Senin, 21 September 2009

Julia Roberts

Biografi dan film-filmnya

Julia Fiona Roberts lahir pada 28 Oktober 1967 di Atlanta, Georgia. Orangtua Roberts, Betty Lou dan Walter Grady Roberts. Ayahnya adalah seorang aktor dan pemain teater, ketika Roberts masih dalam kandungan, bersama istrinya ia membuka sekolah teater untuk anak-anak di Decatur, Georgia. Ketika orang tuanya bercerai, keluarganya lalu pindah ke Smyrna, Georgia. Setelah lulus dari Smyrna's Campbell High School, Roberts bergabung bersama kedua kakaknya Lisa Roberts Gillan dan Eric Roberts ke New York untuk memulai karirnya di dunia akting. Di tahun 1987, Roberts mendapat peran kecil di film Blood Red yang juga dibintangi oleh kakaknya dimana ia hanya berbicara hanya dua kata. Sebelumnya Roberts juga sempat mendapatkan peran dalam film Fire House. Penampilan pertamanya di televisi adalah di serial Crime Story di tahun 1987.

Roberts mendapatkan pujian saat membintangi sebuah film independen yang berjudul Mistyc Pizza di tahun 1988. Di tahun yang sama ia juga mendapatkan peran di musim akhir seri televisi populer, Miami Vice. Roberts lalu mendapat peran pembantu dalam film drama komedi, Steel Magnolias (1989) sebagai pengantin muda yang terserang diabetes. Di film ini ia bersama aktor-aktris senior, seperti Shirley Maclaine, Olympia Dukakis, Tom Skrerritt dan Sam Shepard. Untuk aktingnya yang menawan dalam film ini, Roberts untuk pertama kali mendapatkan nominasi Oscar untuk peran pembantu terbaik. Pencapaiannya dalam film ini merupakan awal dari sukses karir aktingnya setelah ini.

Roberts meraih status aktris superstar setelah pada tahun 1990, dia bermain dalam film komedi romantis sukses, Pretty Woman garapan Garry Marshall dengan lawan main Richard Gere. Dalam kastingnya, Roberts mengalahkan Molly Ringwald, Meg Ryan dan Daryl Hannah yang juga menjadi kandidat. Roberts sukses memerankan seorang wanita penghibur yang genit dan mendapatkan pria kaya yang tampan. Aktingnya dengan wajah lugu dan genit berhasil membuatnya mendapatkan nominasi Oscar untuk kedua kalinya, kali ini untuk pemain utama wanita terbaik. Film yang hanya berbuget $ 14 juta ini meraih $ 463 juta yang merupakan film komedi romantis paling sukses hingga kini. Kesuksesan ini tidak lepas dari kemahiran akting Roberts yang sukses memerankan perempuan pinggiran namun sangat memukau. Kecocokan pasangan Richard Gere dan Julia Roberts masih menjadi salah satu pasangan terbaik bagi para pecinta film.

Setelah ini tawaran demi tawaran akting mulai berdatangan untuk bermain di film-film besar. Robert memilih berperan dalam film drama thriller, Sleeping with The Enemy dan film ini menjadi film keduanya yang sukses komersil. Film yang diangkat dari sebuah novel dengan judul yang sama karangan Nancy Price ini hanya berbuget $19 juta namun berhasil meraup $174,999,005. Selanjutnya Roberts bermain dalam film fantasi sukses garapan Steven Spielberg yaitu, Hook (1991) sebagai Tinkerbell dan juga film drama romantis, Dying Young (1991) dimana ia berperan sebagai perawat yang jatuh cinta pada pasiennya. Selama dua tahun Roberts vakum, tercatat ia hanya menjadi cameo dalam film The Player (1992) yang disutradarai oleh sineas kawakan, Robert Altman. Pada 1993, aktris cantik berbibir seksi ini menjadi cover story People Magazine dengan headline �What Happened to Julia Roberts?�.

Roberts bermain kembali dalam film thriller, The Pelican Brief arahan Alan J. Pakula yang diangkat dari novel sukses karangan John Grisham bersama aktor Denzel Washington. Roberts juga bermain menjadi lawan main Liam Neeson dalam film drama biografi, Michael Collins (1996). Tak ketinggalan juga, Roberts ikut serta dalam serial yang sedang sangat digemari pada tahun 1995, Friends, dalam episode, The One After the Superbowl. Roberts mendapatkan sukses kritik dalam film drama Mary Reilly (1996) sekalipun filmnya gagal di pasaran namun tak lama ia menjawabnya melalui film komedi romantis, My Best friend Wedding (1997) yang sukses luar biasa meraih hampir $300 juta di seluruh dunia. Di film ini untuk pertama kalinya Roberts dibayar lebih dari $10 juta dan menjadi salah satu aktris Hollywood termahal. Bersama Mel Gibson ia juga bermain dalam film thriller, Conspiracy Theory yang digarap Richard Donner.

Roberts bermain dalam film komedi romantis Notting Hill (1999) bersama Hugh Grant. Lagi-lagi Roberts sekalipun dibayar tinggi namun setimpal dan layak dianggap sebagai pembawa keberuntungan bagi film-film bergenre komedi romantis. Hanya dengan bujet produksi sebesar $42 juta film garapan Roger Michell ini meraih pendapatan lebih dari $360 juta. Untuk akting manisnya, Robert juga dinominasikan sebagai aktris terbaik dalam ajang Golden Globe. Dalam tahun yang sama dia juga berperan kembali dalam film komedi romantis, Runaway Bride, bereuni kembali bersama aktor Richard Gere. Film ini kembali sukses besar meraih lebih dari $300 juta di seluruh dunia. Roberts juga menjadi bintang tamu dalam serial televisi Law & Order, episode Empire bersama Benjamin Bratt yang kala itu menjadi kekasihnya. Pada 1999, dia berperan dalam film drama yang mendapatkan banyak kritik bersama Susan Sarandon, Stepmom.

Roberts mencapai masa puncak karirnya setelah ia membintangi film drama biografi, Erin Brockovich (2000) yang diambil dari kisah nyata. Film arahan Stephen Soderberg ini berkisah tentang seorang ibu tunggal yang memiliki tiga orang anak sekaligus wanita karir. Roberts berperan sebagai Erin Brockovich yang bekerja pada sebuah firma hukum kecil yang menuntut sebuah perusahaan raksasa akibat masalah pencemaran limbah. Untuk perannya yang sangat meyakinkan dalam film ini, Roberts akhirnya meraih Oscar untuk peran wanita utama terbaik. Film ini sendiri meraih beberapa nominasi Oscar, termasuk film dan sutradara terbaik. Beberapa penghargaan lain juga didapatkan Roberts dari beberapa ajang bergengsi lainnya, seperti Golden Globe dan BAFTA. Selain sukses kritik film ini juga sukses komersil meraih lebih dari $250 juta dari bujet produksi hanya sekitar $50 juta.

Setelah ini tercatat Roberts berkolaborasi bersama Steven Soderbergh dalam tiga film berikutnya, yakni Ocean's Eleven (2001), Full Frontal (2002), dan Ocean's Twelve (2004). Dalam dua seri Ocean ia bermain bersama bintang-bintang top seperti George Clooney, Brad Pitt, dan Matt Damon. Pada tahun 2001 selain membintangi Oceans�s Eleven, Roberts juga membintangi The Mexican, sebuah film gangster komedi juga bersama Brad Pitt serta film komedi romantis America�s Sweetheart bermain bersama bintang-bintang top macam John Cussak, Catherine Zeta-Jones, dan Billy Crystal. Pada tahun 2003, Roberts bermain dalam film drama Monalisa Smile besutan sutradara Mike Newell.

Dalam film Closer (2004) garapan Mike Nichols, Roberts beradu akting dengan bintang-bintang top yakni, Clive Owen, Jude Law, serta Natalie Portman. Film ini sendiri sukses kritik dan komersial sekalipun dalam film ini ia kalah pamor dari akting Portman dan Owen. Setelah absen sebentar beberapa waktu, Roberts melanjutkan karirnya melalui dua film animasi yang dirilis di tahun 2006 yakni, The Ant Bully dan Charlotte�s Web dimana Roberts untuk pertama kalinya mengisi susara untuk film animasi panjang. Di tahun 2007, Roberts bermain kembali dalam film yang diarahkan Mike Nichols, yakni Charlie Wilson�s War, yang dibintangi juga oleh Tom Hanks dan Philip Seymour Hoffman. Sekalipun filmnya tidak terlalu sukses namun film ini banyak dipuji para pengamat. Akting Roberts yang menawan juga membuahkannya nominasi Golden Globe untuk kesekian kalinya.

Robert beradu akting kembali dengan Clive Owen dalam film komedi-thriller Duplicity garapan Tony Gilroy, yang membuatnya kembali mendapatkan nominasi Golden Globe untuk ketujuh kalinya. Film Roberts berikutnya adalah Valentine�s Day, sebuah film komedi romantis yang bertabur bintang. Giliran si tampan Bradley Cooper yang beradu akting dengannya. Film yang mengunggulkan bintang-bintang kenamaan ini cukup laris dengan rilis waktu yang bertepatan dengan hari Valentine. Tecatat dalam film yang baru saja rilis, Roberts berperan sebagai Elizabeth Gilbert dalam film drama, Eat Pray Love (2010) yang salah satu setting-nya berlokasi di Pulau Bali. Film ini diangkat dari novel yang mengisahkan perjalanan pengarang, Elizabeth Gilbert yang untuk menenangkan hatinya dari luka perceraian dengan berkunjung ke beberapa tempat dan berakhir di Bali ketika ia bertemu dengan guru spiritualnya. Disini Roberts beradu akting dengan aktor kawakan latin, Javier Bardem.

Roberts dalam Film-filmnya

Sejak tahun 1987, Roberts telah bermain dalam puluhan film baik layar lebar maupun televisi serta broadway. Bakat aktingnya juga didukung dengan kemampuan akting dua kakaknya Eric Roberts dan Lisa Roberts Gillan yang mendahuluinya memasuki dunia akting. Senyumnya yang khas membuat sosok Roberts memiliki daya pikat yang sempurna, tidak hanya cantik namun Roberts sukses berakting dengan sempurna dalam setiap perannya. Akting yang menjadi pilihan utamanya dan ia selalu menolak bermain adegan ranjang atau tampil polos dalam filmnya. � I wouldn't do nudity in films. To act with my clothes on is a performance. To act with my clothes off is a documentary.�

Roberts bisa dikatakan sebagai spesialis film komedi romantis dan drama. Sebagian besar film-film yang dibintanginya adalah bergenre dua macam ini. Film-filmnya yang bergenre komedi roman ini tidak hanya sukses komersil luar biasa namun juga banyak dipuji pengamat, seperti Pretty Woman, My Best Friend Wedding, Runaway Bride, Notting Hill, serta America�s Sweetheart. Sementara film-filmnya yang bergenre drama yang populer sebut saja macam, Steel Magnolia�s, Dying Young, Michael Collins, Erin Brockovich, Monalisa Smile, Closer, hingga yang terbaru Eat, Pray, Love. Tidak hanya dalam film bergenre drama saja, Roberts juga pernah menjajal kemampuannya dalam film-film aksi serta thriller seperti The Pelican Brief, Conspiracy Theory, Ocean�s Eleven, Ocean�s Twelve, hingga Duplicity.

Wajahnya yang cantik dan anggun jelas sangat mempengaruhi peran Roberts dalam film-filmnya. Roberts nyaris bermain tipikal (sama) dalam hampir semua filmnya sebagai sosok yang cuek, feminin, anggun, serta mandiri. Kemampuannya untuk berargumen atau berdebat dalam adegan dialog dengan sosok karakternya yang biasanya keras kepala merupakan salah satu ciri Roberts. Ini mengapa Roberts sangat cocok jika berperan dalam film bergenre drama dan komedi romantis. Rasanya aneh jika kita melihat Roberts bermain dalam film-film yang bergenre aksi atau horor yang lebih mengandalkan fisik ketimbang dialog (kemampuan berakting).

Sepanjang karirnya Roberts tercatat empat kali diarahkan oleh sineas Steven Soderbergh, tiga dari film tersebut sangat sukses komersil, yakni Erin Brockovich, Oceans�s Eleven dan Ocean�s Twelve. Tercatat ia juga dua kali diarahkan oleh Garry Marshall, yakni Pretty Woman dan Runaway Bride, serta Mike Nichols, yakni Closer dan Charlie Wilson�s War. Roberts juga tercatat pernah diarahkan oleh sineas-sineas top Hollywood, seperti Steven Spielberg, Mike Newell, Alan J. Pakula, Richard Donner, hingga Gore Verbinsky.

Roberts juga tercatat pernah bermain bersama aktor dan aktris besar lainnya. Tercatat aktor-aktor kenamaan yang pernah bermain dengannya, adalah Tom Hanks, Mel Gibson, Richard Gere, George Clooney, Brad Pitt, Clive Owen, Denzel Washington, Liam Nesson, John Cussak, serta Hugh Grant. Tercatat tiga kali ia bermain bersama Clooney dan Pitt, dua kali bersama Richard Gere dan Clive Owen. Sementara aktris-aktris kenamaan yang pernah bermain bersama Roberts antara lain, Cameron Diaz, Susan Sarandon, Chaterine Zeta Jones, Nathalie Portman, hingga Kristen Dunst.

