Jumat, 19 September 2008

American Gangster,

Film Gangster dengan Sentuhan Lembut 


American Gangster adalah film arahan Ridley Scott, sineas kawakan yang sukses dengan film-film besar seperti Alien, Blade Runner, Gladiator, Black Hawk Dawn, serta Kingdom of Heaven. Terakhir, Scott memproduksi film �gangster� sejenis belasan tahun yang lalu melalui Black Rain (1989). Dalam filmnya kali ini, Scott menggunakan dua bintang besar, yakni Denzel Washington serta aktor favoritnya, Russel Crowe.

Film ini diangkat dari kisah nyata walaupun beberapa sumber mengatakan sebagian besar kisahnya adalah rekaan. Cerita filmnya berlatar akhir 60-an dimana korupsi, heroin, suap, serta tindak kriminal lainnya tengah marak di kota-kota besar di Amerika. Lucas (Washington) adalah tangan kanan �Bumpy� Johnson, seorang gangster kulit hitam berpengaruh di Harlem. Sepeninggal Bumpy, Lucas berambisi membangun jaringan bisnis heroin dengan memotong jalur distribusi heroin dan mengambil langsung dari sumbernya di Asia Tenggara. Lucas dengan heroin murni miliknya �Blue Magic� dengan cepat menjadikannya sebagai orang paling berpengaruh di Harlem. Sementara seorang polisi detektif jujur, Richie Roberts (Crowe) mendapatkan mandat dari atasannya membentuk tim khusus untuk menangkap pebisnis heroin kelas kakap. Penyelidikan Roberts pun akhirnya mengarah ke sosok Lucas.

Durasi filmnya yang hampir tiga jam tidak lantas membuat film ini membosankan. Kisahnya disajikan begitu menarik secara bergantian antara Lucas dengan Richie seolah kita melihat dua film yang berbeda. Tidak hingga akhir kisahnya, Frank dan Richie bertatap muka secara langsung. Jujur saja, kisah Richie bersama timnya jauh lebih hidup dan dinamis ketimbang sosok Lucas yang cenderung pasif. Kisah Richie secara umum lebih fokus pada masalah penyelidikan kasus heroin yang dipaparkan dengan begitu rinci. Sementara kisah Lucas cenderung bias ke segala arah, seperti masalah keluarga, pacarnya, rival bisnisnya, hingga polisi korup. Entah bagaimana kejadian yang sebenarnya tapi perubahan sikap Lucas di akhir film terasa janggal mengingat sifatnya yang dingin dan keras kepala di sepanjang filmnya. Lucas mendadak berubah menjadi bijak serta kooperatif dengan Richie begitu saja tanpa paksaan �fisik� apapun serta penjelasan yang memadai.

Tidak ada yang meragukan lagi kemampuan Scott dalam meracik karya-karyanya termasuk dalam filmnya kali ini. Walau minim adegan aksi namun karakter Scott tampak jelas terutama pada kekuatan gambar serta teknik editingnya yang cepat, seperti terlihat pada sekuen penyergapan di akhir film. Satu momen mengesankan yang begitu kontradiktif tampak ketika seluruh anggota Lucas yang tengah makan malam mewah dipotong dengan beberapa shot yang memperlihatkan para pengguna Blue Magic serta para korbannya yang over dosis. Namun tidak seperti film-film gangster lazimnya, film ini amat minim adegan kekerasan. Bahkan adegan �sadis� Lucas yang menembak sang preman jalanan masih tampak begitu halus. Juga ilustrasi musik kuat yang biasanya menjadi kunci kekuatan film-film Scott kali ini tampak tidak menonjol. Walau begitu American Gangster memiliki pesan moral yang sangat kuat terlebih untuk bangsa kita yang minim sosok tegas dan jujur seperti Richie. Richie memang bukanlah sosok suci tapi ia adalah sosok yang berani bertindak sesuai aturan hukum. Ketika ia ditanya Lucas mengapa ia tidak membawa lari uang $1juta yang ia temukan, Richie dengan ringan hanya menjawab, � It was the right thing to do�. 

M. Pradipta

The Godfather

Cermin Kejahatan Abadi


The Godfather (1972) arahan Francis Ford Coppola diadaptasi dari novel laris berjudul sama karya Mario Puzo. Film ini dianggap banyak pengamat sebagai film gangster terbaik dan juga salah satu film terbaik sepanjang masa. Film ini sukses meraih tiga Oscar dari sepuluh yang dinominasikan yakni, film terbaik, aktor utama, dan naskah adaptasi terbaik. Pada masa rilisnya The Godfather juga menjadi film terlaris sepanjang tahun dengan pemasukan kotor, 134 juta US$. Sukses film ini juga memicu produksi sekuelnya, The Godfather Part II (1974) yang kurang lebih sama suksesnya.

Film yang berdurasi sangat panjang ini memberi kesan cerita yang amat kompleks namun inti kisahnya sebenarnya sederhana. Alkisah, Vito Corleone (Malon Brando) sang kepala keluarga Corleone merupakan seorang Godfather yang memiliki pengaruh kuat di wilayah timur Amerika Serikat. Masalah bermula ketika bisnis narkotik mulai marak di Amerika dan Vito menolak untuk ikut ambil bagian dalam bisnis tersebut. Penolakan tersebut berbuah kekecewaan dari rival-rival keluarga Corleone. Sang Godfather ditembak secara brutal walaupun ia akhirnya selamat. Salah satu putra Vito, Michael (Al Pacino) yang selama ini berusaha menjauh dari bisnis keluarganya akhirnya menyadari jika ia harus membantu keluarganya keluar dari masalah.
..
Seperti tipikal film gangster, The Godfather mengisahkan rivalitas antar kelompok gangster dalam berbagi kekuasaan (baca: uang) dengan cara kekerasan. Cerita mengambil sudut pandang dari karakter para gangster dan nyaris tidak pernah bersinggungan dengan pihak hukum. Film juga berisi beberapa adegan aksi brutal khas gangster yakni pembantaian berdarah dengan senapan mesin serta yang paling membuat syok tentunya potongan kepala kuda di ranjang sang produser. Cerita filmnya berdurasi nyaris tiga jam dan bisa jadi membosankan bagi penonton sekarang. Rentang waktu cerita yang panjang membuat kisahnya cukup untuk diproduksi hingga tiga film. Cerita berjalan dengan tempo lambat dan dapat dibagi menjadi tiga segmen besar dengan rincian cerita yang begitu detil. Pertama: sepak terjang Vito, kedua: Michael selama di pengasingan, dan tiga: sepak terjang Michael sebagai pengganti Vito. Sekuen awal begitu penting. Coppola mengemas sekuen pernikahan dengan begitu brilian hingga dalam satu momen ini saja kita mampu melihat betapa kuat dan besar pengaruh keluarga Corleone.

Amat sulit rasanya memberi komentar singkat terhadap pencapaian estetik yang dicapai film luar biasa ini. Pemain, setting, aspek sinematografi, aspek editing, hingga musik seluruhnya nyaris tanpa cela. Para aktornya, terutama Brando dengan gayanya yang khas bermain sangat impresif sebagai sosok Godfather yang keras namun penuh kasih pada keluarganya. Komposisi visual yang demikian kuat begitu dominan dalam film ini. Adegan pembantaian sadis Sonny di jalan tol tampak begitu �indah� dinikmati ketimbang aksi brutalnya sendiri. Satu momen yang paling menggetarkan adalah adegan klimaks ketika pembaptisan sang bayi di gereja yang dipotong dengan aksi pembantaian seluruh musuh keluarga Corleone. Aksi pembantaian dimulai sesaat setelah sang pendeta selesai berucap, ��do you renounce satan?�. Dan terakhir sulit rasanya membayangkan film ini tanpa ilustrasi musik yang begitu menyentuh dari komposer Nino Rota. The Godfather tidak hanya bicara masalah kehormatan, loyalitas, keadilan, korupsi, kekerasaan, dan kekuasaan di Amerika selepas perang dunia kedua, namun juga masih menjadi refleksi nyata hingga kini dimana manusia menghalalkan segala cara untuk mencari uang dan kekuasaan. The Godfather merupakan cermin kejahatan yang tidak akan pernah sirna sampai kapan pun �because it�s in our blood

Himawan Pratista

Film Gangster dan Perkembangannya


Film gangster atau juga sering disebut �mafia film� atau �mob film� merupakan salah satu genre besar yang telah populer sejak lama. Film gangster umumnya berkisah bagaimana sebuah kelompok kriminal memperbesar kekuasaan dan memperluas wilayah operasinya. Para gangster beroperasi diluar sistem hukum dimana mencuri, memeras, hingga membunuh menjadi bagian dari hidup mereka. Film gangster sering kali melibatkan bos kriminal yang berwatak amoral, kejam, dan brutal dalam menyingkirkan gangster pesaingnya atau sistem hukum yang menghalangi mereka. Kekuatan film gangster sering kali tampak pada kekuatan akting dari para aktornya yang bertampang keras dan dingin. Rivalitas antar kelompok gangster biasanya memperlihatkan adegan-adegan aksi kekerasan brutal tidak manusiawi yang penuh darah. Adegan-adegan aksi sadis dan brutal biasanya ditampilkan secara eksplisit dengan senjata-senjata khas seperti senapan mesin �tommy gun�, tongkat pemukul, bom mobil, dan lainnya.

