Kamis, 21 Januari 2010

Zero Dark Thirty

A Top Class Action Thriller


20 Februari 2013

Sutradara: Kathryn Bigelow
Produser: Mark Boal/Kathryn Bigelow
Penulis Naskah: Mark Boal
Pemain: Jessica Chastain/ Jason Clark/Joel Edgerton/Mark Strong
Sinematografi: Greig Fraser
Editing: William Goldenberg/Dylon Tichenor
Ilustrasi Musik: Marco Beltrami
Studio: Annapurna Pictures
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 157 menit
Bujet: $40 juta


Kolaborasi Bigelow dan Boal setelah sukses dengan Hurt Locker kali ini kembali dengan Zero Dark Thirty yang sepertinya bakal mengulang sukses yang sama di ajang Academy Awards. Mirip dengan United 93�garapan Paul Greengrass, film ini adalah kisah fiksi yang diinspirasi dari kejadian nyata dengan plot utama perburuan gembong teroris, Osama Bin Laden sejak tragedi 9-11. Tokoh sentral adalah Maya (Chastain), seorang wanita muda anggota CIA yang mendedikasikan dirinya untuk memburu segala info yang mengarah ke Osama Bin Laden. Sepanjang film kita hanya melihat bagaimana karakter ini mengejar segala info sekecil apa pun melalui sarana intelejen dan interogasi tawanan teroris serta seringkali beradu mulut dengan bosnya karena ia dianggap membuang waktu. 


Masalah besar yang dihadapi kisahnya adalah semua orang telah tahu apa yang terjadi di akhir cerita. Kekuatan cerita ada pada proses, bagaimana, dan apa yang melatarbelakangi semuanya bisa terjadi. Film ini mampu menggambarkan proses investigasi secara detil sejak awal dengan sesekali didukung fakta-fakta atau footage yang sesungguhnya. Entah semuanya benar-benar terjadi atau sekedar dramatisasi cerita but it works. It really works. Penonton disajikan sebuah aksi thriller yang sangat intens hingga klimaks yang sangat menegangkan, yang mampu membuat penonton lupa akan �ending� filmnya.

Satu lagi yang menghidupkan filmnya adalah penampilan Jessica Chastain yang sangat beruntung mendapatkan peran yang pas sebagai Maya. Chastain yang wajahnya selalu terlihat lelah hampir sepanjang film, bermain sangat baik sebagai wanita yang ambisius dan pantang menyerah melawan segala rintangan yang dihadapi. Tercatat aktor-aktor pendukung lainnya juga bermain sangat prima, Jason Clark sebagai Dan (kolega Maya), Mark Strong sebagai Patrick (Bos Maya). Mencuri perhatian juga penampilan Joel Edgerton yang bermain sebagai pimpinan tim penyergapan di klimaks film.

Zero Dark Thirty adalah bukan film �politik� namun secara sederhana sebuah film aksi thriller murni yang dikemas dengan sangat baik dan berkelas. Terlepas kisahnya benar apa tidak namun dijamin penonton disajikan sebuah tontonan bermutu yang sangat menegangkan. Nuansa politik jelas tak luput dari pandangan banyak orang karena menyangkut kebijakan politik AS melawan terorisme, seperti metode interogasi para tawanan teroris, aksi penyergapan teroris, dan lainnya. Siapa pun boleh beropini apa saja namun Zero Dark Thirty simply just a top class action thriller. Zero bakal menjadi kontender terkuat dalam ajang Academy Awards besok mendampingi Life of Pi. (A)

A Good Day to Die Hard

This is Not �Die Hard�

6 Februari 2013

Sutradara: John Moore
Produser: Alex Young
Penulis Naskah: Skip Woods
Pemain: Bruce Willis/Jai Courtney/Sebastian Koch/Cole Hauser
Sinematografi: Jonathan Sela
Editing: Dan Zimmerman
Ilustrasi Musik: Marco Beltrami
Studio: Dune Entertainment/Media Magik Entertainment/Origo film Group
Distributor: 20thCentury Fox
Durasi: 97 menit
Bujet: $125 juta




Ketika melihat trailer-nya beberapa bulan yang lalu sudah tercium kualitas filmnya yang buruk, dan dugaan tersebut ternyata tidak salah. Sejak seri 1 hingga 4, seri Die Hard menjadi salah satu film action franchiseyang paling populer dan dinanti. Plotnya yang khas, karakter John McClane yang karismatik, jaminan adegan aksinya yang wah dan menegangkan, plus sedikit bumbu humor, serta skala cerita yang semakin meluas. Wajar jika semua orang memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap film ini. Film kelimanya kali ini dengan cerobohnya menghilangkan semua keistimewaan seri ini.

                Cerita kali ini ada di tanah Rusia, dimana puteranya terlibat plot membingungkan yang melibatkan seorang tokoh penting, Komarov. McClane terlibat dalam situasi rumit ini di waktu yang salah. Hasilnya McClane terlibat perburuan dog & mouse yang tak jelas dan perkembangan cerita yang serba membingungkan pula. Motif cerita menjadi hal terlemah dalam kisah filmnya karena aspek inilah yang menggerakkan aksi. Motif cerita yang lemah menjadikan adegan aksi menjadi hambar dengan ketegangan cerita yang sama sekali nol. Kita tidak mampu bersimpati maupun peduli apapun dengan karakternya. Singkat kata, kisahnya sangat memaksa. Sub plot bapak dan anak malah terasa sedikit menyentuh, itu pun karena kita telah mengenal karakter McClane sejak lama.

                Satu yang paling disesalkan adalah adegan aksinya yang brutal. Di seri Die Hard terdahulu, McClane adalah sosok polisi yang nekat tapi tidak ngawur dan ia selalu memiliki alasan atau motif yang kuat untuk melakukan sebuah tindakan atas aksinya. Satu alasan utamanya adalah jiwanya terancam (semua seri), orang-orang terdekatnya terancam nyawanya (seri 1, 2, dan 4), dan sesuatu hal yang bisa mengancam jiwa banyak orang (seri 1, 2, 3, dan 4). Kali ini McClane bukan sosok McClane yang sebenarnya tapi sosok yang sangat ceroboh dan ngawur. Sekuen aksi kejar mengejar mobil di kota adalah satu contoh sempurna. Hanya untuk menyelamatkan anaknya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, dia bisa membunuh puluhan banyak orang di jalanan. Lalu ada satu aksi memukul seorang pemilik mobil yang tak bersalah. What the hell? This is not John McClane.

                Die Hard 5 atau A Good Day to Die Hard (judul paling konyol dari semua seri) dari segala sisi bukan seri Die Hardseperti lazimnya. Plot, karakter, adegan aksi, terlebih unsur thriller, semua adalah salah. This is no Die Hard. Fans sejati Die Hard boleh jadi kecewa berat. I Hope this is the last time. John McClane is too old for this. (F)

The Last Stand


Film Aksi Medioker dan Kembalinya Schwarzenegger

30 Januari 2013

Sutradara: Kim Ji-woon
Produser: Lorenzo di Bonaventura
Penulis Naskah: Andrew Knauer
Pemain: Arnold Schwarzenegger/Forest Whitaker/Johnny Knoxville/Luiz Guzman
Sinematografi: Kim Ji-yong
Editing: Steven Kemper
Ilustrasi Musik: Mowg
Studio: di Bonaventura Pictures
Distributor: Lionsgate
Durasi: 107 menit
Bujet: $30-45 juta

Ada dua hal yang menarik di film ini. Pertama adalah kembalinya superstar aksi era 80-90-an, Arnold Schwarzenegger. Terakhir kita melihat Schwarzenegger bermain film adalah Terminator 3, satu dekade silam, dan walau pada saat itu ia sudah berumur namun karismanya tetap tampak. Kedua adalah keterlibatan sineas Korea berbakat, Kim Ji-woon yang memproduksi film-film Korea berkualitas macam A Tale of Two Sister, A BitterSweet Life, serta I Saw the Devil. Bahkan sinematografernya pun asal Korea, Kim Ji-Yong. Dengan bujet relatif rendah untuk aktor sekelas Schwarzenegger, Kim Ji-woon mampu meramu sebuah film aksi yang lumayan menghibur.

Plot filmnya sangat sederhana. Seorang tawanan khusus FBI yakni gembong narkotik internasional, Gabriel Cortez berhasil lepas dari kawalan. Cortez dengan ego dan kepercayaan diri nya yang tinggi mengendarai mobil super cepat untuk melewati perbatasan US-Mexico tentunya dengan dukungan anak buahnya. Satu persatu barikade tiap kota lewati tanpa perlawanan berarti hingga ia harus melewati satu kota kecil bernama Sommerton. Sebagai kota perbatasan terakhir, Sheriff Ray Owens (Schwarzenegger) dengan segala keterbatasan mencoba untuk menghentikan Cortez dan anteknya.