Roberts kini tercatat sebagai salah satu aktris dengan bayaran termahal di dunia. Roberts juga tercatat sebagai aktris Hollywood termahal pertama yang mendapat bayaran $20 juta untuk bermain dalam Erin Brockovivh. Konon Roberts dibayar $25 juta untuk perannya dalam Monalisa Smile. Tercatat separuh dari film-film yang dibintanginya ia dibayar lebih dari $10 juta, sejak membintangi My Best Friend Wedding (1997). Dua kali ia dibayar dibawah standartnya dan hanya bermain sebagai pemeran pembantu dalam film Confession of a Dangerous Minds ($250 ribu) serta Valentine Days ($3 juta + 3% dari total pendapatan kotor). Dalam filmnya yang paling sukses, yakni Pretty Woman (1990) tercatat ia hanya mendapat bayaran $300 ribu.

Julia Roberts adalah artis yang tidak suka berbicara tentang politik dan agama. �Saya menyadari apa yang dikatakan ibu saya sekitar 22 tahun lalu. Kamu seorang aktris. Jangan pernah bicara soal politik atau agama.� jawabnya ketika ditanya tentang keyakinan yang dianutnya. Julia diketahui mempraktikkan kepercayaan Hindu meski ia dibesarkan dalam keluarga Katolik. Ini ada kaitannya dengan film yang baru saja dibintanginya itu di mana ibu dua anak ini belajar meditasi dan agama Hindu saat syuting di Bali, beberapa waktu lalu. Meski demikian dalam wawancaranya dengan Majalah Elle, ia mengaku menjalankan kepercayaan Hindu.

Julia Roberts tidak hanya berstatus sebagai salah satu aktris termahal dan populer di dunia namun juga salah satu aktris paling berbakat yang pernah ada. � I'm just a girl from a little town in Georgia who had this giant, absurd dream.� Ujarnya berbicara mengenai suksesnya kini. Julia Roberts dapat kita jadikan contoh dengan kesabaran, usaha keras, serta tentu keberuntungan, mimpi yang tinggi dan tak pernah kita bayangkan sekalipun bisa dicapai.

Debby Dwi Elsha

Pretty Woman

Kisah Cinderella dalam Kemasan Masa Kini

Tahun Rilis:  1990
Distributor : Touchtone Pictures
Sutradara : Garry Marshall
Produser : Laura Ziskin
Penulis Naskah : J.F. Lawton
Pemain : Richard Gere / Julia Roberts
Ilustrasi Musik : James Newton Howard
Sinematografi : Charles Minsky
Editing : Raja Gosnell / Pricillia Nedd
Bujet : $14 Juta
Durasi : 119 menit

Film berkisah tentang seorang Miliader bernama Edward Lewis (Gere) bertemu dengan seorang wanita pekerja seks bernama Vivian Ward (Roberts). Edward lalu mengajak Vivian ke hotel tempatnya menginap dan �membooking�nya selama beberapa hari. Waktu berjalan dan jalinan cinta antara Edward dan Vivian mulai terjalin. Tidak ada yang istimewa dari plot film Pretty Woman, formula yang dipakai dalam film inipun sangat sederhana dan mudah untuk ditebak. Namun tentunya ada sebab yang membuat film drama romantis populer ini sangat laku dipasaran.. Minimnya film bertema sejenis pada masa rilisnya bisa jadi merupakan faktor utama kesuksesan film ini.

Cerita berjalan dengan tempo sedang, lambat namun pasti kita mampu melihat sebuah proses yang indah dari tumbuhnya cinta antara mereka berdua. Plot yang sekilas tampak seperti sebuah cerita dongeng mampu dikemas manis dan romantis. Meskipun tidak ada yang istimewa dari keseluruhan cerita filmnya, namun beberapa adegan seperti ketika Vivian harus dihadapkan pada gaya hidup kelas atas yang serba dadakan mampu menarik perhatian penonton. Juga tentunya Chemistry antara Richard Gere dan Julia Roberts sendiri adalah nilai plus dalam filmnya. Berperan sebagai seorang PSK, Julia Roberts mampu menampilkan sebuah karakter yang cuek, mandiri, bahkan terkesan urakan dengan sangat baik. Gaya bicara, serta tingkah laku yang semaunya sendiri, dalam film ini mampu membuat penontonya gemas dengan tokoh ini.. Perlu dicatat pula adalah penggunaan soundtrack yang sangat tepat. Lagu � lagu seperti Oh Pretty Woman ( Roy Orbison ), serta It Must Have Been Love ( Roxette ), mengalun manis mengiringi tiap adegannya.

Pretty Woman menunjukan pada kita bahwa cinta bisa tumbuh dalam momen apapun serta pada siapapun, tidak mengenal status sosial, dan bisa pula dengan cara yang spesial layaknya dongeng. Di film ini kita melihat bahwa uang dan kekuasaan yang menjadi prioritas bagi Vivian dan Edward menjadi tidak penting lagi karena tertutup oleh perasaan cinta. Bukan uang maupun karir yang mereka butuhkan tetapi cinta. Sosok Edward yang semula dingin, dan semata-mata mengejar karir mampu berubah menjadi pribadi yang mampu bersimpati dengan orang lain. Begitu juga pula Vivian, yang urakan, cuek, dan bertindak semaunya, berubah menjadi sosok gadis anggun dan terpelajar. Cinta yang tulus antara keduanya, mampu merubah mereka menjadi pribadi yang lebih baik.

Vivian : Tell me one person who it�s worked out for. Kit: What, you want me to name someone? You want like a name? Oh God, the pressure of a name... I got it. Cindaf****n�rella. Ya, hanya mereka yang jatuh cintalah yang mampu merasakan menjadi Cinderella.

Febrian Andhika

Erin Brockovich

Kombinasi Sempurna �Independen dan Komersil�

Tahun Rilis: 2000
Distributor: Universal Pictures / Columbia Pictures
Sutradara: Steven Soderbergh
Produser: Danny DeVito / Stacey Sher / Michael Shamberg / Gail Lyon / John Hardy
Penulis Naskah: Susannah Grant
Pemain: Julia Roberts / Albert Finney / Aaron Eckhart
Ilustrasi Musik: Thomas Newman
Sinematografi: Ed Lachman
Editing: Anne V. Coates
Bujet: $51 juta
Durasi: 130 menit

Erin Brockovich (Roberts) adalah seorang ibu yang harus menghidupi tiga orang anaknya sendiri. Ia mencari pekerjaan apapun untuk bisa menghidupi keluarga serta membayar hutang-hutangnya. Suatu ketika Erin mengalami kecelakaan mobil dan menuntut si penabrak dengan meminta bantuan pengacara, Edward Masry (Finney). Erin lalu kalah di persidangan dan sebagai kompensasi ia meminta Masry untuk mempekerjakannya di kantor pengacaranya. Dengan terpaksa Masry menyetujui. Suatu ketika Erin melihat keganjilan dalam sebuah laporan kasus tentang perusahaan PG & E yang dilampiri catatan medik penduduk di kawasan sekitarnya. Usut punya usut ternyata perusahaan tersebut diduga bertanggung jawab terhadap gangguan kesehatan yang diderita penduduk melalui limbah yang mencemari air tanah.

Seperti film drama biografi kebanyakan, Erin Brockovich menyajikan perjuangan seorang wanita biasa yang melakukan hal yang sangat luar biasa. Soderbergh mampu secara berimbang menggambarkan perjuangan Erin melawan ketidakadilan serta kehidupan pribadi keluarganya tanpa ada sesuatu yang dilebih-lebihkan. Konflik yang dihadapi Erin ternyata tidak hanya dalam pekerjaannya namun juga keluarganya sendiri. Kita diperlihatkan sisi manusiawi dari sang ibu yang harus bersusah payah merawat tiga orang anaknya yang masih relatif kecil. Ketika sang ibu sibuk dengan pekerjaannya, sang pacar yang menggantikan perannya merasa terabaikan hingga ia meninggalkan Erin.Walau ending-nya tidak sulit kita tebak namun tetap saja penonton terharu melalui adegan klimaksnya yang dramatik.

Kekuatan utama film ini jelas ada pada akting Julia Roberts. Roberts bermain menawan sebagai Erin Brockovich, sebagai seorang ibu tiga orang anak sekaligus wanita karir yang tampil selalu dengan busana menggoda kaum hawa. Bisa jadi Roberts tidak kesulitan memerankan karakter ini karena sebelumnya ia banyak bermain sebagai sosok karakter bertipikal sama, yakni keras serta mandiri. Entah perannya ini didramatisir atau tidak jika dibandingkan sosok Erin aslinya namun ganjaran Oscar untuk peran utama wanita terbaik menjawab semuanya. Satu pemain lain yang mampu bermain mengesankan memberikan chemistry yang unik dengan sosok Erin adalah Albert Finney berperan sebagai Ed Masry yang juga dinominasikan Oscar.

Di luar pencapaian kedua pemain diatas yang luar biasa peran Soderberg dalam film ini juga tidak dapat dikesampingkan. Soderbergh seperti lazimnya film-film karyanya kali ini secara efektif mampu mengkombinasikan antara gaya film independen dengan film komersil. Gaya kamera handeld serta teknik editing yang efektif mampu memberikan sentuhan nyata pada film ini. Sayang film ini dalam ajang Academy Awards hanya meraih nominasi film terbaik, ia kalah oleh dirinya sendiri dalam film karyanya juga yakni, Traffic.

Himawan Pratista

Eat, Pray, Love,

Perjalanan Mencari �Cinta�

Tahun Rilis: 2010
Distributor: Columbia Pictures
Sutradara: Ryan Murphy
Produser: Brad Pitt / Dede Gardner / Jeremy Kleiner / Julia Roberts / John Hardy
Penulis Naskah: Ryan Murphy / Jennifer Salt
Pemain: Julia Roberts / Javier Bardem / Billy Crudup / James Franco / Viola Davis
Ilustrasi Musik: Dario Marianelli
Sinematografi: Robert Richardson
Editing: Bradley Buecker
Bujet: $60 juta
Durasi: 134 menit

Film ini merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Elizabeth Gilbert yang konon terinspirasi dari kisah perjalanan hidupnya sendiri. Alkisah Gilbert (Roberts) adalah seorang wanita karir yang gagal dalam perkawinannya dengan Steven (Crudup). Ia merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Gilbert lalu menjalin hubungan dengan seorang pemain teater, David, namun hubungan mereka pun tak lama. Gilbert akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke Italia, India, dan Indonesia untuk mencari jati dirinya yang hilang.

Plot seperti ini jelas sudah banyak kita lihat dalam film-film drama perjalanan sejenis. Lazimnya sang tokoh belajar atau diberi pelajaran dari pengalaman-pengalaman yang ditemuinya selama perjalanan sehingga ia akhirnya menemukan apa yang ia cari. Into the Wild garapan Sean Pean merupakan salah satu contoh sempurna film drama jenis ini melalui kedalaman temanya. Sementara dalam film ini sang tokoh berkesan �lari� dari kenyataan untuk mencari �kedamaian jiwa� atau lebih tepatnya mencari kenikmatan duniawi yang belum terpuaskan. Sang tokoh melakukan segala upaya dari makan makanan enak, meditasi, hingga seks untuk mencari �kedamaian jiwa�nya. Sama sekali tidak diperlihatkan bagaimana perjalanannya ke India misalnya, mampu merefleksikan kedamaiannya jiwanya. Endingnya pun nyaris sama solusinya dengan film drama roman kebanyakan. Singkat kata, cerita filmnya terlalu dangkal.

Terlepas dari kisahnya yang dangkal, Roberts telah bermain maksimal. Perannya kali ini sepertinya tidak menguras kemampuan aktingnya sama sekali. Bardem, Crudup, serta Franco pun tampil baik namun tak ada yang istimewa. Bardem sendiri tampil nyaris mirip dengan perannya dalam film roman, Vicky Christina Barcelona. Justu akting aktor kita, Hadi Subiyanto sebagai Ketut Liyer mampu tampil mencuri perhatian. Sementara aktris kawakan kita, Christine Hakim tidak banyak mendapat porsi peran yang cukup untuk menunjukkan kemampuan aktingnya. Ada rasa bangga juga akhirnya bisa melihat aktris kita bisa bermain satu adegan bersama aktor top sekelas Julia Roberts.

Satu hal yang menarik dalam film ini adalah kita seperti benar-benar dibawa traveling ke Italia, India, serta Bali. Sekuen di Italia mungkin adalah yang terbaik dengan mampu memperlihatkan eksotisme kota-kota di Italia, dari arsitektur, makanan, keramahan warga kota, hingga gaya bicara. Sekuen di Bali, sekalipun porsinya cukup banyak namun kurang menunjukkan eksotisme Pulau Dewata yang sebenarnya. Sayang sekali, tampak sineas menghindari penggunaan lokasi-lokasi yang menjadi tempat wisata utama di Bali, tentunya ini untuk kemudahan produksinya. Terlepas dari ini semua secara umum Eat, Pray, Love adalah film drama biasa yang hanya menampilkan eksotisme kota-kota yang disinggahinya. Jika Anda ingin mendapatkan sesuatu yang lebih, film ini sama sekali tidak menawarkan sesuatu yang baru.

Himawan Pratista

Sang Pencerah

Film Terbaik Hanung?