Plot film gangster juga kadang melibatkan �kucing-kucingan� antara pihak gangster dan penegak hukum. Pihak penegak hukum sendiri sering kali menggunakan cara-cara di luar aturan hukum untuk melawan kelompok gangster. Film-film gangster biasanya mengambil setting di kota-kota besar yang berpenduduk sangat padat. Latar cerita sering mengambil tempat di lokasi �gelap� seperti, jalanan, bar, klab malam, rumah judi, tempat prostitusi yang menjadi tempat favorit berkumpulnya para gangster. Cerita film gangster biasanya tidak lepas dari bisnis barang ilegal seperti minuman keras, narkotika, senjata api, dan lainnya.


Sejak awal perkembangan sinema di Amerika, elemen gangster telah muncul pada film-film pendek seperti The Moonshiners (1904) and The Black Hand (1906) yang menggambarkan realitas sosial urban kala itu, yakni pemukiman padat, imigran, serta geng jalanan. The Musketeers of Pig Alley (1912) karya D.W Griffith serta The Regeneration (1915) karya Raoul Walsh juga menggambarkan kelompok kriminal yang terorganisir di kota besar. Sementara di Eropa, sineas Jerman, Fritz Lang memproduksi dua seri film gangster berpengaruh yakni, Dr. Mabuse, The Gambler, Part I dan II (1922-1923). Sebelum era film bicara, film gangster telah populer melalui Underworld (1927) karya sineas Joseph von Sternberg. Film ini sering dianggap sebagai film gangster �modern� pertama karena menggunakan tokoh gangster sebagai karakter protagonis. Sementara film gangster lainnya, The Racket (1928) arahan Lewis Milestone, berkisah tentang korupsi dan organisasi kriminal di kota besar. Munculnya teknologi suara semakin menaikkan pamor film-film gangster. Dengan efek suara tembakan, jeritan, serta suara mobil, film gangster menjadi lebih realistik. Tercatat film gangster �bicara� pertama adalah The Ligths of New York (1928) yang mengetengahkan kisah kriminal di kota besar.

Era 30-an dianggap sebagai era berpengaruh bagi perkembangan genre gangster. Isu serta masalah sosial yang muncul pada era ini turut mempopulerkan genre ini. Depresi besar yang melanda Amerika mempertinggi angka kriminal, perjudian, dan prostitusi di kota-kota besar. Juga pelarangan alkohol di Amerika pada tahun 1920-1931, serta beberapa peristiwa kriminal besar, seperti pembantaian berdarah di St. Valentine (1929), serta munculnya tokoh-tokoh gangster besar seperti, Al Capone. Isu-isu sosial ini rupanya menarik perhatian studio-studio besar Hollywood terutama Warner Brothers untuk mengangkat kehidupan para gangster ke layar lebar. Film-film gangster era baru ini menawarkan suatu bentuk aksi kekerasan kejam dan brutal yang belum pernah tampak di layar lebar sebelumnya.

Tercatat tiga film gangster berpengaruh yang diproduksi pada era ini memantapkan gangster sebagai genre populer yakni, Little Caesar (1930), The Public Enemy (1931), serta Scarface, The Shame of Nation (1932). Dua film pertama diproduksi oleh Warner Bros yang dirilis hampir bersamaan. Sementara film terakhir adalah produksi United Artist. Little Caesar arahan Mervyn Le Roy mengetengahkan kisah seorang kriminal bernama Enrico Bandello yang karakternya diinspirasi dari Al Capone. Karakter bengis ini diperankan dengan sempurna oleh Edward G. Robinson yang setelah ini meroketkan namanya menjadi bintang gangster pertama. Kemudian William Wellman mengarahkan The Public Enemy, dibintangi oleh James Cagney yang bermain sebagai Tom Powers seorang gangster yang kejam dan brutal. Sementara film kontroversial Scarface arahan Howard Hawks dibintangi oleh Paul Muni. Film ini juga banyak terispirasi dari tokoh-tokoh serta peristiwa kriminal besar pada era ini.

Adegan-adegan aksi kejam, brutal, dan sadis pada film-film tersebut, terutama Public Enemy dan Scarface, membuat lembaga pra-sensor film (baru resmi dibentuk tahun 1934) mengecam keras film-film tersebut. Produser Public Enemy berkilah mereka hanya memaparkan fakta problem sosial yang terjadi di masyarakat. Juga ending pada dua film tersebut menggambarkan para tokoh gangster yang tewas mengenaskan, mengisyaratkan bahwa perbuatan jahat (kriminal) tidak akan membuahkan hasil apapun. Namun pihak pengecam menganggap pada sisi-sisi tertentu film-film tersebut mampu memberikan kesan kuat jika kehidupan kriminal (gangster) penuh dengan glamour dan �kesenangan�. Pihak produser pun akhirnya mengalah, seperti pada kasus Scarface mereka terpaksa mengganti atau menghapus beberapa adegan yang dinilai tidak pantas.

Tekanan dari pihak sensor tidak serta merta membuat genre ini kehilangan popularitasnya. Para kreator dengan cerdik mengubah sentral plot tidak pada karakter gangsternya melainkan pada karakter yang memihak hukum seperti polisi, agen pemerintah, atau detektif. Dalam G-Men (1935), James Cagney berperan sebagai seorang agen FBI yang menyamar dalam suatu kelompok gangster. Walau berperan sebagai hamba hukum namun Cagney berperan nyaris sama dinginnya dengan film-film gangster yang ia bintangi sebelumnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Edward G. Robinson dalam Bullets or Ballots (1936). Dalam Angels with Dirty Faces (1938) yang dibintangi Cagney, mengisahkan dua orang sahabat yang mengambil jalan hidup yang bertolak-belakang, yakni seorang gangster dan seorang pendeta.

Warner Bros yang sukses bersama Cagney kali ini mendapat lawan main sepadan dengan munculnya bintang baru yakni, Humprey Bogart. Bersama sutradara Raoul Walsh, dua aktor tersebut sukses dengan tiga film gangster yakni, The Roaring Twenties (1939), They Drive By Night (1940), dan High Sierra (1941). Karir Bogart semakin meroket dengan beberapa film noir-nya yang merupakan pengembangan dari genre gangster. Melalui film noir, genre gangster melunak dengan menitikberatkan pada aspek misteri pada plot serta pendekatan estetik yang khas. Film noir menjadi tren film kriminal hingga dekade 50-an. Bogart sukses dengan film-film noir seperti, The Maltese Falcon (1940) dan The Big Sleep (1946). Adapun film-film noir lainnya yang sukses seperti Double Indemnity (1944), The Asphalt Jungle (1950), The Big Heat (1953), hingga The Third Man (1959).

Selain film noir, genre gangster juga berkembang lebih variatif dengan film bertema penjara, Each Dawn I Die (1938), Brute Force (1947), The Defiant Ones, (1958) hingga yang paling sukses, Cool Hand Luke (1967). Sineas besar Billy Wilder sukses menggabungkan genre komedi dan gangster melalui Some Like It Hot (1950) yang dibintangi aktris seksi, Marilyn Monroe. Pada era ini adaptasi kisah nyata rupanya masih juga menjadi pilihan, seperti Machine Gun Kelly (1958), Al Capone (1959), dan The St. Valentine Day Massacre (1967). Sementara film-film kriminal-gangster lain yang menonjol sebelum era 70-an adalah On The Waterfront (1954) arahan Elia Kazan, The Killing (1956) arahan Stanley Kubrick, serta Bonny and Clyde (1967) arahan Arthur Penn.


Pada era 70-an genre gangster kembali mengulangi masa jayanya melalui film-film kriminal-gangster yang sangat populer. Francis Ford Coppola menjadi motor dengan dua film gangster yang dianggap terbaik sepanjang masa yakni, The Godfather (1972) dan The Godfather Part II (1974). Film yang mengisahkan keluarga mafia Corleone tersebut sangat sukses baik komersil maupun kritik. Keduanya bahkan sama-sama mendapatkan Oscar untuk film terbaik. Pada era ini pula sineas spesialis gangster, Martin Scorcese mulai menarik perhatian pengamat melalui Mean Street (1973), lalu karya fenomenalnya, Taxi Driver (1976). Variasi gangster yang juga populer pada dekade ini yakni, The French Connection (1971) arahan John Frankenheimer (mendapatkan Oscar untuk film terbaik), seri pertama si detektif keras, Dirty Harry (1971) yang dibintangi Clint Easwood, lalu film neo-noir Chinatown (1974) arahan Roman Polanski, serta juga Dog Day Afternoon (1975) karya Sidney Lumet.

