cameron. Siapa saja di Hollywood kini ingin bekerja bersama Cameron. Namun Cameron justru menampik banyak tawaran dengan membuat proyek filmnya sendiri, The Abyss. Ide film ini sebenarnya telah ia tulis dalam cerita pendek sewaktu ia masih remaja. Cameron teringat tulisannya ini ketika ia melihat sebuah program National Geographic di dasar samudera, semasa produksi Aliens. Cameron lalu menulis naskahnya dan dengan reputasinya tersebut tidak sulit baginya untuk membuat studio Fox tertarik memproduksi film ini.

The Abyss (1989) adalah film fiksi ilmiah tentang sekelompok peneliti dasar samudera yang secara tidak sengaja bertemu mahkluk asing. Produksi filmnya sangat sulit dilakukan mengingat nyaris separuh cerita film tersebut diambil di bawah air dan membutuhkan waktu sekitar 18 bulan untuk merampungkannya. Cameron membangun set bawah air yang konon tercatat paling besar yang pernah ada. Dengan bujet produksi yang mencapai $70 juta menjadikan film ini sebagai salah satu film termahal saat itu. Namun sayangnya film ini secara komersil tidak sesukses dua film Cameron sebelumnya. Namun dari sisi pencapaian artistik film ini mendapat ganjaran setimpal dengan meraih empat nominasi Oscar dan meraih satu diantaranya untuk efek visual terbaik.

Pembicaraan mengenai sekuel Terminator sudah lama muncul sejak film tersebut sukses di pasaran. Sekalipun Cameron telah memiliki ide cerita lanjutannya namun siapa pemegang hak cerita sekuelnya masih diperdebatkan. Dalam perkembangannya produser ternama spesialis film-film aksi, Mario Kassar (Carolco Pictures) akhirnya membeli hak sekuelnya di akhir 80-an. Sekuel Terminator yang berjudul Terminator 2: The Judgement Day (T2) diproduksi dengan Cameron sebagai sutradaranya. Pada masa-masa ini, Cameron juga mendirikan perusahaan filmnya sendiri yang ia namakan Lightstorm Entertaintment. T2 adalah film pertama yang diproduksi studio ini dan Cameron sendiri juga menjadi produsernya.

T2 (1991) mengambil setting cerita beberapa tahun setelah peristiwa yang terjadi dalam film pertama. Bedanya kini, robot pembunuh yang dulu berperan sebagai antagonis kini berubah menjadi protagonis. Cameron juga masih mengkasting beberapa bintang yang sama, yakni Arnold Schwarzenegger dan Linda Hamilton. Film yang pada masanya tercatat berbujet paling besar ini, yakni lebih dari $100 juta, menggunakan efek visual (Computer Generated Imagery) yang jauh melampaui jamannya. Karakter T-1000 yang mampu mencair dan berubah diri menjadi bentuk apapun mampu divisualisasikan dengan sangat meyakinkan. Dengan efek visual terkini plus aksi seru tanpa henti, tidak mengherankan jika film ini sukses menghasilkan $500 juta di seluruh dunia. Seperti film-film Cameron sebelumnya, film ini juga sukses besar meraih empat piala Oscar dari enam yang dinominasikan, yakni untuk makeup, suara, editing suara, dan efek visual terbaik.

Sebelum rilis T2, Schwarzenegger sempat memberikan ide cerita pada Cameron untuk me-remake film komedi produksi Perancis berjudul La totale! (1991). Setelahnya, Cameron mengembangkan kisahnya menjadi sebuah film aksi komedi spionase unik berjudul True Lies (1994). Schwarzenegger mendapat tempat utama dalam barisan kasting bersama Jamie Le Curtis, Tom Arnold, serta Bill Paxton. Film ini pada masanya juga merupakan film termahal yang pernah diproduksi dengan bujet lebih dari $110 juta. Sekalipun berbeda genre dari film-film sebelumnya namun secara teknis tidak mengurangi kepiawaian Cameron dalam mengolah adegan aksi. Film ini sukses komersil dengan meraih lebih dari $359 juta di seluruh dunia dan mendapatkan piala Oscar untuk efek visual. Film ini juga merupakan film pertama yang berkolaborasi dengan Digital Domain, yakni studio efek visual khusus yang juga didirikan oleh Cameron.

Sudah sejak lama Cameron telah tertarik dengan eksplorasi bangkai kapal di dasar samudera. Dan yang menjadi obsesinya adalah bangkai kapal RMS Titanic yang legendaris. Cameron juga telah menulis ide cerita tentang ini. Ketika Cameron melihat sebuah film dokumenter tentang bangkai kapal Titanic terlintas dibenaknya untuk benar-benar membuat film tentang ini sehingga ia bisa melakukan ekspedisi bawah laut. Ia mendatangi eksekutif Fox dan berhasil meyakinkan mereka untuk membuat film tentang tenggelamnya kapal Titanic. Produksi filmnya dimulai tahun 1995, termasuk proses risetnya Cameron menghabiskan waktu sekitar dua tahun. Bujet filmnya mencapai angka fantastis terbesar saat itu, yakni $200 juta termasuk untuk pembuatan set eksterior dan interior kapal yang sangat detil dan megah.

Titanic (1997) merupakan film drama roman yang dikemas dalam tragedi bencana tenggelamnya kapal Titanic. Film ini dibintangi bintang-bintang muda, yakni Leonardo DiCaprio serta Kate Winslet. Film ini banyak dipuji karena Cameron mampu menyajikan tragedi naas tersebut dengan sangat mengagumkan termasuk pula kisah romannya yang menyentuh. Awalnya banyak pihak meragukan kesuksesan film ini namun faktanya Titanic menjadi film terlaris sepanjang masa hingga kini dengan meraih pendapatan fantastis $1,8 bilyun di seluruh dunia. Tidak sampai disini, Titanic juga menyapu sebelas piala Oscar dari empat belas yang dinominasikan, termasuk film terbaik, sutradara, sinematografi, serta efek visual terbaik. Sukses ini menasbihkan Cameron sebagai salah satu sutradara paling berpengaruh di dunia.

Sukses Titanic merupakan awal dari cuti panjang Cameron memproduksi film cerita panjang. Pada masa-masa vakum tersebut Cameron mengisinya dengan memproduksi serial televisi dan film-film dokumenter. Dark Angel (2000�2002) merupakan seri fiksi ilmiah yang berkisah tentang �superhero� wanita di era futuristik yang dibintangi oleh Jessica Alba. Sayangnya, serial ini hanya bertahan hingga dua musim karena menurunnya jumlah pemirsa secara drastis pada musim kedua. Pada masa-masa ini Cameron juga memproduksi film-film dokumenter tentang ekspedisi bawah laut, yakni Expedition: Bismarck (2002), Ghost of the Abyss (2003), dan Aliens in the Deep (2005). Dua film yang disebut terakhir dibuat menggunakan teknologi tiga dimensi (3D). Sejak Ghost of the Abyss, Cameron mengatakan bahwa selanjutnya ia akan selalu menggunakan teknologi 3D untuk memproduksi film-filmnya kelak.

