Kamis, 28 Februari 2008

The Great Dude, Ten Years After


Most of the religious movements began as word of mouth, years before the supporting holy books. There were the times when electricity was scarce, limited to lightning - as special effects (SFX) sent by the Great Director. But that was then. Means of communications have evolved, so has (arguably) human society.

I'm here to present you the case where, instead the holy text, a movie acted as the manifesto of a religion. A new movement that, has accordingly taken some of the features of the genre, between philosophy and mock-religion. It all starts with 1988's 'Big Lebowksy' which soon got cult-status, as many of Coen Brothers' productions. This one preaches the art of 'taking it easy', as enacted by the eponymous character of a bearded Jeff Bridges aka 'The Dude'. It's worldview that mixes bits of hedonism, taoism, buddhism, hippie-ism and more than anything else a constant doze of easy-living laziness.

We happen to live in the glorious times of The Global Warming and more recently of the financial crisis. People are busy looking for the villains that made it all 'possible' but mostly for solutions, the way out. We're here to present the 3rd way, a possible alternative. Quoting from the fore-father: �Life is short and complicated and nobody knows what to do about it. So don't do anything about it. Just take it easy, man. Stop worrying so much whether you'll make it into the finals."

It's a mock-religion[1] or even better an anti-religion, as it doesn't stand for any greater promise, the final prize worth dedicating your whole life for. Instead is the way of �The time is now� and �You are here.� This are 'the dudes'. Not to be mistaken with the hippies which, are are merely na�ve bands of sentimentalists who strongly believe that the world can and has to be saved. Dudes are way more laid back and cynical.

Dudeism was born at a certain melting point of western culture and eastern philosophy. It was defined through a column of a local newspaper by the first ever self-acknowledged dude, Oliver Benjamin a farang (the thai term for bule) living in an for-ever mellow happyland village of Pai, North Thailand, one of those places perfect for 'doing nothing'. A small village in the middle of the mountains, surrounded by rice paddies and bamboo houses but having at the same time enough lazy-life supporting facilities.

Jeffrey Lebowski is the prophet, Oliver Benjamin the first apostle followed by armies of early adopters, flocks of backpackers, downshifters, connected to the right vibes more than 'the voices', through their mp3 players.

That's not to say 'the dudes' are just a bunch of a lazy nihilists. For most of us, life-support requires some kind of cash-flow generating activities. We can't all be absolute dudes, with a life forever bound to cocktails and bowling alleys. It's the distinction between basic necessities/comfort and going too far for it by working your ass off as the TV commercials demand you too, that differentiates all the dudes in the world from all the rest of the people in the world. Is the art of going with the flow while acknowledging it as such. A mellow revolution from within. Self conscience and realising that money is surely important but not the end of it, "that nature is beautiful and that the good life consists not in collecting products and assets but in acquiring memories and friends" fighting will generally get you nowhere unless aggression is what you search for in the first place.

Famous Dudes

As stated before the absolute dudeness is more of a model, so, with some exceptions, the most easily recognizable examples of famous dudes also come from the world of the big screen. Think of Dennis Hopper's and Peter Fonda's characters in Easy Rider, Patrick Swayze in Point Break or even Jack Nicholson�s 'As good as it gets'.

Jeff Bridges is a dudeist himself, being one of the reasons he accepted the role for a rather small pay check. The whole movie had a $15 million budget as the Coen Brothers try to tie light deals with the studios which in return would grant them more control over the life of the movie. Bridges easily identified himself with . So much in fact that he took the movie�s wardrobe person back home with him and both picked out clothes that he had that The Dude could wear.

The movie was far from an immediate success, in fact it was a financial failure in the beginning making only $3 million in returns. Most critics were rather underwhelmed. Still, now, a decade later the movie became a steady phenomenon, being quoted as "the first cult film of the Internet era". Slowly, the DVD sales doubled the revenues from the theatres. The film's devoted fans have emerged Lebowski Fest, an multi-annual festival that started in Louisville, Kentucky in 2002 that gets together people in bowling alleys, drinking White Russian and exchanging quotes. As all of Coens� movies it wasn't meant for the masses achieving instead a deep impact on a limited group of people.

So, what�s the secret behind the impact of this low key flick, a long time after the first screening? Of course, there�s the genius of the Coen Brothers, still, their other movies that reached box-office succes never left a similar mark. It�s a funny movie, with a brilliant script, full of quotable lines. Above all (I would say) it acknowledges and promotes a simple and happy lifestyle, a go-with-the-flow attitude leaving the least space for vanity and stress. One might not be able to entirely follow The Way of The Dude still one must admit it�s charm.

Even if dudeism is more a world-view then a full fledged religion, it can make a refreshing personal mantra and, as far as Montase readers are concerned, a good argument wether movies can really change anything around after the public exits the theaters. Well, this one, you might say, turned into a religion. Of course one that you would never have it spelled in your id card but might as well go into your Facebook profile.