Pada periode 80-an hingga era milenium baru beberapa sineas kawakan memproduksi beberapa film gangster berpengaruh. Martin Scorcese makin memantapkan posisinya sebagai spesialis gangster dengan film-filmnya yang keras dan brutal, yakni Goodfellas (1990), Casino (1995), Gangs of New York (2002), hingga terakhir The Departed (2006). Brian DePalma juga sukses dengan film-film gangsternya seperti, Scarface (1983), The Untouchable (1987), serta Carlito�s Way (1989). Coppola gagal menyamai sukses pendahulunya melalui penutup epik triloginya, The Godfather Part III (1990). Sementara sineas spesialis western, Sergio Leone sukses dengan film gangsternya, Once Upon A Time in America (1984).

Beberapa sineas muda juga dikenal akrab dengan tema kriminal gangster dan yang paling menonjol adalah Quentin Tarantino. Film-film Tarantino dikenal melalui penuturan plotnya yang unik serta para bintang yang bertaburan dalam filmnya. Ia memulai debutnya melalui film gangster brutal yang penuh darah, Reservoir Dogs (1992). Sukses Tarantino berlanjut dengan film fenomenalnya Pulp Fiction (1994) yang sukses secara komersil maupun kritik. Setelah Jackie Brown (1997) gagal menyamai sukses pendahulunya, Tarantino kembali sukses besar melalui seri Kill Bill Vol.1 (2003) dan Kill Bill Vol.2 (2004). Di lain tempat sineas Inggris, Guy Ricthie sukses dengan film-film gangsternya yang dituturkan dengan gaya khas, yakni Lock, Stock and Two Smocking Barrels (1998) dan Snacth (2000).


Adapun film-film kriminal-gangster lainnya yang juga menonjol pada era 90-an hingga kini seperti, Dick Tracy (1990) sebuah film gangster unik yang diadaptasi dari komik, The Usual Suspect (1995) arahan Bryan Singer, L.A. Confidential (1997) arahan Curtis Hanson, hingga Road to Perdition (2001) arahan Sam Mendes. Sineas aksi Michael Mann sukses besar dengan film bertema perampokan bank, Heat (1995) serta adaptasi film seri kriminalnya, Miami Vice (2006). Sementara sineas horor, David Cronenberg berubah haluan di milenium baru melalui film-film kriminal-gangster seperti History of Violence (2005) dan Eastern Promises (2007). Coen Bersaudara sukses dengan film gangster, Miller Crossing (1990) bersama film-film kriminal lainnya yang unik seperti, Fargo (1996), The Big Lebowsky (1998), The Ladykiller (2004), hingga peraih Oscar, No Country for Oldman (2007). Steven Soderberg juga sukses memproduksi film-film kriminal seperti Ocean Eleven (2001) bersama dua sekuelnya, Out of Sight (1998), hingga Traffic (2000). Belum lama ini sineas top, Ridley Scott juga mencoba peruntungannya dengan memproduksi film gangster, American Gangster (2007).

Sementara di Asia genre gangster berkembang dalam bentuk yang sama sekali berbeda. Di negara-negara besar seperti Jepang dan terutama Hong-Kong, gangster begitu populer dengan �yakuza film� dan �triad film�. Film-film kriminal Hongkong dipengaruhi kehidupan para triad sesungguhnya yang mengontrol segala sendi ekonomi dan hiburan termasuk industri film sendiri. Pada pertengahan 80-an, genre ini mulai populer setelah film-film seperti Long Arm of the Law (1984) arahan Johnny Mak, Brotherhood (1986) arahan Stephen Shin, City on Fire (1987) arahan Ringo Lam, dan A Better Tomorrow (1987) arahan John Woo. Film-film gangster ini mengeksplotasi penuh adegan-adegan aksinya yang khas serta menekankan pada nilai persaudaraan, loyalitas, kehormatan sesama anggota triad. Sementara John Woo mulai menarik perhatian internasional melalui film-filmnya seperti A Better Tomorrow, The Killer (1989) dan Hard Boiled (1992).

Mulai era 90-an beberapa sineas dan aktor laga kenamaan Hong Kong seperti John Woo, Jacky Chan, Chow Yuen Fat, Jet Lee mulai merintis karir dan sukses di Amerika. Film-film mereka disana pun tidak lepas dari tema kriminal dengan sentuhan aksi laga khas Hong-Kong. Sementara di Hong Kong sendiri, genre gangster masih tetap populer dengan mengubah sasaran penonton, yakni kaum muda. Satu contoh yang tersukses adalah Young and Dangerous (1996) arahan Andew Lau yang berlanjut dengan lima sekuelnya. Pencapaian sinema Hong Kong khususnya film aksi-gangster dianggap mencapai titik tertinggi melalui Infernal Affairs (2002) arahan Andrew Lau dan Alan Mak. Sukses komersil dan kritik film ini memicu produksi prekuel bersama sekuelnya, Infernal Affairs 2 dan 3 yang sama-sama dirilis setahun kemudian. Hollywood pun tidak ketinggalan turut ikut me-remake film ini melalui The Departed (2006) arahan Scorcese dan sukses meraih empat Oscar termasuk film terbaik. 

Himawan Pratista

Rabu, 17 September 2008

Infernal Affairs

Terobosan Baru �Gangster� Hong Kong


Infernal Affairs (Mou Gaan Dou/2002) arahan Andrew Law dan Alan Mak merupakan �triad film� yang berkombinasi dengan unsur thriller. Judul aslinya mengacu pada level neraka terendah dalam ajaran Buddhisme yakni, �siksa tiada akhir�. Film ini meraih sukses komersil maupun kritik baik domestik maupun internasional. Dalam ajang Hong Kong Film Awards, film ini sukses meraih 7 dari 16 penghargaan yang dinominasikan, termasuk film dan sutradara terbaik. Tak heran jika sineas sekaliber Martin Scorcese akhirnya memproduksi versi Amerika film yang dianggap fenomenal ini.
..
Plotnya sendiri cukup kompleks, alkisah Chan Wing Yan (Tonny Leung) adalah polisi yang menyamar sebagai anggota triad yang dipimpin Hon Sam (Eric Tsang). Sementara Lau Kin Ming (Andy Lau) adalah anggota triad (anak buah Sam) yang menyamar sebagai anggota polisi di bawah pimpinan Wong Chi Sing (Anthony Wong). Satu-satunya orang yang mengetahui identitas Yan dan Ming hanyalah para pimpinan mereka (Sam dan Wong). Tugas utama mereka adalah memberikan informasi kepada pihaknya masing-masing untuk memuluskan semua operasi mereka. Masalah bermula ketika pihak triad dan polisi akhirnya sama-sama mengetahui jika terdapat seorang penyusup di antara mereka. Ming mendapat keuntungan karena dipercaya Wong untuk mencari mata-mata di pihak polisi. Masalah menjadi semakin rumit ketika pihak triad membunuh Wong yang membuat posisi Yan semakin terjepit.

Infernal Affairs merupakan terobosan baru plot �kucing-kucingan� antara pihak polisi dan triad. Dalam film-film kriminal sejenis umumnya hanya mengisahkan polisi yang menyamar sebagai anggota kelompok kriminal. Namun dalam film ini penyusup terdapat pada kedua belah pihak sekaligus dan dalam satu kelompok yang sama. Plotnya menjanjikan unsur thriller yang begitu menegangkan sepanjang filmnya karena hanya kitalah (penonton) yang mengetahui secara persis identitas mereka berdua. Hal ini bisa kita rasakan jelas ketika pihak polisi mampu menggagalkan operasi triad di awal cerita. Namun terdapat beberapa hal yang dirasa mengganjal terutama di akhir kisahnya. Tak jelas mengapa Yan tidak langsung saja menyerahkan bukti rekaman pembicaraan Ming dan Sam ke pihak (polisi) lain? Toh sepertinya rekan-rekan Ming juga telah tahu jika Yan adalah anak buah Wong. Yang lebih aneh lagi di penghujung kisah ternyata ada seorang penyusup lain selain Ming di pihak polisi. Jika demikian bagaimana mungkin pihak triad bisa gagal dalam operasi terakhir mereka? Mengapa tidak ada antisipasi sebelumnya? Lantas apa fungsi penyusup kedua? Semuanya masih serba tak jelas.