Plot film yang sederhana dengan tempo yang sedang memang memaksimalkan aksi dengan tambahan bumbu komedi. Adegan aksinya cukup lumayan khususnya aksi kejar- mengejar di jalan raya plus adegan standar tembak-menembak khas Schwarzenegger dengan senapan mesin besar. Tak ada yang istimewa namun juga tidak buruk-buruk amat. Bumbu komedi justru malah yang membuat filmnya menjadi tidak membosankan. Salah satunya karakter Deputi �Figgy� (Guzman) dengan polah dan celotehannya yang mampu membuat suasana bioskop menjadi penuh gelak tawa.  

The Last Stand menjadi pembuktian bagi Schwarzenegger bahwa ia ternyata masih mampu bermain dalam adegan-adegan aksi fisik yang menantang. Walau tak seagresif dulu namun setidaknya film ini cukup mengobati rasa rindu para fans sang superstar. Sementara bagi Kim Ji-woon film ini menjadi ajang pembuktian jika sineas Korea ternyata mampu membuat film aksi menghibur tak kalah dengan sineas Hollywood lainnya. Namun film ini sendiri masih belum bisa menyamai kualitas film-film lokal garapannya. Bagi Schwarzenegger, The Last Stand bisa menjadi titik awal kembalinya sang aktor untuk ke depan bisa bermain di film-film aksi yang lebih berkualitas. (C) 

The Last Stand

Film Aksi Medioker dan Kembalinya Schwarzenegger


30 Januari 2013

Sutradara: Kim Ji-woon
Produser: Lorenzo di Bonaventura
Penulis Naskah: Andrew Knauer
Pemain: Arnold Schwarzenegger/Forest Whitaker/Johnny Knoxville/Luiz Guzman
Sinematografi: Kim Ji-yong
Editing: Steven Kemper
Ilustrasi Musik: Mowg
Studio: di Bonaventura Pictures
Distributor: Lionsgate
Durasi: 107 menit
Bujet: $30-45 juta

Ada dua hal yang menarik di film ini. Pertama adalah kembalinya superstar aksi era 80-90-an, Arnold Schwarzenegger. Terakhir kita melihat Schwarzenegger bermain film adalah Terminator 3, satu dekade silam, dan walau pada saat itu ia sudah berumur namun karismanya tetap tampak. Kedua adalah keterlibatan sineas Korea berbakat, Kim Ji-woon yang memproduksi film-film Korea berkualitas macam A Tale of Two Sister, A BitterSweet Life, serta I Saw the Devil. Bahkan sinematografernya pun asal Korea, Kim Ji-Yong. Dengan bujet relatif rendah untuk aktor sekelas Schwarzenegger, Kim Ji-woon mampu meramu sebuah film aksi yang lumayan menghibur.


Plot filmnya sangat sederhana. Seorang tawanan khusus FBI yakni gembong narkotik internasional, Gabriel Cortez berhasil lepas dari kawalan. Cortez dengan ego dan kepercayaan diri nya yang tinggi mengendarai mobil super cepat untuk melewati perbatasan US-Mexico tentunya dengan dukungan anak buahnya. Satu persatu barikade tiap kota lewati tanpa perlawanan berarti hingga ia harus melewati satu kota kecil bernama Sommerton. Sebagai kota perbatasan terakhir, Sheriff Ray Owens (Schwarzenegger) dengan segala keterbatasan mencoba untuk menghentikan Cortez dan anteknya.

Plot film yang sederhana dengan tempo yang sedang memang memaksimalkan aksi dengan tambahan bumbu komedi. Adegan aksinya cukup lumayan khususnya aksi kejar- mengejar di jalan raya plus adegan standar tembak-menembak khas Schwarzenegger dengan senapan mesin besar. Tak ada yang istimewa namun juga tidak buruk-buruk amat. Bumbu komedi justru malah yang membuat filmnya menjadi tidak membosankan. Salah satunya karakter Deputi �Figgy� (Guzman) dengan polah dan celotehannya yang mampu membuat suasana bioskop menjadi penuh gelak tawa.  

The Last Stand menjadi pembuktian bagi Schwarzenegger bahwa ia ternyata masih mampu bermain dalam adegan-adegan aksi fisik yang menantang. Walau tak seagresif dulu namun setidaknya film ini cukup mengobati rasa rindu para fans sang superstar. Sementara bagi Kim Ji-woon film ini menjadi ajang pembuktian jika sineas Korea ternyata mampu membuat film aksi menghibur tak kalah dengan sineas Hollywood lainnya. Namun film ini sendiri masih belum bisa menyamai kualitas film-film lokal garapannya. Bagi Schwarzenegger, The Last Stand bisa menjadi titik awal kembalinya sang aktor untuk ke depan bisa bermain di film-film aksi yang lebih berkualitas. (C) 

The Hobbit: An Unexpected Journey

Mencoba Mengulang Sukses Trilogi �LOTR� 


14 Desember 2012

Sutradara: Peter Jackson
Produser: Peter Jackson
Penulis Naskah: Fran Walsh/Peter Jackson/ J.R.R. Tolkien (Novel)
Pemain: Ian McKellen/Martin Freeman/Andy Serkis/Cate Blanchett
Sinematografi: Andrew Lesnie
Editing: Jabez Olssen
Ilustrasi Musik: Howard Shore
Studio: New Line Cinema/MGM/WingNut Films
Distributor: Warner Bros. Pictures
Durasi: 169 menit
Bujet: $ - juta

Setelah penampilan gemilang trilogi LOTR (The Lord of the Rings) rasanya tidak ada sesuatu lagi yang bisa disisakan untuk The Hobbit. Trilogi ini adalah bisa dibilang adalah salah satu pencapaian tak ternilai sepanjang sejarah sinema dalam konteks skala produksi, aspek setting, efek visual, kedalaman cerita, serta banyak aspek lainnya. Jackson telah membuat sesuatu mahakarya yang nyaris tak mungkin divisualkan secara live action. The Hobbit: An Unexpected Journey diambil pula dari novel karya Tolkien yang berlatar kisah 60 tahun sebelum peristiwa LOTR. The Hobbit juga direncanakan menjadi sebuah trilogi yang dirilis berurutan dalam tiga tahun. Uniknya, awal filmnya dimulai dengan adegan kecil sesaat sebelum kisah LOTR dimulai, menampilkan karakter Frodo (Elijah Woods). Tokoh utamanya adalah Bilbo Baggins (Freeman) yang diperdaya Gandalf untuk mengikuti rombongan Dwarf pimpinan Thorin untuk merebut kembali kampung halaman mereka yang hilang. Sepanjang perjalanan mereka menemui banyak rintangan dan masalah hingga akhirnya Bilbo secara tak sengaja bertemu dengan Gollum (Serkis) yang memiliki cincin ajaib milik Sauron.


Struktur kisahnya tak berbeda banyak dengan LOTR namun lebih sederhana yang hanya diisi dengan perjalanan dan aksi perang secara repetitif. Berbeda dengan trilogi LOTR yang masing-masing diadaptasi dari tiga novel, satu novel The Hobbit dipecah menjadi tiga film. Hasilnya? Sebuah kisah yang sangat lambat, sangat detil, dan sangat membosankan. Kisahnya berlama-lama dan sama seperti menonton DVD extended version seri LOTR. It�s very frustrating menonton di layar bioskop. Momen-momen menarik hanyalah nuansa �nostalgia� bertemu kembali dengan karakter-karakter LOTR, seperti Gandalf, Saruman, Galadriel, Elrond, Frodo, hingga Gollum. Sangat menyenangkan melihat Gandalf, Saruman, Elrond, Galadriel (empat aktor senior) duduk berdiskusi dalam satu meja, hal yang tak pernah ada dalam LOTR. Namun momen yang paling menarik adalah ketika karakter fenomenal, Gollum, muncul. Adegan bermain teka-teki antara Gollum dan Bilbo adalah satu-satunya scene paling menarik sepanjang film ini. Gollum benar-benar mencuri perhatian.