(Alexandru popescu/pax@mioritics.ro)

Mode yang Selalu Kembali


Jika kita bertanya pada khalayak ramai, film animasi apa yang mereka sukai yang pernah ditontonnya? jawaban mereka tentu akan berbeda, namun hampir 80% akan mengklaim film-film dari industri besar macam Pixar atau Dreamworks sebagai film yang digemari. Tidak heran memang bila jawaban mereka seperti itu, karena pada dekade ini studio-studio besar tersebut selalu memproduksi film-film animasi yang boleh dibilang sukses secara pasaran.

Dalam satu kesempatan saya berbincang dengan Nathan, seorang Animator yang karya animasi singkatnya yang berjudul Whole, dinominasikan sebagai Best Animation dan Best Song dalam Edinburgh Film Festival di Skotlandia.

Menjadi seorang Animator tidaklah mutlak harus mempunyai skill yang kuat dalam menggambar, seperti Nathan ini contohnya. Pria berumur 24 tahun ini memproduksi filmnya dengan teknik claymation (clay Animation), dimana ia memerlukan 25 frame/sec untuk membuat satu gerakan, total frame yang diperlukan untuk filmnya berjumlah sekitar 4000 frame lebih. Teknik Claymation menggunakan bahan plastecine yang mudah untuk dibentuk, ambil contoh untuk membuat senyuman, Animator hanya perlu menggerakan bibir objek sedikit demi sedikit pada tiap framenya. Berbeda dengan Animator yang memakai teknik puppet animation, sineas yang memakai teknik ini adalah Tim Burton yang mana untuk membuat adegan senyuman dalam filmnya The Nightmare Before Christmas ia harus mengganti kepala objek dalam setiap pengambilan frame, bisa dibayangkan berapa ribu kepala yang harus diganti hanya untuk mendapatkan senyuman atau ekpresi lain di wajah.

Kini para Animator di Eropa tengah kembali kepada tradisi lama dalam mengolah animasi mereka. Teknik atau efek-efek yang terlalu komputerisasi tidak lagi digunakan, karena bagi mereka menggunakan komputer hanya akan menyeragamkan animasi secara tampilan. Salah satu contoh tradisi lama dalam membuat animasi adalah teknik cut out animation, Film South Park adalah contohnya. Teknik yang sederhana dengan menggambar sebuah objek kemudian mengguntingnya. Silvain Chomet adalah Animator Perancis yang dikenal di Eropa sebagai Animator tradisional dengan teknik menggambar objeknya dengan gayanya yang unik. Dalam filmnya Tour de France, yang berkisah tentang balap sepeda di Perancis, Chomet sangat detil sekali dalam mengekspos otot-otot dan pergerakan tendon peserta balap sepeda tersebut.

Studio besar di Inggris seperti Aardman Studios pun juga tak ketinggalan dalam unjuk kemampuannya di dunia Animasi. Sosok Nick Park yang namanya tak bisa dilepaskan dengan studio besar tersebut memproduksi animasi dengan teknik Claymation, hingga menghadirkan ikon animasi Inggris yakni, Wallace dan Gromit. Wallace dan anjingnya, Gromit mulai dikenal melalui animasi pendek, A Grand Day Out, hingga film animasi panjangnya, Wrong Trousers were Rabbit. Film tersebut memaksanya berpikir bagaimana mengemas teknik plastecine dalam skala animasi besar, hingga ciri khasnya sebagai animator tradisional masih kental. Hingga kini animasi tersebut digemari lantaran bertipikal Inggris. �Because American like to watching stupid things about British�.

Penulis sendiri jika ditanya film animasi favorit, adalah garapan Hayao Miyazaki, yakni Afro Samurai animasi garapan Studio Gibli yang berkisah tentang seorang kulit hitam yang menjadi seorang samurai, dengan musik yang digarap oleh Wu Tan Clan/RZA yang membuat film animasi tersebut bercampur dengan banyak kultur. Ketika semua mode akan selalu kembali ke bentuk tradisional, kita lihat saja bagaimana nanti perkembangan Animasi dunia selanjutnya.

(Thanks to Nathan, Animator from Leeds Town, English.)

Andrei Budiman

Ratatouille



Semua orang bisa memasak; begitu keyakinan Gusteau, seorang chef ternama. Sedangkan Remy hanyalah hewan pengerat yang biasa mengais makanan sisa di sekitar warung makan Gusteau bersama sanak maupun saudara sesamanya. Remy cukup beruntung dibekali penciuman yang tajam terhadap makanan ataupun racun yang disisipkan ke dalam umpan; sehingga ia selalu berada di garis paling depan. Ia selalu menyukai remah masakan Gusteau di dalam tong sampah. Begitu rela ia bersama sesamanya bermigrasi ke kota dari sarangnya di pinggiran kota hanya untuk memuaskan perutnya. Sampai suatu hari akhirnya Gusteau meninggal dunia; mewariskan warung makan yang perlahan ditinggalkan oleh para pembelinya.