Produksi:MVP Picture
Sutradara: Hanung Bramantyo
Produser: Raam Punjabi
Penulis: Hanung Bramantyo
Pemain: Lukman Sardi / Slamet Raharjo / Zaskia A Mecca / Ihsan Idol / Ikranegara / Sujiwo Tejo
Ilustrasi Musik: Tya Subiyakto Satrio
Sinematografi: Faozan Rizal
Editing: Wawan I.Wibowo

Plot filmnya dimulai dari lahirnya Muhammad Darwis yang kelak lebih kita kenal sebagai Ahmad Dahlan (Lukman Sardi). Darwis lahir dan dibesarkan di Kauman, Yogjakarta pada masa kejayaan Kasultanan Hamengkubuwono ke VII. Kauman pada masa tersebut adalah pusat peribadatan kaum muslim di Jogja. Masyarakat setempat pada kala itu masih kental dengan nuansa kejawen yang percaya dengan roh, sesajen, dan hal-hal mistik lainnya. Pada masa remaja ia memperdalam agama di Arab Saudi. Setelah lima tahun ia kembali ke kampung halamannya dan mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan. Ia lalu diangkat menjadi khotib di Mesjid Besar Kauman dan berkhotbah di depan raja, kyai, dan para santri. Dahlan juga mulai menyampaikan pandangan serta ajaran-ajaran Islam modern. Namun ajarannya tersebut dianggap kontroversial oleh para para kyai sepuh karena menentang tradisi yang berlaku kala itu. Walaupun ditentang Dahlan tetap pada pendiriannya. Lambat laun Ia mulai disingkirkan dari lingkungan mesjid besar.

Seperti film-film biografi kebanyakan, Sang Pencerah juga mengisahkan kisah hidup sang tokoh besar dalam periode waktu tertentu. Tokoh Ahmad Dahlan dikisahkan sejak ia remaja hingga ia dewasa, khususnya setelah ia mendirikan organisasi Muhammadiyah. Pada sekuen awal disajikan begitu apik melalui serangkaian gambar-gambar (montage sequence) yang menampilkan saat sang tokoh lahir hingga ia masa remaja. Inti cerita utamanya bermula ketika sang tokoh pulang menunaikan ibadah haji.

Inti ceritanya terfokus pada bagaimana Ahmad Dahlan berusaha mengubah pandangan masyarakat setempat yang konvensional menjadi modern. Konflik yang terjadi sepanjang film memperlihatkan pertentangan dua kubu yang saling berbeda pendapat yaitu antara kubu Dahlan dan kubu Kyai-kyai sepuh Mesjid Besar. Namun sayangnya, konflik antara dua kubu itu kurang digali secara mendalam. Masing-masing kubu mampu mempertahankan opininya. Contohnya pada adegan rapat besar ketika Dahlan menyampaikan usulan arah kiblat. Tidak ada yang mempertegas opini Dahlan sebagai tokoh kunci di film ini, karenanya kita menjadi kurang bersimpati pada sang tokoh. Bisa jadi mungkin memang faktanya seperti itu tapi siapa yang benar dan yang salah menjadi kurang tegas.

Salah satu kelemahan filmnya adalah konfilk yang lalu lalang begitu saja disajikan tanpa ada kesimpulan dan solusi yang jelas. Konflik hanya sekedar menjadi sensasi saja tanpa ada kelanjutan. Pihak kyai sepuh tidak secara konsisten menolak ajaran Dahlan. Contohnya ketika Dahlan membangun langgarnya kembali dan ajarannya semakin tersebar, pihak kyai sepuh hanya membiarkan saja tanpa ada tindak lanjut. Konflik selama bertahun-tahun ini terjadi tanpa ada pengembangannya menjadikan sepanjang film terkesan datar.

Dari sisi setting tampak dari sepanjang filmnya banyak memakai setting buatan. Setting interiornya cukup meyakinkan seperti interior mesjid besar dan langgar kidul. Sedangkan setting eksteriornya banyak diambil secara shot on location, seperti stasiun tugu,alun-alun,dll. Tetapi setting tugu jogja serta perspektif mata burung mesjid besar dan sekitarnya walaupun sudah dibuat semirip mungkin masih tampak artifisial. Dari sisi akting, Lukman sardi yang memerankan Ahmad Dahlan kurang begitu memukau dan masih tampak terlalu muda (di akhir-akhir film). Karakter Ahmad Dahlan sebagai tokoh kunci di sini tampak kurang memiliki wibawa dan kharisma sebagai seorang pemimpin besar. Sulit memang mencari informasi dan data tentang sang tokoh karena waktu yang terpaut sangat lama.

Sepertinya sineas kali ini cukup berani membuat film biografi sejarah yang membutuhkan banyak riset yang mendalam. Sineas sepertinya kurang bisa menyajikan fakta sejarah yang ada. Ini terbukti dengan cerita yang disampaikan tanggung dengan kombinasi unsur fiksi (rekaan) yang datar tanpa ada unsur dramatik yang cukup. Intinya sineas masih tampak hati-hati sepertinya agar tidak memicu kontroversi. Dari sisi sineas sendiri, secara teknis film ini jauh lebih baik dari film-film garapan lainnya seperti Ayat-Ayat Cinta, Get Maried, serta Menebus Impian. Filmnya sendiri secara umum telah mampu menggambarkan ajaran-ajaran Ahmad Dahlan yang mengutamakan Islam modern. Harapannya tokoh ini mampu menginspirasi pula generasi muda masa kini untuk bisa memaknai ajaran Islam sesuai konteks jamannya. Dari sisi perkembangan sinema Indonesia, film ini sudah satu hal yang positif serta merupakan lompatan baru. Walau dengan segala kekurangannya, tema film ini yang mendidik adalah solusi yang tepat untuk generasi muda kini.

Agustinus Dwi Nugroho

In Liz Gilbert Shoes

Ketika menyaksikan premiere film Eat, Pray, Love besutan Ryan Murphy, lagi-lagi saya dibawa oleh nostalgia para petualang antar negara, mungkin yang membedakan saya dengan Liz Gilbert si penulis buku Eat, Pray, Love tersebut adalah dari sisi kemasan perjalanan, saya melakukannya ala Backpacker (menggendong ransel) sedang Liz ala Turis (mengangkat koper). Namun mengamati tulisan-tulisannya dalam buku tersebut, yang sudah menembus 8 juta copy penjualan, seolah mencermati apa yang di maknai oleh seorang Liz, seorang world traveler begitu kata Ketut Liyer seorang bijak pandai di Bali menyebutnya.

Sudah sejak lama Italia dikenal dengan tradisi kuat kuliner hingga sepakbola negaranya. Adalah hal yang sayang untuk di lewatkan mengunjungi negara para gladiator tersebut jika anda berada di benua Eropa. Sudah menjadi rahasia umum jika lelaki Italia terkenal akan rayuan mautnya, Liz Gilbert sampai menggaris bawahi kebiasaan mereka yang lebih senang hidup santai, Dolce far niente atau The art of doing nothing. Pameo ini sudah cukup familiar sebenernya, saya pernah menanyakan istilah tersebut pada seorang Italian ketika di peron stasiun kereta api di St. Ettene, Perancis.

Istilah tersebut bukan berarti hidup santai, duduk di sofa sambil bermalas-malasan, namun lebih kepada bagaimana menikmati hidup yang singkat ini dengan melakukan apa yang kita inginkan, tanpa ada tekanan, penuh kebahagiaan. Entahlah darimana pula muncul istilah pria-pria sexy Eropa ada di Itali. Ah, mungkin mereka belum menyimak saja deratan wanita mempesona Itali dari Monica Vitti hingga Belucci.

Jika di Italia, Liz merasakan atmosphere menyenangkan selama interaksinya, maka setibanya di India tempat dimana tanah spritual berada, ia mulai merasakan atmosfer chaotic, India di potret tak jauh berbeda dengan film Slumdog Millionaire yang kumuh, dan bising. Namun India boleh dibilang adalah tempat yang wajib dikunjungi bagi para penggiat traveler, seperti yang di tulis dalam buku Liz, sebagai Land of spritualism.

India adalah tempat dimana Yoga dan Meditasi berakar, dikembangkan oleh maha guru Maharsi Patanjali. Yoga dan Meditasi adalah kombinasi dari serangkaian latihan dan teknik memfokuskan pikiran. Mereka dipercaya sebagai sarana untuk mencapai pencerahan. Saya sendiri belum sempat berpergian ke India, namun dalam serangkaian kisah yang saya dapatkan dari para petualang, India memang wajib dikunjungi, tempat para petualang dunia mengadukan perjalanan panjangnya. Tempat titik mereka untuk berhenti dari ribuan mil yang mereka tempuh, untuk sejenak menyatu dengan alam, dan berupaya melakukan perjalanannya ke dunia spritualis, bertemu dengan sang Maha.

Dalam rangkaian akhir perjalanan panjang Liz, akhirnya ia menemukan surganya, di Bali. The land of paradise orang menyebutnya. Tempat dimana Liz menyatu dengan alam, berkompromi dengan kisah tragis hidupnya dan keberanian menerima kembali akan kekuatan cinta yang menyembuhkan.

Bali dalam pandangan wisatawan asing, bagai sebuah potongan surga di bumi, tempat mereka lari dari kejenuhan rutinitas, tempat mereka berpesta juga menemukan keseimbangan hidupnya.

Di dalam film Eat, Pray, Love terlepas dari permasalahan sisi struktur film yang tak mampu mentransformasikan isi buku dengan baik oleh sang sutradara, kita mendapati bagaimana selama Liz melakukan perjalanannya ia berinteraksi dengan banyak orang, bagaimana orang-orang tersebut pun pada akhirnya mempengaruhi hidupnya. Hal sederhana namun merupakan bagian dari esensi perjalanan spritual sebagai manusia. Seperti kalimat luar biasa dari seorang Nabi besar Muhammad SAW. tentang besarnya makna dari sebuah perjalanan;
�Don�t tell me how educated you are, tell me how much you traveled.�

Andrei Budiman

Dogtooth

Kasihan Sekali Ya Anak-anak Ini�

Dogtooth adalah film tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi dalam sebuah keluarga. Dan untuk memetakan kemungkinan tersebut, ia memilih untuk bercerita dengan cara yang bizarre sebab yang ingin ditunjukkan adalah kemungkinan terburuk. Hampir sepanjang film hanya mengambil tempat dirumah sebuah keluarga: halaman, kolam renang, dan pagar-pagarnya yang tinggi. Ayah dan Ibu senantiasa berusaha menghindarkan ketiga anak mereka dari pengaruh buruk dunia luar, sehingga mereka tak memperbolehkan anaknya untuk keluar rumah, tak ada telepon, dan tak ada televisi karena anak-anak hanya diperbolehkan menonton rekaman video keluarga mereka sendiri. Untuk memberikan yang terbaik, bahkan sang ibu juga tak pernah keluar rumah, hanya ayah yang pergi bekerja dipagi hari dan pulang membawa oleh-oleh disore hari.

Mungkin mudah bila mengatakan bahwa Dogtooth adalah The Seventh Continent (Michael Haneke, 1989) dalam bentuk komedi. Tapi bagi saya Dogtooth sama sekali tidak lucu dalam narasi yang komedik. Saya dipaksa ketawa menyaksikan betapa orang tua ini sudah sampai pada tahap yang benar-benar menyedihkan, mereka bahkan mengajari anak mereka denngan kosakata sendiri: �Sea� artinya kursi berlengan, �Zombie� bermakna bunga matahari, �Cunt� berarti lampu, dan �Keyboard� adalah vagina. Jadi bila digunakan dalam kalimat, si anak akan berteriak �I want to sleep, please turn off the cunt!�.

Kemungkinan baru tersebut mengantarkan anak-anak ini pada konvensi moral mereka sendiri. Demi mengimbangi kebutuhan seksual putra tertua mereka, sang ayah menyewa seorang satpam wanita agar datang kerumah secara berkala untuk bersetubuh dengan si anak. Kedua adik perempuannya tak punya modal apapun untuk memprotes karena dalam keluarga ini, hal tersebut adalah hal yang sepatutnya dilakukan. Hal kedua yang membuat tertawa adalah ekspresi kedua anak perempuan yang meskipun sudah berusia belasan, masih merengek dengan gaya anak umur sepuluh tahun.

Dogtooth, yang tahun 2009 menyabet penghargaan Un Certain Regard di Festival Film Cannes kemudian membongkar tatanan ceritanya sendiri untuk menunjukkan semacam rezim fasis yang diberlakukan oleh para orang tua terhadap anak-anak mereka. Lengkap dengan propagandanya: sang ayah menyetel �Fly Me to the Moon�-nya Frank Sinatra di Phonograf lalu menjelaskan pada anak-anaknya bahwa lagu itu bercerita tentang betapa sayangnya sang nenek moyang pada cucu mereka, dan dengan demikian para cucu harus mematuhi petuah orang tua. Ketiga anak malang ini bertepuk tangan dengan takzim.

Rezim fasis yang ekstrim ini bahkan mempercobakan hubungan seks antar anak mereka sendiri. Suatu ketika si satpam perempuan tak lagi datang kerumah sehingga si Ayah harus menggunakan anak perempuan untuk bersetubuh dengan kakaknya. Si ayah juga membiasakan anak mereka menggonggong seperti anjing, menjilat lawan bicara ketika ingin meminta sesuatu, dan menjanjikan bahwa �siapapun yang giginya rontok, kanan ataupun kiri, maka ia boleh keluar rumah� (Yang jelas tak mungkin sebab anak berumur belasan tak mungkin tanggal lagi giginya). Format cerita yang gila ini dibiarkan tanpa penjelasan sebagai upaya protes atas mereka (mungkin) yang terlalu protektif terhadap anak-anak mereka. �Anakmu berasal dari kamu, tapi ia bukan milikmu�, ujar Kahlil Gibran suatu ketika. Sepertinya sang ayah dalam film Dogtooth hanya tahu tentang Frank Sinatra, ia belum pernah dengar nama Kahlil Gibran.