Bicara soal 3D, jujur saja, The Hobbit adalah pencapaian terbaik yang pernah saya lihat. Gambar-gambar jauh maupun dekat mampu ditampilkan secara sempurna, dan seolah gambar mencuat dari layar sepanjang filmnya. Pencapaian efek visual (CGI) juga tak perlu lagi diragukan karena ini yang menjadi salah satu andalan filmnya. Jackson menggunakan 48fps (lazimnya 24fps) berakibat pada efek gerakan gambar yang sangat halus namun efek gambarnya menjadi aneh, layaknya gambar format video, dan kita sama sekali tidak seperti menonton film. Entah mungkin jika menonton IMAX 3D gambarnya tidak seperti ini namun dari apa yang saya tonton, gambarnya sungguh sangat tidak nyaman, dan menjauhkan kita untuk bisa larut dalam filmnya.  

The Hobbit: An Unexpected Journeyadalah semata-mata hanya usaha untuk mengulangi sukses trilogi LOTR yang fenomenal. Kisah filmnya yang dipecah menjadi tiga jelas terlalu panjang untuk adaptasi satu novelnya dan murni strategi marketing untuk menghasilkan banyak keuntungan.  Para fans LOTR bisa suka, atau tidak suka dengan The Hobbit, namun faktanya trilogi LOTR masih terlalu superior. It�s really an unexpected journey for me.. (C+)

Life of Pi


Memaknai Agama dan Tuhan

3 Desember 2012

Sutradara: Ang Lee
Produser: Ang Lee
Penulis Naskah: David Magee / Yann Martel (Novel)
Pemain:  Suraj Sharma / Irfan Khan / Rafe Spall
Sinematografi : Claudio Miranda
Editing: Tim Squyres
Ilustrasi Musik: Mychael Danna
Studio: Fox 2000 Pictures / Rhythm & Hues
Distributor: 20thCentury Fox
Durasi: 127 menit
Bujet: $120 juta

Tak banyak film yang mampu mencapai keseimbangan antara kekuatan bahasa sinematik dengan kedalaman tema. Life of Pi adalah salah satu pencapaian langka yang boleh dibilang sempurna. Life of Pi mengisahkan perjalanan hidup seorang laki-laki muda bernama Piscine Molitor Patel atau �Pi� (Suraj) yang sejak kecil memiliki rasa keingintahuan dan penasaran terhadap sosok Tuhan. Ayah Pi adalah pemilik sebuah kebun binatang kecil di India. Suatu ketika ayah Pi menutup kebun binatang dan berlayar ke Kanada dengan membawa serta seluruh binatang milik mereka untuk dijual. Topan badai menenggelamkan kapal bersama seluruh isinya hanya menyisakan Pi yang selamat dengan sekocinya. Belakangan Pi menyadari jika seekor Harimau Bengal bernama Richard Parker, juga berada dalam sekoci. Pi tidak hanya harus bertahan hidup melawan lautan yang kejam namun juga dari sang harimau.


Gelagat kekuatan gambar serta efek 3D sudah mulai tampak sejak opening title sequence yang memperlihatkan satu demi satu binatang-binatang di kebun binatang milik ayah Pi melalui komposisi yang mengesankan. Mengakhiri sequence justru karakter utama, Richard Parker hanya ditampilkan melalui pantulan bayangan di air. Kekuatan efek 3D tampak terasa sekali sejak Pi terdampar di lautan, catat saja scene munculnya sang harimau yang dijamin bakal membuat Anda menjerit dan meloncat dari tempat duduk! Kisahnya yang menghanyutkan sekaligus menegangkan membuat efek 3D benar-benar membaur dan larut dalam filmnya. Efek 3D bersama tone gambar filmnya yang penuh warna mampu membuat penonton terkesima hingga kita terbuai dalam imaginasi bak alam mimpi. Dan nyatanya memang ini yang diharapkan dari filmnya.

Nuansa religius sudah terasa sejak awal kisah filmnya. Pi kecil mencoba menganut berbagai macam aliran kepercayaan, Hindu, Katolik, serta Islam, dan anehnya ia menemui kedamaian pada masing-masing kepercayaan tersebut. Sementara ayahnya mengajarkannya untuk menggunakan akal dan logika. Temanya: Esensi semua agama adalah sama? Tidak. Film ini sama sekali tidak berbicara masalah ini. Life of Pi tidak mencoba mengungkap atau membenarkan sebuah aliran kepercayaan atau bahkan membincangkan konsep Tuhan namun bagaimana persepsi serta penafsiran manusia terhadap kisah atau mitos kepercayaan tersebut. Sebuah tradisi yang dikisahkan secara turun-temurun yang belum jelas bukti otentiknya bisa menjadi realita atau bisa pula khayalan. Nuansa ambigu pada ending filmnya menjawab sikap serta pandangan manusia terhadap konsep Tuhan. Which one do you believe? Semua tergantung sikap dan penafsiran Anda. Ada yang percaya dan ada yang tidak.

Life of Pi dengan gayanya yang elegan mencoba memaknai hakikat agama dan Tuhan melalui kisah yang sangat menyentuh dan segar. Kekuatan �bercerita� (story telling) menjadi tema sekaligus kekuatan unsur cerita dan sinematik filmnya. Rasanya ini adalah sebuah pencapaian baru dalam dunia film. Nominasi Oscar untuk best picture sepertinya sudah ditangan dan untuk meraih Oscar pun sama sekali bukan mimpi. (A)

The Twilight Saga: Breaking Dawn Part II

Nigthmare is Over

19 November 2012

Sutradara: Bill Condon
Produser: Stephenie Meyer
Penulis Naskah: Melissa Rosenborg / Stephenie Meyer
Pemain: Kristen Stewart / Robert Pattinson / Taylor Lautner
Sinematografi : Guillermo Navarro
Editing: Virginia Katz
Ilustrasi Musik: Carter Burwell
Studio: Summit Entertainment
Distributor: Summit Entertainment
Durasi: 116 menit
Bujet: $120-130 juta

The Twilight Saga adalah sebuah fenomena dalam industri film yang selalu ditunggu khususnya pada penggemar setianya yang kebanyakan remaja. Setelah seri ini berjalan sekian lama akhirnya tuntas juga melalui film ini. Kisahnya melanjutkan Breaking Dawn Part 1, kini Bella yang telah menjadi vampir menikmati peran barunya ini, seolah ia terlahir menjadi vampir. Renesmee, putri Bella dan Edward memiliki pertumbuhan fisik yang luar biasa cepat akibat bersatunya gen vampir dan manusia.  Jacob yang merupakan soulmate Renesmee, tak pernah jauh-jauh darinya. Masalah mulai muncul ketika, Alice mendapatkan pertanda jika Volturi datang dan ingin membunuh Renesmee karena dianggap melanggar hukum mereka.


Sepertiga cerita, alur kisahnya berjalan lambat seperti film-film sebelumnya namun begitu isu Volturi muncul mendadak tempo kisahnya berjalan cepat. Secara umum kisahnya tidak berbeda dengan sebelumnya, ringan dan tidak terlalu sulit diantisipasi. Berbeda dengan sebelumnya adalah kali ini peristiwa demi peristiwa berjalan dengan sangat cepat tanpa ada unsur drama yang berarti. Masalah selain isu Volturi seolah hanya tempelan, contohnya saja hubungan Bella dengan ayahnya. Lalu kejutan kecil dalam klimaks cerita justru menguntungkan bagi para penonton yang belum membaca novelnya. Alur kisah yang cepat dan dinamis ditambah belasan karakter baru mampu membuat film ini jauh lebih menarik dari film-film sebelumnya. Sekalipun demikian tetap saja tidak mampu mengangkat dialog-dialognya yang amat buruk dan dangkal, sama seperti kelemahan seri-seri sebelumnya. Kita bahkan bisa menduga apa yang akan dibincangkan sebelum dialog dimulai. It�s so frustrating..