Sudah sejak tahun 1994, konsep cerita Avatar telah digarap Cameron. Ia bahkan telah merencanakan untuk memproduksi film ini setelah merampungkan Titanic. Namun akhirnya Cameron membatalkan niatnya karena dirasa teknologi kala itu belum memadai untuk mencapai hasil maksimal. Barulah pada tahun 2006, Cameron merampungkan naskah film Avatar. Selama ini Cameron ternyata telah berupaya keras mengembangkan kamera khusus 3D. Ia mengembangkan teknologi motion-capture yang sangat canggih sehingga mampu memadukan live action dengan gambar animasi secara langsung secara bersamaan, berbeda dengan yang pernah ada sebelumnya. Cameron juga mengembangkan teknologi motion-capture yang lebih mendetil sehingga mampu merekam mimik wajah aktor dengan sempurna. Teknologi baru ini ternyata tidak murah, untuk merampungkan Avatar, Cameron menghabiskan biaya produksi hingga $237 juta, itu pun belum termasuk biaya promosi filmnya.

Avatar (2009) menandai kembalinya Cameron di industri film setelah ia absen lebih dari satu dekade. (baca review Avatar di montase.blogspot.com) Avatar diistilahkan Cameron sebagai film hibrida, yakni perpaduan antara live action dengan CGI. Avatar menyajikan gambar tiga dimensi yang amat sangat realistik jauh berbeda dengan film-film 3D sebelumnya. Absennya yang lebih dari satu dekade ternyata tidak membuat Cameron kehilangan kemampuannya untuk menyajikan aksi-aksi seru berkualitas yang sangat menawan. Terbukti hanya dalam tiga minggu rilisnya, Avatar telah meraih lebih dari $1 bilyun di seluruh dunia. Film fiksi ilmiah ini juga mendapat banyak pujian dari pengamat dan merupakan salah satu kandidat kuat dalam ajang Academy Awards tahun ini. Cameron sendiri mengatakan jika Avatar sukses maka ia akan memproduksi pula dua sekuelnya. Cameron juga tengah mempersiapkan film berformat 3D lainnya yakni, Battle Angel.

Gaya dan Karakter Film-film Cameron
Film-film Cameron tidak pernah lepas dari genre fiksi ilmiah dan aksi. Cameron sejak kecil memang menyukai cerita dan film-film fiksi ilmiah yang tampaknya sangat mempengaruhi seleranya hingga kini. Nyaris semua film-film garapannya, seperti seri Terminator, Aliens, The Abyss, serta Avatar adalah film bergenre aksi - fiksi ilmiah murni. Sementara True Lies dan Titanic walau berbeda genre namun tetap mengandung unsur aksi yang dominan. Cameron juga dikenal sebagai penulis naskah yang handal dan selalu menulis semua naskah filmnya dengan ide ceritanya sendiri tanpa mengambil dari sumber lain. Durasi cerita filmnya pun umumnya berdurasi sangat panjang.

Cameron juga dikenal tidak tanggung-tanggung dalam produksi filmnya. Tercatat setelah memproduksi Terminator, Cameron selalu memproduksi film dengan bujet di atas rata-rata produksi film kebanyakan. The Abyss, T2, True Lies, dan Titanic tercatat sebagai film termahal yang pernah diproduksi pada masanya. Biaya sebesar itu biasanya ia gunakan untuk menciptakan setting yang megah serta efek visual yang spektakuler. Seperti dalam, The Abbys, Cameron menggunakan set bawah laut yang besar untuk syuting bawah airnya. Pada produksi Titanic misalnya, Cameron merekonstruksi ulang kapal besar dalam skala kurang lebih sama lengkap dengan setting interiornya. Sementara untuk efek visual semua film-film Cameron sangat dominan menggunakan teknologi CGI. Tercatat lima filmnya meraih piala Oscar untuk efek visual terbaik.

Tema film-film Cameron seringkali bersinggungan dengan teknologi versus manusia. Bagaimana teknologi mampu membantu manusia atau justru menghancurkan umat manusia. Dalam seri Terminator, tampak bagaimana teknologi mampu membawa petaka bagi umat manusia, namun di sisi lain juga menolong keberlangsungan hidup manusia. Dalam Aliens, tampak bagaimana teknologi yang sedemikian canggih tidak mampu menghadapi makhluk asing yang tergolong sangat primitif. Dalam Titanic, kapal maha besar yang diyakini tidak mampu karam ternyata tenggelam dalam pelayaran pertamanya. Tema serupa juga tampak dalam The Abyss serta Avatar. Masih pula terkait teknologi, dalam banyak filmnya, Cameron juga selalu menampilkan ledakan nuklir dalam skala besar, seperti dalam Aliens, T2, hingga True Lies. Eksplorasi bawah laut dengan teknologi canggih juga muncul dalam The Abyss, Titanic, serta beberapa film dokumenter bawah lautnya.

Satu ciri lain yang tampak dominan dalam film-film Cameron adalah aspek feminisme yang kental. Tokoh utama wanita dalam film-filmnya lazimnya memiliki kepribadian kuat, berani, maskulin, keras, serta independen. Ellen Ripley (Aliens), Sarah Connor (T2), Neytiri (Avatar) merupakan contoh sempurna tokoh wanita tipikal Cameron. Walau tidak seekstrem di atas, namun tokoh-tokoh wanita seperti, Lindsey Brigman (The Abyss), Helen Tasker (True Lies), Rose (Titanic), hingga Max (seri Dark Angel), juga memiliki kepribadian karakter yang nyaris senada.

Cameron juga dikenal sangat piawai dalam membuat adegan-adegan aksi kelas satu yang dikenang sepanjang masa. Adegan kejar-mengejar seru dan menegangkan seringkali muncul dalam film-filmnya. Baik moda transportasi dan setting yang digunakan pun beragam dan jarang kita lihat dalam film-film aksi lainnya. Satu yang paling dikenang adalah adegan-adegan aksi dalam T2 yang memperlihatkan kejar-mengejar antara motor dengan truk besar, mobil polisi dengan helikopter, dan lainnya. Dalam True Lies memperlihatkan adegan aksi kejar mengejar antara motor dengan kuda, dan bahkan pada satu sekuen aksi menggunakan pesawat tempur di tengah kota. Dalam Aliens, Ripley menggunakan robot yang dikontrol manual untuk melawan si ratu alien pada sekuen klimaks.

Dalam membangun sekuen aksinya untuk menambah unsur ketegangan, Cameron sangat menyukai penggunaan teknik crosscutting. Shot seringkali berpindah-pindah menunjukkan pihak pengejar (pemburu) dan pihak yang dikejar (buruannya), seperti pada dua seri Terminator serta Aliens. Cameron juga menyukai pergerakan dan sudut kamera yang dinamis, seperti pada adegan aksi ia seringkali menggunakan tracking shot. Dalam momen-momen tertentu untuk menambah unsur dramatik sebuah adegan, Cameron juga menyukai penggunaan teknik slow-motion. Ilustrasi musik juga merupakan salah satu kekuatan film-film Cameron dalam membangun semua adegannya seperti musik tema Terminator dan Titanic yang melegenda.

Mungkin ini terlihat sepele namun film-film Cameron selalu dikenang melalui �memorable lines� yang sangat jarang sekali dilakukan sineas lainnya dalam semua filmnya. Ungkapan atau kata-kata melegenda tersebut seringkali dipakai dalam film-film lain setelahnya. Seri Terminator termasuk film yang paling banyak menyumbang �memorable lines�. �I�ll be back�, kata-kata yang diucapkan oleh sang robot pembunuh (Schwarzenegger) menjadi salah satu �memorable lines� paling melegenda sepanjang sejarah sinema. Belum lagi kata-kata seperti �Hasta la vista baby�, �Come with me if you want to live� dan lainnya. Sementara film-film lainnya, �Get away from her u b***h� adalah �memorable lines� dalam Aliens, kemudian �I�m the King of the World� dalam Titanic serta masih banyak lainnya.

