Minggu, 13 Agustus 2000

Dubbing Merusak Segala Keindahan Wall.E

..
14 August 2008,
Pixar rupanya melanjutkan tradisi sukses baik kritik maupun komersil melalui film animasi terbaru mereka, Wall.E. Film ini diarahkan Andrew Stanton yang sebelumnya juga terlibat dalam produksi film-film animasi istimewa Pixar seperti Finding Nemo dan Ratatoullie. Satu hal yang tak lazim ketika menonton film ini di bioskop-bioskop kita adalah penggunaan dubbing Bahasa Indonesia untuk seluruh dialog dalam filmnya.


Kisah filmnya jauh berbeda dengan film-film produksi Pixar sebelumnya dengan mengambil latar cerita ratusan tahun dari masa sekarang. Alkisah umat manusia telah merusak bumi demikian dahsyatnya hingga tidak layak lagi untuk dihuni. Ribuan manusia bumi berimigrasi dan bermukim di luar angkasa dengan sebuah pesawat angkasa super modern bernama Axiom. Ratusan tahun kemudian bumi dikisahkan kosong-melompong, dipenuhi rongsokan sampah besi, serta puing-puing bangunan tanpa menyisakan satu manusia pun. Satu-satunya dinamika kehidupan masa lalu hanyalah sebuah robot pekerja bernama Wall.E. (singkatan: Waste Allocation Load Lifter Earth-Class) Sang robot mungil ini masih saja terus bekerja mengumpulkan serta memadatkan besi-besi rongsokan dan menyusunnya yang entah telah berapa lama ia lakukan. Suatu ketika pesawat asing datang ke bumi dan meninggalkan sebuah robot observasi modern bernama Eve. Wall.E yang kesepian berusaha menjalin hubungan persahabatan dengan sang robot dan �jatuh hati� padanya.

Tidak ada kata-kata lain selain �Wow�� menikmati segala suguhan yang ada di film ini. Secara visual, gambar (CGI) sepertinya jauh lebih halus dari film-film produksi Pixar sebelumnya. Setting kota (bumi) tempat sang robot kesepian yang terlantar ratusan tahun mampu digambarkan dengan sempurna sejak awal pembuka film, sangat kontras dengan suasana interior pesawat angkasa Axiom yang penuh warna, meriah, dan super modern dimana manusia dimanjakan (diperbudak) oleh para robot. Ceritanya sendiri mengingatkan pada film fiksi-ilmiah klasik, 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick dimana robot (Artificial Intelligence) akhirnya mengambil-alih kendali dari manusia. Beberapa unsur serta banyolan dalam banyak adegannya juga banyak diambil dari Space Oddysey, seperti sang robot jahat bermata merah, ilustrasi musik klasik The Blue Danube dan Sprach Zarathustra, serta adegan melayang-layang di luar angkasa.

Seperti film-film produksi Pixar sebelumnya, film ini mampu memadukan unsur aksi, drama, roman, serta komedi dengan sangat sempurna. Semua orang dari segala usia dijamin akan mampu menikmati film yang sangat menghibur ini. Film animasi ini juga lebih dari sekedar film anak-anak. Nilai-nilai seperti rasa persahabatan, team-work, keberanian, serta semangat pantang-menyerah masih dominan, seperti halnya juga tampak dalam Toy Story, Monster Inc., Finding Nemo, The Incredible, hingga Ratatoullie. Namun sedikit berbeda, Wall.E sarat dengan pesan-pesan lingkungan hidup, �save earth for our future (children)�, betapa berharganya memelihara kehidupan walau sekecil apapun. Wall.E dan Eve juga bisa disimbolkan sebagai sosok Adam dan Hawa yang membawa awal kehidupan baru bagi umat manusia di bumi. Tidak perlu diragukan lagi, sejauh ini Wall.E merupakan kandidat terkuat peraih Oscar untuk film animasi terbaik tahun depan.