Bujet produksi yang lebih dari $120 juta ternyata sama sekali tidak berpengaruh pada aspek rekayasa digital (CGI) yang kelasnya hanya medioker. It�s no big deal. Bedanya dengan aksi-aksi sebelumnya kali ini unsur kekerasan diperlihatkan secara eksplisit. Entah berapa kepala vampir yang ditarik hingga putus dalam aksi perkelahian brutal di klimaks cerita. Again.. it�s no big deal. Para fans (kebanyakan remaja wanita) sepertinya menikmati ini semua. Yes.. Para fans setianya yang sepertinya menikmati ini semua. Penonton seperti saya hanya bisa kebingungan dengan semua yang terjadi, mengapa masalah yang sebenarnya bukan masalah bisa menjadi masalah besar? Para vampir (versi Meyer) sepertinya memiliki masalah komunikasi. Satu pertanyaan kecil.. bagaimana mereka bisa bicara tentang hati (perasaan) jika mereka tidak lagi memiliki hati? Oh I�m glad this nightmare is over. (C-)

Rise of the Guardians


Bicara Masalah Eksistensi

4 Desember 2012

Sutradara: Peter Ramsey
Produser: Christina Steinberg / Nancy Berstein
Penulis Naskah: David Lindsay - Abaire
Pemain: Chris Pine / Alec baldwin / Hugh Jackman / Isla Fischer / Jude Law
Sinematografi :
Editing: Joyce Arrastia
Ilustrasi Musik: Alexandre Desplat
Studio: Dreamworks Animation
Distributor: Paramount Pictures
Durasi: 97 menit
Bujet: $145 juta

Film yang membicarakan dongeng turun-temurun seperti Santa Claus, Jack Frost, Tooth Fairy, serta lainnya sepertinya sudah tak terhitung jumlahnya. Namun belum ada film yang menampilkan semua karakter dongeng ini secara sekaligus. Rise of the Guardiansmenampilkan hampir seluruh karakter dongeng barat dengan segala atribut dan keunikannya. Dalam kisah filmnya secara singkat, Jack Frost (Pine), harus memimpin rekan-rekannya untuk melawan Pitch (Law) yang berniat membuat seluruh anak-anak hidup dalam kegelapan dan rasa takut. Seperti film anak-anak lazimnya, kisahnya berjalan ringan serta ending yang tak sulit ditebak.


Kisahnya harus diakui memang cukup menarik dan menyentuh namun budaya penonton kita yang tidak akrab dengan karakter-karakter dongeng barat ini membuat �jarak� antara penonton dengan filmnya. Terlebih latar belakang masing-masing tokoh memang tidak ditonjolkan kecuali karakter Jack Frost. Agak terasa janggal juga melihat karakter-karakter besar dan populer ini muncul dalam satu kisah. Visualisasi masing-masing tokoh pun mungkin tidak seperti yang dibayangkan orang namun ini rasanya bukan masalah.

Awal kisah yang sedikit membosankan pada awalnya sedikit demi sedikit mulai menarik sejalan kisahnya. Lambat laun penonton mulai bisa bersimpati dengan tokoh-tokohnya. Tema �team works� sejenis ini memang bukan hal baru lagi namun film ini memiliki poin berbeda yakni masalah eksistensi. Sejalan dengan bertambahnya umur anak-anak menjadi dewasa mereka semakin tidak percaya dengan tokoh-tokoh dongeng ini lagi. Mereka bisa menghilang seperti Jack Frost yang tak bisa terlihat di mata manusia. Film ini secara sederhana mengingatkan akan kekuatan imajinasi dan harapan yang membuat kita bisa eksis dalam kehidupan ini.

Rise of the Guardians bisa jadi memang untuk tontonan anak-anak namun penonton dewasa rasanya bisa menikmati film ini lebih baik. Problem para Guardiansadalah problem orang dewasa. Dengan gambar dan sekuen aksi yang memanjakan mata rasanya film ini sudah cukup menghibur. Namun untuk bersaing dengan film-film animasi lain dalam ajang Academy Awards tahun depan rasanya masih sulit.  (B)

Wreck-It Ralph


Colourful, Fun, and Touching

9 November 2012

Sutradara: Rich Moore
Produser: Clark Spencer
Penulis Naskah: Phil Johnston  / Jennifer Lee
Pemain: John C. Reilly / Sarah Silverman / Jake McBrayer / Jane Lynch
Ilustrasi Musik: Henry Jackman
Studio: Walt Disney Animation Studio
Distributor: Walt Disney Pictures
Durasi: 108 menit
Bujet: $165 juta

Ketika sebuah game centretutup jam bukanya, semua karakter dalam game tersebut ternyata hidup dan bisa berpindah dari satu game ke game lain. Layaknya manusia yang saling berinteraksi, mereka juga bisa jenuh, sedih, tertawa, bahagia, dan lainnya. Ralph (Reilly), seorang karakter antagonis dalam game Fix-It Felix Jr., merasa bosan dengan rutinitasnya karena ia tidak memiliki teman dan tidak pernah mendapat pengakuan dari para karakter pada game tersebut. Ralph berusaha mendapatkan medali dalam game Hero�s Duty agar mendapat pengakuan namun kecerobohannya tak disadarinya justru membahayakan semuanya. Raplh terdampar di sebuah game balapan Sugar Racedan berteman dengan Vanellope, seorang gadis cilik  aneh dalam game tersebut.


Ide kisahnya memang tidak orisinil dan merupakan kombinasi dari kisah Toy Story dan Tron. Hal yang sangat menarik adalah bagaimana mereka bisa berpindah dari satu permainan ke permainan lain dengan masing-masing karakter game yang berbeda. Para gamer pasti kenal dengan banyak karakter dari permainan populer, seperti Pac man, Sonic, serta Street Fighter. Dalam satu scene, terlihat sebuah sesi terapi bagi para tokoh jahat di semua game, sangat lucu melihat bagaimana tokoh-tokoh tersebut berkeluh kesah dengan keseharian mereka. Kisahnya juga menonjolkan sisi dramatik yang kuat khususnya hubungan antara Ralph dengan Vanellope serta bumbu roman antara Felix dengan Jean. Walau alur dan akhir kisahnya tidak sulit ditebak, namun ending-nya cukup menyentuh.

Sajian gambar yang penuh warna adalah satu poin lebih filmnya. Gambarnya sungguh mengagumkan dan menyenangkan untuk dipandang terutama di lokasi cerita game Sugar Race. Kombinasi warna dan sekuen aksi balapan pada klimaks film benar-benar memanjakan mata penonton. Beberapa banyolan serta aksi dan polah konyol yang segar semakin menambah semarak filmnya. �Look at the High Definition face..� puji Felix ketika pertama kali melihat wajah Jean. Dengan sajian visual yang sempurna plus kisah yang ringan namun bermakna dalam menjadikan Wreck It Ralph menjadi pesaing kuat Brave untuk mendapatkan Oscar animasi terbaik tahun ini. Sukses film ini dan kisahnya yang masih bisa dieksplor lebih luas menjadi jaminan sekuelnya akan muncul. Jangan pula lewatkan film animasi pendek, Paperman, yang kisahnya dikemas romantis dan manis sebelum film utama dimulai.  (B+)

Skyfall

�James Bond Begins�


1 November 2012

Sutradara: Sam Mendes
Produser: Michael G. Wilson / Barbara Broccoli
Penulis Naskah: John Logan / Neil Purvis / Robert Wade
Pemain: Daniel Craig / Javier Bardem / Judi Dench / Ralph Fiennes / Naomie Harris
Sinematografi : Roger Deakins
Editing: Stuart Baird
Ilustrasi Musik: Danny Elfman
Studio: Eon Productions / Danjaq LLC
Distributor: MGM / Columbia Pictures
Durasi: 143 menit
Bujet: $150 juta

Skyfall adalah film ketiga Bond yang dibintangi Daniel Craig. Film ini adalah tercatat film ke-23 Bond produksi EON Productions dan persis 50 tahun setelah film Bond pertama, Dr. No (1962). Tidak seperti Casino Royale dan Quantum of Solace yang kisahnya saling berhubungan, Skyfall terpisah dengan kisah sebelumnya. Bond (Craig) kini harus menghadapi kelompok misterius yang ingin menghancurkan MI6 dan M (Dench), khususnya. Sejalan penyelidikan yang dilakukan Bond mengarah kepada seseorang bernama Raoul Silva (Bardem). M sendiri di lain pihak mesti berhadapan dengan atasannya yang ingin menutup biro MI6. Selebihnya, not much to tell, karena akan merusak kenikmatan Anda menonton (spoiler).


Kisahnya yang independen sungguh diluar dugaan dimana kontinuitas cerita terputus dengan dua kisah film sebelumnya. Film ini kembali mengikuti tradisi plot film-film Bond terdahulu. Namun sepanjang sejarah film James Bond, kisahnya kali ini adalah yang paling �suram & gelap�. Kisahnya lebih personal dan unsur drama lebih dominan ketimbang aksinya, hal yang tidak pernah terjadi dalam film-film Bond sebelumnya. Satu jam durasi cerita berjalan dengan tempo lambat, tanpa konflik yang berarti bahkan tanpa arah cerita yang jelas, semua masih serba gelap. Namun setelah karakter Silva muncul, tempo cerita mulai berubah drastis. Sekuen di London penuh dengan kejutan dan aksi menegangkan lalu sekuen akhir di Skotlandia penuh dengan aksi dan adegan klimaks yang dramatik. Adegan akhir filmnya menjadi penutup sempurna bagi perayaan franchise James Bond yang genap berusia 50 tahun.