Sepanjang karirnya Cameron juga sering berkolaborasi dengan pemain dan kru yang sama. Arnold Schwarzenegger, Bill Paxton, serta Michael Biehn tercatat adalah para pemain yang paling sering bermain dalam film-film Cameron. Untuk ilustrasi musiknya, Cameron juga sering berkolaborasi bersama Brad Friedel dan James Horner. Kemudian produser yang juga istrinya selama beberapa periode, yakni Gale Ann Hurd. Lalu editor Conrad Buff serta Richard A. Harris, sinematografer Russel Carpenter, serta tata make-up khusus Stan Winston.

Cameron dikenal sebagai sutradara yang temperamental dan perfeksionis. Banyak kru dan pemain seringkali mengeluhkan Cameron yang memimpin layaknya diktator hingga sering membuat mereka frustasi. Film-film yang diproduksinya nyaris seluruhnya over schedule serta over budget. Namun reputasi besarnya membuat para eksekutif studio-studio besar justru seringkali mengalah padanya. Terlepas dari hal tersebut, Cameron terbukti telah memproduksi karya-karya film yang berkualitas serta sukses secara komersil. Belasan penghargaan Oscar serta bilyunan juta dollar yang telah diraihnya menjadi bukti nyata keberhasilan dirinya menjadi salah satu sutradara besar di dunia saat ini serta sutradara paling sukses di Hollywood.

Himawan Pratista

Terminator 1 & 2, Kemenangan Cameron, Arnold, dan Efek Visual.



�..the final battle would not be fought in the future. It would be fought here, in our present. Tonight...�

Seri Terminator merupakan salah satu diantara seri film fiksi ilmiah terlaris yang pernah ada. Sejak The Terminator (1984), tiga sekuelnya telah dibuat yakni, Terminator 2: The Judgement Day (1991), lalu Terminator 3: The Rise of the Machine (2003) dan Terminator Salvation (2009). Sayangnya, James Cameron hanya menggarap sekuel kedua. Kualitas dua sekuel yang terakhir jauh dibawah dua film pertamanya. T2 bahkan dianggap sebagai salah satu film aksi terbaik yang hingga kini pun masih sulit dicari tandingannya.

The Terminator mengambil kisah sang robot pembunuh (Arnold Schwarzenegger) dari masa depan dikirim ke masa kini hanya untuk satu tujuan, yakni melenyapkan Sarah Connor (Linda Hamilton), ibu kandung dari pimpinan pejuang umat manusia kelak melawan Skynet (mesin). Sebagai pelindung dikirim Letnan Kyle Reese (Michael Biehn) yang tugasnya hanya satu yakni, menyelamatkan Sarah. Nyaris sepanjang film menggambarkan bagaimana Sarah dan Kyle berusaha lari dari kejaran Terminator. Di situasi serba sulit yang penuh dengan ketidakpastian, Sarah dan Kyle justru saling jatuh hati.

Sementara T2 mengambil kisah sebelas tahun setelah peristiwa film pertama. Sarah kini telah memiliki bocah berusia sepuluh tahun, John Connor (Edward Furlong), hasil buah hatinya bersama Kyle. Skynet kembali mengirim robot pembunuh super canggih tipe T-1000 (Robert Patrick) untuk membunuh John. Namun kali ini sebagai penolong John adalah robot tipe T-800 (tipe robot dalam film pertama) yang diprogram ulang kali ini untuk melindungi dirinya. Seperti film pertama, hampir sepanjang film mengisahkan bagaimana mereka bertiga harus lari dari kejaran T-1000. Di lain pihak, Sarah mengincar Miles Dyson (Joe Morton), seorang ilmuwan yang mengembangkan teknologi berintelegensia tinggi, cikal bakal dari Skynet.

Dari sisi cerita, satu hal yang menjadi nilai lebih The Terminator adalah ide cerita yang orisinil. Dua sosok dari masa depan dengan level kekuatan yang berbeda (manusia vs robot) harus saling berkonfrontasi fisik di masa kini. Kita semua tahu jika tidak ada satu pun manusia di masa kini yang akan mampu melawan sang Terminator. Tentunya ini menjanjikan sebuah sajian aksi sangat seru, menegangkan, sekaligus menakutkan layaknya film horor. Anda bisa bayangkan, sang robot berjalan masuk sendirian tanpa rasa takut membantai habis satu kantor polisi hanya untuk mencari buruannya. Rasa penasaran penonton sepanjang film pasti akan terusik, bagaimana cara sang robot bisa terbunuh?

Dalam T2, Cameron masih menggunakan formula cerita yang sama dengan film pertamanya, lalu apa istimewanya? Seperti sekuel kebanyakan kini Cameron seolah telah mampu mengerti apa yang diinginkan penonton. More action! Untuk mendukung ini dua sosok dari masa depan masih dengan level kekuatan yang berbeda dibuat jauh lebih superior dari film pertamanya. Satu robot dan satu lagi robot super canggih. Lagi, tentunya ini menjanjikan sebuah aksi super seru dan menegangkan. Dan nyatanya memang begitu. Hampir sepanjang film, cerita film berjalan sangat menegangkan dan penuh dengan adegan aksi gila-gilaan yang belum pernah ada sebelumnya.


Walau tidak sehebat T2 namun unsur aksi dalam Terminator telah menunjukkan talenta Cameron sekalipun dengan bujet yang minim. Sekuen aksi masa datang yang menampilkan perang laser menggunakan tank dan pesawat skynet sudah tampak sangat meyakinkan untuk masanya. Lalu juga kejar-mengejar mobil yang sangat menegangkan di pertengahan dan menjelang akhir film. Namun satu adegan aksi yang paling dikenang (baca: shock) adalah ketika sang terminator menyerang ke kantor polisi dan menghabisi semua yang ada disana secara membabi buta. Menghibur jelas tidak namun adegan ini terasa begitu menegangkan sekaligus menakutkan.

Bicara soal unsur aksi dalam T2 sudah tidak perlu banyak komentar. Sekuen-sekuen aksi dalam film ini tercatat sebagai yang terbaik yang pernah ada. Bujet produksi yang besar kali ini sangat mendukung Cameron untuk membuat aksi-aksi yang gila dan heboh dengan menggunakan beragam kendaraan dari motor, mobil polisi, truk besar, hingga helikoper. Aksi kejar-mengejar sangat seru di saluran (kanal) kota Los Angeles hingga kini pun masih sulit dicari tandingannya. Dengan kepiawaiannya Cameron mampu memanfaatkan setting yang terbatas tersebut dengan sempurna melalui pergerakan dan sudut kamera, teknik editing, serta posisi pemain (kendaraan). Sekuen aksi yang lain pun tidak jauh beda. Hanya satu kata untuk memberi komentar, superior!

Dari sisi efek visual, Terminator tergolong sangat sederhana. Sang robot dalam bentuk aslinya di klimaks film tampak sekali menggunakan teknik stop-motion. Sekalipun begitu namun tetap tidak mengurangi unsur ketegangan karena mampu disajikan cukup meyakinkan. Sementara efek visual dalam T2 hingga kini pun tidak tampak jauh tertinggal. Satu pencapaian yang mengagumkan adalah karakter T-1000 yang mampu mencair dan merubah diri menjadi bentuk masif apapun. Seperti contohnya, dalam sebuah adegan di penjara, ketika T-1000 berubah menjadi lantai bermotif catur dan secara perlahan-lahan berubah menjadi penjaga penjara mampu divisualisasikan begitu mengagumkan seolah benar-benar nyata!