Tidak seperti film triad Hong Kong umumnya film ini justru sangat minim adegan aksi. Adegan-adegannya justru lebih ditekankan pada unsur suspense-nya dengan tanpa henti mengaduk-aduk rasa penasaran kita tanpa bisa mengetahui apa yang akan terjadi selanjutnya. Didukung setting serta tata cahaya low-key lighting, unsur suspense-nya bekerja lebih maksimal. Satu momen yang begitu menegangkan tampak ketika Yan menguntit Ming menyusuri lorong-lorong bangunan setelah ia bertemu Sam di bioskop. Penggunaan kode morse sebagai media komunikasi antara Yan dan Wong juga merupakan ide yang sangat cerdas. Namun seluruh pencapaian teknis di atas tidaklah berarti apapun tanpa dukungan dari para aktornya. Empat pemain utamanya bermain sangat baik, terutama Tonny Leung dan Anthony Wong patut mendapatkan nilai lebih.

M. Pradipta

Novel Versus Film Ayat-Ayat Cinta



Film layar lebar Ayat-Ayat Cinta garapan Hanung Bramantyo yang disadur dari novel yg berjudul sama karya Habiburrahman El Shirazy ini cukup fenomenal di Indonesia, terbukti dengan jumlah tiket yg telah terjual dan kabarnya telah melebihi penjualan tiket film yang pernah ada di Tanah Air. Hal ini juga terbukti dengan panjangnya antrian penonton di sejumlah bioskop, bahkan banyak bioskop membuka lebih dari satu studio untuk memutar film ini.

Film Ayat-ayat Cinta menjadi fenomenal juga karena terjadinya pro dan kontra di kalangan masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, film ini meledak karena novel Ayat-ayat Cinta sendiri telah mencapai best seller dipasaran. Masyarakat yang telah membaca dan mencintai cerita dan tokoh-tokoh di dalam novel tersebut akan menuntut penggambaran yang sama dengan apa yang mereka baca dalam novelnya.

Penulis pernah melakukan riset kecil-kecilan tentang �reaksi penonton film Ayat-ayat Cinta�. Penulis membagin penonton dalam 2 kelompok, yaitu: yang telah membaca novel Ayat-ayat Cinta dan yang belum membaca novel tersebut. Hampir 90% yang telah membaca menyatakan ketidakpuasaannya terhadap film Ayat-ayat Cinta baik dalam hal cerita, lokasi, ataupun pemainnya. Tetapi penonton yang belum membaca novelnya hampir 80% menyatakan puas terhadap film ini.


Tanpa mengesampingkan ataupun memojokkan film Ayat-ayat Cinta, penulis dalam hal ini sebagai orang yang telah membaca maupun menonton berpendapat tidak puas dengan film Ayat-ayat Cinta, baik dari segi plot, lokasi, cerita, maupun dari sisi pencitraan tokoh. Plot awal filmnya sangat cepat dan tidak detail. Penulis yakin para penonton film yang belum membaca novelnya tidak begitu merasakan dan mengerti bagaimana awal mula cinta tumbuh di hati Maria, Nurul, Aisyah, dan Noura terhadap Fahri. Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang membuat para wanita-wanita itu jatuh cinta kepada Fahri yang tidak diceritakan di dalam film ini.

Dari segi lokasi, karena keterbatasan dana, pengambilan gambar film Ayat-ayat Cinta diambil di India, Jakarta, dan Semarang, bukan di Kairo, Mesir seperti yang ditulis dalam novelnya Namun demikian menurut penulis ada beberapa penggambaran yang sangat berbeda dengan cerita dalam novelnya, seperti lingkungan flat tempat tinggal pelajar Indonesia dan rumah keluarga Maria. Dalam novel, tempat tinggal mereka berada di sebuah padang pasir, ketika mereka keluar flat mereka akan langsung menemui gurun pasir yang sangat panas, sedangkan di dalam film digambarkan sebagai lingkungan yang padat penduduk, bahkan di depan rumah mereka terdapat pasar tradisional. Apartemen Aisyah di dalam novel digambarkan menghadap ke sungai nil, apabila malam hari mereka bisa langsung melihat indahnya sungai nil yang dihiasi oleh lampu-lampu yang sangat cantik, tetapi di dalam filmnya hanya diperlihatkan sebuah kolam.

Dari segi cerita, penulis melihat banyak bagian cerita dan tokoh yang hilang dari novelnya, dan banyak sekali cerita yang diubah atau ditambah di dalam filmnya. Contoh cerita yang hilang adalah : Fahri jatuh sakit karena kepanasan dan dehidrasi, para pelajar Indonesia merayakan kesuksesan Fahri dengan makan-makan di atas flat mereka, Fahri memberi kado ulang tahun kepada ibu Maria dan sebagai ucapan terima kasih mereka di ajak makan malam oleh ibu Maria di restoran terkenal. Selain itu masih banyak cerita lain yang tidak di tampilkan di dalam film, namun penulis dapat memaklumi cerita-cerita tersebut dihilangkan mengingat keterbatasan durasi. Ada bagian yang paling penting yang membuat cerita ini menjadi romantis secara islami namun tidak ditampilkan di dalam film, yaitu kisah ketika Fahri dan Aisyah untuk pertama kali saling mengenal setelah menjadi suami istri dengan bersendagurau di balkon apartemen Aisyah, pada malam pertama mereka menikah, dan kisah ketika mereka berbulan madu. Penulis sangat menyayangkan bagian cerita ini tidak di tampilkan di dalam film.

Selain itu juga banyak terjadi perubahan cerita di dalam film, salah satunya adalah peristiwa yang mengakibatkan Maria jatuh koma. Di dalam film Maria koma akibat ditabrak mobil, sedangkan dalam cerita novelnya, Maria koma akibat sakit psikologis mengetahui Fahri telah menikah. Penulis sangat merasakan penambahan aura poligami yang sangat kuat di sepanjang film ini. Mungkin karena isu poligami masih sangat konrtroversial di Indonesia, maka Hanung Bramantyo sengaja menitikberatkan cerita pada sisi poligami, padahal di dalam novel tidak ada bagian yang menceritakan Fahri, Aisyah, dan Maria hidup dalam satu atap, bahkan Aisyah sempat pergi dari apertemennya karena tidak kuat dengan kehidupan poligaminya.

Dari sisi pencitraan tokoh, penulis merasa kecewa dengan tokoh Nurul, Aisyah, dan Fahri. Di dalam novel Nurul digambarkan sebagai sosok yang sangat agamais, anak pemimpin salah satu pondok pesantren, dan tidak pernah diceritakan melepas jilbabnya, namun di dalam film Nurul sempat melepas jilbab ketika mengetahui Fahri menikah. Sewaktu menonton film ini penulis menangkap kesan Aisyah adalah sosok pencemburu, sedangkan sewaktu membaca novel penulis menangkap kesan Aisyah adalah sosok yang tidak pencemburu, besar hati, dan ikhlas. Sementara itu, Fahri di dalam novel digambarkan sebagai sosok yang sangat agamais (bahkan hampir tidak pernah bertatapan dengan orang yang bukan muhrim atau lawan jenis), aktif, dan tegas. Di dalam film Fahri sering menatap lawan-lawan bicaranya yang bukan muhrim, pasif, dan seringkali binggung dalam mengambil keputusan.

Terlepas dari semua yang penulis sampaikan di atas, film Ayat-ayat Cinta juga patut diacungi jempol. Film ini merupakan salah satu film dengan tata sinematografi terbaik dari semua film yang pernah diproduksi di Indonesia belakangan ini. Boleh dibilang,film Ayat-ayat Cinta adalah masterpiece Hanung Bramantyo sebagai seorang sineas. Soundtracknya juga sangat mendukung jalannya cerita, dan Carissa Putri (Maria) sangat menjiwai perannya dengan aktingnya yang terlihat natural. Penulis juga salut dengan Saskia Adya Mecca (Noura) yang berani keluar dari imagenya selama ini dengan mengambil peran antagonis di film Ayat-ayat Cinta.

Agus

Tinjauan Naratif dan Sinematik Ayat-Ayat Cinta



Sang sineas, Hanung Bramatyo berulang kali mengatakan pada media jika film Ayat-Ayat Cinta tidak bisa dibandingkan dengan novelnya karena bahasa tulisan berbeda dengan bahasa visual. Untuk mendapatkan ulasan yang proporsional, kali ini kami mencoba mengulas film ini tanpa sama sekali menyinggung novelnya dan penulis pun belum pernah membaca novelnya Ulasan hanya mengacu pada pendekatan naratif (cerita film) serta sinematik yang menjadi pilihan sang sineas.