Adegan aksinya minim efek visual dan tidak bombastis seperti dua film sebelumnya, kecuali untuk sekuen pembuka. Aksi memang kini bukan penekanan filmnya. Filmnya yang benuansa �gelap� secara literal juga tampak dalam banyak adegan aksinya yang berlangsung di malam hari atau di tempat gelap (subway atau lorong bawah tanah). Setting pun seperti biasa kebanyakan film-film Bond selalu berpindah negara ke lokasi-lokasi eksotis seperti Turki, Shanghai, Macau, hingga Skotlandia. Properti lawas, yakni mobil Aston Martin DB5 yang digunakan dalam Goldfinger kali ini juga beraksi kembali. Satu lagi aspek teknis yang sudah menjadi tradisi dalam film-film Bond, adalah lagu dan musik temanya. Lagu �Skyfall� yang dibawakan penyanyi Inggris, Adele mengiringi sempurna opening title sequence yang bernuansa �kematian� (gelap).

Satu aspek yang mendukung kisahnya yang dramatik jelas tidak luput dari penampilan menawan para pemainnya. Craig sejak Casino Royale memang telah memiliki �jiwa� Bond dalam dirinya dan kini semakin matang menjiwai perannya. Dench seperti biasa bermain sempurna sebagai M namun kini sosok keibuannya lebih tampak ketimbang sebelumnya. Sementara Fiennes dan Harris bermain biasa namun yang menjadi fokus perhatian adalah Javier Bardem. Bardem bermain brilyan sebagai Silva seorang psikopat jenius dengan amarah dan dendam personalnya. Bardem mampu membuat karakter Silva pada awalnya begitu diremehkan namun disegani, ditakuti, bahkan mendapat simpati sejalan kita mengenal lebih jauh karakter ini. Bardem adalah salah satu kekuatan film ini yang banyak mengingatkan pada karakter Joker (mendiang Heath Ledger). Hal yang mengejutkan pula dalam film kali ini Bond tanpa didampingi Bond�s girl.

Skyfall bisa jadi mengecewakan para penonton yang menuntut aksi seru seperti sebelumnya namun tentunya tidak bagi para penggemar setianya. Sam Mendes memilih pendekatan yang jauh berbeda dengan lebih menonjolkan sisi manusiawi karakter-karakternya. Kisah yang dramatik, aksi seru, kejutan, unsur humor, nostalgia film-film Bond masa lalu, musik tema, dan tentu saja penampilan sempurna pada pemainnya menjadikan Skyfall adalah salah satu film Bond terbaik. Nuansa Christopher Nolan (trilogi The Dark Knigth) tidak dipungkiri memang begitu terasa dalam plotnya. Reebot James Bond yang dilakukan melalui �dwilogi�, Casino Royale dan Quantum of Solace seolah di-reebot kembali oleh Skyfall dengan lebih fresh. Jika Nolan memiliki Batman Beginsmaka Bond memiliki Skyfall aka �James Bond Begins�. (A) 

NB: beberapa aspek yang menjadi nilai lebih film ini terutama dari aspek cerita belum bisa dijelaskan (spoiler). 

Frankenweenie


Antara Konsistensi dan Kejenuhan

24 Oktober 2012

Sutradara: Tim Burton
Produser: Tim Burton
Penulis Naskah: Tim Burton
Pemain: Charlie Tahan / Catherine O�Hara / Martin Short / Winona Ryder / Martin Landau
Sinematografi : Peter Sorg
Editing: Chris Lebenzon / Mark Solomon
Ilustrasi Musik: Danny Elfman
Studio: Tim Burton Productions
Distributor: Walt Disney Pictures
Durasi: 87 Min
Bujet: $40 juta

Patut diacungi jempol, Tim Burton sejak awal hingga kini tetap mampu memberikan sentuhan gaya yang konsisten melalui tema dan kisah yang gelap dengan sentuhan ekpsresionistik-nya. Animasi stop motion juga bukan hal baru bagi Burton, tercatat The Nigthmare before Christmas dan Corps Bride. Frankenweenie diangkat dari film pendek �live action� berjudul sama tahun 1984 yang juga garapan Burton. Frankenweenie kisahnya kurang lebih sama dengan film pendeknya yang diadaptasi lepas dari cerita Frankenstein karya Mary Shelley. Victor Frankenstein adalah seorang bocah penyendiri yang juga seorang peneliti cilik. Victor memiliki seekor anjing bernama Sparky yang sangat ia sayangi. Suatu ketika Sparky tertabrak mobil kita sedang bermain dan tewas seketika. Victor yang tidak bisa menerima kenyataan mencoba melakukan eksperimen untuk menghidupkan kembali Sparky.


Siapapun yang telah melihat pendeknya pasti kisahnya kini tidak lagi memberikan kejutan yang berarti. Film panjangnya ini lebih terlihat seperti film pendeknya yang dipanjangkan dengan tambahan beberapa karakter baru seperti teman-teman sekelas Victor. Penokohan karakter selain karakter utama sama sekali tak tampak sehingga empati kita ke tokoh-tokoh lain nyaris tak ada. Kisahnya pun tidak sedramatik dan sehangat film pendeknya. Di film pendeknya, kita bisa ikut merasa khawatir jika Sparky sampai terlihat orang, dan pada sekuen klimaks kita juga bisa merasakan betul simpati para tetangga yang berubah terhadap Sparky setelah ia menyelamatkan Victor di menara kincir angin namun ini semua tidak tampak tidak di film panjangnya. Monster-monster yang dihidupkan oleh teman-teman sekelas Victor juga terlalu mudah motifnya dan jelas terlalu berlebihan, tanpa penyelesaian yang memadai atau konsekuensi dari perbuatan mereka.

Frankenweenie adalah semata hanya film personal Burton lainnya. Konsistensi gaya khususnya dari sisi kematangan pencapaian visualnya yang sangat artistik memang menjadi andalan sang sineas selama ini. Ilustrasi musik dari komposer tetapnya, Danny Elfman juga masih memberi warna tersendiri bagi film-filmnya. Masih ditunggu karya masterpiece sang sineas, setelah Ed Wood,Edward Scissorshand dan Sleepy Hollow pada dua dekade silam. Kelemahan Burton pada beberapa film terakhirnya seperti Alice in Wonderland dan Dark Shadows memang terletak pada pengembangan plotnya. Sang sineas seolah bersenang-senang dengan dirinya sendiri di film-film ini tanpa memperdulikan penonton. Jika Burton tidak ingin membuat jenuh para penggemarnya, ia harus melakukan sebuah terobosan baru, tanpa harus melepas ciri khasnya. (B-) 

End of Watch


Sisi Humanis dan Realisme dalam Kemasan Seri TV

19 Oktober 2012

Sutradara: David Ayer
Produser: John Lesher / David Ayer
Penulis Naskah: David Ayer
Pemain: Jake Gylenhaal / Michael Pena
Sinematografi : Roman Vasyanov
Editing: Dody Dorn
Ilustrasi Musik: David Sardy
Studio: -
Distributor: Open Road Films
Durasi: 109 Min
Bujet: $7 juta

Kisah tentang polisi entah sudah berapa banyak diangkat ke layar bioskop. End of Watch adalah salah satunya yang mencoba tampil berbeda dengan mengangkat keseharian serta sentuhan humanis dengan kemasan a la dokumenter. Brian Taylor (Gylenhaal) dan Mike Zavala (Pena) adalah dua polisi muda yang juga partner dan bersahabat kental. Mereka berdua adalah polisi yang jujur dan berdedikasi tinggi. Kisah film berjalan menampilkan keseharian mereka dalam menjalankan tugas yang tak jarang membahayakan jiwa mereka hingga bahkan suatu ketika mereka meraih medali tanda jasa. Suatu kali secara tidak sengaja penyergapan mereka mengusik bisnis seorang kartel asal Meksiko. Sang bos lalu memerintahkan anak buahnya untuk melenyapkan Brian dan Mike.


Tak ada konflik cerita yang kuat sepanjang filmnya. Kisahnya hanya benar-benar menyuguhkan keseharian Brian dan Mike dalam menjalankan rutinitas mereka. Kisahnya justru malah menekankan hubungan erat diantara mereka berdua yang bersahabat layaknya saudara kandung. Sisi manusiawi begitu kental dalam filmnya, terutama bagaimana mereka menghadapi masalah pribadi mereka. Walau tidak ada konflik yang kuat namun penampilan memukau dari Gylenhaal dan Pena yang menjadi daya tarik film ini. Mereka berdua tampil ekspresif dan enerjik namun juga mampu tampil natural apa adanya tanpa ada sesuatu yang dilebih-lebihkan. Chemistry kuat diantara kedua tokoh ini serta sentuhan humor adalah satu faktor yang mampu mengalahkan kisahnya yang datar nyaris sepanjang film.