Satu lagi yang menjadi kekuatan dua film ini adalah ilustrasi musik yang dikomposisi Brad Fiedel. Tema musik Terminator yang menghentak dan begitu kuat mampu terbawa lama dalam ingatan jauh setelah menonton filmnya. Dalam Terminator, seperti film kelas B lazimnya, Fiedel hanya menggunakan instrumen yang sederhana namun mampu menambah nuansa ketegangan terutama sewaktu adegan aksi. Dalam T2, dengan bujet yang lebih besar, Fiedel menggunakan satu orkestra penuh untuk ilustrasi musiknya. Hasilnya, musik tema jauh lebih membahana dan megah dari sebelumnya. Adegan demi adegan khususnya aksi semakin bertambah dramatik dan menegangkan.

Arnold Schwarzenegger sebagai sang terminator tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu ikon sinema paling populer dalam sejarah sinema. Nilai jual terbesar dua film ini, khususnya T2 adalah sosok Arnold. Bisa jadi tidak ada aktor lain yang mampu menggantikan sosok Arnold untuk berperan sebagai robot pembunuh yang dingin. Arnold memang seperti terlahir untuk peran ini tanpa berakting sekalipun tubuh fisik serta mimiknya sudah cukup berbicara. Rasanya karena faktor inilah sang aktor sampai bermain dalam tiga film Terminator.

Terminator 1 & 2 adalah bukti kepiawaian Cameron dalam mengolah naskah serta mengemasnya menjadi sajian film aksi fiksi-ilmiah yang sangat menghibur. Cameron adalah sineas yang tahu persis bagaimana mengemas dan apa yang diinginkan penonton. Bujet yang besar sebanding dengan tontonan aksi berkualitas yang disajikan. Hanya bermodal dua film ini saja, Cameron rasanya sudah cukup mendapat predikat salah sineas terbaik di dunia. 

Himawan Pratista

Baca ulasan film James Cameron lainnya:

AVATAR
TITANIC 3D

Sang Pemimpi, Mimpi Sang Sineas Menembus Pasar Internasional


Sang Pemimpi adalah sebuah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama (karangan Andrea Hirata). Juga merupakan lanjutan/sekuel dari film Laskar Pelangi yang sangat sukses sebelumnya, yang ditonton lebih dari empat juta penonton, tercatat sebagai film Indonesia terlaris sepanjang masa. Bedanya, di sekuelnya kali ini, para tokoh utamanya sudah beranjak remaja.

Garis sentral cerita ini tentu saja tentang impian, mimpi anak-anak Belitong yang bercita-cita untuk kuliah di Jakarta, dan mendapatkan beasiswa ke Perancis. Cita-cita yang tidak mudah digapai bagi Ikal dan Arai terlebih melihat kondisi sosio dan kultur mereka, belum lagi pengaruh �ajaran� Melayu yang konon memandang sinis terhadap mimpi yang terlalu tinggi, dan menerima kenyataan untuk bersikap realistis. Juga bagaimana setelah itu Arai dan Ikal dibantu sahabatnya Jimbron yang terus berjuang merealisasikan impian mereka di tengah cobaan dan kenyataan pahit dalam hidup mereka hingga nanti mereka mencapai apa yang diimpikan, disinilah letak inspirasi Sang Pemimpi yang ditawarkan oleh sutradara muda berbakat Riri Riza.
..
Dimulai dari Ikal dewasa yang diperankan oleh Lukman Sardi yang menjalani kesehariannya sebagai pegawai pos di kota Bogor dan lalu flash back ke tahun 1980an saat Ikal menjalani kehidupan masa remajanya, saat dimana ia memiliki cita-cita besarnya. Kali ini film Sang Pemimpi banyak mengambil lokasi di Manggar berbeda dengan sekuel sebelumnya yang menceritakan masa kecilnya saat di Gantong. Mira Lesmana selaku produser film ini mengaku menghabiskan dana tidak kurang dari 11 Milyar untuk memproduksinya.

Sekali lagi Riri Riza dituntut memuaskan keinginan pembaca novel Sang Pemimpi dalam memvisualisasikannya ke layar lebar. Memang nyatanya sineas cukup banyak melakukan kompromi. Seperti nama dari penokohan, pelaut melayu bernama Mualim yang berganti menjadi bang Rokib. Adegan Zakiah Nurmala yang melambai melepas kepergian Arai ke Jakarta, seolah menasbihkan hubungan keduanya yang memiliki cinta yang sejalan, padahal sampai sekuel berikutnya dalam buku Edensor, cinta Arai masih bertepuk sebelah tangan karena Zakiah belum luruh hatinya terhadap Arai. Adegan lain yang dikompromikan terutama ketika Ikal marah kepada Jimbron yang terus mengoceh soal kuda. Di novelnya, Ikal meminta maaf pada Jimbron namun di film justru terlihat sebaliknya, dan momen ini dipakai untuk menjadi titik klimaks Ikal dalam keputusasaannya mengejar cita-citanya, sayang penggambaran dramatisasi Ikal terlalu lama disini, menurunkan tempo film.

Sebaliknya pada saat penceritaan tokoh Ikal dan Arai dewasa, alur cerita dikemas dalam tempo yang cepat hingga menjadi anti klimaks ketika cita-cita mereka tercapai (ketika Arai dan Ikal akhirnya mendapatkan beasiswa untuk meraih gelar masternya). Apalagi penonton harus beradaptasi dulu dengan tokoh baru, sosok Arai dewasa, berbeda dengan Lukman Sardi, sebagai Ikal yang sudah diperkenalkan pada sekuel sebelumnya dan awal cerita film ini.

Nazril Ilham alias Ariel seorang vokalis salah satu band nomer satu itu berperan sebagai Arai, karakter penting dalam cerita. Setelah karakter Arai remajanya diperankan oleh aktor baru yang "bersih" dari image yang melekat sebelumnya hingga penjelmaan karakterpun menjadi real tanpa tedensi. Tidak heran ketika karakter Arai dewasa yang diperankan Ariel bagi penonton akan tampak susah menilainya sebagai Arai, bukan kehadirannya sebagai Ariel, terlebih mengingat aktingnya yang tidak maksimal dan kaku ditambah porsi adegannya yang tidak banyak. Dinilai Mira sosok Ariel dipilih lantaran memiliki garis wajah yang sama pada transformasi karakter Arai kecil dan Arai muda, selain tentu saja meningkatkan nilai jual film ini, dikarenakan ariel sebagai salah satu idola remaja masa kini.

Secara akting tokoh-tokoh yang berperan memainkan karakter bisa dibilang pas. Selain Mathias Muchus yang berperan sebagai Ayah Ikal yang pendiam juga Landung Simatupang sebagai Pak Mustar. Tokoh Arai Remaja yang diperankan Rendy Ahmad mampu diperankan sangat apik seolah karakter Arai remaja melompat ke luar buku dan berperan lincah dalam film. Yang paling mencuri perhatian tentu saja si musikus jalanan, yang diperankan Jay Widjajanto berperan dalam porsi menghibur yang baik, terlebih sineas memberikan "tempat" khusus pada tokoh ini yang hanya ialah yang melakukan kontak mata pada kamera, kepada penonton. Menegaskan kehadiran khasnya sebagai tokoh yang tak terikat pada linkungan sosio-kultur masyarakat tersebut. Sebagai Sang harta karun lelaki Melayu, penyelamat kisah cinta Arai remaja.
..
Terlepas dari adanya bloopers atau kesalahan dalam filmnya yakni kehadiran mobil-mobil mewah yang tidak sesuai jamannya. Ketika mereka sampai di Bogor, terlihat bayangan mobil Avanza di jalan raya, dan ketika Ikal selesai mendaftar di gedung Uni Eropa juga terlihat mobil Teranno dan Taruna, padahal settingnya tahun 90-an. Namun kita patut berbangga dengan adanya film Indonesia yang memiliki nilai mutu yang bagus secara moral maupun estetikanya. Sang Pemimpi telah terpilih sebagai film pembuka dalam Jakarta International Film Festival (JIFFEST) 2009 yang digelar pada tanggal 4 Desember 2009. Sang Pemimpi menjadi film Indonesia pertama yang menjadi film pembuka pada ajang festival film internasional ini dalam sebelas tahun penyelenggaraannya. Semoga saja lebih banyak film-film Indonesia seperti ini yang bermunculan, yang mengangkat dan merepresentasikan budaya Indonesia. Beginilah film Indonesia seharusnya, berangkat dari akar tradisi yang murni dan memotivasi.