Masalah Cerita

Adapun kelemahan yang mendasar dalam film ini tampak pada tempo plotnya yang cepat. Satu peristiwa belum dijelaskan secara jelas sudah muncul peristiwa lainnya. Masalah keseharian kuliah di awal kisah beralih ke masalah isu perkawinan dan selang beberapa menit masalah tersebut terjawab dengan munculnya sosok Aisyah. Tak seberapa lama Fahri pun menikahi Aisyah. Sebelumnya Fahri sempat menolong Noura, tetangganya yang selalu disiksa majikannya hingga ia dipertemukan dengan orang tua kandungnya. Masalah sebenarnya baru muncul ketika Fahri dituduh memperkosa Noura hingga ia ditahan polisi dan berlanjut hingga masa persidangan. Sineas menggunakan teknik kilas-balik untuk menjelaskan latar-belakang cerita namun tetap saja motifnya masih lemah.

Karakter Fahri menjadi kunci dari semua masalah. Fahri memberi kesan sebagai sosok laki-laki yang digandrungi para wanita karena tampan, taat, jujur, rendah hati, cerdas, supel, serta berani, namun di dalam film penggambaran karakter ini masih terlalu minim. Penokohan Fahri dalam plot sebenarnya sangat fundamental karena inti motivasi penggerak cerita seluruhnya bermula di sini. Bayangkan, Noura sampai bersusah payah memfitnah Fahri untuk menimbulkan segala masalah hingga sang lelaki terancam hukuman mati hanya karena cintanya ditolak. Siapa sih Fahri? Kenapa ia begitu digandrungi kaum hawa hingga gadis seperti Noura tega melakukan itu semua? Apa yang membuat Fahri begitu istimewa? Entah bisa jadi karena sosok aktornya, sosok Fahri justru tampak begitu rapuh dan kurang percaya diri ketika ia menghadapi masalah.

Satu lagi kelemahan film ini adalah memiliki permasalahan cerita yang terlampau banyak sehingga cukup untuk dibuat dalam dua film. Cerita film sepertinya akan berakhir setelah adegan klimaks pada akhir persidangan dari keseluruhan masa sidang yang begitu melelahkan. Namun cerita ternyata masih berlanjut (??). Cerita lalu berkembang menggambarkan keseharian Fahri bersama dua istrinya yang cantik-cantik, Maria dan Aisyah. Fahri menghadapi konflik baru dimana ia harus membagi waktu dengan kedua istrinya yang selalu meminta perhatian darinya. Aisyah yang tengah hamil muda akhirnya memilih (mengalah) untuk pergi dari rumahnya dengan alasan membutuhkan waktu untuk bisa memahami ini semua. Aneh bukan?

Bagaimana mungkin setelah mengalami semua peristiwa �maha hebat� sebelumnya (menyangkut hidup dan mati) Fahri tidak bisa mengatasi konflik yang demikian �sepele�? Bukankah Fahri mestinya sudah jauh lebih dewasa (bijak) dan ikhlas? Untuk apa Aisyah bersusah payah membantu �menghidupkan� Maria jika nantinya ia hanya iri melihat Maria berduaan dengan Fahri? Bukankah ketika Aisyah �memaksa� Fahri menikahi Maria mestinya ia telah ikhlas? Entahlah... mungkin Fahri dan Aisyah hanyalah manusia biasa yang masih terbelenggu ego. Namun ini semua menyebabkan masa-masa penderitaan yang dialami Fahri, Aisyah, maupun Maria sebelumnya menjadi sia-sia belaka.

Problem Sinematik

Penggunaan bahasa arab (dengan teks terjemahan) dalam dialog rupanya hanya digunakan sebagai pembuka kalimat saja karena setelahnya dialog diubah menjadi bahasa Indonesia, sekalipun karakter seperti Maria adalah orang Mesir. Penggunaan bahasa Indonesia membuat dialog menjadi agak janggal karena kesannya film ini menjadi tak ubahnya film remaja kita pada umumnya. Terlebih lagi dialeknya juga cenderung memakai dialek �gaul� seperti terlihat jelas di awal film. Pada sebuah adegan di rumah sakit ketika Maria tengah koma, terlihat begitu janggal ketika seorang suster mengucapkan dialog dalam bahasa Indonesia. Patut kita hargai usaha sang sineas dalam mengatasi kendala bahasa bicara, namun teknik transisi bahasa seperti ini rasanya masih kurang mengena. Mungkin idealnya film ini harus memakai bahasa aslinya tapi sepertinya juga sulit jika seluruh dialog menggunakan bahasa Arab.

Kelemahan juga tampak pada keterbatasan setting cerita terutama untuk latar outdoor. Sineas sepertinya telah berusaha keras menyiasati keterbatasan tersebut dengan banyak menggunakan setting indoor, namun tetap saja hasilnya kurang meyakinkan. Suasana kota Kairo plus sungai Nil yang menjadi latar cerita hampir sama sekali tidak tampak, suasana latar cerita malah terlihat seperti suasana di wilayah desa/pinggiran. Suasana kampus Al-Azhar juga terasa begitu sepi serta kurang megah (Apa suasananya memang seperti itu?). Penggunaan rekayasa komputer (CGI) pada film-film kita rasanya masih berlebihan namun penambahan satu shot saja yakni, suasana eksterior bangunan kampus Al-Azhar serta suasana kota Kairo dan sungai Nil (aslinya) sepertinya sudah cukup membantu. Seperti di awal pembuka film, sebuah shot piramid besar sudah cukup untuk menjelaskan jika lokasi cerita berada di Mesir.

Sudah tidak diragukan lagu Ayat-Ayat Cinta (sudah populer jauh sebelum filmnya dirilis) yang dilantunkan begitu manis oleh Rosa menjadi salah satu kunci kekuatan filmnya. Lagu ini digunakan beberapa-kali untuk mengiringi beberapa adegannya. Pada momen saat Aisyah membuka cadarnya saat taaruf, iringan lagu ini begitu kuat dalam mendukung mood adegannya. Namun sayang, beberapa nomor lagu yang ditampilkan justru malah sia-sia karena terganggu suara dialog. Pada adegan saat Maria tengah duduk termenung di dekat jendela kamar, satu nomor manis dilantunkan. Belum sempat kita menikmati lagunya (hanya beberapa bait) mendadak lagu dipotong oleh dialog Maria dan ibunya. Volume lagu diturunkan hingga lagu terdengar hanya sayub-sayub. Lantas untuk apa lagunya dilantunkan?

Terlepas dari beberapa kelemahan di atas terdapat satu momen yang berkesan dalam filmnya, yakni ketika Aisyah membuka cadarnya dihadapan calon suaminya pada saat taaruf. Entah mungkin seperti penggambaran dalam novelnya, namun sineas cukup cerdik untuk tidak memperlihatkan wajah Aisyah saat ia membuka cadarnya. Momen berkesan juga didapat saat pernikahan Fahri dan Aisyah yang dipotong dengan beberapa shot Nurul dan Maria. Serangkaian shot tersebut memperlihatkan dua situasi yang kontradiktif. Di satu sisi, Fahri dan Aisyah yang tersenyum bahagia, di sisi lain, Nurul yang menangis karena kehilangan tambatan hatinya serta Maria yang tengah merindukan idaman hatinya.

Himawan Pratista

Love

Film Indonesia Terbaik di Awal Tahun?


Setelah Daun di Atas Bantal, inilah film Indonesia yang bisa bikin saya duduk manis di dalam bioskop selama dua jam. Bagi saya ini adalah kemewahan sekaligus juga keterkejutan bahwa film ini bisa begitu baik. Saya tidak menyangka bahwa film yang muncul tanpa publisitas yang intens ini mampu membuat semua yang ada di dalam frame terlihat begitu enak dan menyenangkan bahkan untuk pemain berkelas sinetron seperti Acha Septriasa sekalipun. Love merupakan remake dari film Malaysia yang berjudul Cinta yang disutradarai juga oleh sutradara yang sama, yaitu Kabir Bhatia.

Iin (Acha Septriasa) adalah seorang gadis desa yang datang ke Jakarta untuk mencari kekasihnya. Namun dia tidak tahu tepatnya di mana alamat sang kekasih. Iin pun berinisiatif untuk membuat selebaran. Iin dibantu oleh Rama (Fauzi Baadilla) seorang karyawan percetakan yang punya hobi unik mengumpulkan undangan pernikahan. Sedangkan Restu (Irwansyah) adalah remaja tanggung yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada seorang gadis. Restu pun bertekad mendapatkan gadis tersebut yang belakangan diketahuinya bernama Dinda (Laudya Cinthya Bella). Tiga kisah lainya adalah tentang penjaga toko buku (Darius Sinarthya) dengan penulis (Luna Maya), suami istri (Surya Saputra dan Wulan Guritno) dengan anaknya yang autis, serta seorang guru (Sophan Sophiaan) yang terkena Alzheimer.