Film ini dikemas dengan gaya dokumenter menggunakan kamera yang dibawa Brian, serta dua mini kamera yang ditambatkan di dada Brian dan Mike. Namun film ini juga menggunakan sumber kamera lain seperti kamera milik para gangster, kamera CCTV, dan entah apa lagi. Seolah sejak awal memang terlihat film ini adalah hasil editan footage dari kamera-kamera tersebut (seperti film-film found footage kini lazimnya) namun nyatanya tidak. Sumber kamera tidak konsisten dengan seringkali menampilkan sudut-sudut kamera yang bukan berasal dari kamera dalam dunia cerita. Lalu juga gerak kamera seringkali amat kasar sehingga sangat-sangat tidak nyaman untuk ditonton. Sebenarnya bukan masalah sumber kamera tidak konsisten atau gerak kamera yang kasar namun teknik-teknik ini justru menjauhkan penonton untuk bisa larut dalam filmnya. Ini problem terbesar filmnya.

End of Watch sebenarnya adalah film yang menarik terutama karena penampilan menawan dua aktornya namun kemasan �dokumenter� dengan teknik video footoge dan handheld yang kelewat kasar membuat film ini menjadi kurang nyaman untuk ditonton. Kisah yang datar terbalas dengan ending-nya yang sangat dramatik. Sebagai penutup, melihat film ini serasa melihat tayangan acara tv tentang polisi �live in action� yang sering kita lihat di layar kaca. Jika Anda memang tahan dengan penyajiannya yang �kasar� rasanya Anda bisa menikmati film ini lebih baik dari saya. (C+)

Dredd


The Raid� Versi Sci-Fi Hollywood 

16 Oktober 2012

Sutradara: Pete Travis
Produser: Alex Garland / Andrew MacDonald / Allon Reich
Penulis Naskah: Alex Garland
Pemain: Karl Urban / Olivia Thirlby
Sinematografi : Anthony Dod Mantle
Editing: Mark Ekersley
Ilustrasi Musik: Paul Leonard-Morgan
Studio: DNA Films / IM Global / Reliance Entertainment
Distributor: Lionsgate
Durasi: 95 Min
Bujet: $45 juta

Dredd adalah remake film aksi fiksi-ilmiah adaptasi komik, Judge Dredd (1995) yang dibintangi Silvester Stallone dengan kisah yang sama sekali berbeda. Hal yang amat mengejutkan adalah plotnya memilki banyak kemiripan dengan plot film aksi produksi kita, The Raid yang baru saja rilis. Entah ini semata kebetulan atau lainnya masih sulit dijelaskan. Secara ringkas plotnya begini, Hakim Dredd (Urban) dan partnernya calon hakim, Cassandra (Thirlby), menyelidiki pembunuhan tiga orang  yang tewas terjatuh di sebuah tower blok kumuh berlantai 200 bernama, Peach Trees. Penyelidikan mengarah ke lantai 37 yang berujung penyergapan para pengguna obat terlarang �slo-mo�. Penyergapan berbuah tertangkapnya anak buah Ma-Ma, seorang wanita gembong narkoba �slo-mo� yang amat sadis. Ma-Ma yang melihat situasi ini bakal menghancurkan usahanya berusaha mencegah Dredd keluar gedung dan menutup rapat seluruh area gedung (war protocol) lalu memerintahkan seluruh anak buahnya untuk membunuh sang hakim dan rekannya. Sounds familiar huh?


Tidak hanya plotnya, setting lorong-lorong gedung yang kumuh dengan tata cahayanya, serta ilustrasi musik pun nyaris sama dengan The Raid. Juga satu adegan ketika Dredd bersama rekannya bersembunyi di sebuah ruang apartemen milik seorang ibu bersama bayinya. Adegan aksinya juga sama keras dan brutalnya dengan The Raid, mempertontonkan banyak darah dan timbunan mayat dimana-mana. Hanya saja aksinya lebih didominasi aksi tembak-menembak ketimbang duel tangan kosong. Secara umum bisa dikatakan inti kisah, setting, dan aksi brutal dalam Dredd amat mirip, bedanya hanya kisahnya lebih bisa dinalar ketimbang The Raid.  Latar kisah dan sisi dramatik tokoh Dredd bukan fokus utama cerita seperti dalam Judge Dredd (Stallone) namun kini lebih fokus pada �aksi sehari� bersama Dredd.

Terlepas dari kemiripan plot dengan The Raid, Dredd mampu menyajikan efek visual serta setting yang menawan untuk ukuran B-Movies. Setting kota dan bangunan lebih realistik ketimbang Judge Dredd (bujet $90 juta) yang kaya efek visual. Karl Urban yang wajahnya selalu tertutup helm (konon sama seperti di komiknya) tampil prima dengan menampilkan sosok Dredd yang dingin, keras, dengan sedikit selera humornya. Berbeda memang dengan Dredd yang diperankan Stallone dengan segala karisma dan pesona sang bintang. Satu efek unik yang tersaji menawan adalah efek slow motion dari obat �slo-mo� seolah kita bisa merasakan �nikmat�nya pengaruh obat tersebut. Sepertinya efek ini lebih bekerja maksimal dalam format 3D.

Dredd adalah film aksi fiksi ilmiah yang brutal dan sadis, terlalu keras untuk penonton wanita dan anak-anak. Ekspektasi cerita terhadap penokohan karakter Dredd akan membuat penonton kecewa karena titik berat hanya ada pada aksi-aksinya. Hal yang paling membuat penasaran, apakah kemiripan dengan plot The Raid hanya kebetulan semata? What do you think? (C)

Taken 2


Same Formula and Less Thrill

3 Oktober 2012
Sutradara: Oliver Megaton
Produser: Luc Besson
Penulis Naskah: Luc Besson / Robert Mark Kamen
Pemain:  Liam Neeson / Maggie Grace / Famke Janssen
Sinematografi : Romain Lacourbas
Editing: Camille Delamarre / Vincent Tabaillon
Ilustrasi Musik: Nathaniel Mechaly
Studio:  Europa Corp
Distributor: 21th Century Fox
Durasi: 91menit
Bujet: $80 juta

Apakah mungkin kejadian yang sama bisa terulang kembali? Taken 2 menggunakan formula yang nyaris mirip dengan film pertamanya dengan premis plot yang sangat konyol dan memaksa. Umat muslim kini demikian mudah menjadi favorit untuk peran-peran antagonis. Satu hal yang sangat memuakkan. Jika peran antagonis tidak diperlihatkan mereka muslim atau dari mana pun rasanya bukan menjadi masalah. Ok ok.. let�s not make this a problem and go back to the plot. Alkisah Bryan Mills (Neeson) yang tengah betugas di Istambul dikejutkan oleh kedatangan istrinya, Lenore (Janssen)dan putrinya, Kim (Grace). Di tempat lain, Murad, ayah dari salah satu penculik Kim di film pertama, bertekad membalas dendam pada Bryan dan keluarganya. Cerita selanjutnya pasti sudah bisa Anda terka.


Seperti film pertamanya kisahnya berjalan cepat ketika konflik mulai terjadi. Tidak seperti Taken yang terasa sangat menegangkan namun kali ini tanpa ketegangan yang berarti. Unsur waktu yang dulu menjadi tolak ukur kini tak lagi ada. Kim yang dulu sangat pasif (korban penculikan) kini sangat aktif mendukung jalan plotnya. Bahkan Kim yang baru belajar mengendarai mobil mendapatkan pelajaran menyetir berharga dari ayahnya. Karakter Lenore yang dulu sama sekali tidak aktif kini sedikit mendapat porsi. Sementara Bryan masih sama seperti dulu.. �what I do best, � kata Bryan. Kill, kill, and kill. Motif cerita yang tak sekuat dulu membuat aksinya menjadi terasa hambar.

Taken 2 semata-mata hanya mencoba mendompleng sukses film pertamanya. Jika berhasil mungkin Taken 3 kembali dibuat dan tak perlu penulis naskah handal untuk menulis sekuelnya. Plot filmnya jelas terlihat terlalu memaksa dan tidak menghibur seperti film pertamanya. Setting di Istanbul juga tak membuat filmnya lebih menarik. Taken dibuat dengan bujet $26,5 juta dan sukses luar biasa sementara Taken 2 berbujet $80 juta. Sebuah angka yang terlalu fantastis untuk film biasa seperti ini dan menyia-nyiakan bakat aktor sekelas Neeson yang jarang tampil buruk. (C-)

Looper


Is it a Masterpiece?