Andrei Budiman

Identitas, �Identitas� Sinema Indonesia?


Identitas merupakan sebuah film karya sutradara Arya Kusumadewa yang sebelumnya pernah menggarap film Novel tanpa huruf "R". film ini dibintangi oleh Tio pakusadewo, Leony, Ray sahetapi, serta Titi Sjuman. Dalam ajang Festival Film Indonesia baru lalu, film ini mampu meraih piala Citra untuk film, sutradara, dan aktor terbaik.

Adam (Tio Pakusadewo) adalah seorang penjaga kamar mayat. Pada suatu hari dia bertemu dengan seorang wanita (Leony) yang kemudian diketahui ialah seorang gadis yang terpaksa menjadi pelacur karena harus membayar biaya pengobatan ayahnya. Karena simpati, Adam kemudian berniat membantu perempuan tersebut untuk mendapatkan ASKIN. Namun usahanya tersebut ternyata terbentur dengan birokrasi yang mengharuskan orang-orang yang mendapatkan ASKIN harus memiliki identitas. Hingga akhirya hanya "ketidak beruntungan" yang mereka dapatkan.

Sejak awal kita sudah sangat merasakan unsur politik yang sangat kental dalam film ini. Kritik-kritik tajam yang dikemas secara kasar dan vulgar digunakan untuk menyerang kebijakan-kebijakan pemerintah yang sangat merugikan rakyat miskin, seperti masalah kesehatan, hak-hak kepemilikan tanah, dan lainnya. Mungkin film ini ingin mengatakan bahwa pemerintah kita saat ini tidak bisa lagi dibenahi dengan cara halus, jadi cara kasar adalah solusi yang tepat. Namun kritik-kritik yang disajikan disini malah terkesan hanya sebagai luapan emosi semata dan tidak mendidik. Rumah sakit digambarkan sebagai tempat yang sangat tidak manusiawi. Dokter dan perawat memperlakukan para pasiennya semena-mena bak binatang. Tampak jelas sekali rumah sakit ini merupakan alegori negara kita yang tengah sakit. Film berakhir dengan kematian bagi tokoh utamanya yang menyimbolkan bahwa segala macam kebijakan yang dibuat oleh pemerintah hanya akan mendorong rakyat miskin ke jurang kematian.

Identitas yang menggunakan format digital juga tampak seperti film independen amatiran. Satu hal paling mengganjal dalam film ini adalah penggunaan teknik dubbing. Penggunaan teknik dubbing dalam film ini cenderung �mematikan� aspek-aspek teknis lain seperti sinematografi, editing, akting pemain, bahkan cerita filmnya sendiri. Sulit bagi penonton untuk larut dalam cerita filmnya karena suara dialognya terlalu artifisial. Sungguh sulit dipercaya jika aktor yang berakting dengan di-dubbing mampu meraih penghargaan aktor terbaik.

Identitas lebih jauh mungkin ingin mengatakan bahwa "kebahagiaan" di negeri ini hanya dapat dimilki oleh orang-orang yang memiliki "identitas" (orang-orang berkuasa). Namun apakah kebahagiaan hanya sebatas tentang kekuasaan? Apakah solusi bagi rakyat kecil harus pula ikut �membakar diri�? Sungguh mengherankan film ini mampu menyabet penghargaan film terbaik FFI. Apakah pesan moral yang disampaikan di film ini begitu pentingkah hingga mengabaikan pencapaian teknisnya. Film bukanlah sekedar tentang pesan moral semata namun adalah bagaimana pesan tersebut dikemas menjadi sebuah karya seni yang indah. FFI merupakan suatu ajang penghargaan film bergengsi di negeri ini yang pastinya menjadi salah satu tolak ukur para insan film di Indonesia untuk berkarya. Dilihat dari sisi manapun rasanya film ini masih jauh dari cukup untuk menjadi patokan sineas-sineas kita dalam berkarya. Penulis berharap film ini tidak lantas menjadi identitas sinema kita.

Febrian Andhika

Meraih Mimpi

Mencoba Meraih Mimpi


Meraih Mimpi merupakan film animasi musikal yang disutradarai Phil Mitchell. Film ini diadaptasi dari buku berjudul Sing to the Dawn karya Minfung Ho. Naskah filmnya sendiri ditulis ulang oleh Nia Dinata. Film ini dibintangi (pengisi suara) oleh Gita Gutawa, Patton, Surya Saputra, Indra Bekti, Cut Mini, Shanty, Ria Irawan, dan lainnya. Film berdurasi 93 menit ini merupakan jenis animasi tiga dimensi, terobosan bagi film Indonesia, khususnya film animasi.

Film ini berkisah tentang petualangan seorang gadis bernama Dana (Gita Gutawa) dan adiknya, Rai (Patton). Warga desa tempat Dana tinggal menghadapi masalah yakni rumah-rumah mereka akan digusur paksa karena akan dibangun kawasan perjudian. Keluarga Dana dan warga menerima teror dari anak buah tuan Pairot (Surya Saputra), tuan tanah yang mengklaim tanah desa tersebut miliknya. Namun suatu ketika Dana mendapat info dari seorang kakek bahwa surat wasiat tersebut palsu dan yang asli ternyata ada di sebuah tempat rahasia. Atas petunjuk dari sang kakek, Dana bersama Rai berusaha untuk mencari surat wasiat itu untuk menyelamatkan desanya.

Sebagai film musikal anak-anak, Meraih Mimpi tergolong cukup lumayan. Musik dan lagu yang menjadi penekanan filmnya mampu disajikan dengan apik dalam beberapa adegannya dalam momen yang pas. Beberapa nomor lagu pun dibawakan dengan manis oleh para tokohnya secara bergantian, tentu yang paling dominan adalah Dana (Gita Gutawa). Sayangnya, sekuen musikalnya tidak imbang antara paruh pertama dan kedua. Adapun satu nomor yang menonjol adalah yang dibawakan tuan Pairot yang berniat membangun areal perjudian yang mampu disajikan begitu atraktif dan menarik, tidak kalah dengan film-film animasi musikal luar. Satu kelemahan adalah gerak bibir dengan vocal atau kata-kata yang diucapkan seringkali tidak pas. Gerak bibir terlihat hanya sekedar membuka dan menutup mulut saja.
..
Seperti film kita kebanyakan aspek cerita kembali menjadi kelemahan filmnya. Dari sisi cerita sejak awal filmnya sudah tampak tidak fokus. Masalah sengketa tanah yang menjadi inti masalah cerita seolah justru bukan menjadi masalah besar di awal cerita. Masalah kawin paksa justru lebih ditonjolkan sekedar untuk mengulur cerita. Logika cerita juga seperti biasa juga banyak memiliki kelemahan. Berbagai masalah muncul dan solusi langsung datang begitu saja. Masalah surat wasiat palsu (atau asli), bagaimana warga bisa tahu surat itu asli atau palsu. Apa lantas cuma gara-gara omongan si kakek hal tersebut bisa dipercaya? Lalu juga si preman tangan kanan Pairot yang dominan di paruh awal cerita, sama sekali tidak tampak di sekuen klimaks.