Sungguh sangat disayangkan satu hal yang merusak segala keindahan dalam film ini justru penggunaan dubbing Bahasa Indonesia. Walau nyaris tanpa dialog pada separuh cerita awal namun tidak demikian halnya pada separuh akhir cerita. Dubbing menyebabkan kita (saya setidaknya) tidak bisa �masuk� dalam dialog filmnya, karena terdapat rasa bahasa, intonasi, aksen yang berbeda dalam bahasa aslinya. Kita tidak bisa mendengar suara para aktor yang mengisi suara aslinya. Banyolan-banyolan barat yang terlontar rasanya menjadi aneh, seperti layaknya menonton kartun anak-anak di televisi. Oklah... boleh jadi film ini memang lebih ditujukan untuk anak-anak, but what about us� para pecinta film. Negara ini tidak memiliki tradisi dubbing layaknya beberapa negara di Eropa serta Asia lalu apa lantas penonton tidak memiliki hak untuk memilih. Agak sulit menilai film ini tanpa menggunakan bahasa aslinya, jujur saja, jika sejak awal tahu, saya tidak bakal menonton filmnya. Film ini begitu istimewa, alangkah baiknya jika Anda, para pecinta film, menonton dalam bahasa aslinya. (A)

Senin, 07 Agustus 2000

The X-File Sebuah Romantika Masa Lalu

...
Setelah versi layar lebarnya satu dekade silam, The X-Files (1998), Fox Mulder dan Dana Scully kembali beraksi dalam The X File: I Want to Believe. Kali ini sang creator sendiri, yakni Chris Carter yang mengarahkan filmnya. Film seri televisinya sendiri yang sangat populer juga sudah berakhir beberapa tahun silam. Mulder dan Scully masih dibintangi oleh David Duchovny dan Gillian Anderson. Film juga dibintangi oleh bintang-bintang muda seperti, Amanda Peet, Xzibit, serta Billy Connoly.

Dikisahkan Mulder dan Scully kini telah lama pensiun dari FBI. Mereka berdua tinggal serumah dan hidup tenang di sebuah kota kecil. Suatu ketika mereka berdua dimintai tolong oleh FBI untuk mengungkap kasus seorang agen FBI yang hilang secara misterius. Kasus ini juga melibatkan �teman� lama Mulder, Pendeta Joseph, yang memiliki kemampuan supernatural untuk membantu memecahkan kasus tersebut. Sementara Mulder bernostalgia dalam kenangan masa silamnya, Scully yang kini menjadi dokter bedah memiliki masalahnya sendiri dengan salah satu pasiennya yang tengah sekarat. Ketika pihak FBI mulai menyerah, Mulder tetap bersikeras mengungkap kasusnya. Penyelidikan Mulder membawanya ke sebuah sindikat asing yang melakukan uji coba mengerikan pada organ tubuh manusia.

Siapapun yang suka menonton seri televisinya atau film terdahulu pasti berpikir film ini akan lagi melibatkan makhluk asing (alien). Ternyata dugaan kita salah! Satu-satunya benang merah kasus X-File masa lalu hanyalah pada kemampuan supernatural Pendeta Joseph yang mampu berempati dengan para korban. Tidak seperti film pertamanya, ceritanya pun tidak berlebihan dan bahkan bisa dibilang terlalu sederhana seperti film-film seri televisinya. Namun kesederhanaan justru menjadi nilai lebih filmnya. Pencarian serta penyelidikan yang berimbang antara fakta ilmiah dan metafisik menjadi formula cukup efektif untuk melepas rindu para penggemar The X-File. Penulis naskah sepertinya tidak ingin terlalu terjebak dalam masalah lama Mulder (adiknya diculik Alien) namun secara sederhana hanya ingin mengajak para fans The X-File untuk bernostalgia seperti film-film seri televisinya.

Konflik fisiknya juga berimbang dengan konflik batin terutama Scully. Scully yang setelah sekian lama rupanya masih apatis terhadap hal-hal metafisik. Sikap Scully mulai goyah semenjak terlibat dalam kasus ini dan berdampak pada keputusan mediknya terhadap seorang pasiennya. Hal yang juga tentu menarik para penggemar setia film serinya tentulah hubungan asmara antara Mulder dan Scully. Walaupun dalam filmnya dikisahkan hubungan asmara mereka telah lama terjalin namun pada paruh awal film, sineas sepertinya ingin memberi kejutan pada para fansnya dengan tidak memberikan gambaran secara jelas. Terkait ini di akhir filmnya sineas memberi sebuah kejutan kecil yang tentunya dinanti para penggemarnya. Kejutan lainnya adalah munculnya bos Mulder dan Scully sewaktu mereka masih menjadi agen FBI dulu, yakni Skinner, walaupun hanya muncul beberapa saat.