30 September 2012

Sutradara: Rian Johnson
Produser: Rem Bergman / James D. Stern
Penulis Naskah: Arian Johnson
Pemain:  Josep Gordon Levitt / Bruce Willis / Emily Blunt / Piper Perabo / Paul Dano
Sinematografi : Steve Yedlin
Editing: Bob Ducsay
Ilustrasi Musik: Nathan Johnson
Studio:  Endgame Entertainment / DMG Entertainment / Film District
Distributor: Tristar Pictures / Alliance Films
Durasi: 118 menit
Bujet: $30 juta

Bermain-main dengan waktu dalam sebuah plot film selalu menyenangkan dan Looper menawarkan formula ini dengan kisah yang lebih fresh. Aturan main �plot� dijelaskan sejak menit-menit pertama. Alkisah di masa depan mesin waktu belum ditemukan namun sudah pada masa tiga puluh tahun setelahnya. Mesin waktu digunakan secara ilegal untuk membunuh seseorang tanpa bukti. Seseorang dikirim ke masa lalu dan para looper yang mengeksekusinya. Masa �dinas� seorang looper habis ketika dari masa depan dikirim versi tua dari looper tersebut untuk ia lenyapkan dan setelahnya ia memiliki waktu menikmati hidup 30 tahun. Joseph �Joe� Simmons (Levitt) adalah salah seorang looper dan ketika masa dinasnya telah habis diluar dugaan ia gagal membunuh versi tuanya (Willis). Pihak agensi memburu mereka, dan Joe berusaha membunuh versi tuanya, sementara Joe tua memiliki misi lain yang mampu mengubah masa depan mereka. Bingung dengan plotnya? :)


Film fiksi ilmiah mampu membebaskan diri dari aturan dan kelaziman dimensi waktu. Film ini dengan sangat baik telah menjelaskan segala aturan mainnya sejak awal film. Tempo film yang bergerak cepat di awal film menjadi lambat setelah sepertiga durasi memberi kita waktu untuk mencerna kejadian sebelumnya. Jalinan cerita dan waktu ke waktu mengusik rasa penasaran atau justru malah bisa membuat bingung penonton. Sekali lepas cerita di awal Anda akan kehilangan cerita secara keseluruhan. Selepas Joe muda menembak Joe tua (asumsi berdasarkan aturan main plotnya), teknik montage sequence menawan menggambarkan kehidupan Joe muda sejak tahun pertama hingga tahun ke-30 (Joe tua). Ini memunculkan pertanyaan, jika Joe tua bisa lolos dari Joe muda lalu siapa yang ditembak Joe muda sebelum ia cuti menjadi looper? Tak ada event yang menjelaskan ini. Pertanyaan serupa juga muncul dalam perkembangan cerita filmnya. Memang sedikit membingungkan dan menjadi sebuah paradoks.

Dengan bujet yang konon hanya $30 juta film ini memang terlihat tidak wah dari sisi pencapaian rekayasa visualnya. Film ini memang minim penggunaan CGI dan titik berat filmnya lebih kuat pada sisi dramatiknya ketimbang aksi. Bruce Willis tidak tampil dengan pesona seperti dalam film-film yang biasa ia bintangi. Sementara Gordon Levitt diubah wajahnya (termasuk alis palsu) menjadi �Bruce Willis� muda dengan segala gestur khas sang aktor. Aktris Inggris, Emily Blunt harus bersusah payah menghilangkan logat Inggrisnya menjadi logat Amerika yang kental. Aktor Jeff Danniels sebagai Abe, atasan Joe, justru tampil karismatik. Dan yang mencuri perhatian justru aktris cilik Pierce Gagnyon sebagai si bocah cerdas, Cid.

Looper adalah film fiksi ilmiah langka dengan plot unik yang bisa kita sandingkan dengan Inceptiongarapan Christopher Nolan. Film ini banyak sekali memunculkan pertanyaan setelah selesai menonton dan memang menarik untuk dibincangkan. Selalu menyenangkan mendapati film yang mengusik rasa penasaran kita. Entah ini kesalahan atau lubang dalam cerita filmnya atau memang kita yang kurang dalam mencermati plotnya. Dua shot pada ending filmnya memberi kesan pada penonton sebuah dugaan tentang identitas sejati Joe. Jika benar, saya benar-benar dalam kebingungan. Rasanya film ini perlu ditonton lebih dari sekali untuk bisa memahami cerita lebih detil. Is it a masterpiece? (A-)

Premium Rush


One Hell of a Ride!

26 September 2012

Sutradara: David Koepp
Produser: Gavin Polone
Penulis Naskah: David Koepp / John Kamps
Pemain:  Josep Gordon Levitt / Michael Shannon / Dania Ramirez / Jamie Chung
Sinematografi : Mitchell Amundsen
Editing: Derek Ambrosi / Jill Savitt
Ilustrasi Musik: David Sardy
Studio:  Pariah
Distributor: Columbia Pictures
Durasi: 91 menit
Bujet: $35 juta

Premium Rush seperti film aksi ringan lazimnya, berkisah sangat sederhana. Wilee (Levitt) adalah seorang kurir sepeda di kota New York. Dengan bermodal sepeda tanpa rem, insting yang kuat, serta kenekatannya, Wilee berpacu dengan waktu melawan kemacetan, pejalan kaki, hingga pintu taksi untuk bisa mengantarkan paket tepat waktu. Suatu ketika Wilee mengantarkan sebuah paket kecil, yakni sebuah amplop yang tanpa ia duga akan mengantarkannya ke sebuah petualangan seru yang menegangkan.


Ride Like Hell! Begitu kata tag line film ini di posternya dan kenyataannya memang benar! Adegan aksi Premium Rush adalah bicycle chase terbaik yang pernah ada. Adegan aksinya dijamin memacu adrenalin dan membuat jantung Anda berdegup kencang setiap kali sepeda Wilee nyaris tertabrak. Kombinasi dan presisi sempurna antara editing cepat, sudut-sudut kamera yang unik, score yang menegangkan, plus sedikit humor menjadikan adegan aksi kejar-mengejar sepedanya begitu menegangkan dan menyenangkan untuk ditonton. Penggunaan teknik animasi unik untuk menggambarkan tujuan dan jarak tempuh paket yang akan dikirim lalu juga opsi-opsi jalan yang diambil Wilee untuk menghindari lalu lintas disajikan atraktif dan amat mendukung ketegangan aksinya.

Superioritas adegan aksinya sayangnya tidak diimbangi dengan plot dan argumen cerita yang lemah. Kemasan cerita unik yang dituturkan secara nonlinier juga tidak mampu menambal  kisahnya. Kisah yang awalnya dibangun lumayan dan mampu membangkitkan rasa penasaran justru menurun hingga klimaks yang sangat mengecewakan. Penampilan para kastingnya terutama para biker (Levitt, Ramirez, Shannon) justru yang sedikit menutupi kelemahan ini dan tampak sekali jika mereka sangat menikmati perannya. Premium Rushdengan adegan aksinya yang sangat mengagumkan, sayang untuk Anda lewatkan di bioskop. Lupakan kisahnya. It�s one hell of a ride! (B-)

Resident Evil: Retribution


There�s Nothing Left to Tell

12 September 2012

Sutradara: Paul W.S. Anderson
Produser: Paul W.S. Anderson
Penulis Naskah: Paul W.S. Anderson
Pemain:  Milla Jovovich / Michele Rodriguez / Sienna Guillory / Li Bingbing
Sinematografi : Glen MacPherson
Editing: Niven Howie
Ilustrasi Musik: tomandandy
Studio:  Constantin Films
Distributor: Screen Gems
Durasi: 95 menit
Bujet: -

Sekuel Resident Evil masih saja terus diproduksi terutama karena sekuel sebelumnya, Resident Evil: Afterlife (2010) sukses besar. Sudah tak ada lagi sesuatu yang baru bisa ditawarkan sejak sekuel keduanya (Resident Evil: Extinction). Kisahnya persis melanjutkan sekuen akhir dari Afterlife yang openingnya disajikan cukup menarik menggunakan teknik reverse slowmotion. Tak disangka rupanya kejutan filmnya hanya sampai disini saja. Selanjutnya formula cerita tidak berbeda dengan sebelumnya. Alice terbangun dalam sebuah ruangan asing lalu ia berhasil keluar, kemudian.. run.. kill.. and destroy. Alice (Jovovich) seperti tak ada capeknya melawan zombie-zombie ini. Tak seberapa lama beberapa karakter muncul membantu Alice. Who cares.. Tak ada satu karakter pun yang mampu menarik simpati karena pertunjukan utamanya memang adalah adegan aksi. Semua orang juga tahu jika Alice tidak terkalahkan. Di saat Alice bersenang-senang dengan para zombie lalu dimana kesenangan kita.