Meraih Mimpi yang menjadi judul filmnya bisa pula dipertanyakan. Mimpi siapa? Dana? Ayahnya? Pairot? Atau semuanya? Beasiswa yang menjadi impian utama Dana justu sedikit kabur oleh masalah sengketa tanah. Belum lagi tokoh-tokoh hewan yang maunya menjadi variasi cenderung malah menganggu cerita keseluruhan. Penggunaan aksen (hewan) yang beragam dan tidak pas dengan karakternya justru malah membuat dialog sulit untuk dimengerti. Terlepas dari berbagai kelemahannya usaha Meraih Mimpi untuk melakukan terobosan bagi perkembangan film animasi di negeri ini patut kita acungi jempol.

Agustinus Dwi Nugroho

Festival Film Dokumenter 2009

Festival Film Dokumenter yang kedelapan kali ini diadakan di Taman Budaya Yogyakarta, Benteng Vredeburg, dan Rumah Budaya Tembi, mengangkat tema politik bekerja sama dengan sinema politika FFD diadakan setiap tahun bertujuan untuk memingkatkan perkembangan film dokumenter, supaya lebih bervariasi hingga nantinya dapat setara dengan film-film mainstream yang merajai dunia perfilman Box Office. 

FFD 2009 hadir dengan berbagai sajian program pemutaran yang terbagi dalam pemutaran film kompetisi, non-kompetisi, perspektif dan spectrum, program masterclass, diskusi, dan temu komunitas. Program Spektrum masih menyediakan galeri karya-karya dokumenter dunia dengan keragaman bentuk, pendekatan, dan tema. Kali ini, untuk ketiga kalinya FFD mengadakan program masterclass. Acara ini sengaja dirancang sebagai labolatorium kreatif dan ruang refleksi perkembangan film dokumenter Indonesia teraktual. Acara ini diselenggarakan pada tang gal 4 sampai dengan 9 Desember 2009 di Rumah Budaya Tembi dan Taman Budaya Yogyakarta dengan pemateri Mariana Yarovskaya, seorang film maker yang bekerja sebagai produser dan senior editor di Discovery channel, National Geographic, History Channel, Head Of Research dari film pemenang An Inconvinient Truth. dan Petr Lom. Beliau adalah seorang sutradara dan poduser film dokumenter independent yang belajar secara otodidak, bergelar PH.D. Filsafat politik dari Harvard University.

Ada 71 judul film yang ikut dalam program kompetisi yang terdiri atas 16 film kategori pelajar, 47 film kategori dokumenter pendek dan 8 film kategori dokumenter panjang. Para peserta berasal dari beberapa daerah seperti Jakarta, Purbalingga, Balikpapan, Malang, Solo, Surabaya, Yogyakarta dan lainnya. Sebelumnya film-film para peserta tersebut melewati beberapa tahap seleksi seperti administrasi, penjurian madya, dan penjurian final serta penjurian komunal pelajar SMU. Program Kompetisi merupakan program yang dirancang untuk memberi apresiasi dan penghargaan bagi karya-karya terbaik. Program ini diharapkan menjadi barometer dalam penyelenggaraan festival sejenis dengan menghadirkan sejumlah juri yang berasal dari berbagai latar belakang dan keahlian, yaitu para professional, akademisi, dan praktisi dunia perfilman dokumenter, baik dalam maupun luar negeri. Juri Final Kategori Pelajar adalah Zam-zam Fauzanafi, Ifa Isfansyah, Lulu Ratna. Juri Final Kategori Pendek adalah Tonny Trimarsanto, Marianna Yarovskaya, Novi Kurnia. Sedangkan, untuk Juri Final Kategori Panjang adalah G. Budi Sunabar, Seno Gumira Ajidarma, dan Eric Sasono.

Program School Doc, memasuki tahun keempat, diadakan pada tanggal 24 November 2009 di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak Yogyakarta, kemudian dilanjutkan pada tanggal 26 November di SMA Kolase De Britto. Acara ini bertujuan untuk lebih mengenalkan dan mengapresiasi film dokumnenter di kalangan pelajar dan memberikan wacana �media literacy�.

FFD juga menyediakan program-program pendukung acara yaitu, Pameran foto Cerita �Nyala Kendeng Untuk Bumi Manusia� oleh Komunitas Omah Gendeng (omah kendeng? Atau omah gendeng?) pada tanggal 6 sampai 9 Desember 2009 di Kompleks Taman Budaya Yogyakarta. Kemudian juga diselenggarakan diskusi yang bertema Documentary as a ( Political ) Media, yang membahas tentang bentuk visual video dan dokumenter sebagai media (media apa niihh??). Diskusi ini menghadirkan pembicara seorang pelaku video advokasi berbasis komunitas, Video for Democracy Competition dan seorang pengamat media. Acara ini diadakan pada 9 Desember 2009 dengan pembicara Aren Zwartjes, Assistant Cultural Attache, Sobirin, dan Komunitas Omah Kendeng Pengamat Media.

Progam Co Production : How To. Adalah workshop singkat bagaimana komunitas pendokumenter Indonesia mencari dana untuk film-filmnya dari kantong sendiri dan national donor ( baca : NGO ). Acara ini diisi oleh pembicara Marianna Yarovskaya, pada 11 Desember 2009 di Gedung F Benteng Vredeburg. Program Philiphine Documentary Today, tahun ini program SEA DOC, program khusus untuk dokumenter di Asia Tenggara fokus kepada Filipina. Perbincangan seru terjadi melibatkan beberapa sutradara muda documenter dari Filipina akan hadir dan berbincang dengan sutradara documenter kita. Pada 7 Desember 2009 di Societet TBY.

Program Launching Depot Video : �Video Komunitas Keliling�. Depot ini bertujuan untuk memperluas akses video komunitas agar publik dapat mengetahui realitas lain diluar apa yang disodorkan oleh media mainstream selama ini. Progam ini terselenggara atas kerjasama FFD dan Kampung Halaman dengan didukung oleh The Ford Foundation, pada tang gal 7 Desember 2009 di Lobby Gedung Societet Militaire TBY, kemudian dilanjutkan dengan Program Temu Komunitas pada tanggal 8 Desember 2009 di Rumah Budaya Tembi.

FFD 2009 juga bekerjasama dengan Rumah Budaya Tembi, Jan Vrijman Fund, dan lain-lain. Dana yang didapatkan berasal dari sponsor dan pihak-pihak yang bekerjasama. Menurut Kurnia Yudha, yang berperan sebagai festival coordinator, sekitar 5 bulan sebelum acara kesempatan bagi publik untuk mengikuti festival telah diumumkan. Acara ini juga membuka kesempatan untuk para volunteer. Beberapa film jempolan yang mengundang decak kagum adalah The Bicycle : Fighting AIDS with Community Medicine, Good Morning Kandahar, A Dream of Kabul, Holy Warriors, Indonesia Bukan Negara Islam dan masih banyak lagi.

Pengumuman award berlangsung pada 12 Desember 2009 dan diakhiri dengan acara penutupan yang meriah di Benteng Vredeburg.