Makbul Mubarak
Penikmat Film

45 Tahun Gerakan 30 September: Menonton Lagi Film Itu

Masih ingat dengan malam-malam mendebarkan dan menakutkan itu? Itu lho, di saat kita semua tak punya pilihan selain menonton satu film di TV: Pengkhianatan G30S/PKI?

Selama masa Orde Baru di tahun 1980-an hingga menjelang Orde Baru runtuh, saban malam tanggal 30 September kita hanya punya satu pilihan menonton film itu. Pilihan lainnya mematikan TV, tidur lebih cepat, keluyuran keluar rumah, atau mendengarkan radio.

Filmnya tayang jam 19.30 WIB selepas Berita Nasional TVRI. Lalu berhenti sebentar dipotong Dunia Dalam Berita. Kemudian dilanjutkan lagi hingga total durasinya 4 jam 30 menit.

Sepanjang hidup di tahun 1980-an dan 1990-an saya tentu berkali-kali mengalami saat-saat film itu diputar oleh TVRI dan�setelah lahir TV swasta�di-relay semua TV swasta. Pertama saya kesal karena seri favorit di RCTI masa itu harus mengalah. Tapi, yang lebih meninggalkan trauma: di malam itu saya tak berani keluar kamar untuk ke kamar kecil buang hajat. Saya takut, waktu lewat ruang TV, mata saya melihat adegan kekerasan yang bikin ngeri di film itu.

Tidak terasa tahun 2010 menandai 45 tahun sejak peristiwa tanggal 30 September itu. Tempo hari saya menonton kembali film itu dan menuliskan catatan ini untuk mengenang peristiwa itu serta mencoba memaknainya.

Hal pertama yang menarik perhatian adalah judulnya. Di layar usai lambang PPFN (Pusat Produksi Film Negara), pembuat film itu yang juga membuat serial Si Unyil, muncul tulisan �PENGKHIANATAN GERAKAN 30 SEPTEMBER.� Ini menarik, karena selama ini kita mengenal film itu dengan judul Pengkhianatan G30S/PKI. Di poster film yang saya dapatkan dari buku katalog film keluaran 1984 juga menyebut judul filmnya Pengkhianatan G30S/PKI.

Menurut John Roosa, penulis buku Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, menyebut �G-30-S� dengan mencantumkan akhiran �/PKI� berarti menganggap PKI sebagai dalang dari gerakan itu. Teks sejarah Orde Baru jelas menyebut G-30-S didalangi PKI. Makanya, selama Orde Baru �G-30-S� tak pernah berdiri sendiri. Deret angka dan huruf itu selalu diimbuhi akhiran �/PKI�. Tapi, siapa sangka, di film yang jadi propaganda utama rezim akan peristiwa itu, pejabat Orde Baru sepertinya alpa mencantumkan �/PKI�. Baru di poster dan semua media lain film itu disebut dengan Pengkhianatan G30S/PKI. Dari buku katalog film JB Kristanto (2007), film itu semula juga berjudul SOB (Sejarah Orde Baru). Ada yang mengatakan SOB juga bisa berarti singkatan dari Staat van Oorlog en Beleg yang berarti negara dalam keadaan bahaya/darurat perang. Tulisan �SOB� tetap dicantumkan di poster film.

Yang lebih aneh lagi, saat muncul dalam bentuk VCD dan dijual bebas ke masyarakat (dengan tanggal lulus sensor tahun 2001), di sampul VCD muncul judul lain lagi: Penumpasan Pengkhianatan G30S PKI. Di dalam film tetap muncul judul asli.

Yang janggal soal judul saja. Isinya tetap sama: versi Orde Baru atas tragedi yang terjadi tahun 1965 itu. Maka, buat saya, menghilangnya �/PKI� dari judul di dalam film semata karena kealpaan mendiang Arifin C. Noer, sutradaranya. Menganggapnya sebagai pembangkangan terhadap rezim rasanya terlalu jauh. Toh Arifin sudah bersedia membuat filmnya dan mengadaptasi cerita sejarawan Orde Baru Nugroho Notosusanto menjadi skenario film.

Pengkhianatan G30S (saya memilih memakai judul di dalam film, bukan di poster atau VCD) adalah versi resmi Orde Baru dan paling dikenal luas masyarakat. Tentu karena saat rilis 1983, setiap murid sekolah diwajibkan menontonnya�yang berujung pada film terlaris nomor wahid di Jakarta pada 1984 dengan jumlah penonton 699.282. Dan sejak tahun itu filmnya diputar di TVRI setiap malam 30 September sampai 1998 saat Menteri Penerangan Yunus Yosfiah mengatakan film itu takkan diputar lagi.

Dilihat dari tahun rilis, dekade 1980-an adalah masa keemasan Orde Baru. Waktu itu praktis tak ada oposisi bagi Soeharto. Mahasiswa sudah dibungkam sejak akhir 1970-an lewat program NKK/BKK. Memang ada riak peristiwa seperti Tragedi Tanjung Priok, tapi perlawanan itu langsung bisa diredam seketika. Masyarakat juga relatif makmur di tahun 1980-an. Booming minyak bumi tahun 1970-an telah menciptakan kelas menengah baru yang apolitis. Ketimbang mengganggu stabilitas rezim dan dikenai UU Subversi yang mengerikan, masyarakat memilih bungkam, menerima saja apa yang disuguhkan rezim. Termasuk versi pemerintah atas kejadian tahun 1965 itu.

***
Pengkhianatan G30S melibatkan tokoh-tokoh kunci Orde Baru. Nugroho Notosusanto, sejawarawan militer yang jadi arsitek penulisan sejarah semasa Orde Baru bertindak sebagai penulis cerita. Artinya, cerita di film itu adalah rekaannya yang kemudian diadaptasi jadi skenario oleh Arifin C. Noer. Kemudian ada pula Brigadir Jenderal G. Dwipayana, seorang kepercayaan Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Direktur Perusahaan Film Nasional. Karena produk film tersebut sensitif, tulis Katherine E. McGreggor di buku Ketika Sejarah Berseragam, film itu diperiksa dulu oleh mereka yang terlibat, seperti Soeharto dan Jenderal Sarwo Edhie, maupun tokoh militer senior lain, sebelum diputar.

Majalah Tempo edisi 7 April 1984 menyebut, Soeharto sudah menonton filmnya pada Januari tahun itu. Komentarnya waktu itu, �� banyak yang belum diceritakan�karena itu akan dibuat satu film lagi, kelak.� (Untung niatan itu tak pernah kejadian.) Di majalah yang sama untuk adegan penyiksaan di Lubang Buaya ada yang berkomentar �kurang sadis.�

Total Arifin membutuhkan waktu dua tahun membuat film itu. Untuk sebuah hasil kerja dua tahun apa yang dibuat Arifin memang monumental. Dengan durasi 4,5 jam, bujet Rp 800 juta (yang termahal di awal 1980-an), melibatkan 120 orang memerankan tokoh nyata dan 10 ribu figuran pantas bila film ini menyebut di posternya �Film terbesar yang tak mungkin terulang lagi!�

Film ini patut diacungi jempol lantaran kaya akan detil. Setting-nya berpindah-pindah dari Istana Bogor dan ke rapat-rapat gelap PKI, lalu ke rumah para jenderal yang diculik, lalu ke Lubang Buaya. Kisah juga diselingi suasana hidup susah di tahun 1960-an seperti gambaran rakyat antri beras. Kerawanan politik masa itu digambarkan lewat guntingan koran, berita radio, dan komentar-komentar tajam masyarakat. Poster Bung Karno muncul di sana-sini, dan ulisan Manipol Usdek bertebaran di tembok dan atap rumah.

Beralih ke soal teknis penggarapan, Arifin telah melakukan tugasnya dengan baik. Ia meramu filmnya bergerak cepat dan terasa genting setiap saat. Durasi lebih dari 4 jam tidak terasa kepanjangan. Alur filmnya tak kalah dengan sebuah thriller politik menegangkan.

Apalagi bila kemudian menyoroti ilustrasi musik Pengkhianatan G30S. Kepada adiknya, Embie C. Noer, yang jadi direktur musik film itu, seperti dimuat Tempo, 7 Oktober 2007, Arifin mendeskripsikan filmnya dengan sangat singkat, �Ini film horor, Mbi.�

Embie menerjemahkan horor dengan sangat tepat. Di film ini ilustrasi musik tidak jadi tempelan, justru malah memperkuat narasi gambar. Suasana malam mencekam sudah jamak muncul di film bergenre horor. Tapi, tidak ada yang rasa mencekamnya melebihi Pengkhianatan G30S. Musiknya tidak menggedor jantung seperti film-film horor kita saat ini yang bisanya cuma bikin kaget. Melainkan seperti mengiris jantung sedikit demi sedikit. Membuat kita ingin menutup kuping dan mata karena tak kuat lagi jantung diiris-iris.

Sebagai media untuk mengerti satu versi peristiwa di bulan September 1965 itu, film ini tampil sempurna. Cuma masalahnya, ini film pesanan rezim. Ini film propaganda. Majalah Total Film Indonesia edisi Agustus 2010 mengibaratkan apa yang dilakukan Arifin persis yang dilakukan Leni Riefenstahl saat membuat film dokumenter Nazi tahun 1934, Triumph of Will. Sebagai karya sinema hasil kerja Riefenstahl fenomenal. Tapi tetap saja yang dihasilkannya bukan karya yang jujur, melainkan sebuah propaganda.

Ade Irwansyah
Redaktur Tabloid Bintang

Minggu, 20 September 2009

Jodie Foster

Biografi dan Film-Filmnya

Alicia Christian �Jodie� Foster lahir pada 19 November 1962 di Los Angeles, California. Orang tuanya bercerai tiga tahun sebelum ia lahir. Ayahnya adalah seorang Letnan Kolonel Angkatan Udara. Ketika masih dalam kandungan, ibunya Evelyn �Brandy� Ella tinggal bersama ayahnya, Lucius Fisher Foster. Bakat akting Foster telah tampak sejak ia masih balita. Pada umur tiga tahun ia sudah mulai bermain dalam sebuah iklan komersil produk Coppertone Sunblock yang diikuti beberapa iklan komersil lainnya. Saat berumur lima tahun ia bahkan telah berakting di sebuah acara televisi, Mayberry R.F.D. (1968) dan diikuti The Doris Day Show, Adam-12, serta Gun Smoke. Di serial televisi Gunsmoke inilah untuk pertama kalinya Foster menggunakan nama kecilnya dalam kredit, yakni �Jody�.

Debutnya di dunia film dimulai ketika ia membintangi film untuk televisi Menace on the Mountain (1970). Studio Walt Disney yang melihat bakat akting Foster merekrutnya untuk membintangi beberapa film anak-anak produksi mereka, seperti Napoleon and Samantha (1972) dan One Little Indian (1973). Di tahun 1973, Foster juga bermain dalam film-film seperti Rookie of the Year, Alexander, Alexander, The Addams Family, Kung Fu, Tom Sawyer, dan Alice Doesn't Live Here Anymore dan setelahnya bermain dalam Smile, Jenny, You're Dead, Paper Moon, serta The Secret Life of T.K. Dearing.

Bakat Foster pada masa ini juga telah menuai pujian formal dari banyak kalangan. Dalam film The Little Girl Who Lives Down the Lane ia berperan sebagai sebagai Rynn Jacobs yang mendapat penghargaan Saturn Award untuk aktris terbaik. Dalam film komedi, Freaky Friday ia berperan sebagai Annabel Andrews bermain bersama aktris Barbara Harris yang untuk aktingnya dalam peran ini meraih nominasi aktris terbaik dalam ajang Golden Globe. Foster juga bermain dalam Bugsy Malone sebagai Tallulah yang aktingnya meraih penghargaan sebagai aktris pendukung terbaik dalam ajang BAFTA Award.

Karir Foster semakin melesat setelah ia bermain dalam film Taxi Driver (1976) arahan sutradara kondang Martin Scorsese. Disini Foster juga bermain bersama aktor senior Robert De Niro. Foster berperan sebagai Iris seorang pelacur berusia 12 tahun. Dalam film ini akting Foster yang memukau meraih nonimasi Oscar untuk aktris pendukung terbaik. Film ini sendiri meraih empat Oscar termasuk untuk film terbaik dan hingga kini dianggap sebagai salah satu film terbaik yang pernah diproduksi. Untuk perannya ini Foster juga mendapat penghargaan sebagai aktris pendukung terbaik dalam ajang BAFTA, Kansas City Film, serta National Society of Critics Award.

Sejak ia masih cilik hingga beranjak remaja, total ia membintangi hampir 50 judul film sebelum ia masuk bangku kuliah. Film terakhir yang ia bintangi pada masa-masa ini adalah Foxes (1980) sebelum ia masuk Yale University untuk mengambil studi literatur pada usia 17 tahun. Foster sendiri akhirnya lulus pada tahun 1985 dengan predikat sangat memuaskan. Pada masa kuliahnya ini ia juga tidak bisa lepas dari dunia akting dan menyempatkan bermain dalam beberapa film. Pada tahun 1982 ia bermain dalam O'Hara's Wife, tahun 1983 ia bermain dalam Svengali bersama Peter O�Toole, tahun 1984 bermain dalam The Blood Of Other (Le Sang des autres), dan The Hotel New Hampshire.