Seri Resident Evil memang bukan untuk moviegoer serius. Namun untuk pecinta film aksi atau video game-nya sekali pun film ini sudah tidak menghibur karena tak ada lagi motif selain hanya survival. There�s nothing left to tell.. Konon film ini masih akan dibuat satu lagi sekuel penutupnya jika film ini sukses. Does anybody give a damn? (D)

Ted


Best Comedy of the Year

1 Oktober 2012

Sutradara: Seth MacFarlane
Produser: Scott Stuber / Seth MacFarlane
Penulis Naskah: Seth MacFarlane
Pemain:  Mark Walhberg / Mila Kunis / Seth MacFarlane / Patrick Stewart (Narator)
Sinematografi : Michael Barret
Editing: Jeff Freeman
Ilustrasi Musik: Walter Murphy
Studio:  Media Rights Capital / Fuzzy Door Production / Bluegrass Films / Smart Entertainment
Distributor: Universal Pictures
Durasi: 106 menit
Bujet: $50-65 juta

Dari posternya, Ted pasti mengecoh banyak orang awalnya karena mengira ini adalah film anak-anak. Saya sampai tersenyum geli di Bioskop Empire XXI Yogyakarta harus menambah lagi peringatan pada selembar kertas bertuliskan tangan, �Ted khusus untuk Penonton Dewasa�. Rupanya rating �D� (Dewasa) di layar LCD belakang loket antrian masih dirasakan kurang tegas. Banyolan konyol a la Ted rupanya sampai juga di luar studio. Filmnya sendiri hingga 5-10 menit pertama memang memberi kesan film anak-anak namun begitu cerita menampilkan Ted dan John dewasa semuanya menjadi berbeda.


Kisahnya sederhana sekali layaknya film anak-anak. John Bennet kecil selalu dikucilkan oleh rekan-rekannya. Doa John rupanya dikabulkan dengan memberinya seorang sahabat, yakni Ted, sebuah boneka hadiah pemberian orang tuanya, yang secara ajaib mendadak bisa berbicara dan berjalan. Beranjak dewasa, Ted (MacFarlane) masih menemani sobatnya, sekalipun John (Walberg) kini tinggal bersama pacarnya, Lori (Kunis). Polah Ted dan sikap John yang kekanakan lama-kelamaan membuat Lori menjadi jengah hingga ia memaksa John memilih antara dirinya atau Ted. John memilih Lori namun tanpa Ted, ia merasakan ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sounds familiar?Pengembangan cerita pasti sudah bisa Anda tebak plus ending yang �dramatik�.

Kisahnya yang konvensional memang bukan menjadi keunggulan filmnya. Sosok Ted yang adalah boneka dan bukan seorang manusia membebaskan karakter unik ini dari sikap dan etika yang pantas bagi orang kebanyakan. Ted berbicara dan berbuat apa pun seenaknya sendiri, kasar, jorok, dan vulgar, dan ini yang membuat joke-joke-nya begitu fresh. Ted memungkinkan bertingkah segala hal yang tidak mungkin dilakukan manusia. Ketika Ted di-interview kerja, ia menghina calon bosnya dengan kata-kata yang vulgar namun ia malah diterima, ketika petir menggelegar, Ted dan John yang ketakutan bernyanyi layaknya anak-anak dengan menggunakan bahasa kasar. Semuanya leluconnya pas untuk karakter Ted namun tidak akan lucu untuk orang umumnya. Beberapa banyolan dan polahnya juga sangat sering meyinggung film-film populer, seperti Flash Gordon, Star Wars, Saturday Nigth Fever, hingga Indiana Jones. Beberapa cameo kejutan juta muncul yang pasti bakal mengundang tawa penonton.

Diluar unsur komedi, pencapaian lain juga tidak kalah baiknya. Sang sineas, MacFarlane sangat sempurna mengisi suara Ted yang selalu bicara seenaknya. Sementara Walhberg dan Kunis tampil tak banyak menguras energi. Dari sisi aksi, scene perkelahian antara Ted dan John bisa jadi adalah scene perkelahian manusia-boneka terbaik yang pernah ada, serta satu adegan aksi kejar mengejar mobil yang tidak kalah seru dengan film-film aksi top. Ted adalah film komedi dewasa yang sangat menghibur terbaik selepas Hang Over beberapa tahun lalu. Amat sangat disayangkan jika Anda melewatkan film komedi brilyan ini di layar bioskop. (B+)

The Bourne Legacy


It�s no Bourne but It�s no Bad 

31 Agustus 2012

Sutradara: Tony Gilroy
Produser: Frank Marshall / Patrick Crawley
Penulis Naskah: Tony & Dan Gilroy
Pemain:  Jeremy Renner / Edward Norton / Rachel Weisz / Joan Allen
Sinematografi : Robert Elswit
Editing: John Gilroy
Ilustrasi Musik: James Newton Howard
Studio:  Relativity Media /  The Kennedy Marshall Company
Distributor: Universal Pictures
Durasi: 135 menit
Bujet: $125 juta


The Bourne Legacy adalah usaha mengekor Trilogi Bourne yang sukses komersil dan kali ini tanpa Jason Bourne yang kisahnya sama sekali berbeda dengan novelnya yang berjudul sama.  Uniknya kisah film ini berjalan simultan dengan kisah Bourne Ultimatum (seri ketiga). Bourne diceritakan membuat panik CIA dan memaksa mereka untuk menghentikan seluruh program dan operasi rahasia mereka, dan ini berarti menghabisi semua agennya. Salah satu agennya, Aaron Cross (Renner) secara beruntung lolos dari maut dan mencoba menguak ini semua dengan meminta bantuan Dr. Marta Shearing (Weisz). Sementara Eric Byer (Norton) salah satu agen khusus CIA menggunakan segala cara untuk mencari dan menghabisi mereka.


Secara umum inti kisahnya sebenarnya tak berbeda dengan seri Bourne hanya motif cerita saja yang berbeda. Dibandingkan seri Bourne, kisah filmnya relatif lebih ringan dan jelas, dan beberapa momen malah mudah diduga. Kisahnya memang tak mungkin lebih rumit dari Bourne karena sosok Aaron tidak hilang ingatan seperti Bourne dan dia tahu apa yang ia lakukan. Kisah yang sebenarnya diawal sangat menarik menjadi kedodoran pada separuh akhir durasi karena arah cerita hanya mengulang formula seri Bourne, saling cari dan kejar. Car chase scene yang menjadi trademark tiga seri Bourne, kali ini terulang kembali di Manila. Aksi yang disajikan lumayan seru namun tak mampu mengungguli car chase di tiga seri sebelumnya.

Kekuatan seri Bourne sebelumnya (dua dan ketiga) sejatinya terletak di tangan sineas Paul Greengrass dengan gaya khasnya a la film dokumenter, yakni perpaduan teknik handheld camera dan editing �kasar� dan cepat yang menyatu sempurna dengan kisahnya. Pendekatan estetik ini sudah tak lagi tampak di Bourne Legacy yang cenderung konvensional. Tak masalah sebenarnya hanya saja menjadikan film ini menjadi �film biasa�. Satu lagi adalah ilustrasi musik, pada tiga seri sebelumnya yang sangat kuat (John Boorman) menjadikan score kali ini (James Newton Howard)  harus mengekor untuk mendapatkan nuansa musik yang sama dan hasilnya juga tidak buruk.

Bourne Legacy secara umum tidak mampu memberikan sentuhan berbeda dari tiga seri Bourne sebelumnya namun kisahnya tidak buruk dan cukup menghibur khususnya para fans Bourne. Jeremy Renner bukan Matt Damon namun Renner juga bermain baik. Pasangannya, Weisz juga mengimbangi dengan baik sekalipun karakter ini hanya merupakan bentuk pengulangan antara hubungan Bourne � Marie (Franka Potente) dan Bourne � Nicky (Julie Stiles). Setidaknya seri ini membuka jalan bagi kisah ke depan yang lebih menarik, dan memungkinkan karakter Aaron Cross dan Jason Bourne untuk bisa bertemu. (B-)