Para pemenang FFD 2009 adalah :

Film Terbaik Kategori Pelajar adalah Indonesia Bukan Negara Islam, Karya Jason Iskandar.
Film Dokumenter Terbaik Kategori Pendek adalah Gorila dari Gang Buntu, Karya Bambang Rahkmanto dan Ryo Hadindra Permana.
� Film Terbaik Panjang adalah Pertaruhan, Karya Ucu Agustin, Lucky Kuswandi, Ani Ema S, Iwan Setiawan dan M. Iksan
� Film Dokumenter Favorit Pilihan Juri Komunal adalah Ngundal Piwulang Wandu ( Dalang Waria ) Karya: Kuncoro Indra Kurniawan, Kukuh Yudha Karnanta

Debby Dwi Elsha

Feminisme ala James Cameron

Menonton Avatar, tak heran bila perhatian utama kita tertuju pada �pameran� teknologi yang disuguhkan sutradaranya, James Cameron. Kita dibuat kagum atas khayalannya tentang sebuah planet (tepatnya bulan) Pandora yang berisi makhluk biru setinggi 10 kaki berekor, gunung melayang, binatang-binatang aneh yang mirip kuda, serigala, burung phoenix, dan entah apa lagi. Saat menontonnya di bioskop 3D, kita makin tambah kagum lantaran betapa nyatanya daya khayal Cameron terwujud di depan mata. Ia telah menggunakan setiap sen bujet maha besarnya (sampai AS $ 300 juta) dengan bijak.

Usai mengagumi imajinasi sang sineas, kita lantas memaknai kisahnya dalam kehidupan umat manusia di dunia nyata. Film ini punya pesan supaya manusia di bumi lebih mencintai lingkungan, menghargai komunitas lokal dan suku terasing, serta jangan menghancurkan alam demi kepentingan korporasi. Manusia, seperti kita lihat dalam District 9, menjadi antagonis di sini karena keserakahannya. Film ini jadi otokritik Cameron pada pemerintah di negaranya yang melakukan pre-emtive attack (menyerang lebih dulu) sebuah negeri. Penggambaran keruntuhan pohon besar tempat para Na�vi, penduduk Pandora tinggal, mengingatkan kita pada runtuhnya menara kembar WTC tahun 2001 silam. Ada kengerian, kesedihan, keputusasaan, dan kebingungan di wajah-wajah para Na�vi.

Kekaguman pada efek khusus dan pesan besar dalam narasi Cameron membuat kita sedikit melupakan aspek lain yang selalu muncul di setiap film-filmnya, termasuk Avatar, yakni: perempuan. Ya, perempuan selalu mendapat tempat tersendiri di film-film Cameron. Seperti dicatat Rebecca Keagan, di situs Vanity Fair, di film Avatar kita melihat sosok-sosok perempuan hebat. Salah satu tokoh utamanya, Neytiri (Zoe Salanda) digambarkan cerdas, gesit, piawai memanah, dan menguasai bahasa manusia. Ia adalah Pocahontas dari makhluk Na�vi. Ada pula Grace Augustine yang diperankan Sigourney Weaver, ilmuwan idealis yang memimpin program avatar, menempatkan manusia ke dalam tubuh makhluk Na�vi untuk bisa berkomunikasi dan hidup dengan mereka. Di film ini, ia adalah sisi manusiawi dari korporasi yang tujuannya mencari untung semata. Sikap keras kepala dan kecintaannya pada Na�vi melemahkan sekaligus membahayakan kepentingan korporasi dan militer. Selain itu, di antara para tentara yang terdiri dari laki-laki kekar yang berjejalan mengendarai robot atau helikopter, ada Trudy (Michele Rodriguez), perempuan perkasa pengendara helikopter yang tak kalah kuat dari para laki-laki saat menenteng senjata. Kemudian ada ibunda Neytiri, Mo�at, dukun para Na�vi. Pada siapa ia menyembah? Di Pandora, bahkan dewa memiliki kata ganti �she� dan dinamai Eywa.

Karakter para perempuan perkasa dalam film Avatar adalah tradisi Cameron yang terus berlanjut sejak film-filmnya terdahulu, Terminator (1984) hinga saat ini. Sosok Sarah Connor (Linda Hamilton) di film Terminator pertama secara kasat mata terlihat selalu meminta perlindungan pada kaum laki-laki, namun di film ini Cameron memberi alasan Sarah pantas dilindungi karena dari rahimnya kelak lahir penyelamat manusia di masa depan. Plot yang ia pinjam dari kisah mesiah (penyelamat) di agama-agama besar ini menempatkan Sarah bak ibu suci yang harus dilindungi.

Film berikutnya, Aliens (1986) adalah tafsir ulang Cameron pada film yang sebelumnya dibuat Ridley Scott pada 1979 (Alien). Di film sekuel ini, Cameron tak hanya menampilkan alien lebih banyak sesuai judulnya, tapi juga membawa kisahnya pada pencapaian lebih jauh daripada yang dilakukan Scott. Film pertama yang dibuat Scott dianggap sebagai film horor bersetting ruang angkasa. Dengan demikian sosok Ripley (diperankan Sigourney Weaver) tak lebih sebagai orang yang kebetulan selamat dari kebuasan alien. Namun, tafsir Cameron di film keduanya membawa karakter Ripley lebih jauh. Ripley tak hanya kebetulan selamat, ia selamat karena ia perempuan perkasa yang bisa mengalahkan alien. Pertarungan Ripley, mengendarai robot, melawan alien di klimaks film kedua adalah bukti nyata untuk itu.

Yang membuat Cameron istimewa, adalah hal yang dilakukannya itu�menempatkan perempuan sebagai jagoan atau tokoh maha penting�bukanlah hal yang lazim dilakukan oleh sineas di ranah film arus-utama pada 1980-an. Pada tahun-tahun itu perempuan lebih sering digambarkan sebagai pelengkap penderita, penghibur sang pria jagoan, atau makhluk lemah yang harus dilindungi.

Cameron membuktikan bahwa dia tak sekadar bereksperimen menciptakan karakter perempuan jagoan. Film-film Cameron berikutnya juga menempatkan perempuan pada posisi penting. Di The Abyss (1986), dongeng tentang alien yang hidup di bawah laut, menampilkan sosok perempuan di antara ilmuwan laki-laki. Dalam True Lies (1994) ia lagi-lagi membuat karakter perempuan (Helen Tasker diperankan Jamie Lee Curtis) yang tak kalah hebatnya dengan laki-laki, berjumpalitan bak james Bond, dan menjadi model bagi Angelina Jolie untuk film Mr. & Mrs. Smith. Sedangkan dalam Terminator 2: Judgment Day (1991) Cameron menampilkan lagi Sarah Connor bukan sebagai sosok yang selalu harus dilindungi kaum laki-laki, tapi juga mampu mengangkat senjata dan ikut berperang. Sarah kabur dari rumah sakit jiwa dengan melukai penjaga demi menyelamatkan anaknya dan umat manusia. Ini sebuah metafora Cameron tentang peran ibu sebagai orangtua tunggal yang harus membesarkan anak sendirian.

Bahkan lewat film Titanic (1994) yang sejatinya adalah kisah cinta si kaya dengan si miskin di kapal yang akan tenggelam, Cameron memberi aura �keperkasaan� pada sosok Rose yang diperankan Kate Winslet. Rose digambarkan sebagai perempuan pemberontak untuk ukuran zamannya. Para pengkritik Cameron yang mengerti sejarah mengatakan perempuan pada saat itu (awal abad ke-20) belum jamak menghisap rokok selayaknya laki-laki�bahkan bila hal itu dianggap sebagai perlawanan kaum perempuan.Bisa jadi Cameron dalam hal ini sengaja tak otentik. Ia ingin sosok Rose jadi pemberontak atas kemapanan dan kemunafikan di era akhir zaman Victoria.