Tidak seperti film pertamanya film ini sama sekali tidak menggunakan efek visual yang spektakuler. Hal ini pasti banyak mengecewakan penonton masa kini. Titik berat memang lebih pada cerita ketimbang adegan aksinya namun hal ini tidak mengurangi unsur ketegangan dalam filmnya. Satu lagi yang cukup unik adalah musik tema khas The X-File pada end credit yang disajikan lebih nge-�pop� dengan tempo cepat. Secara umum film ini tidak akan menarik bagi penonton masa kini terlebih yang bukan penggemar setia film serinya. Jujur saja, tidak ada sesuatu yang istimewa dalam film ini. Film ini juga mustahil untuk bisa mengulangi sukses komersil film pertamanya, mungkin akan lain hasilnya jika diproduksi beberapa tahun silam. Namun penggunaan formula cerita lawas, kematangan akting Duchovny dan Anderson (sebagai Mulder dan Scully), serta musik tema yang khas cukup untuk melepas rindu bagi para fans lama The X-File. Satu-satunya yang menganggu mungkin cuma pilihan judul filmnya, �The X-File: I Want to Believe�, setelah sekian lama kapan percayanya? (B)

Kamis, 03 Agustus 2000

The Mummy 3, Not �Here We Go Again��

4 Augt 2008


Satu lagi film unggulan musim panas yang diharapkan mampu mendulang sukses adalah The Mummy: Tomb of the Dragon Emperor. Film ini merupakan sekuel dari dua film sebelumnya yang sukses luar biasa yakni The Mummy (1999) dan The Mummy Returns (2001). Untuk sekuelnya kali ini diarahkan oleh Rob Cohen, sementara sineas sekaligus penulis naskah dua film sebelumnya Stephen Sommers bertindak sebagai produser. The Mummy 3 nyaris ditinggal semua pemain lamanya dan tinggal menyisakan Brendan Fraser dan John Hannah. Karakter Evelyn yang dulu diperankan Rachel Weisz digantikan oleh Mario Bello. Hanya saja bintang-bintang baru yang tampil kali ini lebih besar dari sebelumnya, yakni Jet Li dan Michelle Yeoh, serta dua bintang muda Luke Ford dan Isabella Leong.



Belasan tahun setelah peristiwa Imhotep (Mummy 2), kehidupan Rick O�Connel (Fraser) dan Evelyn (Bello) terasa hambar karena tidak ada sesuatu yang memotivasi gairah hidup mereka, hingga suatu kali mereka menerima tawaran untuk mengantarkan sebuah artefak berharga ke Cina. Sementara putra mereka Alex, yang kini menjadi arkeolog berhasil menemukan makam bersejarah Raja Han (Jet Li) dan seluruh pasukannya. Di lain tempat Jendral Yang berniat mengembalikan kejayaan kekaisaran Cina dengan menghidupkan kembali Raja Han dengan menggunakan artefak yang dibawa Rick dan Evelyn. Dalam sebuah aksi baku tembak, tanpa sengaja Raja Han akhirnya bangkit kembali dan seperti sebelumnya� here we go again. Rick, Evelyn, Jonathan (Hannah), Alex dengan dibantu Lin (Leong) dan ibunya Zi Juan (Yeoh), harus mencegah rencana jahat Raja Han untuk menguasai dunia.

Sama sekali tidak ada sesuatu yang baru dalam plot The Mummy 3. Film ini hanya menggunakan formula cerita yang sama dengan dua film sebelumnya bahkan digarap lebih buruk. Alur plot tampak sekali begitu dipaksakan tanpa motif yang kuat dan terlalu banyak lubang didalamnya. Sejak sekuen pembuka penggambaran sosok Raja Han rasanya masih kurang meyakinkan dan terlalu minim untuk memberikan background cerita dan karakter. Raja Han dalam film ini seolah tampak seperti sosok yang kurang penting dan berpengaruh. Hal ini jauh berbeda dengan sekuen pembuka dua film sebelumnya (latar kisah Imhotep dan Scorpion King) yang memberikan latar penokohan yang begitu kuat sehingga mampu membuat kita bergidik ketika karakter bersangkutan muncul.