Tragedi tak mengenakkan menimpa Foster semasa ia kuliah. Seorang pria bernama John Hickley terobsesi berat dengan sang aktris terutama setelah ia menonton Taxi Driver beberapa kali. Hickley menguntit Foster hingga ke kampus serta meneror dengan surat dan telepon. Pada tanggal 30 Maret 1981, ia bahkan mencoba membunuh Presiden Amerika Serikat kala itu, Ronald Reagan hanya sekedar untuk mencari perhatian sang aktris. Setelah kejadian tersebut ratusan media menyerbu kampus Yale untuk mencari segala berita tentang Foster. Setelah semua masalah berakhir secara hukum namun tragedi ini tetap membekas bagi Foster yang sangat mengguncang rasa percaya dirinya.

Setelah lulus bangku kuliah Foster kembali memfokuskan karirnya di dunia film dan kali ini ia tidak hanya berakting namun juga menjadi produser hingga seorang sutradara. Pada tahun 1986 ia bermain dalam Mesmerized sekaligus menjadi co-produser dalam produksi film ini. Pada tahun 1987 ia bermain dalam Siesta arahan sutadara Mary Lambert dan Five Corners arahan sutradara Tony Bill. Pada tahun 1988 menjadi debut karir sutradaranya dengan menyutradarai salah satu film pendek serial horor televisi, Tales from the Darkside. Foster menggarap episode berjudul Do Not Open This Box.

Setelah bermain dalam beberapa film yang kurang populer akhirnya Foster membuat langkah besar dalam karir aktingnya melalui film drama pengadilan produksi Kanada, The Accused (1988). Dalam film garapan Jonathan Kaplan ini Foster bermain sangat mengesankan sebagai Sarah Tobias seorang wanita muda yang menjadi korban perkosaan massal di sebuah bar. Foster akhirnya meraih Oscar pertamanya dalam ajang Academy Awards untuk aktris terbaik. Ia juga meraih beberapa penghargaan bergengsi untuk aktris terbaik diantaranya Golden Globe serta National Board of Review Award. Film ini juga terhitung sebagai film pertama yang sukses secara komersil yang dibintangi Foster. Sementara di tahun yang sama ia juga bermain dalam film drama Stealing Home arahan Sutradara Steven Kampmann dan William Porter.

Setelah mendapatkan piala Oscar tidak lantas membuat jalan karirnya menjadi mudah. Pada tahun 1990 ia bermain dalam film aksi thriller tidak populer Catchfire arahan sutradara Alan Smithee. Pada tahun 1991, Foster juga kembali mencoba peruntungannya menjadi sineas dengan menggarap dan bermain dalam film drama Little Man Tale. Sekalipun gagal secara komersil namun film ini mendapat banyak pujian dari para pengamat.

Foster akhirnya mendapat predikat sebagai bintang papan atas setelah bermain dalam film drama thriller, The Silince of the Lamb (1991). Dalam film arahan Jonathan Demme ini Foster bermain sebagai Clarice Sterling seorang agen FBI pemula yang mengusut kasus pembunuhan misterius dengan meminta petunjuk seorang psikopat kelas kakap bernama Hannibal Lecter. Sekalipun akting Foster masih dibawah bayang-bayang seniornya, Anthony Hopkins yang bermain sangat mengesankan sebagai Lecter namun dalam tokoh yang diperankannya mampu menjalin chemistry unik dengan sang psikopat. Baik Hopkins dan Foster sama-sama meraih Oscar untuk pencapaian akting mereka. Film ini sendiri meraih lima Oscar termasuk untuk naskah, sutradara, dan film terbaik. Tercatat The Silince of the Lamb adalah film yang sukses komersil pertama yang pernah dibintangi Foster dengan meraih $272 juta di seluruh dunia.

Tahun-tahun berikutnya merupakan masa sibuk untuk karir Foster baik sebagai aktris, sineas, maupun produser. Tahun 1992, Foster bermain di film drama, Shadows and Fog arahan sutradara kawakan Woody Allen. Disini ia bermain bersama Woody Allen sendiri, Kathy Bates, John Cusack, serta Mia Farrow. Tahun 1993 ia bermain dalam Sommersby sebuah film drama romantis berlatar perang sipil Amerika arahan Jon Amiel. Foster bermain bersama aktor Richard Gere. Pada masa-masa ini Foster juga menolak untuk memerankan tokoh Annie Reed di film roman yang kelak sukses besar, Sleepless in Seattle, akhirnya peran ini jatuh ke tangan Meg Ryan. Tahun 1994 Foster bermain dalam film drama berjudul Nell yang disutradarai oleh Michael Apted. Disini Foster berperan sebagai Nell seorang wanita muda yang menghadapi orang asing untuk pertama kalinya setelah dibesarkan secara terisolir di sebuah lingkungan terpencil. Untuk aktingnya yang sangat memukau, Foster meraih nominasi aktris terbaik pada ajang Academy Award dan Golden Globe. Foster sendiri tercatat juga menjadi produser film ini.
Setelah sekian lama bermain dalam film drama serius, Foster mencoba berubah haluan bermain dalam film komedi western berjudul Maverick (1994) arahan Richard Donner yang diadaptasi dari serial televisi tahun 1950-an. Foster sendiri berperan sebagai seorang wanita muda penipu, Annabell Bransford. Dalam film ini ia bermain bersama aktor besar, Mel Gibson serta James Garner. Selain sukses secara kritik film ini sukses komersial dengan meraih $183 juta di seluruh dunia. Pada tahun berikutnya Foster kembali menyutradarai sebuah film komedi hitam berjudul Home for The Holidays (1995) yang dibintangi Holly Hunter dan Robert Downey Jr. Seperti film garapan Foster sebelumnya, film ini juga gagal secara komersil.

Setelah absen selama dua tahun, Foster bermain kembali dalam film komersil, yakni sebuah film drama fiksi ilimiah, Contact (1997). Ini merupakan kali pertama Foster bermain dalam film fiksi ilmiah. Film yang disutradarai sineas kondang, Robert Zemeckis ini sukses komersil dengan meraih $171 juta. Untuk aktingnya, Foster kembali meraih nominasi aktris terbaik dalam ajang Golden Globe sebuah hal yang langka untuk film bergenre fiksi ilmiah. Di tahun 1999, Foster bermain dalam film drama, Anna and The King yaitu sebuah remake dari film Anna and the King of Siam yang digarap oleh Andy Tennant. Kali ini Foster berkolaborasi dengan aktor kondang asia, Chow Yun Fat. Foster berperan sebagai Anna Leonowens, seorang guru khusus asal Inggris yang mengajar di kerajaan negeri Siam pada abad 19. Sekalipun film ini mendapat kecaman dari pemerintah Thailand karena dianggap menghina raja mereka namun tercatat film ini sukses komersil dan mendapat nominasi Oscar untuk penata artistik serta kostum terbaik.

Setelah absen berakting beberapa tahun Foster mengawali milenium baru dengan menjadi produser film Waking The Dead (2000). Foster juga secara mengejutkan menolak tawaran untuk kembali bermain sebagai Clarice Starling dalam sekuel The Silince Of The Lamb, yakni Hannibal yang kali ini digarap Ridley Scott. Peran ini sendiri akhirnya jatuh ke tangan aktris, Julianne Moore. Foster akhirnya kembali berakting dalam film thriller menegangkan, Panic Room (2002) yang digarap David Fincher. Di film ini Foster berperan sebagai tokoh Meg Altman, seorang ibu muda yang baru saja pindah bersama putrinya di rumah baru dan mereka harus bersembunyi dalam sebuah ruang khusus setelah rumah mereka dimasuki para pencuri. Film ini sendiri sukses komersil dengan meraih $196 juta di seluruh dunia. Di tahun yang sama Foster juga bermain sebagai suster dalam film The Dangerous Lives of Altar Boys.

Tahun berikutnya Foster bermain sebagai tokoh pendukung dalam film produksi Perancis, A Very Long Engagement (2004) yang disutradarai oleh Jean-Pierre Jeunet. Di film ini ia sepenuhnya berdialog bahasa Perancis dan bermain bersama aktror-aktris populer Perancis seperti Audrey Tautou, Gaspard Ulliel, Marion Cotillard, dan Dominique Pinon. Pada tahun 2005 ia bermain kembali dalam komersil sebuah aksi thriller seru berjudul Flightplan yang digarap Robert Schwentke. Foster berperan sebagai seorang ibu yang panik karena kehilangan putrinya di sebuah penerbangan komersil. Film ini sukses besar meraih $223 juta di seluruh dunia. Pada tahun yang sama Foster juga bermain dalam serial televisi, Statler and Waldorf: From the Balcony namun hanya bermain pada episode ke delapan saja.

Pada tahun berikutnya Foster bermain dalam film drama kriminal Inside Man (2006) yang disutradarai oleh sineas kulit hitam kondang, Spike Lee. Foster bermain bersama aktor-aktor papan atas seperti Denzel Washington, Clive Owen, serta Willem Dafoe. Film ini sukses secara kritik maupun komersil meraih $184 juta dengan bujet produksi hanya $45 juta dan konon akan dibuat sekuelnya dengan para pemain yang sama. Selanjutnya Foster bermain dalam film drama kriminal garapan Neil Jordan, The Brave One (2007). Foster berperan sebagai Erica Bain penyiar radio yang membalas dendam kematian kekasihnya karena dibunuh sekelompok preman. Untuk perannya ini kembali Foster meraih nominasi untuk aktris terbaik di ajang Golden Globe untuk yang keenam kalinya.

Setahun setelahnya Foster bermain dalam film fantasi petualangan anak-anak, Nim�s Island (2008) yang disutradarai oleh Jennifer Flackett dan Mark Levin. Dalm film ini Foster berperan sebagai penulis wanita bernama Alexandra Rover yang memiliki rasa takut terhadap dunia sekelilingnya namun terpaksa datang ke sebuah pulau terpencil karena Nim, sahabat ciliknya kehilangan ayahnya. Foster bermain bersama aktor Gerard Butler dan serta aktris cilik, Abigail Breslin. Film ini sukses komersil meraih $110 juta. Selanjutnya Foster bermain dalam film komedi gelap The Beaver yang dirilis tahun ini dimana ia sekaligus merangkap menjadi sutradaranya. Dalam film ini ia kembali bereuni bersama aktor Mel Gibson.

Foster dalam Film-Filmnya

Sepanjang karirnya Foster tercatat sudah berakting dalam puluhan film baik layar lebar maupun serial televisi. Bakat aktingnya sudah tampak sejak ia masih usia kanak-kanak, terbukti ia telah mampu meraih nominasi Oscar pada usia empat belas tahun untuk perannya dalam Taxi Driver. Dalam karirnya pada usia dewasa Foster juga tercatat lebih banyak memilih peran yang banyak mengeksploitasi kemampuan aktingnya ketimbang fisik. Tercatat semenjak karirnya selepas kuliah, Foster lebih banyak bermain dalam film bergenre drama, seperti The Accused, Little Man Tate, Sommersby, Nell, serta Anna and the King. Tercatat pula sekalipun ia bermain dalam film bergenre non drama tetap saja kisahnya menyajikan sisi dramatik yang tinggi. Tercatat seperti genre thriller, yakni Catchfire, The Silince of the Lamb, Panic Room, Flight Plan, kemudian genre fiksi ilmiah seperti Contact, hingga film kriminal seperti Inside Man dan The Brave One. Tercatat pula beberapa kali Foster bermain dalam genre komedi yang tidak terlalu menguras kemampuan aktingnya seperti Maverick serta Nim�s Island.

Dalam banyak filmnya, Foster seringkali memerankan tokoh wanita atau ibu muda yang pemberani, kuat, pantang menyerah, dan seringkali memperlihatkan sisi maskulinnya. Dalam The Silince Of the Lamb, ia berperan sebagai agen FBI muda pemberani yang sendirian menuntaskan kasus penculikan dan pembunuhan misterius dengan meminta petunjuk seorang psikopat. Dalam Panic Room dan Flightplan, Foster berperan sebagai ibu muda pemberani melawan pihak antagonis demi menyelamatkan keluarganya. Lalu dalam The Brave One, ia berperan sebagai wanita muda yang rela melakukan tindakan diluar hukum untuk membalas dendam kekasihnya. Hal yang sama tampak pula terlihat dalam film-filmnya seperti The Accused, Maverick, Anna and the King, Contact, hingga Inside Man. Uniknya Foster juga tercatat seringkali berperan sebagai karakter yang traumatik atau fobia terhadap sesuatu, seperti Nell, Nim�s Island, serta ciri-ciri yang sama ini tampak pula dalam The Accused, The Silince of the Lamb, serta The Brave One.

Sepanjang karirnya Foster juga telah banyak diarahkan dengan oleh sineas-sineas besar antara lain Martin Scorsese (Taxi Driver), Jonathan Kaplan (The Accused), Jonathan Demme (The Silince Of the Lamb), Woody Allen (Shadow and Fog), Neil Jordan (The Brave One), David Fincher (Panic Room), hingga Spike Lee (Inside Man). Foster sendiri juga pernah mengarahkan beberapa film seperti, Little Man Tale, Home For This Holidays, serta filmnya yang akan dirilis The Breaver. Namun sekalipun film-film arahannya tidak sukses komersil namun banyak mendapat pujian para pengamat. Foster juga tercatat pernah memproduseri beberapa film antara lain, Nell, Home for the Holidays, serta The Dangerous Lives of Altar Boys.