Lantas, dengan sederetan karakter perempuan perkasa tersebut, apakah film-film Cameron dapat disebut sebagai film perempuan dan menganjurkan feminisme?

Well, tak sesederhana itu. Film perempuan adalah, seperti dikatakan Nia DiNata pada Femina, film yang tokoh utama protagonisnya adalah perempuan, bercerita tentang masalah perempuan, dan tidak mengeksploitasi seksualitas atau keindahan perempuan secara terpaksa. Film-film Cameron bukanlah film perempuan meski ia selalu menempatkan tokoh perempuan sebagai protagonis. Tema film-filmnya tak pernah berkisar tentang masalah perempuan. Perempuan hanya ia tempatkan dengan terhormat dalam sebuah narasi besar yang lain (perang melawan mesin, kebuasan alien, berkomunikasi dengan makhluk asing bawah laut, atau menangkap teroris). Titanic juga bukan film perempuan meski pasar utamanya perempuan (terutama yang kesengsem pada ketampanan Leonardo DiCaprio). Titanic hanya film romantis tentang keabadian cinta. Lain tidak.

Film-film Cameron juga bukan film feminis. Feminisme mempunyai bermacam-macam arti. Tapi intinya, seperti kata Gibson J. Williams (1991), feminisme mengarahkan fokusnya pada penindasan laki-laki terhadap perempuan. Laki-laki dalam hal ini tak selamanya individu, tapi juga tradisi, atau lebih luas lagi, kebudayaan yang telah begitu lama didominasi (dan menguntungkan) laki-laki. Narasi besar film-film Cameron tak hendak menggugat itu. Para perempuan perkasa di film-filmnya kelihatan sudah perkasa dari sananya. Mungkin, dalam fantasi Cameron di masa depan, persoalan gender sudah tamat. Pada akhirnya di masa depan perempuan dan laki-laki hidup setara. Perempuan bisa sama atau lebih perkasa dari laki-laki. Makanya, di Avatar yang bersetting tentang masa depan, kehadiran perempuan sebagai pilot helikopter tak lagi dipandang dengan takjub atau heran, karena itu sudah keniscayaan di masa depan nanti.

Cameron, sebagaimana dikatakannya pada Rebecca Keegan, hanya ingin membuat sesuatu yang lain dari yang kebanyakan orang buat. Ia seakan membalikkan sebuah mitos bahwa film yang menampilkan perempuan jagoan akan diemohi penonton laki-laki, sedang penonton perempuan tak suka film yang lebih banyak memamerkan teknologi dan aksi. Bukti bahwa film-filmnya laris manis ditonton jutaan orang pertanda penontonnya datang dari dua jenis kelamin berbeda, laki-laki dan perempuan.

Ade Irwansyah
Editor Tabloid Bintang
*menulis buku Seandainya Saya Kritikus Film: Pengantar Menulis Kritik Film (Homerian Pustaka, Desember 2009) dan blog http://adeirwansyah.multiply.com/)

The Left Bank Cinema

Dalam sejarah sinema Perancis, kita tak boleh melupakan bagaimana Gerakan New Wave melakukan �pemberontakan estetis� terhadap tradisi Cinema Du Papa yang menjadi mainstream di era sebelumnya. Para auteurs New Wave yang berangkat dari jurnal Cahiers Du Cinema ini kemudian menjadi salah satu gerakan sinema terbesar sepanjang Sejarah. Namun, euforia gerakan New Wave ini terkadang menutupi gerakan lain yang tak kalah pentingnya: Left Bank Cinema. Oleh para kritikus, Left Bank Cinema terkadang dicampur adukkan dengan New Wave dikarenakan keduanya memiliki concern yang, sedikit banyak, politis. Namun sebenarnya keduanya tidaklah sama, Left Bank Cinema adalah entitas yang sama sekali terpisah dari Gerakan New Wave. James Monaco, seorang teoritisi film menyebutkan bahwa setidaknya ada empat orang Sineas core dari Left Bank Cinema ini: Agnes Varda, Alain Resnais, Jacques Demy dan Chris Marker. Beberapa sineas lain juga sering diasosiasikan dengan Left Bank Cinema antara lain Georges Franju, Henri Colpi, dan William Klein.

Apa sebenarnya yang membedakan Left Bank Cinema dengan New Wave?. Richard Neupert mengklaim bahwa para Auteurs Left Bank memiliki kecenderungan untuk terlibat lebih jauh (bahkan terkadang beresiko) dalam eksperimentasi estetis, mereka lebih senang dengan genre dokumenter (atau menggunakan imaji dokumenter dalam genre fiksi), ini mungkin dikarenakan bentuk dokumenter cenderung memiliki kesan yang lebih valid mengingat isu yang kerap mereka angkat adalah isu-isu sosial dan politik yang sarat kontradiksi. Sementara teoritisi film lain, Claire Clouzot, berpendapat bahwa Left Bank Cinema sebenarnya terinspirasi oleh eklektisisme estetika, mereka tidak pernah berpegang pada satu paradigma estetika tertentu melainkan menggabungkan atau bahkan mengubah suatu paradigma secara radikal, hal ini tidak menjadi masalah besar sebab fokus mereka sebenarnya tidaklah terletak pada cinephilic fanaticism, melainkan pada fluktuasi proses mental dimana penggalian isu-isu sosial- politis bisa disampaikan secara komprehensif kepada audiens.

Orang takkan melewatkan Breathless (Jean-Luc Godard, 1959) atu The 400 Blows (Francois Truffaut, 1959) ketika berbicara tentang New Wave. Sejalan dengan itu, Left Bank Cinema-pun memiliki karya-karya yang sampai sekarang kadang masih menjadi ikon yang dikultuskan. Hiroshima Mon Amour (1959) dan Last Year at Marienbad (1962), keduanya karya Alain Resnais dan dianggap menjadi karya-karya Left Bank yang terkemuka. Agnes Varda mengembangkan konsep cin�criture yang ia derivasikan dari konsepsi Alexandre Astruc tentang camera-stylo. Cin�criture adalah konsep dimana seorang sutradara berperan seperti penulis. Dialah yang mengarahkan, menulis, mengedit, sampai pada memilih lokasi. Eksperimentasi ini selangkah lebih jauh dari konsep auteur yang dipopulerkan gerakan New Wave. Karya Varda yang signifikan antara lain Cleo from 5 to 7 (1961), L�Op�ra mouffe (1958) dan Du c�t� de la c�te (1958). Sementara Chris Marker, sutradara yang paling produktif diantara ketiga sineas core tersebut memproduksi hampir semua karyanya dalam bentuk dokumenter, seperti Letter from Siberia, A Grin Without a Cat, dan Sans Soleil. Satu-satunya karya non-dokumenternya adalah La Jetee (1962), film berdurasi setengah jam dengan narasi dystopian yang dirangkai oleh shot-shot nakal dan editing yang radikal.

Bagi generasi sekarang, terkadang tak mudah untuk mendapatkan film-film Left Bank dalam bentuk DVD, sebab para filmmaker ini kerap membuat film-film mereka dalam format seadanya dan tidak di-convert dalam format DVD. Namun terlepas dari ke-tak-tersediaan teknis tersebut, Left Bank Cinema sangat tak patut untuk kita lupakan dari uraian panjang benang sejarah sinema Perancis, dan oleh karena itu, Dunia.

Makbul Mubarak
Mahasiswa FISIPOL UMY