Love memiliki �multiplot�(web-of-life plot) di mana dalam film terdapat lima kisah berbeda dengan tema yang sama, yaitu cinta. Jika plot ini mengingatkan Anda kepada film Love Actually, tandanya ingatan Anda masih kuat. Dalam plot model seperti ini untuk menjaga tense masing-masing kisah membutuhkan pencapaian editing yang baik, dan film ini berhasil melakukannya. Kita seperti diajak menonton film layaknya plot linear dengan satu cerita utuh. Kisah sang guru adalah cerita yang paling solid dan dalam. Sedangkan kisah Iin dan Rama adalah kisah yang mampu mengundang tawa, di sini getir manis cinta melebur. Yang sedikit klise dan lemah adalah kisah suami dengan istrinya dan penjaga toko buku dengan penulis.

Selain Sophan Sophiaan dan Widyawati, saya menilai bahwa kemampuan akting pemain lainnya tidak bisa disebut brilian, sangat payah malah. Tetapi Bhatia mampu membuat para pemain ini menjadi enak dilihat, mereka tidak lagi bergaya robotik yang bisa meneteskan air mata. Di film ini mereka manusia-manusia yang memiliki emosi. Keberhasilan ini bisa disebut sebagai keberhasilan sebuah penyutradaraan.

Sinematografi film Indonesia yang biasanya memiliki bahasa visual yang tidak jelas tidak akan Anda temukan dalam film ini. Dalam Love Anda akan menikmati motif warna pada setiap kisah. Gerak kamera yang dinamis dan terarah, membuat gambar selain indah juga menguatkan naratifnya. Lewat bahasa visual inilah screenplay sinetron-esque-nya Titien Watimmena berbunyi. Namun film ini bukanlah tanpa kekurangan. Musik dari Erwin Gutawa terasa over the top. Dia memperlakukan film ini layaknya film bisu.

Homer Harianja

Butterfly

Melayang Tinggi Entah Kemana...


Butterfly merupakan film arahan Nayato Fio Nuala yang sebelumnya juga telah memproduksi film bertema sejenis, yakni Cinta Pertama dan Kangen. Kisah filmnya seputar hubungan persahabatan antara Tia (Poppy Sovia), Desi (Debby Kristy), dan Vano (Andhika Pratama). Alur cerita utama mengisahkan perjalanan liburan tiga sahabat tersebut ke tempat wisata pulau impian. Sepanjang cerita filmnya penuh dengan adegan kilas-balik yang menuturkan bagaimana persahabatan mereka bermula hingga masalah-masalah yang mereka hadapi. Persahabatan mereka mulai goyah ketika mereka saling menyukai satu sama lain. Sikap Vano tak jelas, Tia jelas menyukai Vano, sedang Desi tidak mau kehilangan Tia. Perjalanan liburan mereka kemudian terganggu oleh penyakit Desi yang semakin menjadi. Perjalanan tersebut rupanya menjadi perjalanan perpisahan bagi Desi.

Seperti film-film arahan sineas sebelumnya, yakni Ekskul dan Cinta Pertama, Butterfly sarat dengan penuturan kilas-balik. Namun kali ini penggunaan teknik kilas-balik lebih intensif dari film-film sebelumnya. Maksud sineas menggunakan penuturan ini untuk mendukung alur cerita utama sehingga penonton mendapatkan latar belakang cerita untuk memahami situasi yang tengah terjadi. Memang cukup menarik namun ada beberapa hal penting yang masih belum jelas. Tidak jelas apa penyakit yang diderita Desi dan mengapa ia tidak mau pergi ke dokter (obat Desi asalnya darimana?). Tak jelas sebenarnya Desi tertekan lebih karena sakitnya, perceraian orang-tuanya, atau Tia dan Vano? Kilas-balik juga tidak berimbang antara Desi, Tia, dan Vano. Latar-belakang dan masalah keluarga Tia (cuma sekali, ketika ibunya berselingkuh) tidak memiliki motif yang jelas. Bahkan latar-belakang Vano sama sekali tidak diperlihatkan. Hal-hal tersebut yang menyebabkan motivasi munculnya beberapa adegan menjadi lemah. Seperti di akhir kisah menjadi tak jelas, mengapa Tia dan Vano membawa Desi yang sekarat ke pulau impian yang menjadi tujuan perjalanan mereka dan bukannya ke rumah sakit?

Dari sisi teknis, film ini amat didukung aspek sinematografi yang cukup dominan. Penonton banyak dimanjakan gambar-gambar indah dengan komposisi visual yang cukup baik terutama pada setting outdoor-nya. Seperti pada film-film sebelumnya, sang sineas gemar menggunakan arah pandang low-angle dengan ketinggian kamera sangat rendah. Entah karena style sang sineas atau motif tertentu namun kadang teknik ini terasa mengganggu terutama ketika para karakternya tengah berdialog. Dari sisi pemain, jika dibandingkan Cinta Pertama dan Kangen, kasting pemainnya juga jauh lebih baik. Para pemain mampu memainkan perannya cukup natural dan tidak berlebihan. Kelemahan (seperti biasa) hanya terlihat pada dialognya. Lalu beberapa nomor lagu yang manis dibawakan Melly Goeslow juga cukup pas mendukung mood beberapa adegannya.

Satu pertanyaan terakhir yang mengganjal adalah mengapa kupu-kupu (butterfly)?, motifnya masih kabur. Kupu-kupu bisa jadi dimaksudkan sebagai simbol jiwa Desi, Tia, atau Vano yang ingin bebas dari semua masalahnya, atau mungkin lainnya? Tetapi mengapa harus kupu-kupu dan apa motif kisahnya? Apakah Desi hobi mengoleksi kupu-kupu, ataukah Vano mahasiswa Biologi, atau mungkin cuma kebetulan? Entahlah yang jelas Butterfly melayang jauh entah kemana� namun jelas film ini jauh lebih baik dari film-film sang sineas sebelumnya.

Adhitya Nugroho

Cara Bertutur ala Rashomon dalam Vantage Point



The Vantage Point arahan sineas TV, Pete Travis merupakan sebuah film aksi-thriller yang dikemas berbeda dengan film-film mainstream Hollywood umumnya. Film ini dibintangi sederetan aktor-aktris besar seperti Dennis Quaid, Sigourney Weaver, Forest Whitaker, serta William Hurt.

Cerita filmnya berlatar konferensi internasional anti-terorisme yang berlangsung di kota Salamanca, Spanyol. Acara pembukaan diadakan di plaza kota Salamanca dengan dihadiri ribuan warga kota serta turis asing. Sesaat sebelum Presiden Ashton (Amerika) berpidato di podium, tiba-tiba ia ditembak secara misterius. Ribuan warga kontan panik, namun belum sempat penonton bernafas lega beberapa menit kemudian sebuah bom meledak tepat di bawah podium. Aksi teror tersebut rupanya telah diantisipasi sebelumnya oleh pihak intelegen Amerika, karena di tempat lain, Ashton (presiden asli) ternyata masih bugar dan yang ditembak ternyata adalah kembarannya. Thomas Barnes (Quaid), salah seorang pengawal Presiden secara tidak sengaja mengetahui jika salah satu rekannya ternyata terlibat dalam aksi teror tersebut.

Satu yang menjadi nilai lebih dalam film ini adalah cara bertutur nonlinier-nya. Kisah filmnya dituturkan menggunakan model struktur cerita film Jepang klasik, Rashomon karya Akira Kurosawa. Rashomon menggunakan empat karakter berbeda untuk menuturkan satu momen peristiwa dari sudut pandang mereka masing-masing sementara Vantage Point menggunakan hingga lima karakter lebih. Film dapat dibagi menjadi enam segmen yang masing-masing menggunakan sudut pandang karakter yang berbeda, yaitu seorang produser televisi, seorang pengawal presiden, seorang polisi lokal, seorang turis Amerika, Presiden Amerika, serta pihak teroris. Lima segmen awal tampak konsisten dengan menggunakan sudut pandang perorangan. Namun sangat disayangkan pada segmen akhir, pola tersebut mulai �rusak� dengan penggunaan sudut pandang dari setidaknya 4-5 orang (walaupun 3-4 orang di antaranya adalah pihak yang sama/teroris). Mengapa sineas tidak mencoba mempertahankan pola yang sejak awal telah dibangun begitu apik? Setidaknya pada segmen akhir sineas sepatutnya memberikan pembedaan yang tegas dari segmen-segmen sebelumnya, sehingga penonton sadar akan adanya perubahan pola tersebut.