Foster juga tercatat banyak berkolaborasi dengan bintang-bintang besar lainnya. Adapun aktor-aktor besar yang pernah bermain bersama Foster, antara lain Robert De Niro (Taxi Driver), Anthony Hopkins (The Silince Of the Lamb), Woody Allen (Shadow And Fog), Richard Gere (Sommersby), Chow Yun Fat (Anna and the King), Mel Gibson (Maverick), Denzel Washington dan Clive Owen (Inside Man). Uniknya, Foster jsutru sangat jarang bermain bersama aktris-aktris papan atas Hollywood lainnya, tercatat ia hanya pernah bermain bersama Barbara Harris (Freaky Friday) serta Kelly Mc Gillis (The Accused). Sementara aktor favorit Foster adalah Robert De Niro sedangkan aktris favoritnya adalah Meryl Streep.

Foster tercatat adalah sedikit dari aktris yang sukses sejak usia belia. Ia tercatat lebih banyak berakting pada masa cilik dan remaja ketimbang masa dewasa. Beberapa penghargaan bahkan sudah ia raih sebelum ia menginjak usia dewasa. Pada karir di usia dewasanya Foster tercatat adalah satu-satunya aktris yang meraih Oscar sebelum ia menginjak usia 30 tahun. Foster juga adalah sosok yang cerdas dan bisa menguasai dengan fasih beberapa bahasa asing. Anehnya sekalipun ia sukses sebagai seorang aktris ia sebenarnya lebih memilih untuk menjadi sutradara. �Acting, for me, is exhausting. I'm always more energized by directing. It's more intense to direct. I can pop in and express myself, then pop out again. It's a huge passion for me�. Jodie Foster adalah seorang sosok yang cerdas baik di dalam maupun diluar dunia akting. Ia selalu selektif dalam memilih perannya. Sejak kecil hingga kini ia adalah seorang selebriti ternama yang disegani serta merupakan salah satu aktris berbakat serta termahal yang dimiliki dunia.

Agustinus Dwi Nugroho

The Accused,

Menggali Potensi Sang Bintang Muda


The Accused (1988)
Distributor: Paramount Pictures
Sutradara: Jonathan Kaplan
Produser: Stanley R Jaffe / Sherry Lansing
Penulis Naskah: Tom Kopor
Pemain: Jodie Foster / Kelly McGillis
Ilustrasi Musik: Brad Fiedel
Sinematografi: Ralf D. Bode
Bujet : $ 6 juta
Durasi: 111 Menit

Film dibuka dengan gambar muka sebuah Bar di pinggir kota. Seorang gadis muda mendadak berlari keluar dari pintu Bar sembari mejerit dan menangis dengan kondisi pakaian awut-awutan. Gadis muda itu adalah Sarah Tobias (Foster) yang baru saja mengalami perkosaan massal di bar tersebut. Setelah kejadian naas tersebut, jaksa penuntut, Kathryn Murphy (Mc Gillis) dengan usaha keras berhasil memasukkan para pemerkosa Sarah ke dalam bui. Sarah menganggap hukuman mereka terlalu ringan dan bahkan ia juga mencoba menuntut semua orang yang menonton dan mendukung aksi pemerkosaan tersebut agar mendapat ganjaran setimpal.

Konon cerita filmnya ini diambil dari kejadian nyata yang menimpa Cheryl Araujo di sebuah bar di Massachusetts. Secara umum filmnya dibagi menjadi dua segmen besar, yakni proses peradilan untuk para pemerkosa Sarah serta proses peradilan untuk para penonton yang mendukung aksi tersebut. Sisi cerita dramatik menjadi nilai lebih filmnya dengan pendekatan estetik sederhana bahkan boleh dibilang biasa. Sejak awal hingga akhir penonton mampu dibawa masuk ke dalam cerita serta bersimpati penuh dengan Sarah. Satu hal yang menarik dalam plotnya yang amat mendukung sisi dramatik filmnya adalah aksi peristiwa perkosaannya sendiri justru ditampilkan di akhir film sehingga penonton dari waktu ke waktu dibuat penasaran serta ragu dengan pernyataan-pernyataan Sarah.

Sisi dramatik yang menjadi kekuatan filmnya tentu tidak lepas dari pencapaian akting yang sangat mengesankan dari Foster. Setelah peristiwa perkosaan Foster mampu bermain brilyan sebagai Sarah yang begitu emosional sekaligus tertekan di saat yang bersamaan nyaris sepanjang film. Sementara sebelum peristiwa perkosaan terjadi, Foster seolah memiliki kepribadian yang berbeda dengan mampu bermain mengejutkan sebagai Sarah yang nakal dan binal yang aksinya memancing tindak perkosaan. Tak heran akting hebat dari aktris muda ini diganjar penghargaan piala Oscar serta Golden Globe untuk aktris terbaik. Sementara para pemain lainnya termasuk McGillis bermain baik sekalipun tidak seistimewa penampilan Foster.

The Accused konon merupakan film pertama Hollywood yang mengangkat tema tentang perkosaan yang aksinya disajikan secara nyata. Visualisasi aksi perkosaan tersebut merupakan kunci utama keberhasilan film ini yang bakal mampu menggetarkan siapapun yang menonton. Tanpa memperlihatkan aksi yang vulgar (eksplisit) namun sineas sudah lebih dari cukup menggambarkan betapa biadab aksi tersebut. Film ini jelas memihak pada kaum hawa namun lebih dari itu film ini memberi pelajaran berharga pada kita bahwa siapapun tidak berhak merendahkan seseorang sekecil apapun bentuknya.

Himawan Pratista

The Silince of the Lamb,

Kemenangan Hopkins, Foster, dan Demme

The Silince of the Lamb (1991)
Distributor: Orion Pictures
Sutradara: Jonathan Demme
Produser: Kenneth Utt / Edward Saxon / Ron Bozman
Penulis Naskah: Ted Tally / Thomas Harris (Novel)
Pemain: Anthony Hopkins / Jodie Foster / Scott Glenn /Ted Levine
Ilustrasi Musik: Howard Shore
Sinematografi: Tak Fujimoto
Editing: Craig McKay
Bujet: $19 juta
Durasi: 118 menit

Seorang pembunuh berantai berinisial Buffalo Bill (Levine) tengah berkeliaran menculik dan membunuh gadis-gadis muda yang membuat pihak FBI kelimpungan. Clarice Sterling (Foster) adalah agen muda FBI yang ditugaskan atasannya, Jack Crawford (Glenn) untuk meminta petunjuk dari seorang pembunuh berantai dan psikopat kelas kakap, Hannibal Lecter (Hopkins) yang kini tengah ditahan di sebuah penjara khusus. Awalnya Lecter sulit untuk dimintai keterangan namun akhirnya sang psikopat menyetujui namun dengan permintaan ia dipindah dari penjaranya kini. Buffalo Bill yang belum lama menculik putri seorang senator memaksa Crawford dan Sterling membuat janji palsu dengan Lecter yakni mengabulkan permintaannya jika ia bisa membantu menemukan si penculik dan korbannya.

The Silence of the Lamb rasanya adalah salah satu contoh film terbaik yang mampu mengkombinasikan unsur drama, misteri, thriller, serta horor dengan amat sempurna. Plot filmnya dituturkan dengan lambat merangkai kejadian demi kejadian yang setiap saat penuh dengan kejutan. Sepanjang filmnya penonton sulit memprediksi apa yang akan terjadi berikutnya sehingga selalu mengusik rasa penasaran serta ketakutan kita. Tercatat adegan paling menegangkan adalah ketika Lecter yang kabur dari tahanan sementara serta adegan klimaks di akhir film yang sangat mengejutkan. Sementara sisi dramatiknya terbangun dari karakter Lecter dan Clarice yang seolah memiliki hubungan emosional layaknya ayah dan putrinya.

Cerita yang dituturkan apik semakin komplit dengan pencapaian estetik filmnya yang istimewa. Lebih dari separuh kekuatan filmnya terletak pada chemistry antara Lecter dan Clarice yang diperankan sangat brilyan oleh Hopkins dan Foster. Hopkins seolah terlahir untuk sosok psikopat dingin, Hannibal Lecter. Ia tampil sempurna memerankan psikopat yang sosoknya merupakan kombinasi kecerdasan manusia serta insting hewani. Sosoknya yang begitu menakutkan mampu membuat kita merinding setiap kali ia muncul. Sementara Foster walau tak sehebat akting Hopkins namun ia mampu mengimbanginya dengan menampilkan sosok agen muda Clarice yang traumatik, cerdas, serta lugu. Tak heran jika keduanya meraih piala Oscar untuk penampilan akting memukau mereka.

Di luar pencapaian semua diatas, ilustrasi musik yang digarap Howard Shore juga mampu membangun nuansa misteri serta horor dalam tiap adegannya. Teknik sinematografi dan editing pun juga tidak kalah menawannya. Teknik close up pada setiap adegan dialog Lecter (dalam tahanan) dan Clarice seolah mampu mendekatkan jarak fisik dan batin mereka berdua. Tercatat pula crosscutting brilyan di sekuen klimaks filmnya ketika adegan penyergapan polisi dijamin mampu mengejutkan kita semua. Pencapaian fantastis dari sisi naratif dan estetik The Silince of the Lamb tidak berlebihan rasanya jika kita anggap sebagai film thriller terbaik yang pernah ada.

Himawan Pratista

The Brave One,

Bicara Tentang Keadilan dan Kebenaran


The Brave One (2007)
Studio: Village Roadshow Pictures / Silver Pictures
Distributor: Warner Bros.
Sutradara: Neil Jordan
Produser: Susan Downey / Joel Silver
Penulis Naskah: Roderick Taylor / Bruce A. Taylor / Cynthia Mort
Pemain: Jodie Foster / Terence Howard
Ilustrasi Musik: Dario Marianelli
Sinematografi: Philippe Rousselot
Editing: Tony Lawson
Durasi: 122 menit

Erica Bain (Foster) adalah seorang penyiar radio di kota New York yang hidup bahagia bersama David, tunangannya. Suatu malam ketika mereka berdua tengah bersantai di Central Park, mereka dihadang tiga orang preman yang berniat merampok mereka. David melawan dan mereka berdua dianiaya. David tewas namun Erica selamat. Setelah fisiknya pulih namun tidak demikian mentalnya, ia mengalami trauma serta rasa takut yang berlebihan. Demi rasa nyaman, Erica bahkan membeli senjata api secara ilegal. Suatu ketika Erica terpaksa menembak seorang perampok toko untuk membela dirinya. Di luar dugaan setelah aksinya ini Erica justru menemukan kepuasan batin yang mampu menutup trauma dan rasa takutnya. Erica kini berubah menjadi sosok �penyapu jalanan� yang bekerja di luar hukum. Detektif Mercer (Howard) yang juga fans Erica adalah polisi yang menyelidiki kasus ini.

Bicara plot �balas dendam� mengingatkan beberapa film aksi kriminal populer, seperti seri Dirty Harry hingga Death Wish. Bedanya kali ini sosok tokoh �penegak hukum� adalah seorang wanita. Berbeda pula dengan plot film-film sejenis, The Brave One sama sekali tidak menekankan pada unsur aksi namun justru unsur dramatik. Hal yang menarik justru sisi dramatik lebih fokus pada tekanan psikologis yang dihadapi dua tokoh utamanya. Sineas mampu membangun sisi dramatik plotnya secara sabar namun semakin dalam. Mercer adalah sosok polisi ideal yang frustasi dengan para kriminal yang selalu lolos dari jerat hukum. Sebaliknya Erica adalah sosok warga normal yang berubah menjadi sosok �penjagal� para kriminal setelah menjadi korban kejahatan. Erica muncul seolah sebagai sosok �ideal� menggantikan Mercer. Mereka adalah sosok yang bertolak belakang namun saling membutuhkan. Cerita juga ditutup dengan ending mengejutkan yang menutup manis filmnya.

Plot yang menekankan sisi psikologis mendalam seperti ini jelas membutuhkan kekuatan akting yang prima. Foster dan Howard masing-masing mampu membawakan perannya dengan sangat baik. Terutama Foster mampu bermain istimewa sebagai Erica Bain yang traumatik, gelisah, dan selalu diliputi ketakutan namun disaat bersamaan juga mampu menjadi sosok pemberani yang penuh dendam dan kebencian. Kita semua tahu apa yang dilakukan Erica adalah salah namun Foster mampu membalikkan semuanya sehingga karakter ini justru mendapat simpati penuh dari penonton. Sementara Terence Howard seperti biasa selalu bermain prima dalam setiap filmnya sekalipun perannya kini tidak sedominan Foster. Baik Howard dan Foster mampu membangun �chemistry� unik antara penggemar dan fans juga antara sosok penegak hukum dan sosok �kriminal�. Sangat disayangkan peran sulit seperti ini mestinya sangat layak meraih nominasi Oscar.

The Brave One mencoba memaknai kebenaran yang kadang tipis batasnya antara kesalahan. Secara hukum dan moral apa yang dilakukan Erica adalah salah namun bukan salah dan benar yang menjadi isu disini. Namun adalah mengapa ia melakukan itu semua. Sineas mampu menggambarkannya dengan sangat rinci dan cermat. Kesalahan bisa kita timpakan ke Erica (manusiawi) ataukah sistem hukum yang tidak bekerja secara optimal. Keadilan kadang tidak selalu sama dengan kebenaran.

Himawan Pratista

Tanah Air Beta

Menggugah Rasa Nasionalisme?