Dalam beberapa adegannya juga tampak banyak kejanggalan. Pada sebuah adegan dikisahkan Han menuju Shangri La untuk dapat menyempurnakan kekuatan magisnya. Aneh sekali, kenapa sejak awal Rick dkk tidak meledakkan saja menara tempat dudukan berlian (untuk menunjukkan lokasi Shangri La). Toh sepertinya tidak ada efek jika menara tersebut dirusak atau dihancurkan. Lebih aneh lagi ketika adegan di Shangri La. Jika mata air �keabadian� memang menjadi kunci kekuatan Han, kenapa mata air tersebut tidak dijaga mati-matian, kenapa Han begitu mudah masuk kesana, kemana makhluk-makhluk salju lucu (yeti) yang sebelumnya muncul. Shangri La dalam sebuah shot digambarkan sebagai suatu wilayah �kota� yang besar tapi aneh kenapa sama sekali tidak tampak penghuninya (masak sih cuma Lin dan ibunya?).

Plot yang begitu buruk merambat pula ke sekuen aksinya. Sekuen-sekuen aksi memesona dan spektakuler penuh efek visual yang terdapat pada dua film sebelumnya sama sekali tidak tampak dalam film ini. Sekuen-sekuen aksinya nyaris semua kurang menggigit, tercatat hanya sekuen aksi kejar-mengejar di kota Shanghay yang boleh dibilang sedikit menghibur, itupun minim efek visual. Gelagat buruk sebenarnya telah tampak pada sekuen pembuka yang sama sekali tidak ada gregetnya dan minim efek visual. Tidak ada pertempuran kolosal dan spektakuler seperti pada sekuen pembuka dua film sebelumnya. Padahal ini akan sangat membantu memperkuat karakter Han sebagai sosok yang ditakuti di seluruh daratan Cina. Penggunaan aktor sekelas Jet Li sepertinya menjanjikan sebuah aksi pertarungan yang seru dan menawan namun kenyataanya tidak. Anda masih ingat laga trisula antara Evelyn dan Anck Su Namun dalam The Mummy Returns. Pertarungan ini rasanya masih jauh lebih baik daripada seluruh pertarungan pedang atau tangan kosong yang ada dalam Mummy 3. Pertarungan klimaks yang mestinya berlangsung seru justru berdurasi begitu singkat. Potensi Jet Li sebagai jago Kung fu sama sekali tidak dioptimalkan. What a waste�

Pencapaian para pemainnya juga sama buruknya. Fraser telah berusaha semaksimal mungkin membentuk karakter Rick O�Connel seperti sebelumnya namun tampak kurang berhasil karena lemahnya hubungan chemistry dengan Evelyn yang diperankan Maria Bello. Bello dengan aksen Inggrisnya sepertinya telah berusaha mati-matian agar mirip dengan karakter Evelyn di dua film sebelumnya namun hasilnya masih jauh dari harapan. Karakter Evelyn yang pada dua film sebelumnya begitu lugu, enerjik, serta intelek sama sekali tidak tampak. Evelyn malah justru tampak sebagai sidekick ketimbang karakter utama karena fungsi perannya yang minim. Satu-satunya peran yang sama kuatnya dengan dua film sebelumnya adalah karakter Jonathan yang diperankan Hannah dengan joke-jokenya khas yang mampu mengundang gelak tawa. Seperti ketika Raja Han mematikan api pada dinamit dengan ilmu magisnya, ia mengeluh, �saya benci mumi.. mereka tidak pernah sportif�. Seperti halnya Jet Li, tidak ada yang istimewa dari para pemain lainnya, termasuk Yeoh serta Ford. Sedangkan aktris muda cantik Isabella Leong lebih hanya sekedar pemanis belaka.

Mummy 3 dilihat dari aspek manapun sangat mengecewakan dan sangat jauh jika dibandingkan dengan dua film sebelumnya. Ada sesuatu yang hilang dalam film ini, entah sentuhan Sommers, naskah yang buruk, absennya Weisz, entah minimnya efek visual, (bujet?) atau bisa jadi kombinasi semuanya. Jika berharap film ini sukses komersil seperti dua film sebelumnya rasanya mustahil. Mummy 3 sejauh ini merupakan film unggulan musim panas terburuk yang dirilis tahun ini. Peluang �Mummy 4�? Lebih baik judulnya diubah menjadi �Imhotep� (nama bar milik Jonathan), �semoga dia mati jangan hidup lagi�, guraunya. (D+).