Satu lagi yang menjadi nilai lebih adalah tiap segmennya dirancang begitu rapi dan detil. Segmen satu dengan segmen lainnya mampu saling mengisi dengan baik dimana misteri semakin terkuak dengan munculnya segmen-segmen berikutnya. Unsur ketegangan juga mampu terjaga dengan baik sejak awal hingga akhir filmnya. Namun kelemahan plotnya justru tidak terdapat pada unsur suspense-nya namun pada banyaknya �unsur kebetulan� yang terjadi dalam kisahnya. Memang benar, biasanya film-film fiksi adalah cerita rekaan yang memungkinkan banyak hal terjadi secara kebetulan namun dalam film ini rasanya terlalu berlebihan. Beberapa momen penting (terutama setelah bom meledak) banyak tercipta dari �unsur kebetulan� ini. Pada adegan akhir misalnya, sesaat setelah Barnes menembaki rekannya di bawah jalan layang, mobil ambulans yang berisi pimpinan teroris dan Presiden AS mendadak tergelincir dan terbalik tidak jauh darinya akibat menghindari seorang gadis cilik. Masalah selesai demikian mudah dan Barnes menjadi pahlawan. Bukankah bisa saja terjadi? Bisa jadi, namun rasanya terlalu kebetulan (baca: mudah).

M. Pradipta

No Country For Old Men


Ed Tom, sherif tua itu melihat sebuah lanskap, bukit dan padang yang luas. Temaram bulan menyinari, memberi warna warni indah pada setiap lekukannya. Ed Tom menarik nafas, baginya masa lalu lebih baik dari masa kini. Ed Tom menghela nafas, suaranya berat seberat ketidakmengertiannya akan masa kini. Seorang lelaki membunuh perempuan berumur 14 tahun hanya karena ia ingin membunuh seseorang. Jika ia bebas, ia pasti akan terus membunuh orang. Ed Tom tidak mengerti. Ia berasal dari masa lalu, tidak ada tempat baginya di masa kini.

No Country For Old Men film yang dianugerahi Oscar sebagai film terbaik bercerita tentang semua itu, tentang dunia yang makin tua tetapi semakin jahat. Ketika uang menjadi segalanya, uanglah penentu hidup dan mati. Dalam sebuah adegan di sebuah toko, si psikopat mengeluarkan sebuah koin. Dia sedang bermain-main dengan takdir, sesuatu yang transenden tapi sebenarnya tidak. Adegan ini mungkin adegan paling sinis sekaligus cerdas di film dalam maksud penyampaian tema.

No Country For Old Men tidak memiliki plot yang istimewa cenderung sederhana dan sangat umum bagi film bergaya crime/thriller. Llywelyn (Josh Brolin) seorang veteran yang sedang berburu tanpa sengaja menemukan mayat-mayat yang bergelimpangan. Di sana Lywelyn juga menemukan truk yang penuh heroin dan uang satu tas penuh. Benda terlarang itu ditinggalkannya, sedangkan uang diambilnya. Sial bagi Llywelyn bahwa saat dia kembali ke tempat kejadian pada malam harinya, dia kepergok oleh kawanan penjahat yang merasa berhak atas uang itu. Llywelyn pun diburu. Bos kawanan penjahat menyewa psikopat yang baru saja kabur dari penjara, bernama Anton Cigurh (Javier Bardeem). Tubuh-tubuhpun kemudian berjatuhan, menjadi pekerjaan berat bagi Ed Tom ( Tommy Lee Jones) sebagai Sherif di wilayah itu. Ketika ada jalan keselamatan terbuka, Llywelyn tidak mengambil jalan itu. Llywelyn memilih memeluk erat tas yang penuh uang tanpa mau menyadari bahwa semua ini akan merengut nyawanya dan istrinya.

Seperti kebanyakan film-film arahan Coen Brothers lainnya, film ini sangat kuat di karakter dan dialog-dialognya. Sound minimnya juga mampu menghasilkan rasa mencekam yang intens. Belum lagi permainan Bardeem sebagai psikopat bak monster yang penuh teka-teki. Kehadirannya pada setiap shot mampu membawa rasa takut pada lawan main termasuk penonton. Akting Kelly Macdonald sebagai Carla Jean sangat mencuri perhatian. Asoy banget.

Ironi dua masa yang coba dibangun sejak awal oleh Coens diakhiri dengan manis dan begitu powerful lewat tehnik dissolve pada adegan dimana Cigurh yang baru saja terluka berpindah ke adegan Ed Tom yang sedang duduk di meja makan. Superimposenya adalah Ed Tom yang seolah-olah melihat Cigurh melenggang pergi. Di sanalah satu-satunya Ed Tom dan Cigurh pada satu Frame. Sepanjang film penonton tidak akan menemukan mereka berada pada satu frame kecuali dalam itu.

Masa lalu yang lebih baik bagi Ed Tom muncul kembali dalam dua mimpi di malam dia pensiun. Mimpi yang pertama tidak begitu diingatnya. Dia hanya ingat bapaknya memberinya uang tapi kemudian dia menghilangkannya. Mimpi kedua lebih diingatnya. Mimpi yang sentimentil, ketika dirinya dan ayahnya berkuda di pegunungan yang bersalju, ketika ayahnya berkata akan selalu berada untuk dirinya.

Homer Harianja

Cut Njak Dien


Being told of the topic this time, one movie popped in to my head just like that. It�s one of my favorite, and definitely one of Indonesian movie�s pride and joy, and though it doesn�t exactly fit in to the gangster genre, I�ve managed to squeezed it out as my movie pick. The most significant thing that cross my mind when I think of gangster movie is the intensity of the bonding between characters in the pursuit of glory or survival that is being fed to the viewer, since the strength of it lies on how the bond holds or crumble through out the game, who to trust, and how to survive within the often deadly relations and problems that surround those characters. What made up my mind when I drop my choice to this movie is the spirit inside it that I feel strongly resemble the gangster ambiance.

This movie that evolve around the character of Cut Nyak Dien, the Indonesian legendary heroine with a background of struggle towards freedom from the foreign colonizer, where she led her people in a win or die trying battle. The crucial purpose being carried by the characters intensified it so powerfully, that I was fixated and couldn�t help of having goosebumps through out the movie. I was so mesmerized on the politic and intrics amongst the characters inside it, how loyalty is expensive, and faith is pricey. There was one classic moment where Cut Nyak Dien found a �rat� (betrayer) inside her people, she holds her anger but not putting any effort to conceal it, more of to stay cold in the head, then she sent him to be �taken care of� in the most unforgettable way. Her charisma and the influence she sent to her people shows how powerful she is and the effect being thrown at the viewer is simply one word, unbelievable.

At the time Cut Nyak Dien was released, Indonesian movie was pumping it�s last oxygen to it�s lungs. And to expect a movie being released that are other than the horror, erotic or historical movies genre, moreover good movies, is just a fool�s dream. I remember watching Cut Nyak Dien, and think, if ever, there�s a gangster movie, it should be filled with characters like these. Where the union is so tight and a secret too big to put at stake, the horror of loosing everything you have, the suspense of choosing the next step that will bring the death or glory to thousands, and of course a leader so breathtakingly divine that you�d put on a pedestal the first time you see it. Even until today, as far as I remember I haven�t watched any movie with the effect as big as that one. Out of 5 decapitated thumbs, I give a perfect five.

Shelomita Savitri

Fenomena Film Bajakan


Belum rilis film Ayat-Ayat Cinta di bioskop, kita sudah bisa mendapatkan VCD bajakannya dengan mudah di emperan-emperan toko serta tempat-tempat persewaan film. Bisa dibilang ini adalah pencapaian baru bagi dunia pembajakan, khususnya film Indonesia, karena baru kali ini film Indonesia dibajak sebelum rilis filmnya. Kasus yang sama pernah terjadi beberapa tahun silam untuk film Jelangkung namun bajakannya keluar setelah rilis filmnya dan itu pun dengan kualitas gambar yang buruk.

Bicara masalah film bajakan sudah bukan barang aneh bagi masyarakat kita. VCD/DVD orisinal yang berbandrol puluhan hingga ratusan ribu rupiah jelas kalah bersaing dengan VCD/DVD bajakan yang hanya berbandrol 5-8 ribu perak! Jika kita tilik ke belakang format VCD mulai marak menggantikan LD (Laser Disk), kaset Betamax, dan VHS mulai pertengahan dekade 90-an. Ketika itu VCD orisinal harganya cuma sekitar 20 ribuan. VCD bajakan mulai marak setelah era krisis terutama karena harga VCD original naik hingga 40-50 ribuan. Sementara DVD bajakan impor (DVD 9) mulai marak di tahun-tahun awal milenium baru dengan harga antara 30-50 ribuan. Sangat jauh harganya jika dibandingkan harga DVD orisinal kala itu yang mencapai 200 ribuan. DVD bajakan jenis ini walaupun kualitasnya nyaris setara dengan DVD orisinal namun kini sudah jarang di pasaran karena kalah bersaing dengan DVD bajakan lokal (DVD 5) yang harganya berlipat kali lebih murah.