Studio: Alenia Pictures
Sutradara: Ari Sihasale
Produser: Ari Sihasale
Penulis Naskah: Armantono
Pemain: Alexandra Gottardo / Asrul Dahlan / Griffit Patricia / Yahuda Rumbindi, Lukman Sardi / Ari Sihasale / Robby Tumewu / Tessa Kaunang / Marcel Raymond.
Ilustrasi Musik: Aksan Sjuman & Titi Sjuman
Cinematography : Ical Tanjung
Editing : Andy Pulung

Tatiana (Alexandra Gottardo) bersama kedua anaknya harus hijrah dari tempat asal mereka, Timor timur menuju Kupang, pasca jajak pendapat di Timor Timur. Dalam situasi serba kacau, Merry (Griffit Patricia) berpisah dengan kakaknya, Mauro (Marcel Raymond). Tatiana dan Merry lalu tinggal di sebuah kamp penampungan dimana sang ibu bekerja sebagai guru di sekolah sementara di kamp tersebut. Suka duka mereka rasakan bersama dengan para pengungsi lainya, seperti Abu Bakar (Asrul Dahlan) serta Carlo (Yahuda Rumbindi ) yang selalu jahil terhadap Merry. Hingga pada suatu ketika Merry mendengar kabar bahwa kakaknya saat ini tengah berada di perbatasan. Merry lalu nekat menuju perbatasan untuk mencari kakaknya. Cerita berlanjut pada kisah perjalanan Merry dan Carlo untuk menemukan Mauro.

Sekuen pembuka film yang memperlihatkan iring-iringan ratusan pengungsi sungguh memberi kesan pertama yang sangat mengagumkan dan membanggakan untuk sekelas film kita. Namun setelah cerita berjalan semuanya kekaguman tersebut hilang. Cerita berjalan terlalu datar tanpa konflik yang berarti. Tatiana dan putrinya tidak mendapat tantangan dan konflik moril maupun fisik yang berarti di kamp penampungan sehingga memberi kesan meninggalkan kampung halaman bukan masalah bagi mereka. Logika cerita menjadi masalah utama film ini. Coba anda bayangkan, anak putri berumur 10 tahun berjalan sendirian ke perbatasan, sementara ibu dan rekannya berdiam diri di rumah, dan gilanya lagi mengutus bocah cilik seumuran untuk menjemput Merry, tanpa uang sepeserpun di wilayah yang terhitung masih baru bagi mereka. Ini sungguh terlalu memaksa. Motif yang diinginkan jelas tampak sekali untuk membangun chemistry antara Merry dan Carlo namun untuk apa jika semuanya tak masuk akal. Akhir cerita pun disajikan mengada-ada ketika Tatiana dan Abu bakar mendadak muncul di perbatasan sementara kita sama sekali tidak pernah diperlihatkan usaha Tatiana dan Abu bakar menuju perbatasan. Kejutan yang tak masuk akal.

Secara teknis juga tidak ada yang istimewa dalam filmnya. Keindahan panorama alam Timor rasanya masih kurang diperlihatkan secara maksimal. Bahkan kesalahan mendasar produksi pun masih terlihat, seperti mic yang �bocor� ketika adegan dialog Tatiana dan Abu Bakar di rumah sakit. Nilai plus filmnya hanya pada lagu dan musik lokal yang mengalun sepanjang film yang menambah nuansa timor film ini. Satu lagi adalah akting si anak Timor, Yahuda Rumbindi yang enerjik dan natural dalam memerankan Carlo.

Judul Tanah Air Beta seakan tidak selaras dengan cerita filmnya. Judul yang seakan mengesankan kecintaan kita terhadap Bumi Lorosae tidak tampak dalam filmnya. Sineas juga mencoba membangkitkan rasa nasionalisme melalui tembang-tembang bernuansa patriotik namun rasanya sia-sia belaka. Misi dan tujuan film ini memang mulia namun dalam medium film baik sisi naratif maupun estetik sama-sama harus memadai dan saling mendukung. Satu hal yang tidak tampak dalam film ini.

Febrian Andhika

Istri Boongan

Hanya Menjual Sensualitas

Istri Boongan (2010)
Produksi: kanta Indah Film
Sutradara: Arie Azis
Produser: Budi Mulyono / Koko Soenaryo
Pemain: Dwi Sasono / Julia Perez / Fahrani
Penulis Naskah: Nurmalina

Aryo (Dwi Sasono) yang berpacaran dengan Amara (Julia Perez) dituntut orangtuanya untuk membawa calon istri yang memenuhi kriteria mereka yang memiliki latar belakang dan tradisi Jawa kental. Karena Amara tidak memiliki kriteria yang diinginkan orang tuanya maka Aryo mencari cara dengan menyewa Fani (Fahrani). Fani adalah seorang gadis tomboi urakan yang dipilih Aryo karena nantinya orang tuanya diharapkan bisa menerima Amara lantaran pacarnya memiliki image lebih baik dari Fani. Setelah membawa Fani ke rumahnya diluar dugaan orangtua Aryo bisa menerima sang gadis apa adanya. Mulailah tumbuh rasa suka antara Aryo dan Fani.

Tidak ada yang spesial dari film ini kecuali hanya menampilkan sisi sensualitas Julia Perez yang notabene aktris seksi yang lebih menjual keindahan tubuh daripada talenta. Begitu pun Fahrani yang dieksploitasi seluruh lekuk tubuhnya yang semampai. Pakaian para pemain wanitanya sangat terbuka dan menampilkan bentuk tubuh secara berlebihan. Sajian sensualitas disini tampak terlalu vulgar dan tidak pantas untuk ditiru karena tidak diimbangi dengan pencapaian estetik serta naratif yang layak. Seperti lazimnya film-film kita (sejenis), alur kisah yang disuguhkan tidak ada sesuatu hal yang baru, terlalu sederhana, mudah ditebak, serta tanpa kejutan berarti namun unsur komedi yang diberikan memang sedikit menghibur penonton.

Dalam film berdurasi sekitar 85 menit ini, penonton juga sepertinya digiring untuk mengiyakan opini bahwa tidak ada lagi batasan budaya barat dan timur. Dalam filmnya diperlihatkan tradisi Jawa keluarga Dwi yang kental dengan mudahnya menerima gaya modern dan kebarat-baratan Fani. Jika dinalar saja tidak masuk akal orang tua Dwi yang sangat-sangat menjunjung tinggi tradisi Jawa dengan begitu saja menerima Fani yang berpola hidup modern baik gaya bicara, berpakaian, plus sikapnya dengan sentuhan sensualitas yang menggoda. Memang perbedaan tradisi bukanlah penghalang untuk dapat saling berbagi dan menghargai sesama tetapi ini sungguh kelewatan.

Entah mengapa saat ini film Indonesia semakin sering menonjolkan sisi sensualitas dan seks seolah-olah ini merupakan �inovasi brilian� untuk memajukan perfilman kita. Apakah perkembangan perfilman kita justru mundur seperti era 80-an? Seperti yang kita lihat di poster film ini, pose Julia Perez dan Fahrani terlihat sangat erotis dengan gaya gesture yang sengaja dibuat untuk memicu daya tarik penonton (terutama kaum pria) sehingga perempuan menjadi aset yang menjual. Perempuan kini cenderung diposisikan sebagai obyek yang menarik dalam sebuah produk media sehingga dapat laris sesuai dengan target yang diharapkan. Ke depan sepertinya film-film sejenis ini akan terus diproduksi. Bagaimana pun pendapat Anda, sebaiknya sebagai penikmat film kita harus bisa memilih mana film yang berkualitas (baca: layak tonton) dan manakah film yang hanya menjual sensualitas belaka (tidak layak tonton).

Debby Dwi Elsha

Raavan,

Sebuah Eksplorasi Unik �Good vs Evil�

Raavan (2010)
Studio: Madras Talkies
Sutradara: Mani Ratnam
Produser: Mani Ratnam / Sharada Trilog / Shaad Ali
Penulis Naskah: Mani Ratnam
Pemain: Abhishek Bachchan / Aishwarya Rai / Vikram
Ilustrasi Musik: A.R. Rahman
Sinematografi: Santosh Sivan / V. Manikandan
Editing: Sreekar Prasad
Durasi: 139 menit

Dev (Vikram), seorang polisi jatuh cinta kepada Ragini (Rai), seorang gadis penari klasik. Mereka lalu menikah dan Dev membawa Ragini ke tempat tugasnya yang baru di Maati Lal, sebuah kota kecil di India utara. Lal Maati adalah kota kecil dimana polisi bukanlah penegak hukum melainkan Beera (Bachchan), seorang pria yang menjadi panutan disana. Dev menganggap Beera ancaman bagi masyarakat dan menjadikannya buron. Beera lalu menyandera Ragini dan Dev yang murka pun mengejar sang buron. Semasa pengejaran ini ternyata mengungkap kebenaran tentang diri mereka bertiga. Sebuah perjalanan yang mengungkap identitas sejati mereka.

Dari judulnya Raavan atau �Rahwana� mengisyaratkan kisahnya yang merupakan adaptasi lepas dari kisah Ramayana bab Penculikan Sinta. Tidak seperti kisah aslinya uniknya film ini justru mengaburkan tokoh baik dan buruk. Beera yang sejak awal tampak begitu jahat dan kasar lama kelamaan justru menjadi sosok yang meraih simpati Ragini. Demikian pula dengan Dev. Plotnya sendiri dituturkan dengan lambat cenderung membosankan seiring dengan terkuaknya jati diri masing-masing karakter. Sekuen pernikahan adik Beera menjelang akhir yang disajikan secara besar-besaran adalah kunci serta titik balik cerita filmnya. Setelah ini semua misteri terkuak. Dari sisi cerita film ini jelas sangat membosankan karena penonton dibiarkan menggantung lebih dari separuh filmnya. Namun pencapaian estetik film ini yang sangat baik mampu mengimbangi sisi naratifnya.

Hampir sepanjang film memperlihatkan indahnya panorama wilayah pegunungan India utara yang masih natural. Hal ini terutama didukung pencapaian sinematografi yang sangat mengagumkan baik melalui variasi sudut kamera maupun komposisi yang sempurna. Seperti tampak pada sekuen klimaks pertarungan di jembatan gantung mampu disajikan begitu meyakinkan tak kalah dengan film-film aksi buatan Hollywood. Dari sisi pemain Bachchan, Vikram, dan Rai bermain luar biasa. Walau peran mereka memang cenderung teatrikal namun permainan akting mereka mampu mengimbangi satu sama lain dalam semua adegan. Satu pencapaian lagi yang mengagumkan adalah lagu dan musik dari komposer kondang peraih Oscar, A.R. Rahman yang sudah tidak perlu kita ragukan lagi. Sekuen musikalnya yang energik dan enak dinikmati memang menjadi penyeimbang tempo plotnya yang lambat.

Sinema Bollywood boleh berbangga hati karena film ini mampu memberikan sajian yang berkelas dibandingkan film-film India sejenis yang hadir belakangan ini. Film ini bisa dikatakan adalah kombinasi antara film masala (komersil) serta film seni (art). Film ini merupakan kombinasi unik antara seni literatur (Kisah Ramayana), teater, musik, serta film. Raavan mencoba mengeksplorasi sisi baik dan sisi buruk manusia dengan caranya yang unik. Siapa �Rahwana� sebenarnya? Setiap manusia rasanya memiliki �Rahwana� dalam dirinya masing-masing.

Debby Dwi Elsha

Festival Film Pelajar Indonesia 2010: Apresiasi dan Tolak Ukur Pengembangan Film

Sebuah festival adalah ruang apresiasi sekaligus tempat untuk tolak ukur, tak terkecuali Festival Film Pelajar Indonesia (FFPI) yang diadakan di gedung Art Cinema FFTV-Institut Kesenian Jakarta pada tanggal 11-13 Juni 2010. Sebagai ruang apresiasi, festival ini memberikan wadah bagi para pelajar tingkat SMP dan SMA untuk mempersilahkan khalayak mengapresiasi film yang mereka produksi. Salah satu kegiatan festival ini adalah screening film-film yang masuk nominasi, apresiasi dilakukan baik peserta festival maupun siapa saja yang ingin menonton. Festival ini menjadi semacam lomba untuk menentukan film-film mana yang diapresiasi paling baik oleh dewan juri, dan pada lomba inilah salah satu unsur tolak ukur dapat dilihat. Tetapi apakah setelah ditentukan para pemenangnya, kita bisa menentukan tolak ukur seperti apa festival ini? Festival untuk pelajar sedikit sekali diadakan dan bisa dikatakan hampir tidak ada. Dengan adanya festival ini setidaknya kita bisa membaca bagaimana para pelajar kita yang mulai bersentuhan dengan film menggunakan bahasa visual, yang tentunya sebuah hal yang baru bagi mereka.