Remy masih menjalani rutinitasnya: mengitari warung itu dan mencari makanan sisa; namun Remy ketakutan sewaktu arwah Gusteau tiba-tiba muncul di hadapannya. Ia kemudian berlari ke arah dapur. Tanpa terlihat oleh para pegawai ia terus melabrak apa yang ada di sekitarnya. Secara tidak sengaja ia menumpahi semangkuk sup. Rasa bersalahnya tadi ia gantikan dengan membuat semangkuk yang baru. Seperti kesurupan, ia meracik acak semua bumbu ke dalam masakan baru itu. Hal ini disaksikan Linguini, seorang junior-chef di situ. Remy kemudian tertangkap. Skinner, sang kepala chef memerintahkan pada Linguini untuk segera membuangnya ke sungai. Rasa kasihan pada Remy membatalkan rencananya tadi. Remy dan Linguini akhirnya bersahabat. Remy ikut membantu Linguini memasak. Ia menjadi chef baru di situ, tanpa seorangpun tahu. Remy bersembunyi di dalam topi (toque blanche) Linguini; sembari memerintahkan apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak dengan cara menarik rambut Linguini.

Ratatouille menampilkan sosok hewan pengerat sebagai tokoh protagonisnya; walaupun hal ini bukan hal yang baru dalam film animasi; namun personifikasi tersebut semakin menarik sewaktu hewan-tokoh juga berinteraksi dengan manusia-tokoh dengan posisi yang setara. Remy bersahabat akhirnya dengan Linguini yang tidak lain pewaris yang sah atas warung itu. Remy mengatur strategi untuk menghadapi keculasan Skinner. Selain Linguini ternyata nama Remy juga tercantum di surat wasiat. Tanpa sengaja ia membaca surat almarhum Gusteau itu tergeletak begitu saja di atas meja.

Sebagai hewan-tokoh, Remy berpikir juga berbicara laiknya seorang manusia. Hewan-tokoh dilekatkan kemudian sifat-sifat alami manusia (antropomorfisasi). Film animasi memang diberkahi keleluasaan untuk itu: menciptakan tokoh-tokoh rekaan yang non-manusia lewat eksistensi hewan, tumbuhan atau kekuatan alam lainnya. Tanpa melalui proses casting misalnya, tokoh-apapun bisa saja muncul untuk mengisi struktur-plot yang renggang. Antropomorfisasi lalu menyaran keterlibatan tokoh-apapun untuk menyampaikan pesan melalui orang ketiga tunggal maupun jamak (dia).

Posisi hewan pengerat secara dekonstruktif kita bisa memilahnya menjadi dua: hewan-tokoh-antagonis dan hewan-tokoh-protagonis; yang selama ini dianggap lain pencuri (remah) makanan di malam buta; yang kini seorang peracik bumbu andal. Juga ia selama ini menghuni gorong-gorong kotor dan ia sekarang membantu pekerjaan chef di dapur; tempat yang mestinya bersih dari kotoran yang dapat meracuni masakan.

Transformasi yang lain dapat kita temukan pula pada karakter manusia-tokoh. Skinner sebagai tokoh antagonis pertama sekaligus atasan Remy mengisi level pertama dalam plot cerita. Sedangkan posisi Ego sebagai tokoh antagonis kedua dan kritikus kuliner melengkapi kelanjutan cerita. Keduanya memiliki ambisi yang berbeda. Sepeninggal Gusteau, Skinner ingin menguasai warung makan tersebut; namun begitu ia mengetahui Remy merupakan anak tunggal Gusteau, Skinner ingin menyingkirkan Remy. Sedangkan Ego hanya berharap dapat mendominasi jagad gastronomi sepungkas Gusteau wafat.

Sekali lagi sinema berhutang budi pada sastra dengan meminjam model didaktik sastra yang paling tua: fabel. Lewat penceritaan dan pencitraan orang ketiga tunggal, pesan barangkali muncul sebagai residu cerita; namun evolusi hewan-tokoh dan manusia-tokoh semakin menarik jadinya. Keduanya tidak bisa dipertentangkan; namun keduanya justru menjalin relasi satu sama lainnya. Sebagai salah satu hewan pengerat, seekor tikus menduduki posisi hewan yang dibenci sekaligus yang dicintai. Ambivalensi semacam ini memang menuduhkan sesuatu yang terus menerus bersifat hablur jika kita kembali pada konsep dan definisi. Evolusi Skinner sebagai tokoh-kritik dan Ego sebagai tokoh-estetik juga merupakan suatu yang baru. Skinner tetap bertahan dengan ambisinya semula; namun Ego terkesiap oleh masakan yang mengingatkannya pada suatu masa yang intim. Ia cuma tumisan tomat, bawang merah, dan bawang putih: Ratatouille.

F. Taftazani