Tampak jika dari masa ke masa masyarakat kita cenderung memilih produk dengan harga yang lebih murah tanpa mempertimbangkan kualitas. Tak peduli kalangan atas, menengah, bawah, semuanya memilih produk VCD/DVD bajakan karena harganya yang lebih murah. Berapa gelintir orang sih yang mau (dan mampu) menikmati film dari format DVD (orisinal) lengkap dengan tata suara DTS? Sebagian besar orang tidak peduli dengan kualitas gambar atau suara yang jernih� yang mereka pikirkan hanya mendapatkan hiburan yang murah meriah. Itu saja! Selama produk bajakan masih ada di pasaran dengan harga yang lebih murah, sampai kapan pun pasti akan terus dikonsumsi masyarakat. Terlebih lagi di jaman serba susah seperti sekarang.

Memerangi produk VCD/DVD bajakan jelas bukan perkara gampang. VCD/DVD bajakan serta produk-produk bajakan lainnya sudah mendarah daging di masyarakat kita dan sepertinya hampir mustahil untuk diberantas. Jika produk VCD/DVD bajakan hilang seketika di negeri ini� mungkin ratusan ribu orang (mungkin jutaan) akan kehilangan pekerjaan saat itu juga. Pelarangan produk bajakan akan justru menimbulkan implikasi sosial yang tidak kecil. Belum lagi kemudahan mendapatkan alat pengganda seperti CD/DVD RW juga menyebabkan semua orang berpotensi sebagai pembajak.

Pemberantasan produk bajakan tidak akan efektif dan maksimal selama tidak menyentuh esensinya, yakni tersedianya produk (orisinal) yang lebih murah. Jika harga DVD/VCD orinal memang tidak bisa turun ke harga yang relatif terjangkau, jelas adalah tugas pemerintah untuk menaikkan daya beli (kesejahteraan) masyarakat. Di saat yang sama penegakan hukum juga harus dilakukan dari hulu ke hilir, bukan di tingkat pengecer atau pengguna. Selama kedua hal tersebut tidak dilakukan berkesinambungan selamanya pula produk bajakan akan terus eksis. Format paling gres, Blue-Ray kini mulai muncul di pasaran, mungkin tinggal menunggu waktu akan muncul produk bajakannya.

M. Pradipta

Mafia Tanda Kutip


Sebagai seorang backpacker ada 2 hal utama yang paling ditakuti, yang pertama adalah sakit, siapa yang nyaman menikmati indahnya suatu negara jika kita merasakan sakit?, semua serba terasa hampa, tanpa arti. Yang ke dua tentu saja jika dalam perjalanan kita dirampok atau barang-barang kita dicuri orang. Kebayang bagaimana kalutnya jika berada di negara yang baru pertama kali kita datangi dan tiba-tiba saja uang, passport, dan benda penting lainnya dirampok, untung saja nyawa kita tidak ikut raib. Bisa jadi kasus seperti ini sering menimpa para backpacker, apalagi jika kejahatan tersebut terorganisir, layaknya mafia di Italia ala film Godfather atau kelompok elit yang gemar menyiksa manusia seperti dalam film Hostel. Apa jadinya?

Nah, perjalanan saya kali ini dari kota Jenewa menuju kota Novara Italia yang dikenal dunia melalui ketangguhan sepak bolanya dan sebagai kiblat mode di kota Milan, tapi juga tak akan dilupakan orang sebagai sarangnya mafia. Siapa yang akan menyangkal jika mafia-mafia sejenis Don Corleone dulunya banyak terdapat di Sisilia?, itulah yang mendasari Mario Puzo menciptakan masterpiece-nya. Uniknya jika diperhatikan bentuk Negara Italia dalam peta dunia bagaikan sebuah sepatu yang akan menendang pulau Sisilia, bak sebuah pulau buangan yang ingin di tendangnya jauh-jauh.

Adalah Leonard, Pria paruh baya yang saya temui di dalam pemberhentian di sebuah centrum, masih di bibir garis kota Swiss dekat Italia. Pria klimis yang dengan senang hati membagi kisahnya tentang mafia, yang baginya bagaikan sebuah kisah dengan dua sisi, tentu saja hal ini bagi pemerintah Italia harus dibasmi sampai ke akar-akarnya, namun menurut pria itu mafia sekarang ini tidaklah seperti mafia-mafia jaman dahulu yang dengan brutal membunuh sana-sini atau saling berkelahi berebut kekuasaan. Boleh dibilang era mafia dewasa ini di Italia sudah lebih profesional. Mereka menguasai jaringan peredaran narkotika yang bukan hanya di Italia namun juga lintas negara. Tidak heran bila Leonard dengan satire-nya mengatakan jika saja mafia Italia memberikan pajak kepada negara atas usaha yang mereka kelola, maka dipastikan pajak yang mereka berikan jauh lebih besar dari pajak yang disetor oleh perusahaan-perusahaan berkembang atau maju di Italia sana, hal ini menggambarkan betapa usaha gelap yang dilakoni mafia setempat sudah sedemikian kuatnya. Yang menarik adalah di kota asalnya, Cagliari dan beberapa kota lainnya, tidak sedikit masyarakat sekitar yang berempati lantaran banyak yang telah diberikan oleh para mafia itu untuk kesejahteraan kaum marginal di kota tersebut.


Bagi saya pribadi istilah kelompok-kelompok yang mengorganisir gerakan �kiri� seperti itu memang erat nuansanya dengan negara-negara lain selain Italia, yaitu Cina yang terkenal akan gangsternya, atau jepang akan yakuza-nya, dan masih belum lepas dalam ingatan saya, betapa trilogi Infernal Affairs yang dilakoni Tony Leung dan Andy Lau masih menyimpan chemistry yang begitu kuat, berbeda rasanya ketika Hollywood menterjemahkan film tersebut dalam The Departed. Amerika yang tidak memiliki kultur khas ala kelompok yang terorganisir macam itu (hanya kasus east coast kontra west coast saja), akhirnya gagal total mengadaptasi cerita tersebut. Saya sampai tidak merasakan bagaimana �kengerian� yang dialami Tony Leung ketika harus berlakon menjadi bagian dari anggota para gangster, sementara ia juga mata-mata pihak kepolisian, walhasil Leonardo di Caprio serasa kalah level jauh dibandingkan kesuksesan peran yang dicapai oleh Tony Leung yang banyak diganjar penghargaan pada festival-festival dunia atas perannya tersebut.


Film Korea rupanya juga tidak kalah dalam mengupas kehidupan para gangster negaranya dengan kemasan yang jauh dari kesan �gelap�. Ambilah judul My Wife is Gangster yang kini sampai pada sekuel ke tiganya, dan lagi-lagi Hollywoodian pun tak luput mencoba mengadaptasi cerita tersebut, entah apakah akan berjudul sama atau tidak, sampai saat ini saya belum mendengar reveal dari pihak bersangkutan mengenai adaptasi film tersebut.


Jika perbincangan ini kita alihkan ke film Indonesia, yaitu tentang aksi para gangster yang diangkat dalam film oleh para sineas kita, ambil contoh Gerbang 13 atau Bad Wolves, entah mengapa hal ini masih lebih baik daripada film-film horor kita yang sudah over supplied. Bukan bermaksud mengecilkan mutu film gangster tersebut, hanya saja eksplorasi yang dilakukan masih sangat dangkal, tidak lebih baik daripada film Heart sekalipun saya memberi rating tiga dari lima bintang. Apa pasal? Ya� bisa jadi karena pola cerita dan bertuturnya benar-benar tidak masuk akal dengan realita masyarakat sebenarnya (gangster bermobil yang menghujani peluru sana-sini di keramaian). Bukan saya menutup adanya berbagai kemungkinan aspek dan mempersempit ruang imaji, hanya saja kita berbicara pada masalah kelayakan dan wacana realita, bukankah film merupakan refleksi budaya suatu negara?


Berpisah dalam setiap petualangan dengan orang-orang yang kita temui merupakan hal bluesy setiap kali kita merasa cocok dan nyaman pada mereka, tidak heran acap kali kita pun menutup pertemuan itu se elegan dan semanis mungkin agar kelak bukan cuma saya namun orang yang saya temui pun memiliki kesan yang serupa, impressif.

Bagi saya perpisahan dengan Leonard yang masih sempat bertanya akan rasa penasarannya pada mafia atau gangster di Indonesia, membuat kening saya berkerut, bukan karena ingin menutup perpisahan hari itu se-elegan mungkin dengan jawaban yang mengena, namun merasa dilematis dalam menjawab.

�Kami juga memiliki mafia yang sangat membudaya dan kuat akarnya, hanya sayangnya sineas kami masih menerjemahkan esensi mafia pada sudut pandang brutal, anarkis, dan baku tembak. Karena sejatinya mafia di negara kami adalah mafia peradilan, mafia hutan, mafia hasil tambang, dan kami menyebutnya mafia berkerah putih, bukankah patologi semacam itu juga digolongkan mafia?�
..
�Au Revoir� saya melambai meninggalkan Leonard dan kota Jenewa. 

Andre Budiman