Dengan tema �Indonesiaku Kebanggaanku�, festival ini melombakan lima kategori film, yaitu film fiksi (live action), film fiksi animasi, film dokumenter, video klip, dan iklan layanan masyarakat. Ditambah dengan pemilihan sutradara terbaik dari semua sutradara yang filmnya masuk nominasi dari semua kategori diatas. Melalui tema tersebut pula bisa kita lihat bagaimana para peserta pelajar mengembangkan tema tersebut dalam film. Hal tersebut dapat kita lihat dari judul-judul film yang masuk nominasi, seperti : Jayalah Terus Indonesiaku (SMKN 1 Cimahi, Jawa Barat); Hijau Negeriku Indah Indonesiaku (SMKN 1 Sukabumi); Indonesia Kebangganku (SMA Purwosari, Trenggalek): Banteng-Banteng Penjaga Budaya (SMK Coe Jesu Malang): Ini Budayaku, Budayamu? (SMAN 1 Yogyakarta); ataupun Cintailah Batik Indonesia (SMK Nawa Bakti, Kebumen). Dari judul-judul tersebut bisa dikatakan terdapat keseragaman persepsi dalam menyikapi tema yang ditetapkan panitia FFPI. Dari beberapa judul diatas bisa kita perkiraan apa yang mereka pikirkan ketika tema tersebut menjadi syarat dalam setiap karya, yaitu tentang harapan dan kekhawatiran. Dua hal yang saling membelakangi namun dalam konteks negara kita sekarang menjadi sebuah hal yang relevan. Harapan akan negeri kita yang lebih baik dan kekhawatiran akan tergerusnya kebudayaan kita. Tema Indonesiaku Kebangganku juga sering diperlihatkan melalui bendera Merah Putih yang menjadi elemen penting dalam beberapa film yang masuk nominasi.

Selain screening dan penjurian, dalam FFPI diadakan pula klinik film, pada sesi ini merupakan berbagi pengetahuan dan pengalaman para alumni dan mahasiswa tingkat akhir FFTV-IKJ tentang produksi film. Ada 3 sesi dengan 3 pembicara dalam klinik film. Film cerita bersama Chairun Nissa, film fokumenter bersama, Ari Rusyadi, dan film animasi bersama Kuntep Tarawa. Para narasumber yang dipilih adalah alumni yang baru saja lulus dan film tugas akhirnya memenangkan beberapa festival film baik dalam dan luar negeri. Sementara pembicara film animasi dipilih mahasiswa senior yang mempunyai karakter dan teknik yang khas dalam pembuatan animasi. Dalam sesi ini, terjadi tanya jawab yang menarik tentang bahasan yang diangkat. Pembicara membedah kelebihan dan kekurangan film-film yang masuk nominasi. Seperti pada sesi animasi, pembicara memberi kritikan bahwa film-film yang masuk nominasi terlalu banyak mengandalkan software, sehingga memberi kesan mekanik dalam setiap gerak animasi yang dibuat. Melalui klinik film ini para peserta mendapatkan referensi yang baru tentang pembuatan maupun pengertian tentang film. Satu lagi kegiatan yang menarik pada FFPI adalah kuliah umum oleh Bambang Supriadi, director of photography senior sekaligus dosen sinematografi di IKJ. Bambang Supriadi mengajarkan unsur-unsur yang membentuk sebuah film. Melalui klinik film dan kuliah umum nampaknya memberikan pemahaman yang baru tentang film bagi para peserta yang hadir di gedung Art Cinema FFTV-IKJ.

Sebuah kertas gambar tampak di-background, lalu ada tangan orang yang sedang menggambar di kertas tersebut. Yang digambar adalah panorama alam Indonesia, gunung-gunung dengan pohon-pohon yang asri, lalu tiba-tiba tangan itu mengambil penghapus dan menghapus pohon-pohon tersebut dengan latar suara gergaji mesin, yang mendengung layaknya gergaji yang sedang menebang pohon. lalu dari bawah kertas muncullah api yang membakar kertas tersebut. Setelah semua terbakar, munculah kertas dengan gambar panorama alam lagi namun di kertas gambar ini, tidak ada penghapus dan suara gergaji, yang ada hanyalah suara alam dan burung berkicau. Dan tampak pula burung-burung yang beterbangan. Inilah gambaran yang bisa kita ungkapkan melalui kata-kata pada adegan film Hijau Negeriku Indah Indonesiaku yang disutradarai Prima Citra dari SMKN 1 Sukabumi. Film ini meraih film terbaik untuk kategori iklan layanan masyarakat sekaligus sutradara terbaik yang berhak memenangkan beasiswa setahun belajar di IKJ. Dari film ini kita bisa melihat penggunaan bahasa film yang sangat menarik.

FFPI 2010 selain sebagai tolak ukur bagi peserta, juga bisa kita pakai sebagai tolak ukur pengembangan film Indonesia kedepannya. Semoga kehadiran festival film semacam ini diharapkan mampu berperan dalam memajukan perfilman kita. Selain pembenahan pada sektor industri film, pengembangan film lewat penanaman pemahaman akan film kepada generasi muda, bisa dikatakan sama pentingnya. Pengenalan dan penggunaan bahasa film yang masih asing bagi kebanyakan massyarakat kita bisa dimulai lebih awal, yaitu dimulai dari para pelajar SMP dan SMA sederajat. Melalui pemahaman dan pengertian bahasa film yang ditanamkan sejak awal akan menumbuhkan kreasi dan apreasiasi film Indonesia yang semakin baik di masa depan.

Selamat untuk FFPI 2010 dan semua pemenang FFPI 2010.

Subiyanto

Jagongan Media Rakyat 2010

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2010 yang kedua kali ini diadakan di Jogja Nasional Museum mulai tanggal 22 hingga 25 Juli 2010 dengan tema �Berkumpul, Berbagi, Bergerak�. JMR sendiri diadakan dengan tujuan untuk meningkatkan geliat media-media komunitas di Indonesia, khususnya di Jogja agar lebih mampu meningkatkan potensi nilai-nilai lokal yang diusung oleh berbagai media komunitas itu sendiri, serta mempertemukan berbagai bentuk media komunitas agar mampu menjadi satu kesatuan yang solid.

JMR diramaikan oleh berbagai macam bentuk media Komunitas yang berhubungan dengan seni Audio Visual, diantaranya, ATVKI ( Asosiasi Televisi Komunitas Indonesia) yang merupakan suatu organisasi yang beranggotakan televisi komunitas di seluruh Indonesia, yang dalam pagelaran ini diwakilkan oleh televisi komunitas Kota Grabag, Magelang, yakni Grabag TV. Kemudian ada pula Cinema Lovers Communication (CLC) Purbalingga yang merupakan komunitas film pelajar dari Kota Purbalingga, yang bergerak dalam pembuatan film independen sekaligus kine club pelajar di Purbalingga. Ada pula FFD (Festival Film Dokumenter) yang merupakan sebuah ajang Festival Film Dokumenter yang rutin diadakan setiap tahun sebagai wadah apresiasi bagi film-film Dokumenter lokal maupun mancanegara. Selain itu pula juga turut serta berbagai komunitas fotografi seperti Pinhole dan Unit Fotografi UGM, serta masih banyak media komunitas lainya yang turut serta meramaikan acara ini.

JMR kali ini hadir dengan berbagai sajian, seperti pemutaran film, workshop, talkshow, seminar, hingga pagelaran seni. Untuk pemutaran film sendiri diadakan oleh komunitas film Purbalinggan (CLC) yang memutar film-film karya berbagai pelajar dari Purbalingga dengan tema �Pemutaran Film Banyumasan�, yang kemudian dilanjutkan dengan diskusi film tersebut. Untuk workshop ada dari komunitas Pinhole yang mengusung tema �Memotret Dunia dari Lubang Jarum� yang membahas tentang pembuatan foto dengan kamera lubang jarum serta berbagai variannya. Kemudian ada juga workshop oleh komunitas masyarakat peduli media dengan tema � Pertama Mengaburkan: Menjadi Penonton TV yang Cerdas� yang mencoba memberi wawasan kepada penonton untuk dapat lebih selektif dalam mencerna program-program acara dari berbagai stasiun televisi yang ada. Dari pagelaran seni, di tampilkan berbagai pentas seni tradisional yang bertujuan sebagai sarana unjuk gigi para seniman tradisional, seperti topeng ireng, kemudian angklung bambu, wayang kardus, pertunjukan, dan masih banyak lainnya.

Secara keseluruhan JMR cukup diminati oleh orang-orang yang bergelut dalam media komunitas, terlihat dari banyaknya media komunitas yang ikut berpartisipasi yang jumlahnya mencapai sekitar 40 komunitas dari berbagai daerah. Hal ini selaras dengan misi pagelaran ini sendiri, yang bertema Berkumpul, Berbagi, Bergerak yang mengisyaratkan bahwa pagelaran ini mencoba untuk mengumpulkan sebanyak mungkin media komunitas dari seluruh Indonesia dengan berbagai jenisnya baik itu pelaku media komunitas maupun penikmat, sehingga dapat saling berbagi maupun berkolaborasi untuk kemudian dapat bergerak bersama dalam mencerdaskan bangsa melalui media komunitas.

Selama 4 hari penyelenggaraan acara yang berlangsung dari jam 09.00 - 21.30 WIB ini, kami melihat kurangnya antusiasme dari para pengunjung JMR, terlihat dari cukup lenggangnya stand-stand media komunitas, dan bahkan beberapa stan juga ada yang terlihat kosong. Interaksi antara pengunjung dengan media komunitas terlihat lenggang, bahkan diskusi maupun pemutaran film juga terlihat sepi, tampak dari beberapa kursi yang kosong. Namun beberapa workshop yang dilangsungkan di gedung utama beberapa kali kami lihat selalu penuh dengan peserta.

Terlepas dari sepinya antusias pengunjung JMR 2010 ini, pagelaran ini pantas mendapat apresiasi positif, sebab bagaimanapun juga media komunitas memang sangat dibutuhkan dalam memajukan bangsa serta menjadikan masyarakat yang cerdas dan melek media. Sebab media komunitas sendiri memiliki potensi yang besar sebagai wadah pemikiran yang independen untuk mempertahankan warisan budaya serta nilai-nilai lokal. Ke depan kami berharap JMR mampu lebih baik dalam berbagai hal, dengan media komunitas yang lebih variatif serta mampu menarik minat masyarakat luas untuk ikut serta dalam mengembangkan media komunitas.

Febrian Andhika

Oceans,

Keindahan Klise dan Artifisial

Oceans (2010)
Sutradara: Jacques Perrin
Produser: Jacques Perrin / Nicolas Mauvernay
Ilustrasi Musik: Bruno Coulais
Distributor: Disneynature (AS) / Pathe & Warner Bros
Durasi: 84 menit
Bujet: $66 juta

Oceans merupakan film dokumenter tentang lautan yang mengambil lokasi di berbagai lautan di belahan bumi serta memakan waktu produksi hingga empat tahun lamanya. Oceans dituturkan menggunakan narasi yang diisi oleh sang sineas sendiri. Oceans menggambarkan berbagai aktifitas di bawah laut, permukaan, dan pantai dengan beragam variasi fauna laut. Film ini juga menggambarkan berbagai aktifitas manusia yang berefek pada kehidupan laut.

Dokumentasi tentang lautan serta kehidupan bawah laut bisa jadi sudah ribuan banyaknya. Oceans seperti film dokumenter bertema lautan yang sering kita lihat nyaris tidak menampilkan sesuatu hal yang baru. Secara umum film dokumenter ini terbagi tiga segmen besar, yakni gambaran kehidupan serta keindahan bawah laut, intervensi manusia, lalu dampak dari aktifitas manusia. Mata kita diwakili oleh seorang bocah cilik yang diberi �wejangan� oleh kakeknya (narator) tentang kehidupan serta keseimbangan ekosistem bawah laut. Satu hal yang sangat menganggu adalah seringkali penonton tidak memahami apa yang tengah disajikan. Narasi kadang tidak cukup menjelaskan dengan rinci (bahkan kadang tidak sama sekali) sebuah obyek, apa, bagaimana, dan mengapa. Durasi penyajian obyek seringkali terlalu singkat. Penonton belum sempat memahami dan beradaptasi dengan sebuah obyek mendadak diganti begitu saja dengan obyek yang lain. Ini sungguh melelahkan mata dan pikiran sekalipun gambar yang disajikan begitu memesona.

Tidak dapat dipungkiri film ini mampu menyajikan gambar-gambar yang sangat indah baik panorama bawah laut serta perilaku hewan-hewan laut di berbagai lokasi. Tak heran dari waktu produksinya yang memakan 4 tahun lamanya, sineas mampu memilih momen-momen yang sulit sekalipun. Seperti di awal film, disajikan gambar burung-burung yang tengah memangsa ikan-ikan di laut disajikan dengan begitu indah melalui variasi sudut kamera yang beragam baik dari udara, permukaan, maupun bawah laut. Ikan serta hewan laut beragam ukuran dan bentuk mampu ditangkap dalam momen-momen begitu indah, mulai dari kepiting, cacing, hingga paus berukuran raksasa. Namun yang disayangkan justru penggunakan efek visual maupun suara dalam beberapa segmen mengkibatkan filmnya tampak artifisial. Rasanya mustahil mengambil suara kaki ribuan kepiting yang berjalan di pasir di dasar lautan. Untuk apa produksi hingga 4 tahun lamanya jika hanya menggunakan efek visual dan suara?

Seperti film-film dokumenter bertema lingkungan lainnya, Oceans mengajak kita terutama generasi muda untuk memelihara dan menjaga keseimbangan lautan. Klise tapi yang kita butuhkan sekarang mungkin memang ini. Satu shot yang sangat menawan (semoga tidak direkayasa) ketika seekor anjing laut berenang di dasar laut mengitari sebuah kereta dorong supermarket (sampah). Namun sedikit kontradiktif ketika kita diperlihatkan ikan hiu, lumba-lumba, serta paus dibunuh secara �sadis� oleh para nelayan dengan iringan ilustrasi musik yang sendu. Kamera menyorot ini semua tidak dengan diam-diam namun tampak dari shot-shotnya seperti terencana dengan matang. Lantas apa maksud ini semua, mereka (pembuat film) memihak siapa? Mungkin tidak masalah jika film ini memang ditujukan untuk anak-anak.

Raja Reymon